BAB III
CIRI-CIRI DAN AJARAN POKOK TEOLOGI WAHABI
A. Ciri-Ciri Ajaran Wahabi
Fazlur Rahman menggolongkan Wahabi
sebagai “denyut pertama kehidupan Islam,” setelah Islam mengalami kemerosotan
beberapa abad sebelumnya. Gerakan Wahabi ini oleh Fazlur Rahman dicirikan
antara lain: Pertama, bentuk
keprihatinan yang mendalam atas kemerosotan moral dan sosial masyarakat Muslim.
Kedua, menghimbau kaum Muslim untuk
kembali kepada Islam yang orisinal, yang “murni” (salafiyah), dengan
meninggalkan takhayul-takhayul yang ditanamkan dalam Sufisme, termasuk
kemapanan dan finalitas mazhab-mazhab hukum tradisional. Gerakan ini juga
berusaha melakukan ijtihad, khususnya untuk merenungkan makna pesan orisinal
Islam itu, atau apa yang menjadi prasyarat “Islam murni”. Ketiga, perlunya melakukan pembaharuan yang dipelopori kaum revivalis ini melaui jihad.[1]
Dalam pandangan Mukti Ali, gerakan Muhammad Ibn Abd Wahhab merupakan “usaha pemurnian
yang keras dan sederhana”. Misinya langsung, yaitu kepada Islam klasik. Ia
menolak keterbukaan dan
kelonggaran yang terdapat dalam kehidupan Islam waktu itu. Ia menolak
kehangatan batin dan keshalihan tasawuf. Ia menolak intelektualisme bukan hanya
dalam filsafat tetapi juga dalam ilmu kalam. Ia menolak semua karena
semata-mata menekankan kepada hukum. Hukum klasik yang diikuti oleh Wahabiah
adalah langsung, kaku, mengikuti madzhab Hanbali dengan dibersihkan dari segala
macam bid‘ah yang terjadi dalam perjalanan sejarahnya. Mengikuti hukum secara
penuh, keras dan utuh dan mendirikan masyarakat di mana hukum itu berjalan
itulah Islam, dan lainnya adalah salah.
B.
Pokok-pokok
Ajaran Teologi Wahabi
Sebenarnya inti ajaran yang dibawa
oleh Muhammad Ibn Abd Wahhab sangat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran yang dibawa
oleh Ibn Taimiyah. Cara persuasive
yang dilakukan Ibn Taimiyah dalam mencetuskan ajarannya dirasakan oleh Ibn Abd Wahhab tidak efektif lagi. Maka ia mengambil
sikap keras dengan menggunakan kekuatan.[2]
Ada dua inti ajarannya. Pertama,
kembali kepada ajaran yang asli. Maksudnya adalah ajaran Islam yang dianut dan dipraktekkan oleh Nabi Muhammad Saw, sahabat, dan
para tabi’in.
Kedua, prinsip yang berhubungan dengan masalah tauhid.[3]
Pemikiran yang dicetuskan Muhammad Ibn
Abd Wahhab ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap suasana ketauhidan
yang telah dirusak oleh paham musyrik,
bukan merupakan gerakan politik. Sebagai upaya pemurnian tauhid ini, secara
khusus, Muhammad Ibn Abd Wahhab menyusun Kitab at-Tauhid yang memuat pandangan-pandangannya
sekitar tauhid, syirik, dan lain-lain yang menyangkut masalah akidah Islam.[4]
a.
