Kepemimpinan sesungguhnya tidak ditentukan oleh pangkat atau jabatan seseorang. Kepemimpinan adalah sesuatu yang muncul dari dalam dan merupakan buah dari keputusan seseorang untuk mau menjadi pemimpin, baik bagi dirinya sendiri, bagi keluarga, bagi lingkungan pekerjaan, maupun bagi lingkungan sosial, dan bahkan bagi negerinya. Seperti yang di kemukakan Ronal Fogleman, Jenderal Angkatan Udara Amerika Serikat “I don’t think you have to be waering stars on your shoulders or a title to be leadar. Anybody who want to raise his hand can be a leader any time (Saya tidak berpikir anda menggunakan bintang di bahu anda atau sebuah gelar pemimpin. Orang lain yang ingin mengangkat tangan dapat menjadi pemimpin di lain waktu).
Sering kali seorang pemimpin sejati
tidak diketahui keberadaannya oleh mereka yang dipimpinnya. Bahkan ketika misi
atau tugas terselesaikan, maka seluruh anggota tim akan mengatakan bahwa
merekalah yang melakukannya sendiri. Pemimpin sejati adalah seorang pemberi
semangat (encourager), motivator, inspirator, dan maximizer.
Konsep pemikiran seperti ini adalah
sesuatu yang baru dan mungkin tidak bisa diterima oleh para pemimpin
konvensional yang justru mengharapkan penghormatan dan pujian (honor & praise) dari mereka yang
dipimpinnya. Semakin dipuji bahkan dikultuskan, semakin tinggi hati dan lupa
dirilah seorang pemimpin. Justru kepemimpinan sejati adalah kepemimpinan yang
didasarkan pada kerendahan hati (humble).
Pelajaran mengenai kerendahan hati dan
kepemimpinan sejati dapat kita peroleh dari kisah hidup Nelson Mandela. Seorang
pemimpin besar Afrika Selatan, yang membawa bangsanya dari negara yang rasialis
menjadi negara yang demokratis dan merdeka. Selama penderitaan dua puluh tujuh
tahun di penjara pemerintah Apartheid, justru melahirkan perubahan dalam
dirinya. Sehingga Dia menjadi manusia yang rendah hati dan mampu memaafkan
mereka yang telah membuatnya menderita selama bertahun–tahun.
Seperti yang dikatakan oleh penulis
buku terkenal, Kenneth Blanchard, bahwa kepemimpinan dimulai dari dalam hati
dan keluar untuk melayani mereka yang dipimpinnya. Perubahan karakter adalah
segala–galanya bagi seorang pemimpin sejati. Tanpa perubahan dari dalam, tanpa
kedamaian diri, tanpa kerendahan hati, tanpa adanya integritas yang kokoh, daya
tahan menghadapi kesulitan dan tantangan, dan visi serta misi yang jelas,
seseorang tidak akan pernah menjadi pemimpin sejati.
Pemimpin
sejati juga memiliki sikap disiplin yang tinggi untuk senantiasa bertumbuh, belajar,
dan berkembang baik secara internal maupun dalam hubungannya dengan orang lain.
Seperti yang dikatakan oleh John Maxwell, “The
only way that I can keep leading is to keep growing. The the day I stop
growing, somebody else takes the leadership baton. That is way it always it
(Satu-satunya cara agar saya tetap
menjadi pemimpin adalah saya harus senantiasa bertumbuh. Ketika saya berhenti
bertumbuh, orang lain akan mengambil alih kepemimpinan tersebut).
Seorang
pemimpin sejati menghormati orang yang ‘memimpin’ dan menghormati pula orang
yang ‘dipimpin’. Memimpin-dipimpin adalah alami, bahkan tidak bisa dihindari.
Sudah kodrat manusia untuk memimpin, dan kodratnya pula untuk dipimpin. Untuk
itulah dikotomi atasan-bawahan sebenarnya kurang tepat, karena yang sebenarnya
ada hanyalah perbedaan peran. Dikotomi atasan bawahan menimbulkan efek
berkuasa-tidak berkuasa, atau setidak-tidaknya mengutamakan tingkatan
kekuasaan.
Post a Comment