A. Jihad Periode Makkah
Ketika Nabi saw mendekati usia empat
puluh tahun, beliau meningkatkan
frekuensi kunjungannya ke gua hira. Selama itu pula beliau melihat
mimpi-mimpi indah sambung-menyambung.[1] Pada hari
senin, 17 Ramadhan 610 M, ketika beliau sedang khusuk bertafakkur muncul
malaikat (Jibril as) yang menyuruhnya membaca, sambil berkata;
“Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan-
Menciptakan manusia dari alaq. Bacalah, dan Tuhanmu Maha Pemurah, Yang
mengajarkan kepada manusia apa yang tak ia ketahui.” (QS. al-‘Alaq [96]: 1-5).
Itulah wahyu pertama yang diturunkan
kepada Nabi saw, Rasul terkhir dan penutup para Nabi. Munculnya malaikat Jibril
merupakan pengalaman asing bagi Nabi. Ketika itu gemetar seluruh badannya dan
beliau segera pulang ke rumah, seraya meminta istrinya, Khadijah menyelimuti
badan beliau.[2]
Selama beberapa waktu, setelah
pengalaman pertama di gua Hira, Nabi tidak menerima wahyu seayat pun. Lalu
beliau melihat lagi malaikat yang pernah datang ke gua. Dengan gugup beliau
pulang dan minta agar istrinya sekali lagi menyelimuti sekujur badannya. Lantas
datang wahyu Qur’an Surat, al-Muddasir [74]: ayat 1-5 sebagai berikut;
“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah,
lalu berilah peringatan, dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan
perbuatan dosa tinggalkanlah.” ( QS. al-Muddasir [74]: ayat 1-5 )
Nabi bangkit berjihad mengamalkan
panggilan Allah dengan hati-hati dan mantap. Beliau bergegas untuk menyampaikan
firman Allah kepada khalayak serta menyelamatkan mereka dari jalan sesat dan
cara hidup mungkar. Dengan demikian tugas manusia terbesar, upaya yang paling
terhormat dan paling berharga, tetapi sekaligus merupakan kewajiban paling
sulit, dimulai. Mengajak umat manusia menghadap Allah, menuju jalan lurus,
jalan penyerahan dan penghambaan sejati.[3]
Pada tahun ketiga dari kenabian,
datang perintah Allah untuk menyiarkan ajaran Islam secara terbuka, sebagaimana
yang termaktub dalam al-Qur’an Surat, al-Hijr [15]: ayat ke 94-99 sebagai
berikut;
“Maka sampaikanlah olehmu secara
terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari
orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya Kami memelihara kamu daripada
(kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokkan kamu, (yaitu) orang-orang yang
menganggap adanya Tuhan yang lain di samping Allah; Maka mereka kelak akan
mengetahui (akibat-akibatnya), dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa
dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan. Maka bertasbihlah
dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud
(shalat), dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).”
(QS. al-Hijr [15]: ayat ke 94-99).
Al-Qur’an Surat, asy-Syu’araa [26]: 214-216;
“Dan berilah
peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu
terhadap orang-orang yang mengikutimu, Yaitu orang-orang yang beriman. Jika mereka mendurhakaimu
Maka Katakanlah, “Sesungguhnya aku tidak
bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. asy-Syu’araa [26]: 214-216).
Setelah mendapat perintah untuk
memberikan peringatan kepada keluarga terdekat, Rasulullah mengumpulkan
keberaniannya, kemudian memanggil Ali dan menyuruhnya mengundang para keluarga
terdekat untuk pertemuan nanti malam, saat ia akan menyampaikan peringatan
Tuhan itu. Ketika undangan datang, makanan, dan minuman diedarkan, Rasulullah
maju memberikan sambutan dan memperkenalkan pokok-pokok kepercayaan, “Allah
memerintahkan saya mengajak kalian ke jalan Allah. Siapa di antara kalian yang
mau bekerjasama menjadi saudara, pembantu, dan menggantiku” hadirin terdiam,
saling pandang, dan heran, karena tak menduga Muhammad berani berbicara serius
dalam jamuan santai seperti ini. Lalu terdengar bisik dan tawa sesama undangan,
tetapi tidak ada seorang pun yang menanggapi sungguh-sungguh. Di saat itulah
Ali bangkit dan dengan semangat dan keberanian yang hanya dimiliki seorang
pemuda, ia menatap hadirin berkata, “Ya Rasul, sayalah yang akan menjadi
pembantumu!” Rasulullah mendekat, menepuk-nepuk pundak Ali dan menyambut,
“Inilah saudara saya, pembantu, dan penggati saya. Ikuti dan patuhilah dia!”