Tentang Tauhid
Kalangan Wahabi meyakini bahwa kalimat la
ilaha illallah (tiada
Tuhan melainkan Allah) apabila telah dipercayai seseorang, artinya penghapusan terhadap
pujaan selain Allah dan segala bentuk puji-pujian hanyalah milik Allah semata. Dalam
artian bahwa yang boleh dan harus disembah hanyalah Allah, dan orang yang menyembah Tuhan selain Allah
telah menjadi musyrik. Kalangan Wahabi menilai kebanyakan umat Islam pada saat
itu, tidak lagi menganut paham tauhid yang sebenarnya karena mereka meminta
pertolongan bukan lagi kepada Tuhan, tetapi kepada syekh atau wali dan kekuatan kekuatan
ghaib, orang yang demikian tentu telah
menjadi syirik.[5]
Dua tingkat Iman yang menjadi dasar Tauhid yang diajarkan Muhammad Ibn Abd
Wahhab, yakni:
(1)
Tauhid Rububiyah
Tauhid Rububiyah, yaitu meyakini bahwa Tuhan Rabbul Alamin dan Pencipta Jagat Raya ini satu bukan dua, yakni
Allah Swt. Fitrah yang sehat diciptakan dalam pengakuan terhadap-Nya, dan
tunduk kepada-Nya. Juga beriman kepada asma dan sifat-sifatnya sesuai dengan
apa yang disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Jadi, tauhidul asmaa wassifat masuk ke tauhid
Rububiyah secara mujmal
(keseluruhan).[6]
(2) Tauhid Uluhiyah
Tauhid Uluhiyah ialah pengakuan bahwa
Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang wajib disembah. Seluruh langkah, gerak, taqwa, dan permohonan kita, kita
persembahkan dan sampaikan hanya kepada
Allah, tidak kepada yang lain. Hanya Allahlah yang berhak ditakuti, dicintai,
diharap kekuatan dan pertolongan-Nya, sebagai
tempat bergantung dan berserah diri, tempat tujuan dan kepada-Nyalah kita ruku’
dan sujud. [7]
Akibat dari Tauhid Wahabi ini amat besar jurang perbedaannya dengan aliran
faham lain, seperti “aliran tasawuf
dan tarekat”
yang dalam beribadah kepada Allah dengan
jalan berwashilah
kepada guru-guru dan ruh para wali atau ruh-ruh orang yang telah meninggal.
Taqarrub kepada Allah dengan cara dzikir dan wirid yang dahulu tidak pernah
dicontohkan oleh Rasulullah Saw., dengan beribu bacaan Shalawat yang tidak ada
pula contohnya dalam hadits-hadits yang shahih adalah perbuatan terlarang dan haram dilakukan.[8]
Dengan prinsip tauhid semacam ini,
Muhammad Ibn Abd Wahhab menyerang dan memberantas semua “adat kebiasaan buruk” yang terdapat dalam
masyarakat Arab. Menurutnya, orang yang menyembah selain Allah Swt telah
menjadi musyrik karena meminta pertolongan bukan lagi kepada Allah Swt tetapi kepada syekh, wali
atau kekuatan gaib, tawassul (berdoa dengan perantaraan syekh tarekat atau
wali) dengan nama nabi atau malaikat, meminta syafaat selain kepada Allah SWT.[9]
b. Aqidah Muhammad Ibn Abd Wahhab
Aqidah yang dianut Muhammad Ibn Abd
Wahhab sama seperti golongan Ahlu Sunnah wal Jama’ah lainnya yaitu beriman
kepada Allah, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul-Nya, hari kebangkitan
setelah mati dan beriman kepada taqdir yang baik dan buruk. Beriman kepada
sifat Allah yang Dia (Allah) telah mensifati Dzat-Nya sendiri dalam al-Qur’an,
melalui rasul-Nya tanpa merubah-rubahnya. [10] Beberapa
catatan penting dalam aqidah Wahabi di antaranya:
v Menyerukan agar umat Islam berpegang dengan Manhaj
Ahlus-sunnah wal Jama’ah.
v Tidak boleh Taqlid dalam masalah Aqidah.
v Tidak boleh menerima faham dan ajaran aqidah yang tidak
bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah.
v Menetapkan Asma dan sifat Allah seperti yang telah
ditetapkan Allah untuk dirinya sendiri dan telah ditetapkan oleh Rasulullah
tanpa tamtsil (perumpamaan), takyif (membandingkan) dan ta’wil (interpretasi).
