BAB II
MENGENAL SOSOK PENDIRI TEOLOGI WAHABI
MENGENAL SOSOK PENDIRI TEOLOGI WAHABI
A. Riwayat Hidup dan Perjalanan Studi Muhammad Ibn Abd Wahhab
Kata Wahabi bila kita dirunut dari asal katanya mengacu kepada tokoh ulama besar di tanah Arab yang bernama lengkap Muhamad Ibn Abd Wahhab At-Tamimi Al-Najdi (1115-1206 H atau 1703-1791 M). Beliau lahir di Uyainah dan belajar Islam dalam mazhab Hanbali. Beliau belajar Fiqih pertama kali pada ayahnya sendiri tentang fiqih madzhab Hanbali, tafsir, dan hadits.
Beliau hafal al-Qur’an pada usia 10 tahun, kemudian beliau ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, selanjutnya ke Madinah untuk belajar ilmu agama pada Syaikh Muhammad al-Sindi (1165 H) Penulis Hasyiah Shahih Bukhari. Setelah belajar ilmu agama secara mendalam, Muhammad Ibn Abd Wahhab menjadikan Ibn Taimiyah sebagai rujukan pemikirannya, terutama dalam bidang tauhid, serta menyandarkan fikihnya pada Imam Ahmad Ibn Hanbal.
Dia berusaha keras untuk menghidupkan kembali ajaran Salaf al-Shalih.[1] Muhammad Ibn Abd Wahhab sempat berkelana dan menimba ilmu ke Madinah, Makkah, Basrah, dan Persia, untuk kemudian kembali ke kota kelahirannya dengan semangat kemarahan terhadap praktik-praktik Islam yang dinilainya penuh penyimpangan. Sejak kepulangannya dari perjalanan di sejumlah daerah di luar Najd, Muhammad Ibn Abdul Wahhab berkeinginan kuat untuk mengembalikan umat Islam pada ajaran Islam yang murni yakni Islam sebagaimana dipraktikkan sejak zaman Nabi hingga generasi sahabat dan tabi‘in pada abad ketiga Hijriyah.
Pemuda dari Najd ini benar-benar gundah menyaksikan praktik-praktik Islam terutama di bidang akidah di daerah-daerah yang dikunjunginya banyak dicemari oleh kemusyrikan, pemujaan terhadap para wali, dan pengeramatan kuburan-kuburan. Muhammad Ibn Abd Wahhab juga prihatin dengan taklid yang menimpa umat Islam kala itu, dan menggelorakan kembali dibukanya pintu ijtihad, kendati untuk gerakan ini tidak begitu menonjol sebagaimana Ibn Taimiyah dan pembaharu sesudahnya, karena tekanan Wahabi tampaknya jauh lebih ke gerakan kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang bersifat pemurnian. Pada saat itu umat Islam selain banyak mempraktikkan syirik, bid‘ah, tahayul, dan khurafat; serta berkembangnya tasawuf yang dipandang mencemari kemurnian tauhid dan memperlemah vitalitas hidup kaum muslimin. Wahhab bahkan sangat gundah dengan penyimpangan aqidah umat Islam itu. Dalam kaitan inilah corak pembaruan yang bersifat pemurnian menjadi fokus utama pembaruan Muhammad Ibn Abd Wahhab.
B. Mazhab dan Dasar Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab
Pada dasarnya Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahab dalam masalah furu’, beliau bermadzhab Hanbali, hanya saja dalam fatwa-fatwanya tidak selalu terpaku dengan fatwa Imam Ahmad bin Hanbali bila ditemukan dalil yang lebih kuat, dan cara ini sama seperti yang ditempuh oleh para ulama Ahlus-sunnah wal jamaah. Melihat langkah Syaikh yang demikian ini para pengikutnya menyatakan bahwa Syaikh tidak bermadzhab, namun itu hanya menurut sebagian pengikutnya yang belum mengerti arti bermadzhab, sedangkan yang benar adalah Syaikh Muhammad Ibn Abd Wahab bermadzhab Hanbali. Para pengikut Syaikh menyerukan agar dibuka pintu ijtihad setelah lama tertutup, sejak jatuhnya Baghdad pada tahun 656 H. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam menetapkan hukum selalu berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah, serta I’jma Ulama dan mengikuti jejak langkah tiga tokoh besar, yaitu:
1. Imam Ahmad Ibn Hanbal (164-241 H) sebagai Madzhab dalam pemikiran Syaikh.
2. Ibnu Taimiyah (661-728 H )
3. Muhammad Ibnul Qayyim al-Jauziyah (691-751 H)
Maka dakwahnya merupakan pantulan dari pemikiran-pemikiran ketiga tokoh Ulama besar tersebut sekaligus merupakan terjemahan dari tujuan-tujuan mereka dalam realitas yang nyata. Dengan watak dan orientasi gerakan pemurnian ajaran Islam yang cenderung sederhana, kaku dan keras. Terlebih lagi Wahabi bekerjasama dengan dinasti Su’ud, maka Wahabi berkembang menjadi aliran gerakan Islam yang menyebar ke berbagai penjuru dunia Islam, terlebih lagi melalui prosesi ibadah haji di mana seluruh umat Islam berdatangan ke dua kota suci (Makkah dan Madinah) tempat Wahabi itu lahir dan tumbuh.
C. Karya-karyanya
Muhammad Ibn Abd Wahhab dapat digolongkan sebagai ulama yang produktif. Hal ini dapat dilihat dari jumlah kitab yang dikarangnya, yang mencapai puluhan judul. Kitab-kitabnya itu antara lain Kitab a-Tauhid, yang isinya antara lain ajaran tentang pemberantasan bid’ah dan khurafat yang terdapat dikalangan masyarakat dan ajakan untuk kembali kepada tauhid yang murni. Kitab-kita lainnya adalah Tafsir Surah al-Fatihah, Mukhtasar Sahih al-Bukhari, Mukhtasar as-Sirah an-Nabawiyyah, Nasihah al-Mudlimin Ibn Ahadis Khatam an-Nabiyyin, Usul al-Imam, Kitab al-Kaba’ir, Kasyf asy-Syubuhat, Salasa al-Ushul, Adab al-Masi ila as-Salah, Ahadis al-Fitah, Mukhtasar Zad al-Ma’ad, dan al-Masa’il al-Lati Khalafa Fiha Rasulullah ahl al-Jahiliyah.[2]
[1]Salaf as-Shalih ialah orang-orang muslim yang hidup sejak zaman Nabi Muhammad Saw sampai abad ke-3 H. Mereka terdiri dari para sahabat, tabiin, tabi’ at-tabi’in dan atba’ at-tabi’in. perhitungan seperti ini mengingat sabda Nabi Saw, “Sebaik-baiknya abad adalah abadku ini, kemudian abad berikutnya, dan abad berikutnya.” Jika aba-abad tersebut dihitung, maka yang pertama adalah masa sahabat Nabi Saw seperti Abu Bakar as-Siddiq, Umar Ibn Khattab, Usman Ibn Affan, Ali Ibn Abi Thalib al-Murtdha, dan sahabat Nabi Saw lainnya; yang kedua adalah masa tabiin dan tabi’ at-tabi’in, seperti, Hasan al-Basri, Abu Hanifah (Imam Hanafi), dan Imam Malik; dan ketiga adalah atba’ at-tabi’in, seperti Imam Syafi’i, Imam Hanbali, Bukhari, Muslim dan lain-lain. Lihat Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar van Hoeve, 1994), h. 203.
[1]Salaf as-Shalih ialah orang-orang muslim yang hidup sejak zaman Nabi Muhammad Saw sampai abad ke-3 H. Mereka terdiri dari para sahabat, tabiin, tabi’ at-tabi’in dan atba’ at-tabi’in. perhitungan seperti ini mengingat sabda Nabi Saw, “Sebaik-baiknya abad adalah abadku ini, kemudian abad berikutnya, dan abad berikutnya.” Jika aba-abad tersebut dihitung, maka yang pertama adalah masa sahabat Nabi Saw seperti Abu Bakar as-Siddiq, Umar Ibn Khattab, Usman Ibn Affan, Ali Ibn Abi Thalib al-Murtdha, dan sahabat Nabi Saw lainnya; yang kedua adalah masa tabiin dan tabi’ at-tabi’in, seperti, Hasan al-Basri, Abu Hanifah (Imam Hanafi), dan Imam Malik; dan ketiga adalah atba’ at-tabi’in, seperti Imam Syafi’i, Imam Hanbali, Bukhari, Muslim dan lain-lain. Lihat Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar van Hoeve, 1994), h. 203.
[2] Ibid., h, 160.
Post a Comment