“Sesungguhnya, Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali, bukanlah dia termasuk orang-orang yang menyekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya pada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. Kemudian, Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), “Ikutilah agama Ibrahim, seorang yang hanif” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang menyekutukan Tuhan.”
Nabi ibrahim dan istrinya Saydah Hajar
baru saja mendapat anugerah dari Allah berupa kehadiran seorang bayi mungil
di tengah-tengah kehidupan mereka, yang telah lama mereka rindukan kehadirannya.
Bayi mungil nan lucu itu diberi nama Ismail. Baru saja Nabi Ibrahim mereguk kebahagian
dengan lahirnya buah hati terkasih yang ia nantikan puluhan tahun. Allah
memerintahkan Ibrahim pergi ke Kan’ân. Itu pertanda ia harus segera pergi
meninggalkan istri dan anaknya tercinta. Ibrahim tidak sampai hati
meninggalkan istri dan anaknya di padang pasir gersang nan tandus- sepanjang
mata memandang terlihat hanyalah bentangan padang pasir. Namun apa hendak dikata,
karena ini merupakan perintah Allah tidak ada pilihan lain, Nabi Ibrahim sangat
memahami apa pun yang menjadi perintah Allah itu adalah yang terbaik.
Setelah sekian lama berpisah dengan anak
dan istrinya tercinta, Ibrahim mendapat restu Allah menjumpai mereka. Namun,
kebersamaan yang baru saja dirasakan Ibrahim beserta keluarga tercintanya
tidak berlangsung lama. Allah kembali menguji keimanan dan kecintaan Ibrahim
kepada-Nya. Dengan memerintahkan Ibrahim menyembelih putra kesayangannya.
Subhanallah, sungguh sebuah ujian teramat
berat bagi Ibrahim. Terlebih lagi ia baru saja berkumpul dengan istri dan
anaknya setelah berpisah sekitar dua belas tahun lamanya. Ibrahim dihadapkan
dua pilihan yang sulit, dia tetap mencintai Allah dengan melaksanakan
perintah-Nya atau menuruti hawa nafsunya mencintai dunia dengan mengabaikan
perintah Allah.
Namun sebuah kebijaksanaan yang luhur
ditunjukkan Nabi Ibrahim tatkala perintah penyembelihan putranya Ismail. Ia
tidak buru-buru mengambil keputusan melainkan mendiskusikannya dengan
Ismail, karena ini menyangkut nasibnya. Dialog keduanya terekam dalam surat
ash-shaffat, “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha
bersama-sama Ibrahim. Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat
dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia
menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang di perintahkan kepadamu; insya
Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (QS. ash-Shaffat [37]: 102).
Sikap demokratis yang dipertontonkan
Ibrahim menjadi pelajaran penting bagi para orang tua dalam mendidik dan
mengasuh anaknya. Karena sering kita jumpai, adanya sebagian orang tua yang
dalam mendidik anak-anak mereka masih mengajarkan untuk bergantung pada
pendapat orang lain daripada pendapatnya sendiri. Padahal sebagai bagian dari
umat Islam, seyogyanya kita meneladani Nabi Ibrahim dalam mendidik dan
membesarkan anak sebagai titipan Allah. Kejadian seperti ini pernah dialami
oleh Kahlil Gibran, Sang Maestro Sastra Arab. Tatkala puisi-puisinya dicemooh
dan ditertawakan ayah kandungnya. Mungkin dari penolakan ayahnya itulah Gibran
menuliskan dalam bukunya The Prophet (Sang Nabi), mengenai kebebasan seorang
anak. “Anakmu tidaklah sama seperti dirimu, mereka adalah putra dan putri
kehidupan yang mempunyai dunia yang berbeda denganmu. Mereka terlahir dari kamu
namun mereka bukan milikmu. Sekalipun mereka hidup bersamamu, namun kamu tidak
berhak menentukan hidup mereka.”
Ribuan tahun silam sebelum orang mengenal
The Prophet (Sang Nabi) karya Sang Maestro Kahlil Gibran, Ibrahim sudah lebih
dulu mengajarkan, bagaimana orang tua harus menghargai pendapat orang lain,
sekalipun dia anaknya sendiri. Jauh sebelum orang membaca buku Your Erroneus
Zones karya Wayne D. Dyer, Nabi Ibrahim sudah lebih dulu mengajarkan bagaimana
memberikan penghargaan dalam kehidupan berkeluarga.
Sebuah kesabaran dan ketulusan yang sulit
dilukiskan untuk kesekian kalinya, di pertontonkan Ismail tatkala dengan ketundukan
dan kepatuhan kepada Allah, ia menganjurkan kepada ayahnya untuk menaati
perintah Allah. Padahal perintah itu berkaitan dengan kelangsungan hidupnya.
Sungguh sebuah kepribadian yang langka, ditengah-tengah kehidupan masyarakat
modern yang gampang sekali menggadaikan akidahnya dengan harga yang sangat
murah. Hanya karena takut dibilang ketinggalan zaman orang begitu berani
membuang iman dalam hatinya. Agaknya kita perlu merenung sejenak di tengah-tengah
kejenuhan dan kepenatan kehidupan metropolis ini. Untuk mengintropeksi diri,
bertanya kepada diri sendiri, benarkah kita sudah mencintai Allah di atas
segalanya atau justru sebaliknya, ada udang di balik batu.
