Buku-buku
tentang sejarah Nabi dan Sunnah Nabi menekankan bahwa Rasulullah saw, telah
menjadikan tukar menukar pendapat dengan para sahabat beliau sebagai
karakternya, hingga Abu Hurairah r.a. berkata tentang beliau, “Saya tidak
pernah melihat seseorang yang paling banyak melakukan musyawarah dengan rekan-rekannya
melebihi Rasulullah saw.”[1]
Maka sesungguhnya perbuatan-perbuatan Nabi saw, telah meyakinkan prinsip syura
dalam segala bentuk-bentuknya, artinya dalam pengertian yang universal yang
mencakup syura bebas dan syura yang harus yang harus dipegang teguh.
Menurut Taufik Muhammad Asy-Syawi, sebagian dari sikap
Nabi saw, yang paling penting dan praktis, yang bisa dijadikan pedoman mengenai
wajibnya syura dalam kerangka sistem pemerintahan dan memilih penguasa, ialah
bahwa ketika beliau sakit menjelang wafat, sebagian dari para sahabat beliau
menunggu-nunggu beliau memberi pesan tentang siapa yang harus menjadi pengganti
beliau. Banyak orang berkeyakinan bahwa beliau tidak berwasiat mengenai itu
memang disengaja, demi membiarkan umat agar bermusyawarah mengenai urusan kaum
muslim, dan agar mereka memilih sendiri siapa yang akan diangkat menjadi
pengganti Nabi saw, dengan jalan syura, demi mengokohkan mabda syura sebagai
kaidah bagi sistem negara dan masyarakat. Hal ini benar-benar telah terjadi
dengan ijmak pada Hari Saqifah (musyawarah para sahabat di ruang pertemuan
bernama Saqifah). Hasilnya ialah kesepakatan (ijmak) kaum muslim untuk
mendirikan pemerintahan Islam dengan jalan syura dipimpin oleh orang yang
mereka pilih dari mereka sendiri. Mereka juga memberi kuasa penuh padanya untuk
mengatur berbagai urusan mereka dengan baiat bebas, yang pada akhirnya mereka
memilih Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai pemimpin pertama bagi pemerintahan itu.[2]
Para sahabat
Nabi itu memilih pemimpin tertinggi berdasarkan tiga kreteria diantaranya;
1.
Pemilihan bebas tanpa adanya ikatan wasiat dengan hakim sebelumnya. Hal
itu tergambar sebagaimana dalam pemilihan khalifah atau pengganti Rasul Saw,
yang mana para sahabat terkemuka berkumpul di Saqifah Bani Saidah. Mereka
memusyawarahkan masalah ini, siapa yang layak menjadi khalifah. Apakah dari
kaum Muhajirin atau dari kaum Anshor. Setelah terjadi perdebatan yang panjang,
kemudian ditetapkanlah sebuah keputusan bahwa yang menjadi khalifah dari kaum
Quraish.
2.
Pemberian wasiat dari khalifah pada khalifah sesudahnya. Sebagaimana yang
dilakukan oleh Abu Bakar mengajukan Umar Ibn Khattab menjadi khalifah.
3.
Khalifah hendaknya mencalonkan beberapa orang- agar para pemilih dapat
memilih salah seorang diantara para calon pemimpin, dengan pemilihan yang adil,
transparan, dan terpercaya.[3]
[1] Lihat, Ibnul
Qayyim al-Jauziyah, Zaadul- Ma’ad fi Huda
Khairil ‘Ibad, Kairo: juz 1, h. 6
dan 85. Lihat juga, Taufik Muhammad Asy-Syawi, Fiqhusy Syura wal-Istisyarat, terj. Djamaluddin (Kairo: Dar- al Wafa’, 1992), hal. 56.
[3] Syaukat
Muhammad Ulyan, as-Tsaqafah al-Islamiyah
wa Tahdiyatu al-Ashri, (Riyad: Dar-ar-Rasyid, Cet. I, 1981), hal. 329.
Post a Comment