A. Jihad Periode Madinah
Jihad periode Madinah ditandai dengan
hijrahnya, nabi Muhammad ke Madinah. Arnold Toynbee, sejarawan modern
terkemuka, seperti dikutip Ali Syariati, mempunyai teori yang disebut Prinsip
Pergi dan Kembali. Bahwa orang-orang besar dalam sejarah umat manusia, yang
membangun peradaban, agama-agama dan masyarakat, pada tahap awal perjuangannya
meninggalkan kehidupan di negerinya dan keluar dari lingkungan masyarakat tanah
kelahirannya. Sesudah beberapa waktu dia mempersiapkan dirinya untuk memikul
tanggung jawab misalnya, dia kembali ke masyarakat dan lingkungannya semula dan
memulai kegiatannya. Kepulangannya yang mengagetkan pada saat dia sudah menjadi
besar itu, biasanya diawali oleh gerak hijrah secara sembunyi-sembunyi yang
mempunyai peranan besar dalam membentuk jiwa dan kepahlawanan orang-orang
tersebut. Nabi Ibrahim as, Nabi Musa, dan Nabi Muhammad Saw, sepanjang
pengasingan Nabi terarkhir di gua Hira selama 15 tahun itu bisa disebut juga
sebagai hijrah, adalah contoh-contoh paling baik untuk itu.[1]
Sebelum hijrah ke Yatsrib, dua
gelombang kaum Muslim berhijrah ke Abesinia (sekarang Ethiopia) melalui
perintah Rasulullah. Mereka berhijrah meninggalkan negeri menuju tempat di luar
daerah mereka dengan menyeberangi lautan, yakni Laut Merah, untuk bisa hidup
dalam lingkungan sosial politik yang baru. Dengan itu Nabi berusaha membuka
ufuk baru bagi bangsa Arab yang bercorak kekabilahan dan meluarkan wawasan
mereka terhadap alam, melalui jalur politik yang disandarkan pada hubungan
berbagai kabilah yang bertetangga.
Peristiwa hijrah diungkap al-Qur’an
sebagai berikut;
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan
Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. al- Baqarah [2]:
218)
Hijrah menjadi faktor tercapainya
kehidupan yang lebih baik bagi orang-orang tertindas dan merupakan sebab
diperolehnya kenikmatan yang lebih besar dalam kehidupan di dunia ini.
Sebab-sebab Nabi Saw berhijrah ke
Madinah, menurut suatu analisis, adalah sebagai berikut;
Pertama, perbedaan iklim di
kedua kota Makkah dan Madinah, mempercepat dilakukannya hijrah. Iklim Madinah
yang lembut dan watak rakyatnya yang tenang sangat mendorong penyebaran dan
pengembangan Islam di sana. Sebaliknya, kota Makkah tidak mempunyai keuda
kemudahan itu.[2]
Kedua, Nabi-nabi pada umumnya
tidak dihormati di negeri-negeri mereka. Nabi saw juga tidak diterima oleh
kaumnya sendiri. Beliau justru mendapat tantangan paling keras di Makkah. Akan
tetapi beliau diakui sebagai Nabi oleh orang-orang Madinah dan beliau
sungguh-sungguh diminta untuk datang ke kota mereka, dengan harapan bahwa
melalui pengaruh pribadi serta nasehat Nabi, perang yang berkepanjangan antara
kedua suku yang bermusuhan, yakni Aus dan Khazrat, yang hampir melumpuhkan
kehidupan yang normal dari orang-orang Madinah akan berakhir.[3]
Ketiga, golongan bangsawan
Quraisy secara bernafsu menentang agama baru ini, karena ia sangat bertentangan
dengan kepentingan mereka. Akan tetapi di Madinah tidak ada golongan pendeta
atau kaum bangsawan agama manapun yang menentangnya.[4]
Adapun tujuan hijrah dapat dirumuskan
sebagai berikut; Pertama, sebagai
upaya jihad dalam rangka menyelamatkan kemerdekaan dan kehormatan individu. Kedua, sebagai upaya jihad untuk
memperoleh kemungkinan-kemungkinan baru dan menemukan lingkungan yang mendukung
perjuangan di luar wilayah sosial politik yang zalim guna melakukan perjuangan
menentang kezaliman tersebut. Meninggalkan masyarakatnya untuk kelak kembali
lagi dengan memperoleh kemenangan, seperti eksodus Nabi Musa. Ketiga, sebagai upaya jihad untuk
menyebarkan dan mengembangluaskan pemikiran dan akidah di wilayah yang lain,
dalam rangka menunaikan tugas risalah kemanusiaan yang universal, serta
melaksanakan tanggung jawab di tengah-tengah umat manusia menyadarkan,
membebaskan, dan memberikan kebahagiaan bagi mereka.[5]
Keadaan Madinah sebelum datangnya Nabi
Muhammad tidak berbeda dengan keadaan di Makkah. Pelanggaran hukum merupakan
keadaan sehari-hari. Suku-suku berperang satu dengan yang lain. Tidak ada
pemerintahan yang dapat menegakkan hukum dan ketertiban. Suku Aus dan Khazraj
selama lebih dari satu abad dalam keadaan siap tempur dan hidup dalam suasana
perang yang berkepanjangan dan menghancurkan. Oleh karena itu mereka sangat
memerlukan perdamaian dan keamanan, karena tanpa itu pertanian, perdagangan,
dan bahkan kehidupan normal mereka sehari-hari hampir terhenti. Adapun golongan
