Kata syura
dalam al-Qur’an di ungkap dalam berbagai konteks. Pertama, dalam al-Qur’an
Surah, al-Baqarah [2]: ayat ke- 233 sebagai berikut ;
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama
dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban
ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang
tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu
menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan
warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua
tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas
keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah
kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu
kerjakan.” (QS. al-Baqarah [2]: 233).
Dalam konteks ayat ini, diungkap
pembicaraan tentang menyapih anak yang masih menyusu sebelum anak itu berumur
dua tahun. Menyapih anak yang usianya belum sampai dua tahun boleh dilakukan
dengan syarat ada kerelaan dan telah dimusyawarakan di antara suami dan istri.
Di dalam Tafsir al-Manar dijelaskan bahwa ayat di atas mengandung ajaran bahwa
orang tua memiliki tanggung jawab bersama dalam menentukan apakah penyusuan
anak dilangsungkan terus sampai sempurna masa penyusan, yakni dua tahun, atau
dihentikan sebelumnya.[1]
Menurut al-Qurthubi, uangkapan fa in
arâda fishâlan dan wa tasyâwurin dalam QS. al-Baqarah [2]: 233, menunjukkan
bahwa suatu persoalan keluarga yang tidak diatur dengan dalil yang pasti,
termasuk di dalam lapangan ijtihad. Dalam hal ini musyawarah di antara
suami-istri jelas termasuk dalam kategori ijtihad.[2]
Sementara itu, Rasyid Ridha
menjelaskan bahwa ajaran musyawarah dalam ayat ini mengandung nilai pendidikan.
Artinya, Tuhan bermaksud menanamkan suatu pola interaksi bagi hubungan
suami-istri yang sehat, yang tercermin dari sikap keduanya dalam mengambil
keputusan. Oleh karena itu, kebiasaan bermusyawarah yang dimulai dari keluarga
sebagai unit sosial terkecil di masyarakat akan menjadi landasan bagi
terbinanya kebiasaan bermusyawarah dalam unit sosial yang lebih besar dan
rumit, yaitu negara.[3]
Kedua, dalam Qur’an surah, asy-Syura [42]: ayat ke- 38 sebagai
berikut :
“Dan (bagi)
orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat,
sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah (syura) antara mereka dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki
yang Kami berikan kepada mereka.”
Ayat ini
mengandung pujian atas orang-orang yang menerima seruan Allah Swt, yang dibawa
Nabi Muhammad Saw, mendirikan shalat dengan baik dan benar, memusyawarahkan
segala urusan mereka, dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang mereka peroleh.
Bermusyawarah merupakan sifat terpuji bagi orang yang melaksanakannya dan akan
memperoleh nikmat dari sisi Allah Swt, karena hal itu bernilai ibadah.
Disamping
itu ayat ini, juga membicarakan mengenai ciri-ciri orang beriman. Ciri-ciri
yang dimaksud adalah 1) taat dan patuh kepada Allah, 2) menunaikan shalat, 3)
menghidupkan musyawarah, dan 4) berjiwa dermawan.
Ar-Razi
(penulis at-Tafsîr al-Kabîr) menjelaskan
bahwa kalimat wa amruhum syurâ bainahum dalam QS. asy-Syura [42]: 38
mengandung pengertian bahwa praktik musyawarah merupakan suatu tradisi yang
telah berlangsung lama di kalangan umat beriman bangsa Arab.[1]
Ketiga, dalam konteks perintah
Allah kepada Nabi Muhammad saw. Agar berlaku lemah lembut dan senantiasa
bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya, sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an
Surah Ali Imran [3]: ayat ke- 159 sebagai berikut;
“Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkan ampun kepada
Allah untuk mereka serta bermusyawarahlah dalam (memutuskan) suatu urusan.
Apabila kamu telah bertekad bulat (dengan keputusan tersebut) maka
bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang yang bertawakal.”
(QS. Surah Ali Imran [3]: 159).
Ayat ini
diturunkan setelah Perang Uhud. Ketika itu, Nabi saw. Kecewa atas tindakan
tidak disiplin sebagian sahabat dalam pertempuran yang mengakibatkan kekalahan
di pihak Nabi. Melalui ayat ini Allah swt. Mengingatkan Nabi bahwa dalam
posisinya sebagai pemimpin umat, ia harus tetap bersikap lemah lembut terhadap
para sahabatnya, memaafkan kekeliruan mereka, dan bermusyawarah dengan mereka
dalam urusan-urusan mereka.
Abu Ja’far
Muhammad Ibn Jarir at-Tabari, dalam menafsirkan ayat di atas, menyatakan bahwa
sesungguhnya Allah Swt menyuruh Nabi Saw untuk bermusyawarah dengan umatnya
tentang urusan yang akan dijalankan supaya mereka tahu hakikat urusan tersebut
dan agar mereka mengikuti jejaknya. Namun kewajiban melaksanakan musyawarah
bukan hanya dibebankan kepada Nabi Saw, melainkan juga kepada tiap orang
mukmin, sekalipun perintah ayat tersebut ditujukan kepada Nabi Saw, artinya,
perintah yang terkandung dalam ayat tersebut juga berlaku umum. Dalam
masyarakat modern yang ditandai dengan munculnya lembaga-lembaga politik,
pemerintahan dan masyarakat, maka lembaga-lembaga ini menjadi subjek
musyawarah; para pemimpinnya dibebani
kewajiban mengadakan musyawarah dengan melibatkan para anggotanya atau rakyat
untuk membicarakan masalah yang mereka hadapi.
Post a Comment