II Chapter
New Age; Sebagai Fenomena
Spiritualitas tanpa Agama Formal
Many humanists and atheists have high SQ (Spiritual Intelligence); many
actively and vociferously religious people have very low SQ
Zohar-Marshall.
Haidar Bagir mengemukakan, TIMES
(sebuah majalah terkemuka di Amerika Serikat), beberapa tahun lalu melaporkan
adanya kecendrungan masyarakat Amerika Serikat untuk kembali kepada Tuhan.
Majalah itu, berdasarkan hasil polling yang mereka buat, mengatakan bahwa saat
ini lebih banyak orang (AS) yang berdo’a
ketimbang “berolah-raga, pergi ke bioskop, atau pun berhubungan seks.”
Kecendrungan akan spiritualisme itu pun makin lama makin meningkat.
Lebih lanjut ia menambahkan; memang di
samping ditandai oleh derasnya arus informasi dan dahsyatnya perkembangan
teknologi informasi, zaman ini ternyata juga diwarnai arus baru di tengah
masyarakat dunia, yaitu kerinduan pada kesejukan bathin dan kedamaian jiwa.
Mencari kebijakan dan inspirasi tentang inner-self menjadi trendy
belakangan ini.
Dalam konteks ini yang menarik adalah
pertanyaan tentang bagaimana corak dan model spiritualitas yang digandrungi dan
digeluti masyarakat kontemporer? Apakah mereka mengacu kepada spiritualitas
yang menjadi bagian dari agama mapan (organized
religion)? Atau menganggap spiritualitas sebagai sesuatu yang terpisah dari
agama? Apakah memasuki dunia mistik harus pula terlibat dengan agama, atau
mistik merupakan satu kegiatan yang bisa berdiri sendiri tanpa memiliki kaitan
apa pun dengan agama?
Perjalanan panjang masyarakat Barat
menuju dunia modern telah melahirkan citra buruk terhadap apa yang disebut
Tuhan dan agama. Agama lebih sering dianggap sebagai pengganggu, candu, bahkan
racun bagi masyarakat. Wajah agama sering identik dengan penyebab pertumpahan
darah, institusi yang banyak melahirkan janda dan anak yatim karena adanya
beragam perang demi berkibarnya bendera Tuhan. Agama merupakan penghambat
kemajuan, membuai manusia dengan mimpi-mimpi surga di akhirat kelak, dan
pembunuh gerak kreativitas dan sifat kritis manusia dengan setumpuk hukum halal
dan haram. Penampilan Tuhan pun digambarkan sebagai sosok yang galak, keras,
bengis dan senantiasa mengancam hamba-hambanya. Ini semua menyebabkan tidak
sedikit anak cucu Adam yang lari dan bahkan membeci agama. Sejak zaman renaissance orang lantas mencoba
membangun dunia tanpa campur tangan Tuhan, tanpa mempedulikan agama.
