BAB I
PENDAHULUAN
A.
Sejarah
Munculnya Aliran Teologi Wahabi
Aliran Teologi Wahabi muncul di
penghujung abab ke-18 di semenanjung jazirah Arabiyah dan terkait erat dengan
kondisi dunia Islam saat itu. Seperti terekam dalam sejarah, masa keemasan
Islam mulai runtuh bersamaan dengan semakin lemahnya tiga kerajaan besar Islam
terakhir, Usmani di Turki, Safawi di Persia, dan Mughal di India pada rentang tahun 1500-1800 Masehi.
Efektivitas
tiga kerajaan tersebut mulai menurun pada akhir abad delapan belas dan runtuh
pada abad sesudahnya. Meskipun Usmani baru berakhir pada awal abad dua puluh,
kekuasaannya sepanjang abad Sembilan belas tidak lagi mengakar. Berhadapan
dengan kekuatan Eropa yang semakin meningkat, Usmani akhirnya runtuh dan
digantikan oleh sistem pemerintahan modern. Sejak itu masyarakat Muslim di
seluruh dunia masuk dalam situasi kemunduran.[1]
Dalam
situasi kemunduran Islam itu, lahirlah gerakan Wahabi yang dipelopori Muhammad
Ibn Abd Wahhab di jazirah Arab, yang penekanannya lebih pada pemurnian ajaran
Islam dengan corak gerakan yang terbilang keras. Muhammad Ibn Abd Wahhab ingin
mengembalikan Islam pada sumbernya yang asli yaitu Al-Qur’an dan Hadits Nabi
yang shahih, serta sekaligus melakukan gerakan pemberantasan terhadap
praktik-praktik syirik, bid’ah, dan khurafat yang meluas kala itu secara
langsung dan keras, seperti pemusnahan bangunan-bangunan kuburan yang
dikeramatkan.
Wahabi
juga secara positif menekankan syariah, menentang sufisme, faham-faham mistis,
filsafat Islam dan hampir keseluruhan tradisi intelektual Islam. Maka
berkembanglah sebuah “rasionalisme” yang dipadukan dengan “puritanisme”,
berdasarkan suatu sikap yuridis dan teologis yang banyak dipengaruhi oleh
tulisan-tulisan Ibn Taimiyah beserta pengikut-pengikutnya, dan mempersempit kehidupan
intelektual Islam yang luas menjadi sebuah porsi kecil dari keluasan
tradisionalnya yang semula.[2]
Menurut Wahabi, tauhid yang diajarkan
Nabi Muhammad Saw telah diselubungi khurafat dan paham kesufian. Masjid-masjid
banyak ditinggalkan karena orang lebih cenderung menghias diri dengan azimat,
penangkal penyakit, dan tasbih. Mereka belajar pada seorang fakir atau darwis
serta memuja mereka sebagai orang-orang suci dan sebagai perantara mencapai
Tuhan. Dalam keyakinan mereka Tuhan terlalu jauh untuk dicapai manusia melalui
pemujaan secara langsung. Tidak hanya kepada guru yang masih hidup, kepada yang
sudah mati pun mereka memohon perantaraan. Sebagian umat sudah meninggalkan
akhlak yang diajarkan al-Qur’an, bahkan banyak yang tidak menghiraukan lagi. Kota-kota
suci Mekah dan Madinah telah menjadi tempat yang penuh dengan penyimpangan
akidah, bid’ah, dan khurafat.[3]
Tumbuh suburnya prilaku keagamaan
semacam ini sesuai dengan tingkat kesejahteraan kebanyakan umat. Kekacauan
politik telah menyebabkan timbul di segala tempat. Sistem kabilah merupakan
tradisi lama bagi mayoritas penduduk Najd (wilayah bagian tengah Arab Saudi)
dan kebanyakan penduduk Semenanjung Arabia. Kabilah-kabilah yang kuat dapat
menguasai jalur perdagangan, sedangkan penduduk pada umumnya berada dalam
kekurangan. Pertanian dan peternakan yang merupakan mata pencarian utama
kebanyakan penduduk tidak dapat menjamin kehidupan ekonomi mereka. Hal ini
disebabkan keamanan yang rawan akibat dari kekacauan, peperangan, dan
perampokan yang dilakukan oleh kabilah-kabilah lain. Akibatnya, penduduk Najd
dan Semenanjung Arabia kebanyakan hidup dalam kemiskinan. Ditengah kancah kehidupan yang demikian
lahirlah Wahabi sebagai gerakan keagamaan yang berusaha memurnikan agama Islam
dari segala pemahaman dan praktek yang sudah menyimpang dari tuntunan yang
sebenarnya.[4]
Post a Comment