“Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju ke mana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. Dan sesungguhnya pahala di akhirat itu lebih baik, bagi orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa.”
(QS.
Yusuf [12]: 56-57)
Mark L. Rosen, penulis buku Thank You for
Being such a Pain, memuat trik-trik bagaimana menghadapi orang-orang yang
menyusahkan. Dia menjelaskan bahwa kita jangan mudah terpancing dengan pola
tingkah mereka, fokuslah pada sisi positifnya saja, karena kehadiran mereka
tetap dibutuhkan untuk pertumbuhan kepribadian kita.
Sebenarnya dalam literatur Islam atau pun
dalam agama-agama samawi lainnya, terdapat banyak kisah-kisah serupa seperti
dalam buku Mark L. Rosen, di antaranya, sebuah kisah perjalanan panjang
seorang hamba pilihan yang sejak kecil bergumul dengan orang-orang yang
menyusahkan. Namun karena kesabaran dan ketulusannya dalam menjalani hidup. Akhirnya
dia terbebas dari virus perusak yang ditebarkan oleh orang-orang yang
menyusahkannya. Beliau adalah Nabi Yusuf. Sejak usia sangat belia, dia sudah
harus menghadapi orang-orang menyusahkan yang justru datang dari kalangan
keluarganya sendiri.
Pada masa kanak-kanak Nabi Yusuf sudah
ditinggal wafat ibunda tercintanya. Dia tinggal dan dibesarkan oleh ayahnya
bersama adik, serta saudara-saudara tirinya. Sejak usianya masih sangat
belia, Nabi Yusuf sudah menerima perlakuan kasar serta tidak menyenangkan dari
saudara-saudaranya. Ditambah lagi, keakraban Nabi Yusuf dengan ayahnya Nabi
Ya’qub semakin menambah kecemburuan yang bersarang dalam diri
saudara-saudaranya. “Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih
dicintai oleh ayah kita dari pada kita sendiri.” (QS.
Yusuf [12]: 8). Sehingga mereka bermaksud untuk
mengenyahkan Yusuf dalam kehidupan mereka, dengan cara yang keji. Mereka
melemparkan Yusuf kecil ke dalam sebuah sumur. Saudara-saudaranya yang
seharusnya menjaga, merawat serta menyayanginya justru berlaku jahat padanya.
Beruntung Nabi Yusuf diselamatkan
sekelompok musafir yang secara kebetulan lewat di dekat sumur tempat Nabi Yusuf
dibuang. Namun upaya penyelamatan sekelompok musafir itu bukanlah murni
semata-mata bermaksud menolong. Mereka bermaksud menjual beliau di pasar budak
di Mesir dengan harga sangat murah. Namun untuk kesekian kalinya keberuntungan
berpihak kepada beliau, karena akhirnya beliau dibeli oleh seorang penguasa
Mesir.
Yusuf pun hidup bahagia dalam istana
megah dan penuh kemewahan. Perlahan-lahan dia tumbuh menjadi pemuda tampan
yang memiliki dayak tarik luar biasa serta memiliki akhlak yang sangat mulia.
Tidak berlebihan kalau salah seorang isteri pejabat Mesir jatuh hati pada
kebaikan dan ketampanannya. Nabi Yusuf kembali dihadapkan pada ujian yang
sangat berat. Dia harus mengatasi rayuan maut dari istri seorang pejabat
terkemuka Mesir.
Zulaikha demikian nama wanita tersebut.
Dia mengenakan pakaian yang paling indah, dan berhias secantik mungkin bermaksud
menggoda Yusuf. Tetapi Yusuf sama sekali tidak meresponnya. “Wanita yang
Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya)
dan dia menutup pintu-pintu seraya berkata, ‘marilah ke sini” (QS. Yusuf [12]:
23). Sangat jelas melalui ayat ini betapa Zulaikha dibuai pesona ketampanan
Yusuf. Puncak keterpesonaannya, Zulaikha memanggil Yusuf seraya berkata,
“Marilah ke sini.”