Hadirin terperangah. Sebagian masygul dengan ucapan Rasulullah, dengan
tanggapan Ali. Seseorang berkata kepada Abu Thalib yang hadir malam itu, “Dia
memerintahkan kau supaya mendengar dan mematuhi perintah anakmu!” Yang
mendengar tertawa keras terbahak-bahak.
Tidak seorangpun menyadari bahwa beberapa di antara para udangan ini akan
ditebas Ali di medan pertempuran Badar, empat belas tahun kemudian, sebagai
bukti bahwa ia memang sungguh-sungguh.[4]
Ajaran
yang dapat disebut paling awal dari Rasulullah, pertama, mengenalkan sifat-sifat Allah Yang Maha Kuasa, Maha
Pemurah, “yang menciptakan manusia dari ‘alaq, yang mengajar dengan kalam, yang
mengajar manusia apa yang tidak ia ketahui.” Sebagai pemberi peringatan,
Rasulullah mengajak manusia untuk memperhatikan gajala-gejala alam dan melihat
kebesaran Tuhan Pencipta sebagai bukti kemahakuasaan-Nya. Kedua, Berbuat kebaikan dan menjauhi kejahatan. Ketiga, mendirikan shalat, sebagai
sambutan atas kemurahan Tuhan. Keempat,
mengabarkan, bahwa kepada Tuhan semua manusia akan kembali. Kelima, Muhammad adalah utusan Allah.[5]
Dalam ukuran zaman itu, Rasulullah
membawa ajaran radikal. Ajaran yang sifatnya spiritual di tengah penduduk yang
memuja materialisme berdasarkan indera; ajaran akhirat bagi manusia yang ruhnya
lenyap bersama kakunya tubuh.[6]
Lama-lama para penguasa Quraisy mulai
merasa bising dengan ajaran yang disampaikan Rasulullah. Ke mana mereka pergi,
pasti akan berjumpa dengan Islam. Apakah di tempat-tempat ramai atau di rumah
orang, seperti tempat tinggal Arqam sampai larut malam; di pasar-pasar atau
pekan raya, atau di Ka’bah. Perintah beramal kebaikan bagi penganut,
ditafsirkan sumbang sebagai sindiran atas diri mereka. Ke mana mereka pergi di
situ ada ajaran dan ayat al-Qur’an dikumandangkan pengikutnya.[7]
Rasulullah sendiri tidak pernah jemu
mengajarkan kalam Ilahi. Di mana ada peluang, ke sana beliau masuk. Dia
mengajar dan mencela perbuatan dosa, menunjukkan kebaikan dan mengajarkan
ayat-ayat Tuhan. Hasilnya, sering datang sanggahan yang menusuk perasaan,
sering orang datang sendiri mencarinya untuk masuk Islam. Tetapi tak dapat
disangkal, pengikutnya bertambah dari hari ke hari. Sekalipun dibendung, ajaran
agama bagu ini mengalir sampai ke luar lembah.
Saat
festival tahunan mendekat, pemuka Quraisy cemas. Mereka segera mengambil
keputusan langkah akhir, membunuh Nabi, untuk memupus dakwahnya. Datanglah
perintah Tuhan kepada Nabi untuk berhijrah, menyusul pengikut-pengikutnya yang
telah berhijrah ke Yatsrib lebih dahulu.
Keteguhan
hati Nabi dan keimanannya tergambar jelas ketika beliau bersama sahabat Abu
Bakar dalam perjalanan menuju Madinah dan singgah di gua Thur. Ibaratnya kaum
musyrik tinggal sejengkal jarak menemui Nabi ketika mereka telah berada di
bibir gua. Lalu beliau berkata kepada sahabat setianya, seperti diungkapkan
al-Qur’an Surat, at-Taubah [9]: 40, sebagai berikut;
“Jikalau
kamu tidak menolongnya (Muhammad) Maka Sesungguhnya Allah telah menolongnya
(yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah)
sedang Dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di
waktu Dia berkata kepada temannya: "Janganlah kamu berduka cita,
Sesungguhnya Allah beserta kita." Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada
(Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan
Al-Quran menjadikan orang-orang kafir Itulah yang rendah. dan kalimat Allah
Itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. at-Taubah
[9]: 40).
Hingga Rasulullah tiba di Madinah
(nama baru kota Yatsrib), tak pernah terjadi sekali pun perang fisik antara
kaum Muslim dengan kaum musyrik Makkah, walaupun sebagian pengikut Nabi
seringkali mengalami penganiayaan sampai menemui ajal. Nabi segera memulai
babak perjuangan baru bersama kaum Anshar.
Post a Comment