Terciptalah sebuah dunia yang hampir sepenuhnya sekuler.[1]
Di Barat, khususnya Amerika Utara,
situasi krisis agak serupa justru diiringi dengan meningkatnya ketidakpercayaan
pada institusi agama formal (a growing
distrust of organized religion). Barangkali, ekstremnya seperti yang
dislogankan oleh futurology John Nasibitt bersama istrinya, Patricia Aburdene
dalam Megatrend 2000, “Spirituality Yes,
Orginezed Religion No!” Ada semacam penolakan terhadap agama formal-yang
memiliki gejala umum yang sama, yaitu ekslusif dan dogmatis-sambil menengok kearah
spiritualitas baru lintas agama.[2]
Menurut Muhsin
Labib, penolakan terhadap agama memiliki akar historis dalam masyarakat
manusia, terutama masyarakat Eropa. Trauma terhadap kesewenang-wenangan para
agamawan yang memaksakan kehendak dengan kedok agama, telah membuka jalan bagi
timbulnya gerakan penolakan terhadap agama pada abad 18 dan 19 Masehi. Tibanya
Era pencerahan yang ditandai dengan Revolusi Industri di Inggris telah
menimbulkan luka yang mendalam. Eksesnya, agama apa pun dipandang sebagai momok
yang menakutkan.[3]
Pada gilirannya, muncul sejumlah
mazhab pemikiran dan filsafat diikuti dengan berkembangnya sains dan teknologi
secara pesat. Para penggagas dan penyumbang bibit sekularisme dalam kristen
banyak sekali antara lain Dante (1469-1546), Montesque, Voltaire, Rousseu
mengajak manusia untuk meninggalkan agama wahyu. Bukankah nieztche mengumumkan
‘kematian Tuhan’ sebagai usaha menyelamatkan manusia, Marx menganggap agama
sebagai candu, demi menghapus eksploitasi kaum kapitalis, Comte menganggap
agama sebagai bagian dari periode masa mitos dan folklor atau era sesudahnya,
metafisika.[4]
Stereotype terhadap agama itu masih
belum terhapus dari cakrawala berpikir masyarakat Barat, termasuk para bintang
Hollywood. Hingga saat ini mereka tetap traumatik terhadap agama. William C
Chittick dalam bukunya Sufism: A Short
Introduction (Oneworld, 2000) memberi perumpamaan bahwa orang Barat mau
mendengar atau masuk dalam dunia tasawuf, namun mereka merasa jijik dengan apa
yang disebut dengan Islam. Kondisi ini menjadi persoalan dilematis ketika, pada
satu sisi, kebencian kepada agama masih membayangi pikiran, namun pada sisi
lain, mereka tak mampu menahan kehausan dan kerinduan spiritual, tak kuat
menolak hasrat untuk mereguk anggur mistik. Inilah yang menyebabkan mereka
berdaya upaya mencari “kehangatan” spiritual minus Tuhan, atau mendapat
“kesegaran” rohani dengan tanpa mempedulikan agama. Secara filosofis Danah
Zohar dan Ian Marshall dalam buku terbarunya, SQ: Spiritual Intelligence (Bloomsbury, 2000), menuliskan ungkapan
yang meneguhkan fenomena ini bahwa untuk mencapai kecerdasan spiritual tak
perlu harus berhubungan dengan agama. “Many
humanists and atheists have high SQ (Spiritual Intelligence); many actively and
vociferously religious people have very low SQ” jelas Zohar-Marshall.[5]
Karena logika “mistik tanpa peduli
agama” itu, wajar bila spiritualitas New
Age menjadi primadona bagi sebagian orang. New Age adalah suatu zaman baru atau “konspirasi baru dalam melihat
dunia”- menukil istilah Marilyn Forguson-yang ditandai dengan pesatnya mistik
dan spiritual dengan menawarkan pencapaian kepada the Higher Consciousness atau perhubungan diri manusia kepada
Sumber Diri (connection to the Source).
Selain merebaknya kecendrungan mistisme dalam cara pandang dan metode
memberikan solusi problem kehidupan, New
Age dicirikan pula oleh adanya liberating
knowledge dalam pengetahuan.
Fenomena keagamaan apa di balik
kegairahan spiritualitas New Age?
Ternyata, ada sebuah titik balik New Age:
dari alergi terhadap agama formal karena dinilainya cenderung ekslusif,
dogmatis, dan sektarian, menuju petualangan spiritual (spiritual adventure) lintas agama, dan karenanya bersifat inklusif,
pluralis dan universal. Sadar atau tidak, spiritual
adventure gaya New Age ini,
sebenarnya adalah wisata spiritual lintas agama. Itulah sebabnya, kenapa
filsafat yang dipakai New Ager adalah
the perennial philosophy, karena filsafat perennial merupakan pintu masuk utama
ke jantung agama-agama sebagai ekspresi otentik spiritual adventure.[6]
Dalam peta sejarah filsafat, filsafat
perennial (the perennial philosophy)
mula-mula diperkenalkan Augustinus Steuchus (1497-1548) yang menulis karya
klasiknya, De Perennis Philosophia,
(1540). Sebagai sebuah wacana, ia pun populer dan kaya makna. Ficino
menyebutkannya sebagai philosophia
priscorium, filsafat kuno yang antik. Betapa antiknya, pengetahuan ini ada
dan akan selalu ada. “The universal
gnosis which always has existed and always will exist,” begitu komenta
Frithjof Schuon, filusf genius yang oleh Seyyed Hossein Nasr dijuluki sebagai
“guru terbesar filsafat perennial sepanjang abad ini.”[7]
Manusia.