v Haram berbicara tentang Allah bila tidak tahu ilmunya,
berdasarkan firman Allah: “Mengada-adakan pada Allah apa yang tidak kamu
ketahui” (al-Araf: 33).[11]
c. Kedudukan Wahyu (al-Qur’an) dan Akal dalam
Pandangan Muhammad Ibn Abd Wahhab
Menurut Muhammad Ibn Abd Wahhab al-Qur’an adalah firman Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Dia (al-Qur’an) bukan merupakan makhluk.
Dari-Nya mulai diciptakan dan kepada-Nya
dikembalikan. Sesungguhnya Allah benar-benar berfirman dengan al-Qur’an itu.[12]
Memperoleh pengetahuan selain dari al-Qur’an, Hadist, dan qiyas (analogi)
merupakan kekufuran dan menafsirkan Al-Qur’an dengan takwil (interpretasi
bebas) adalah kufur, Muhammad
Ibn Abd Wahhab terkesan majassimah
(antropomorfis) karena tidak membolehkan takwil. Sebenarnya dia pun menolak
tajassun (paham antropomorfisme). Dia hanya menerima al-Qur’an secara harfiah
(apa adanya) dan tidak menanyakan lebih lanjut. Mengenai sifat Tuhan, dia
menerima sifat Tuhan itu, tetapi jangan tanyakan bagaimana sifat itu.[13] Menurut
Muhammad Ibn Wahhab al-Qur’an dan as-Sunnah adalah sumber hukum yang utama,
sedangkan akal hanyalah berfungsi sebagai instrument atau alat untuk memahami
maksud-maksud nash. [14]
d.
Meminta Syafa’at (pertolongan) kepada
Orang yang telah Meninggal
Meminta syafaat (pertolongan) selain
kepada Tuhan adalah perbuatan syirik; Praktek ini disinyalir kalangan Wahabi sebagai
pelanggaran kepada aqidah Islam dan merusak tauhid, karena meminta
pertolongan kepada orang yang telah meninggal. Dengan
berbagai dalil orang membolehkan meminta kepada ruh orang yang telah meninggal, atau meminta
kepada Allah dengan perantaraan ruh orang yang telah meninggal. Konon orang yang telah meninggal itu
dekat dengan Tuhan. [15]
Kaum Wahabi berpendapat bahwa orang yang berkata: “Ya Rasulullah, ya Ibn
Abbas, ya Syekh
Abd Qadir
Jailani,” (padahal mereka telah meninggal dunia) dan seterusnya, agar diberi
berkah, minta dihapuskan dosanya, agar ruh-ruh itu memintakan sesuatu kepada
Allah, cara itu semua adalah perbuatan musyrik.[16]
Kaum Wahabi tidak menyangkal adanya hak Nabi untuk memintakan syafa’at
kepada hamba Allah yang diridhai-Nya. Tetapi janganlah minta kepada Nabi
sekarang ini secara langsung baik dari jauh atau di dekat pusara beliau, agar
kelak di alam akhirat
Rasulullah dapat memberi syafa’at kepada si peminta.[17]
Yang diperbolehkan kaum Wahabi dalam masalah ini ialah memohon atau berdoa
kepada Allah agar mengizinkan Nabi Muhammad Saw memintakan syafa’at untuk ummatnya kelak
di hari akhirat. Sebagaimana yang dikemukakan Muhammad Ibn Abd Wahhab, “Saya
beriman kepada syafaat (pembelaan) Nabi Saw. Beliau adalah orang yang pertama
yang dapat memberi syafaat dan merupakan orang yang pertama pula di izinkan
untuk memberi syafaat. Tidak ada yang
tidak percaya kepada syafaat Nabi Saw, melainkan orang-orang yang suka
melakukan bid’ah dan kesesatan. Hanya saja, syafaat itu tidak akan diberikan
kecuali sesudah mendapat izin dan persetujuan Allah.[18]
“Wahai Rasulullah, wahai Nabi, wahai orang yang keramat, tolonglah kami,
berilah kami syafaat besok di akhirat,” doa dan permohonan ini adalah salah dan
syirik. Tidak ada dasar dan hujjah yang dapat dijadikan alasan untuk
membenarkan perbuatan di atas. Maka perbuatan dan keyakinan di atas itu juga syirik terhadap Allah. Adapun
yang diperbolehkan ialah berdoa, “Wahai Allah, mudah-mudahan kelak di akhirat
Rasululllah Engkau izinkan
untuk memintakan syafaat bagi kepentingan kami.”[19]
e.
