Pemimpin yang religius- tidak hanya sekedar
memuaskan mereka yang dipimpin, tetapi berupaya sungguh–sungguh memiliki
kerinduan untuk senantiasa memuaskan Tuhan. Artinya dia hidup dalam perilaku
yang sejalan dengan Perintah Tuhan. Dia memiliki misi untuk senantiasa
memuliakan Tuhan dalam setiap apa yang dipikirkan, diucapkan, dan diperbuatnya.
Baginya kekayaan dan kemakmuran adalah untuk dapat memberi dan beramal lebih
banyak. Apapun yang dilakukan bukan untuk mendapat penghargaan, tapi melayani
sesamanya. Dan dia lebih mengutamakan hubungan atau relasi yang penuh kasih dan
penghargaan, dibandingkan dengan status dan kekuasaan semata.
Kader
pemimpin sejati senantiasa mau belajar dan bertumbuh dalam berbagai aspek, baik
pengetahuan, kesehatan, keuangan, relasi, dsb. Setiap harinya senantiasa
menyelaraskan (recalibrating) dirinya
terhadap komitmen untuk melayani Tuhan dan sesama. Melalui solitude (keheningan), prayer
(doa), dan scripture (membaca
keinginan Tuhan ).
Kepemimpinan
religius itulah yang juga semestinya dianut di Indonesia ini. Karena dalam
susunan Pancasila sila Ketuhanan Yang Mahaesa sebagai sila pertama. Dari
susunan Pancasila itu semestinya nilai-nilai religius yang pertama dijadikan
pegangan dalam berbagai kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara di
Republik ini.
Sayangnya
nilai-nilai religius hanya ditampilkan dalam kehidupan beragama yang lebih
menonjolkan formalitas belaka. Hal ini sangat mungkin disebabkan terlalu jauhnya
intervensi kekuasaan pemerintah dalam mengatur kehidupan beragama. Pada hal
beragama merupakan hak yang paling asasi dan merupakan prevacy individu yang
sangat tidak mungkin dicampuri orang lain. Kalau kehidupan beragama tidak mampu
menampilkan pemimpin yang religius, bukan berarti agama itu yang salah. Sistem
kehidupan dalam mengamalkan ajaran agama itulah yang semestinya disempurnakan.
Dalam
kehidupan beragama sebaiknya intervensi kekuasaan ditiadakan. Biarkan umat
dengan lembaga keumatannya masing-masing diberikan kebebasan untuk menjabarkan
nilai-nilai religius dari masing-masing agama. Hal ini akan lebih mendorong
umat beragama tidak berlomba-lomba menampilkan kehidupan beragama yang bersifat
formal. Karena kegiatan yang lebih menonjolkan aspek formal juga sering
dijadikan alasan untuk merebut anggaran negara.
Kegiatan
beragama yang lebih bebas akan lebih mementingkan pembentukan sikap religius
dari penampilan yang bersifat formal itu. Kalau sikap religius ini sudah lebih
banyak mendapatkan peluang dalam masyarakat agama, hal itulah sebagai langkah
awal mendapatkan calon-calon pemimpin yang religius. Karena pemimpin yang
religius tidak mungkin turun dari langit begitu saja. Pemimpin yang religius
hanya akan lahir dari keadaan masyarakat yang religius juga.
Masyarakat
religius bukanlah masyarakat yang menonjolkan cara beragama yang formal dan
berhura-hura. Cara beragama yang lebih menonjolkan penampilan formal,
berhura-hura akan menghasilkan manusia-manusia yang egois eksklusif. Manusia
yang egois kalau berkesempatan menjadi pemimpin akan lebih mementingkan diri
dan golongannya daripada mengedepankan pengabdian kepada kebenaran.
Untuk
membangun sistem beragama yang mampu menghasilkan pemimpin religius ada baiknya
kita tinjau sistem beragama yang sedang kita lakukan sekarang. Karena pada
kenyataannya sistem beragama yang sedang berlaku dewasa ini justru lebih banyak
menghasilkan pemimpin yang lebih mengutamakan penampilan luar. Sedangkan
pemimpin religius akan lahir kalau agama dijadikan dasar membenahi hati nurani
masing-masing. Aplikasi religius dalam kehidupan sehari-hari akan lebih
diutamakan daripada penampilan formal.
Sempurna (y)
ReplyDelete