I Chapter
Introduction
Spirituality, yes; Organized
Religion, No!
John Naisbitt dan Patricia Aburdene
Modernisme yang diawali oleh Descartes
dan Newton melahirkan pandangan hidup mekanistik dan atomik. Dia tergambar
dengan kemajuan teknologi dan pesatnya industrialisasi. Di samping berbagai
efek positifnya, modernisme juga melahirkan perombakan pola kognitif manusia.
Mekanisme kehidupan masyarakat berubah menuju orientasi materi. Kehidupan
keseharian seseorang dihabiskan dengan curahan perhatian yang “religiously” untuk materi. Defenisi
“sukses” dalam perbendaharaan kamus manusia modern selalu identik dengan
penampilan fisik lahiriah dalam bidang material.[1]
Akibat dari ketidakseimbangan itu
dapat dijumpai dalam realitas kehidupan dimana banyak manusia yang sudah hidup
dalam lingkup peradaban modern dengan menggunakan berbagai teknologi bahkan
teknologi tinggi sebagai fasilitas hidupnya, tetapi dalam menempuh kehidupan,
terjadi distorsi-distorsi nilai kemanusiaan, terjadi dehumanisasi yang
disebabkan oleh kapasitas intelektual, mental, dan jiwa yang tidak siap untuk
mengarungi samudera atau hutan peradaban modern. Mobilnya sudah memakai Mercy,
tetapi mentalnya masih becak, alat komunikasinya masih memakai bahasa isyarat
tangan, menu makanan yang dipilihnya pizza dan ayam kentucky, tetapi wawasan
gizinya masih kelas oncom. Kekayaan, jabatan, dan senjata yang dimilikinya
melambangkan kemajuan, tetapi jiwanya kosong dan rapuh.[2]
Gambaran kehidupan masyarakat modern
di atas, ternyata membuat manusia kehilangan kesahduan hidup, seni menghormati
hidup, dan krisis identitas. Justru kerinduan akan ketentraman batin dan
dambaan akan kebahagiaan jiwa semakin menggelembung. Etos kemakmuran jasmani
ternyata secara efektif menyuburkan kegersangan dan kehausan rohaniah. Oleh
karena itulah manusia mulai tertarik untuk mengetahui siapa dirinya
terutama ketika berada dalam puncak-puncak kebahagiaan, kesedihan, ketakutan,
kegagalan, dan keberhasilan. Tetapi dalam batas-batas tertentu, meskipun
manusia itu makhluk yang memiliki dimensi jiwa dan raga, tetapi pertanyaan yang
berkepanjangan adalah di seputar jiwanya, diseputar rohaninya, dan sebagaimana
yang diakui banyak ahli, meskipun sudah dicarikan jawabnya dalam lintas
psikologi, sufisme, dan juga filsafat, tetapi tentang manusia belum mencapai
kemajuan berarti, seperti yang telah dicapai oleh pengetahuan lainnya.
Pertanyaan tentang manusia pada hakikatnya- seperti yang dikatakan oleh Alexis
Careel- hingga kini masih tetap tanpa jawaban.[3]
Tidaklah berlebihan kalau spiritualitas
semakin digandrungi oleh masyarakat kontemporer dewasa ini. Sebagai penawar
bagi krisis spiritual manusia kontemporer yang sudah terlalu jauh terbawa arus
materialistis, sehingga tercapai suatu kehidupan yang seimbang antara dua aspek
pentingnya: material dan spiritual, dunia dan akhirat. Hal ini semakin
menguatkan nubuat William James seorang psikolog terkemuka abad-20. Dalam
sebuah bukunya yang terkenal, Varieties of Religious Experience
yang terbit di tahun-tahun pertama abad 20. Dia menyatakan bahwa, sebagai
makhluk sosial, manusia tidak akan menemukan kepuasan kecuali jika ia
bersahabat dengan “Kawan Yang Agung” (The Great Socius). Tentu Kawan Agung yang dimaksud adalah Tuhan.
[1] Ahmad Najib
Burhani, Sufisme Kota: Berpikir Jernih
Menemukan Spiritualitas Positif, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001), cet
ke-1, h. 177
[2] Achmad
Mubarak, Manusia Modern Mendamba Allah:
Renungan Tasawuf Positif, (Jakarta: Hikmah, 2002), cet ke-1, h. 168
[3]Achmad
Mubarok, Jiwa dalam al-Qur’an:Solusi
Krisis Keruhanian Manusia Modern,(Jakarta: Paramadina, 2000), cet ke-1, h.
x
Post a Comment
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.