Bertawasul Dengan Para Wali
Tawasul adalah upaya seorang hamba mendekatkan
diri kepada Allah dengan berwasilah[20] dalam
berdoa. Pada Abad kedelapan Hijriah Ibn Taimiyah melarang umat Islam melakukan
praktek-praktek tawasul (berdoa menggunakan perantara hamba Allah yang dianggap
suci). Dua abad kemudian permasalahan
tawasul semakin serius ketika Muhammad Ibn Abd Wahab menyebut tawassul sebagai
perbuatan yang tidak syar’i dan mengenalkannya bid’ah. Karena terkadang
seseorang bertawassul dengan
kebesaran ras, keramatnya syaikh, kewalian, dan keagungan seseorang. Prilaku
seperti ini dianggap sebagai menyembah para wali. Dan tidaklah perlu dijelaskan bahwa ibadah kepada selain
Allah adalah syirik dan haram. Menyebut nama Nabi, syekh atau malaikat sebagai
perantara dalam doa juga merupakan syirk; Tawasaul terbagi dalam dua bentuk:
- Tawassul dengan dzat Tuhan, seperti jika kita katakan: “Oh Tuhan, aku berperantara kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad Saw, agar Engkau mengabulkan permintaanku.”
- Tawasul dengan maqam dan qurbah (dekatnya) mereka di sisi Allah serta hak mereka, seperti jika kita katakan: “Oh Tuhan, aku berperantara kepada-Mu dengan maqam dan kedudukan Muhammad Saw dan dengan kehormatan dan haknya agar Engkau mengabulkan permintaanku.” Kaum Wahabi menilai kedua bentuk tawassul ini dilarang.
f.
Mencari Berkah dan Meminta Kesembuhan
Melalui Peninggalan-Peninggalan Para Wali
Bertabarruk (mencari berkah), misalnya seseorang yang mencium mihrab atau
mimbar Nabi, sekalipun orang tersebut tidak menuhankan sesuatu yang ia cium
itu, melainkan hanya terdorong oleh rasa cinta kepada pemiliknya, menurut pendapat kaum Wahabi hal itu merupakan
perbuatan syirik.
g.
Membangun Makam Para Wali Menurut Kaum
Wahabi
Di antara masalah-masalah yang paling peka bagi orang-orang Wahabi adalah
masalah membangun makam para nabi, wali-wali dan orang-orang saleh. Yang
pertama kali membahas masalah ini adalah Ibn Taimiyah dan muridnya Ibn Qayyim.
Keduanya berfatwa bahwa membangun kuburan adalah haram, dan dengan demikian
orang harus menghancurkannya. Ibn Qayyim dalam bukunya Zaadul Ma’ad fi Huda Khoiri ‘Ibad mengatakan: “Menghancurkan bangunan
di atas makam hukumnya adalah wajib, dan tidak boleh membiarkannya. Kemudian pemikiran kedua tokoh salafi
ini diadopsi oleh Muhammad Ibn Abd Wahhab menjadi sebuah prinsip-prinsip yang
harus ditaati dan dijalankan oleh kaum Wahabi.
h.
