“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk
surga, padahal belum dating kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang
terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan,
serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul
dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan
Allah? Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.”
(QS. al-Baqarah (Sapi Betina ) [2]: 214)
Fariduddin Athtar, dalam karyanya Mushibatnama (Musibah). Menceritakan
kisah seorang hamba yang pasrah total terhadap kehendak Allah yang bernama
Bahlul. Syahdan, Bahlul adalah orang gila. Begitulah persepsi para pedagang di
pasar Baghdad dan begitu pula persepsi yang menyembul dalam pikiran anak-anak
kecil yang bermain di sekitar pasar itu. Terlebih lagi, kebiasaan Bahlul yang
kesehariannya memakai pakaian compang-camping, nyaris tidak menutupi
tubuhnya yang kurus. Terkadang tersenyum, dan tertawa sendiri. Rambutnya tumbuh
panjang dan gimbal, terlihat seperti tidak dirawat bertahun-tahun.
Janggutnya dibiarkan tidak pernah dicukur, menjuntai kebawah. Penampilan
Bahlul yang acak-acakan itu semakin memantapkan citra dirinya sebagai orang
gila.
Tidaklah berlebihan, kalau anak-anak sering mempermainkannya,
melemparinya dengan batu, dan mengejek penampilannya. Namun, justru yang
membuat mereka kaget, Bahlul sama sekali tidak menunjukkan sedikit pun rasa
benci atau marah. Dia hanya terus berdoa dan tersenyum kepada anak-anak, seraya
mendoakan mereka, “Bagaimana mungkin, seseorang yang ridha dan puas dengan
Allah mengeluhkan sesuatu?”
Rupanya, akibat ucapannya itu Bahlul kemudian diuji Allah. Sesudah
tubuhnya menderita pukulan parah oleh sekelompok anak-anak, Bahlul memutuskan
untuk berangkat menuju Bashrah, sambil berharap penduduk Bashrah lebih bisa
bersikap ramah terhadap dirinya.
Malam semakin gelap sementara bintang-gemintang tersenyum
renyah di atas sana ketika Bahlul tiba di pintu gerbang kota. Namun pintu
gerbang kota telah ditutup, karena peraturan mengharuskan agar dikunci setiap
hari menjelang tengah malam. Bahlul dijangkiti rasa lapar yang akut, dahaga,
dan sangat kelelahan. Dia harus menunggu sampai besok pagi. Udara dingin
semakin menusuk tulangnya yang ringkih. Sambil berjalan ke sana kemari dan
mencoba memutuskan apa yang harus dilakukannya, dia melihat seseorang yang
terbungkus dengan selimut berbaring dekat salah satu pintu gerbang kota. Akhirnya
Bahlul memutuskan membaringkan diri disamping tubuh yang terbungkus selimut di
salah satu sudut pintu kota. “Aku bisa beristirahat di samping orang ini dan
berlindung pada tubuhnya dari dinginnya malam,” ungkap Bahlul.
Disaat fajar menyingsing, ketika Bahlul terbangun dari tidur
lelapnya. Ternyata tubuh berselimut itu adalah mayat seseorang yang
berlumuran darah. Tentu saja, keesokan harinya Bahlul dibawa ke Hakim karena
dituduh membunuh orang tersebut. Sebagai pendatang baru Bahlul tidak bisa mencari
saksi yang meringankannya. Hakim memutuskan Bahlul bersalah dan harus
digantung di depan umum sebagai pelajaran bagi masyarakat luas.
Esok
harinya, di alun-alun kota telah berkumpul massa yang hendak menyaksikan
eksekusi hukuman mati atas diri Bahlul. Sebelum eksekusi dilakukan, Bahlul
tampak sangat tenang meminta ijin untuk berdoa. Setelah berdoa, tiba-tiba
terdengar teriakan keras di tengah kerumunan massa yang meminta eksekusi
dihentikan. Orang tersebut segera menghadap sipir penjara dan mengaku dialah
pembunuh yang sesungguhnya.
Orang yang membunuh itu menceritakan siapa dia, siapa korban
dan mengapa serta bagaimana dia membunuh korban. Bahlul dan orang tersebut
dibawa ke hakim. Hakim terpesona dengan kejadian ini. Lalu dia bertanya, “Apa
yang menyebabkan engkau mengakui kejahatanmu?” Si pembunuh ini lalu bercerita,
“tiba-tiba hamba melihat bahwa diri hamba terjatuh dalam mulut seekor naga,
yang mengancam kalau hamba tidak mengaku saat itu juga, maka ia akan menelan
hamba.”
Terkejut dengan keanehan cerita si pembunuh, sang hakim menoleh
pada si Bahlul dan berkata, “Algojo bercerita bahwa kamu berdoa sebelum
eksekusi dilakukan dan si pembunuh itu lalu mengaku. Apa yang membuatmu yakin
bahwa engkau tidak akan dihukum gantung?”