Yahudi, mereka bersatu, hidup makmur dan paling berbudaya di sana.[6]
Dalam perjalanan hijrah, Nabi Saw,
sebagai langkah konkrit berjihad dalam
konteks dakwah bilisanil hal, beliau membangun masjid pertama di Quba, suatu
tempat kira-kira tiga mil menjelang Madinah, pada hari senin, 8 Rabi’ul Awwal 1
H (tahun ketiga belas kenabian).[7] Al-Qur’an
Surah, at-Taubah [9]: 108, Allah mengabadikan pembangunan masjid pertama itu
sebagai berikut;
“Janganlah kamu
bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguh- nya mesjid yang
didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut
kamu sholat di dalamnya. di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin
membersihkan diri. dan Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (QS. at-Taubah [9]: 108)
Langkah
monumental pertama Nabi di tempat tujuan adalah mengubah nama kota Yatsrib
menjadi Madinatur Rasul atau al-Madinah al-Munawwarah. Selanjutnya mendirikan
masjid sebagai kebutuhan mendesak tempat beribadah dan berkumpul. Nabi
mempersaudarakan kaum Muslimin Makkah yang berhijrah dengan tuan rumah dan
memberikan gelar Muhajirin dan Anshar.[8]
Allah
menggambarkan persaudaraan mereka dalam al-Qur’an Surah, al-Anfaal [8]; 72
sebagai berikut;
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya
pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan
pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain
lindung-melindungi. dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum
berhijrah, Maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka,
sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan
kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, Maka kamu wajib memberikan pertolongan
kecuali terhadap kaum yang telah ada Perjanjian antara kamu dengan mereka. dan
Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Anfaal [8]; 72).
Nabi terus melangkah membina umat.
Beliau mengajarkan juga kegiatan kemasyarakatan, bahkan merupakan ajaran yang
pertama kali sepanjang sejarah manusia. Nabi mencanangkan kepada masyarakat
agar menyumbangkan harta untuk dana umum yang dimanfaatkan bagi kesejahteraan
masyarakat. Pengumpulan harta itu diistilahkan secara umum sebagai Baitul Mal
atau perbendaharaan umum. Orang-orang Muslim yang miskin dan para penghuni
shuffah atau suatu bangunan di sudut masjid Nabi juga mendapat santunan dari
perbendaharaan umum ini.[9]
Dengan kejeniusan luar biasa dan
bimbingan Allah Swt, Nabi mengambil langkah-langkah untuk menciptakan
perdamaian di kota itu, membebaskan Madinah dari permusuhan antara suku Aus dan
suku Khazraj, membuat fakta perdamaian yang dikenal dengan “Piagam Madinah”,
antara lain untuk menyusun pertahanan yang efektif terhadap musuh dari luar,
yaitu Quraisy.
Piagam Madinah merupakan landasan
kehidupan masyarakat yang bersumber dari risalah Islam, dengan tujuan
menetapkan hak-hak individual dan masyarakat, hak-hak berbagai kelompok dan
kaum minoritas, dan menentukan garis politik dalam dan luar sistem pemerintahan
yang baru itu.[10]
Dalam rangka memperluas dakwah Islam
Rasulullah juga melakukan upaya jihad dengan mengutus Dihyah al-Kalbi membawa
surat kepada Heraclius, Kaisar Byzantium Romawi Timur yang berisi ajakan untuk
memeluk Islam. Nabi juga mengutus Syuja’ Ibn Wahab kepada Gubernur Damaskus
yang diangkat oleh Heraclius, Al-Haris Ibn Syammar. Kemudian Rasulullah
mengutus Hathib Ibn Abi Balta’ah untuk menyampaikan surat kepada Muqauqis yang
diangkat Kaisar Romawi sebagai Gubernur Mesir. Di samping itu, Rasulullah juga
mengutus Amr Ibn Umayyah Adh-Dhamri supaya menyampaikan surat kepada Najasyi
Raja Ethiopia.
Dari pengiriman surat-surat tersebut
sebagian pemimpin beriman dan menerima Islam sebagai agama mereka dan sebagian
lagi menolak. Di antara mereka ada yang menolak dengan cara yang baik dan ada
pula yang menolak dengan cara yang kasar, sehingga Nabi sempat mendoakan
penolak agar Allah merobek –robek, menghancurkan kekuasaannya. Nasib tragis
benar-benar di alami oleh Kisra raja Persia yang mati dibunuh anaknya sendiri.
Setelah itu terjadilah kekacauan besar di kekaisaran ini.
Demikianlah orang-orang yang beriman
kepada Allah dan Rasulnya adalah mereka yang berjihad di jalan Allah dengan
sungguh-sungguh untuk menegakkan kalimat Allah yang tinggi. Tegakknya kalimat
Allah di atas bumi ini dapat terwujud, karena upaya jihad yang sungguh-sungguh
dilakukan Rasulullah dan para sahabat, dan para pengikutnya.
Post a Comment