Tentang Ziarah Kubur
Ziarah kubur pada dasarnya
dibolehkan asal dengan maksud yang tidak bertentangan dengan tujuan tauhid, yaitu mengesakan Tuhan. Berziarah untuk mengingat
kefanaan hidup di dunia,
mendo’akan si mati yang muslim,
adalah dibolehkan. Tetapi berziarah kubur dengan maksud minta pertolongan kepada
ruh yang ada di alam
kubur, atau berwasilah (menjadikan perantara) kepada ruh di alam kubur agar
memintakan sesuatu kepada Allah, atau berkorban sesuatu dengan jalan
menyembelih binatang ternak yang maksudnya memberi korban kepada kuburan,
adalah dilarang keras. Karena perbuatan demikian itu adalah musyrik. Beberapa
catatan penting mengenai masalah ziarah kubur menurut ajaran Wahabi diantaranya:
v Haram ziarah kubur dengan tujuan meminta kepada orang yang mati dikubur tersebut.
v Diperbolehkan ziarah kubur dan sunnah, bila tujuannya
mendo’akan ahli kubur, seperti telah dilakukan Nabi Saw, keluarga dan para sahabatnya.
v Haram membangun kuburan.
v Haram menyelimuti kuburan.
v Haram memberi lampu penerang di kuburan.
v Haram menjadikan kuburan sebagai tempat tujuan kunjungan,
wisata dan
rekreasi.
v Orang yang meninggal dunia dalam keadaan muslim masih mendapatkan manfa’at dari orang
yang hidup seperti doa, hadiah pahala, shadaqah, dan lain-lain. Syaikh juga
menentang paham yang mengatakan orang mati haram di do’akan dan dihadiahkan
pahala
padanya. Pendapat Syaikh sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah, dan sejalan
dengan faham Salafush Shalih.[21]
i.
Seputar Masalah Bid’ah
Kaum Wahabi menyatakan jihad terhadap segala macam bid’ah, yakni semua
upacara atau tata-cara ibadah yang dahulu tidak dicontohkan oleh Rasulullah
atau tidak ada keterangan dari agama. Ibadah menurut kaum Wahhabi harus persis
seperti dalam Sunnah Rasulullah Saw., tidak ditambah dan tidak dikurangi.
Menurut Muhammad Ibn Abd Wahhab, kelompok Wahabi harus memboikot
orang-orang yang suka mengerjakan bid’ah sampai mereka menyatakan taubat kepada
Allah. Muhammad Ibn Abd Wahhab menilai mereka berdasarkan lahiriyah saja,
sedangkan masalah batin mereka dia serahkan sepenuhnya kepada Allah. Dia berkeyakinan
bahwa setiap barang baru (yang tidak ada contoh dari Nabi Saw) dalam agama
Islam adalah bid’ah.[22] Prilaku-prilaku umat Islam yang dianggap Wahabi bid’ah dan haram
dilakukan di antaranya:
v Perayaan
maulid Nabi
setiap bulan Rabi’ul Awwal dilarang, karena pekerjaan itu bid’ah. Begitu juga perayaan
isra’ mi’raj yang biasanya dilakukan pada tanggal 27 Rajab dilarang keras.
v Membaca
dzikir “la ila ha illahlah”
bersama-sama sesudah shalat seperti banyak terlihat di Indonesia dan dunia
Islam yang lain, dilarang.
v Perayaan hari ulang tahun kelahiran dan kematian (khaul) para wali, dan ulama terkemuka, amat ditentang oleh kaum Wahabi. Hal
tersebut tidak pernah dicontohkan sama sekali dalam masa Rasulullah dan para
Sahabatnya serta tabi’in.
v Muhammad
Ibn Abd Wahhab tidak menambahkan kata “Sayyidina” dalam shalawat atas Nabi
Saw., karena menambah kata tersebut bid’ah hukumnya.
v Prilaku
keseharian yang diharamkan kaum Wahhabi antara lain mengharamkan berlebihan minum
kopi, rokok, fotografi, pemahatan
patung, laki-laki
yang memakai kain sutera, mencukur jenggot, laki-laki yang memakai perhiasan
emas, dan beberapa perkara yang muncul dalam dunia modern ini.
j.