Bahlul,
masih dengan perilaku seperti orang gila, berkata, “Ketegangan hamba bukanlah
karena merasa yakin bahwa hamba tidak akan digantung. Hamba yakin bahwa apa
pun yang telah ditetapkan Allah adalah yang terbaik, dan memang demikian
seharusnya. Jadi, hamba benar-benar tunduk dan pasrah pada kehendak-Nya. Pada
gilirannya, hal ini membuat hamba demikian damai dan tenang.”
Literatur sufi menyebutkan bahwa si Bahlul ini bernama Abu
Wahib ibn Amr dan wafat pada 812 Masehi. Mungkin ketika membaca kisah Bahlul di
atas, sebagian dari kita kurang sepaham dengan pilihan sikap “cinta-pasrah”
yang dipertontonkan Bahlul. Bukankah semua orang mempunyai cara yang berbeda
dalam memasuki pintu rahmat Allah. Ada begitu banyak jalan mendekati Allah.
Sementara Bahlul telah memilih salah satu dari jalan itu. Sebuah kepasrahan
total pada Allah yang dipertontonkan Bahlul, terdapat pelajaran berharga,
bagaimana dia mampu meminggirkan ego dan kehendak hawa nafsu negatifnya.
Bahlul telah memilih dan menempuh jalannya. Masih banyak jalan lain menuju
rahmat Allah, yang kesemuanya itu berujung pada Dzat Allah. Tatkala Allah
menurunkan penderitaan kepada umat manusia, janganlah ditafsirkan Allah
sudah tidak lagi sayang dan peduli kepada hambanya. Pepatah mengatakan, “If
God close the door, He will open the windows.” Jika Allah menutup pintu, Ia
akan membuka jendela. Sebagaimana dalam surat al-Baqarah dikatakan, “Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. (QS.
al-Baqarah (Sapi Betina) [2]: 286). Bahkan Allah memberikan jalan keluar
sehingga kita bisa mengatasi setiap kesulitan dan penderitaan hidup.
Sayangnya, kebanyakan kita kurang terlatih dan peka menangkap
pelajaran dari Allah. Pelajaran dari Allah sepertinya tersembunyi nun jauh di
sana. Padahal, kalau kita berusaha sedikit bersusah payah memahami eksistensi
Allah, tentu kita akan merasa dekat dengan Allah. Sebagaimana yang di kemukakan
Allah, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka
(jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang
berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi
(segala perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka
selalu berada dalam kebenaran,” (QS. al-Baqarah (Sapi Betina [2]:186).
Jadi, tidak perlu berkecil hati! Ada banyak pintu yang dapat kita
masuki untuk merasakan kehadiran Allah. Kunjungilah kaum proletar (pinggiran).
Ketuklah ‘pintu rumah Allah’ pada sepertiga malam, saat yang sangat mustajab
untuk mengadu atas semua penderitaan yang kita alami. Berkaitan dengan hal ini
orang bijak pernah mengemukakan; “Persembahkanlah apa pun yang menjadi
‘milikmu’ secara keseluruhan, tenaga, pikiran, perasaan, emosi, jiwa, raga,
kekuatan, dan kelemahanmu, kepada Allah.” Katakanlah, “Inilah, Allah, ini
semua milik-Mu. Lakukanlah denganku apa yang menjadi kehendak-Mu.”
Allah
yang Maha baik itu, sangat memahami perilaku kita sebagai bagian dari Bani
Adam. Sebagian besar diantara kita memiliki prilaku sangat malas hijrah dari
cangkang comfort zone (kawasan aman resiko). Boleh jadi karena itulah, Allah
mendidik kita dengan rangkaian bencana kemanusiaan agar kita tersadar dari
kemalasan, bangkit dari keterpurukan, dan tidak lagi menjadi bangsa yang
kerdil seraya menunggu lotere keberuntungan.
Ketika
Derita Berakhir Kedamaian
•
Timbulkan kesadaran dalam diri kita, bahwa penderitaan itu
mengandung multi vitamin yang menyehatkan pikiran, mental, emosi, spiritual,
jiwa, dan raga.
•
Berdoalah kepada Allah dengan lebih khusuk, agar terbebas dari
penderitaan. Sesuai dengan janji Allah, bahwa Dia akan mengabulkan doa hambanya
(QS. al-Baqarah (Sapi Betina) [2]:186).
•
Agar doa kita terkabul, berusahalah terus menerus untuk selalu
beriman kepada Allah dan berada dalam kebenaran. (QS. al-Baqarah (Sapi Betina)
[2]:186).
•
“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagi kamu.
Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku akan
masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS. al-Mu’min (Orang yang
Beriman [40]: 60)
Post a Comment