Boleh jadi kita seperti Zulaikha. Kita
terpesona pada hal-hal yang fatamorgana. Lihatlah diri kita, betapa kita
terpesona akan kedudukan tinggi, gelar akademik, kekayaan, kemewahan, dan
kepopuleran. Padahal kedudukan tinggi akan berakhir, gelar akademik tidak
kekal, kekayaan akan berkurang, kemewahan akan menghilang, dan kepopuleran akan
memudar. Apabila maut sudah datang menjemput, maka tidak ada yang abadi dan
hakiki selain Allah semata. Karena itu mengapa kita sia-siakan sisa hidup ini
hanya untuk mengagumi sesuatu yang akan lenyap dan pudar. Singkirkanlah rasa
takjub kita kepada hal-hal yang akan layu dan mati, serta berjalanlah
menuju-Nya. Boleh jadi di ujung perjalanan nanti, kita akan terkejut melihat
keindahan-Nya yang hakiki nan abadi.
Ketika dengan sangat santun Yusuf menolak
rayuan Zulaikha, dia malah mendapat fitnah hendak melakukan perbuatan tidak
senonoh dengan istri pejabat tersebut. Akhirnya nasib beliau harus berakhir di
balik terali besi bersama para narapidana yang lain.
Meskipun menghadapi berbagai macam
cobaan, hinaan, serta kehidupan yang menyakitkan, dalam ego terdalam Nabi Yusuf
tidak pernah terbetik sedikitpun untuk berprasangka buruk pada kebaikan dan
pertolongan dari Allah yang Maha baik. Dia selalu memelihara iman dan taqwa
dalam relung hatinya. Dia selalu berbaik sangka pada ketentuan Allah.
Kesabaran dan ketulusan Nabi Yusuf untuk
terus-menerus hidup di bawah bimbingan Allah akhirnya membuahkan hasil yang
gemilang. Pada akhirnya beliau mampu menduduki tampuk kepemimpinan prestige di
Mesir. Nabi Yusuf menjadi menteri dari raja yang pertama. Dia memulai dakwahnya
di jalan Allah dari atas panggung kekuasaan. Dia melaksanakan rencana Allah dan
menunaikan perintah-Nya.
Subhanallah,
rasanya tidak cukup dilukiskan dengan kata-kata setiap mengenang rangkaian
ujian keimanan yang ditimpakan kepada Nabi Yusuf. Sejak usia sangat belia
beliau harus terpisah dari kedua orang tuanya, dibuang ke dalam sumur, sampai
akhirnya diperdagangkan sebagai budak. Tidak hanya sampai di situ, dia juga
harus mengendalikan gejolak hawa nafsunya dari godaan rayuan wanita cantik
bangsawan kerajaan pula. Dia pun terpaksa mendekam masuk dalam penjara karena
difitnah.
Kalau seandainya cobaan seperti ini diterima oleh saya dan anda,
mungkin kita sudah sangat putus asa akibat penderitaan yang begitu membuat
sengsara dan menyesakkan dada. Namun hal itu tidak berlaku bagi Nabi Yusuf,
karena dia adalah seorang hamba yang memiliki keyakinan dan keimanan yang
mantap.
Cobalah
simak dengan seksama, bagaimana alur emosi antara Yusuf dan saudara-saudaranya
tatkala mereka bertemu kembali dalam kondisi dan situasi yang sangat berbeda.
Kala itu Nabi Yusuf sudah menjadi seorang Pejabat teras istana terpandang.
Sedangkan saudara-saudaranya dalam posisi dhua’afa yang memohon bantuan.
Sekalipun saudara-saudaranya pernah berlaku tidak manusiawi terhadap Nabi
Yusuf tetapi beliau tidak menaruh dendam sedikitpun kepada mereka. Sebaliknya
dengan suka rela Yusuf mengulurkan kedua tangannya membantu mereka.
Demikianlah sikap seseorang yang memiliki
kepribadian pemaaf, baik sangka, serta pribadi yang tulus menolong sesama.
Dia tidak akan pernah kehilangan kebeningan hati dan ketulusan dalam berbagi.
Dia tidak akan menyerah dan putus asa pada bisikan hawa nafsunya hanya karena
sebuah musibah yang menerpanya.