Ibrahim dan Ismail telah menunjukkan
kapasitas dan kualitas mereka sebagai hamba pilihan. Mereka percaya bahwa ketentuan
Allah adalah yang terbaik. Karena ketentutan Allah selalu berkiblat pada
kebaikan bagi manusia untuk tetap beriman kepadanya. Bukan kepada kalkulasi
dagang untung rugi yang bersifat duniawi. Beruntunglah sebuah bangsa yang dipimpin
oleh mereka yang punya kepekaan nurani, akal sehat, dan ketulusan seperti
Ibrahim dan Ismail.
Tatkala keduanya telah benar-benar taat
dan berserah diri, maka Allah menyeru Ibrahim dan seraya memujinya karena
telah melaksanakan ujian yang amat berat yang ditimpakan kepadanya. Kemudian
Allah mengganti sembelihan itu dengan seekor kambing yang gemuk, sehat, dan
besar. Kesabaran yang diperlihatkan kedua Nabi ini kisahnya telah diabadikan
Allah dalam al-Qur’an. Ibrahim dan keluarganya mengajarkan kepada kita
bagaimana mencintai Allah setulus hati dan sepenuh jiwa tanpa persyaratan apa
pun.
Demi cintanya kepada Allah, Ibrahim
ikhlas berkurban secara holistik (menyeluruh) untuk mensyi’arkan agamanya.
Karena ketulusan cintanya kepada Allah Saydah Hajar ikhlas merawat dan
membesarkan anaknya di tengah kesunyian padang pasir yang nyaris tanpa harapan,
dalam waktu yang tidak singkat. Pengorbanan yang besar pun ditunjukkan Isma’il
untuk berbakti kepada Allah dan kedua orang tuanya. Jadi, tidaklah berlebihan
kalau orang bijak mengungkapkan love is sacrifice.
Sebagai bukti kemuliaan pengorbanan Nabi
Ibrahim dan keluarganya, kisah pengorbanan mereka diabadikan dengan
penyembelihan hewan qurban pada Hari Raya Idul Adha. Hari Raya Idul Adha adalah
simbol untuk menumbuhkan sense of sacrifice, (jiwa yang mau berkurban) bagi
seluruh umat manusia. Semangat berkurban seyogyanya tidak berhenti pada ritual
memotong hewan kurban dan membagi-bagikannya kepada orang yang berhak
menerimanya. Namun lebih dari itu, spirit berkurban lebih mengarah pada
tumbuhnya kesadaran holistik
(menyeluruh) yang positif dan humanis pada diri seseorang.
Setiap orang tentu ingin mengisi waktu
yang tersisa dalam hidupnya bertabur prestasi. Prestasi itu sulit untuk diraih,
bila ia tidak mau berjuang. Karena makna hidup itu sendiri adalah perjuangan,
anugerah, permainan, dan amanat. Tidak ada kehidupan tanpa perjuangan. Namun,
dalam perjuangan itu seseorang dituntut untuk berani berkorban. Karena
pengorbanan itu adalah harga yang harus dibayar untuk memperoleh sebuah
keberhasilan. Meminjam ungkapan orang bijak, “There is no success without
sacrifice.”
Makna Terindah Sebuah Ketulusan
• Keluarga
Nabi Ibarahim adalah profil keluarga yang benar-benar memiliki ketulusan dan
keikhlasan yang sempuna dalam mencintai Allah. Seorang Muslim diperintahkan
untuk mencitai Allah. Sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadits. “Tidak
beriman seseorang diantaramu hingga Aku lebih dicintai olehnya dari pada
anaknya dan orang tuanya serta manusia seluruhnya.” (HR Bukhari Muslim)
• Sesungguhnya
yang kita cari di dunia ini bukanlah gemuruh tepuk tangan, akan tetapi
bagaimana kita dapat merengkuh keridhaan Sang Khaliq. Karena kalau kita berani
jujur, itulah puncak tertinggi dari kebahagiaan yang sejati.
• Setiap
orang tentu ingin mengisi waktu yang tersisa dalam hidupnya bertabur prestasi.
Prestasi itu sulit untuk diraih, bila ia tidak mau berjuang. Karena makna hidup
itu sendiri adalah perjuangan, anugerah, permainan, dan amanat. Tidak ada
kehidupan tanpa perjuangan. Namun, dalam perjuangan itu seseorang dituntut
untuk berani berkorban. Karena pengorbanan itu adalah harga yang harus dibayar
untuk memperoleh sebuah keberhasilan. Meminjam ungkapan orang bijak, “There
is no success without sacrifice.”
“Dijadikan
indah bagi manusia kecintân kepada aneka syahwat, yaitu wanita-wanita,
anak-anak lelaki, harta yang tidak terbilang lagi berlipat ganda dari jenis emas,
perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik.”
(QS. Ali-Imrân (Keluarga ‘Imran) [3]:14)
Post a Comment