Jihad dan Ketaatan
pada Pemerintah
Hukum jihad di jalan Allah tetap berlangsung terus menerus semenjak Allah
mengutus Muhammad Saw sampai akhir umat Muhammad ini memerangi Dajjal. Muhammad
Ibn Abd Wahhab pun berpendapat
bahwa kita wajib tunduk dan taat kepada para pemimpin Islam, baik mereka orang
baik maupun mereka yang jahat, selama mereka tidak memerintahkan pada kita
untuk berbuat maksiat. Barangsiapa yang telah menduduki jabatan khilafah
lantaran telah disepakati dan disetuji oleh rakyat maupun karena dia dapat
mengalahkan rakyat dengan menggunakan
pedang sehingga
berhasil menjadi khilafah, maka kita wajib mentaatinya dan kita dilarang
memberontak kepadanya.[23]
[1] Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta:
Paramadina, 2001), h. 434.
[5]Menurut ajaran Wahabi bentuk-bentuk syirik ada beberapa macam yaitu: (1) Syirik
Akbar (besar) yaitu syirik dalam ibadah, niat, ketaatan dan kecintaan. (2) Syirik
Ashgar (kecil) seperti riya. (3) Syirik Khofi (tersembunyi) yaitu syirik yang
menyebabkan orang mukmin tersesat tanpa mengetahuinya. Lihat. Abdullah. Sufyan
Raji Abdullah., Mengenal Aliran-Aliran
dalam Islam dan Ajarannya, (Jakarta: Pustaka al-Riyadh, 2006), h.143.
[6]Abdullah Ibn
Abdul Muhsin
Atturki, Mujmal I’tiqad Aimmati As-Salaf,
Alih Bahasa,
Nabhani Idris, (Beirut: Muassasah Risalah, 1992). h. 161.
[7] Umar Hasyim,
Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus
Sunnah Waljama’ah?, (Surabaya:
PT Bina Ilmu, 1978), h. 121.
[10] Abdullah Ibn Abdul Muhsin, Kajian Komprehensif Aqidah ahlussunnah wal Jama’ah (Yogyakarta: Titian
Ilahi, 1995, h. 77-78.
[20] Wasilah
menurut bahasa: perantara; jalan; derajat; kedudukan di sisi raja; sebab yang
mendekatkan kepada yang lain. Lihat
Imron A. Manan, “Pelbagai Masalah Tauhid Populer”, (Surabaya: PT
Bina Ilmu, 1982), h. 127
Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.
ReplyDeleteMenurut M. Quraish Shihab, sikap tegas kepada orang kafi, bukan berarti memusuhi pribadinya, atau memaksa mereka memeluk Islam, atau merusak tempat ibadah dan menghalangi mereka melaksanakan tuntunan agama dan kepercayaan mereka. Tetapi yang dimaksud adalah bersikap tegas terhadap permusuhan mereka, atau upaya-upaya mereka yang melecehkan ajaran agama Islam dan kaum muslim. Apalagi jika mereka merebut hak sah kaum muslim. Sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur'an,Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.
Delete(QS. al-Ma’idah [5]: 54)
Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.
ReplyDelete(QS. al-Ma’idah [5]: 54)
Menurut M. Quraish Shihab, sikap tegas kepada orang kafir yang disebutkan dalam ayat tersebut, bukan berarti memusuhi pribadinya, atau memaksa mereka memeluk Islam, atau merusak tempat ibadah dan menghalangi mereka melaksanakan tuntunan agama dan kepercayaan mereka. Tetapi yang dimaksud adalah bersikap tegas terhadap permusuhan mereka, atau upaya-upaya mereka yang melecehkan ajaran agama Islam dan kaum muslim. Apalagi jika mereka merebut hak sah kaum muslim.