Melalui sekelumit kisah Nabi Yusuf, Allah
secara tidak langsung hendak mengajarkan kepada kita, bahwa orang-orang yang
berserah diri sepenuh hati kepada-Nya, dapat memberikan maaf terhadap
kesalahan orang lain, dimampukan berbaik sangka pada ketetapan Allah, serta
dengan tulus ikhlas membantu orang yang pernah menyakitinya. Selain itu kita
juga sangat dilarang berbuat serakah untuk mendapatkan kemuliaan hidup di
dunia, apalagi sampai gelap mata menerobos garis demarkasi ketetapan Allah.
Pribadi pemaaf yang mendarah dalam diri
Nabi Yusuf telah menghantarkan beliau mencapai titik keseimbangan alami
antara jasmani, jiwa, dan pikiran, sehingga beliau berhasil mencapai puncak
ketenangan batin. Keseimbangan ini merupakan suatu kesatuan equilibrium yang
akan menghasilkan vital force (kekuatan sangat penting).
Vital force merupakan kekuatan alami yang
dahsyat untuk menangkal berbagai gangguan kesehatan. Dari situ kemudian dapat
dijelaskan apa hubungannya daya tahan tubuh dengan gaya hidup sehat dan memberi
maaf, karena memaafkan kesalahan orang lain adalah bagian dari gaya hidup
sehat dan salah satu bentuk membangun kekuatan vital force.
Gerald G. Jampolsky dalam bukunya, Love
is Letting Go of Fear mendefenisikan memberi maaf, baik sangka, dan ketulusan
menolong sesama adalah sarana untuk mengubah persepsi kita dan mengusir
ketakutan, penilaian buruk, dan kesedihan hati. Memberi maaf tidaklah
melukiskan sebuah posisi superior dan inferior antara yang memaafkan dengan
yang dimaafkan, tentu tidak bisa juga diartikan mentolelir tingkah laku orang
lain yang di luar kewajaran.
Pantaslah jika Nabi Yusuf memperoleh
posisi terhormat dalam ajaran Islam. Hal itu tergurat jelas dalam salah satu
hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari hadis Abu Hurairah, dia berkata:
“Rasulullah, pernah ditanya tentang siapakah orang yang paling mulia? Beliau
bersabda: ‘Orang yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang paling
bertakwa.’ Mereka berkata: ‘Bukan hal itu yang kita tanyakan kepadamu.’ Maka beliau
bersabda: ‘Orang yang paling mulia adalah Nabi Yusuf bin Nabiyullah (Ya’qub)
bin Khalilullah (Ibrahim).” (HR.
Bukhari).
Lewat kisah Yusuf ini, Allah menunjukkan
akibat baik yang menyembul dari sikap sabar, pemaaf, baik sangka, dan menolong
sesama. Dan dapat pula kita petik pelajaran bahwa setiap penderitaan yang
dihadapi dengan ketabahan akan berakhir dengan kebahagiaan. Nabi Yusuf, maupun
Ayahnya Nabi Ya’qub, telah berhasil melewati ujian teramat berat dengan
ketabahan, kesabaran, dan sikap saling memaafkan. Sebagai imbalannya Allah
mengganti penderitaan yang dihadapi Nabi Yusuf dan Ayahnya dengan menyatukan
mereka kembali, serta perlahan-lahan penglihatan Nabi Ya’qub membaik seperti
semula.
Rahasia Mencapai Ketenangan
Batin
• Janganlah
kita sia-siakan sisa hidup ini hanya untuk mengagumi sesuatu yang akan lenyap
dan pudar. Singkirkanlah rasa takjub kita kepada hal-hal yang akan layu dan
mati, dan berjalanlah menuju-Nya. Boleh jadi di ujung perjalanan nanti, kita
akan terkejut melihat keindahan-Nya yang hakiki nan abadi.
• Milikilah
kepribadian pemaaf, baik sangka, serta akhlak yang tulus menolong sesama.
Karena jiwa yang pemaaf, dia akan selalu berada dalam kebahagiaan, ketulusan,
serta penuh persahabatan. Sedangkan Jiwa yang tidak dapat memberi maaf,
adalah jiwa yang terbelenggu dalam bingkai permusuhan, angkara murka, serta
rasa dendam yang tak berkesudahan.
• Ingatlah
olehmu dua perkara, yaitu kesalahanmu pada orang lain dan kebaikan orang
padamu. Lupakanlah dua perkara, yaitu kebaikanmu pada orang lain dan
kesalahan orang lain padamu.
Post a Comment