Menurut New Age, perlu kembali kepada
the Sacred Self-nya yang eternal (abadi), yang own nothing (tidak memiliki identitas
apa-apa, karena non-material), karena itu juga can’t lose anything (tidak akan kehilangan apa pun jua). Tetapi,
dalam “ketiadaan apa-apa” itu secara paradoksal termuat kecukupan, yang
merupakan dasar dari semua sense of
security (rasa keamanan batinnya) sebagai manusia, yang menjadinnya contentment (puas), peaceful (penuh rasa kedamaian), love (penuh cinta), hingga mencapai puncak keadaan yang penuh
kebahagiaan secara ruhani (spiritual).[8]
Barangkali, inilah penjelasan psikologisnya, mengapa
orang Barat melalui New Age-nya,
ingin mengalami (kembali) ketuhanan setelah mengalami Dirinya yang Sejati.[9] Semua
inilah yang dicarinya jika ia mengunjungi dan melibatkan diri pada pusat-pusat
spiritual di dunia Timur: yaitu keharmonisan Diri, atau suatu keharmonisan
kosmis yang bersifat universal, yang bisa didapat “hanya” dengan merealisasikan
hakikat diri yang Original; yang dengan itu kesadaran infinite, seperti syair Sabistari penyair Sufi Iran, “Jika engkau
membelah hati setetes air, Engkau akan menemukan seratus lautan di dalamnya.”[10]
Timur, bagi kalangan New
Age memang menawarkan suatu seni hidup yang bisa menjadi alternatif atas
modernisme Barat. Sehingga- seperti banyak dipercaya oleh kalangan New Age- di
masa depan akan ada zaman baru, di mana Timur akan memberikan kontribusi yang
sangat besar sekaligus memberikan jalan bagi pencarian karifan pada tradisi
Barat sendiri yang sekarang mulai kelihatan usaha-usaha ke arah itu.[11]
[2] Sukidi, New Age: Wisata Spiritual Lintas Agama,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), cet ke-2, h. 2
[3] Lihat, Muhsin Labib dalam pengantar buku, Ekky Malaky, Dari Sayyid Qutb, Ali Syariati, the Lord of
the Rings, hingga Bollywood, (Jakarta : Lentera, 2004), h. 2
[8] Budi Munawar Rachman,
Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum
Beriman, (Jakarta:
Paramadina, 2001), h. 107
[9] Nah,
bila kita tarik ke dalam tradisi Islam sebenarnya sudah sejak lama umat muslim
berusaha mengalami ketuhanan dengan mendekatkan diri kepada Tuhan, melalui
perjuangan yang tidak ringan, dikenal dengan istilah salik. Salik adalah
orang yang selalu mengembara berjuang menuju Tuhan. Untuk mencari Tuhan tidak
perlu jauh-jauh, karena dimanapun kita menghadap disitulah Tuhan berada. Fainamâ
tuwallû fatsamma wajhullâhi (QS. al-Baqarah [2]: 115). Maka kemanapun
kamu menghadap di situlah wajah Allah. Meminjam ilustrasi Komaruddin Hidayat, “begitu
bangun tidur, itu merupakan sapaan Tuhan. Bahkan angin, pohon dan sebagainya
merupakan jejak-jejak Tuhan untuk menyapa diri manusia”. Fenomena masyarakat
kontemporer yang tenggelam dalam kekhusyu’an dzikir, wirid, sayr, istighotsah
dan suluk dalam kehidupan spiritualitas adalah pertanda bahwa betapa mereka
rindu mengenal lebih dekat “Kawan Yang Agung”.
Post a Comment