“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada
sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang
laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita
(pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah
sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
(QS, An Nisaa’ [4]: 32)
Syahdan, di suatu hutan
belantara, hiduplah seekor belalang muda yang cerdik. Belalang muda ini adalah
belalang yang lompatannya paling tinggi di antara sesama belalang yang lainnya.
Belalang muda ini sangat membanggakan kemampuan lompatannya ini. Sehari-harinya
belalang tersebut melompat dari atas tanah ke dahan-dahan pohon yang tinggi,
dan kemudian makan daun-daunan yang ada di atas pohon tersebut. Dari atas pohon
tersebut belalang dapat melihat satu desa di kejauhan yang kelihatannya indah
dan sejuk. Timbul satu keinginan di dalam hatinya untuk suatu saat dapat pergi
ke sana.
Suatu hari, saat yang
dinantikan itu tibalah. Teman setianya, seekor burung merpati, mengajaknya
untuk terbang dan pergi ke desa tersebut. Dengan semangat yang meluap-luap,
kedua binatang itu pergi bersama ke desa tersebut. Setelah mendarat mereka
mulai berjalan-jalan melihat keindahan desa itu. Akhirnya mereka sampai di
suatu taman yang indah berpagar tinggi, yang dijaga oleh seekor anjing besar. Belalang
itu bertanya kepada anjing, “Siapakah kamu, dan apa yang kamu lakukan di sini?”
“Aku adalah anjing penjaga
taman ini. Aku dipilih oleh majikanku karena aku adalah anjing terbaik di desa
ini,” Jawab anjing dengan sombongnya.
Mendengar perkataan si anjing, panaslah hati belalang muda. Dia lalu berkata lagi, “Hmm, tidak semua binatang bisa kau kalahkan. Aku menantangmu untuk membuktikan bahwa aku bisa mengalahkanmu. Aku menantangmu untuk bertanding melompat, siapakah yang paling tinggi diantara kita.”
Mendengar perkataan si anjing, panaslah hati belalang muda. Dia lalu berkata lagi, “Hmm, tidak semua binatang bisa kau kalahkan. Aku menantangmu untuk membuktikan bahwa aku bisa mengalahkanmu. Aku menantangmu untuk bertanding melompat, siapakah yang paling tinggi diantara kita.”
“Baik,” jawab si anjing.
“Di depan sana ada pagar yang tinggi. Mari kita bertanding, siapakah yang bisa
melompati pagar tersebut.”
Keduanya lalu berbarengan
menuju ke pagar tersebut. Kesempatan pertama adalah si anjing. Setelah
mengambil ancang-ancang, anjing itu lalu berlari dengan kencang, melompat, dan
berhasil melompati pagar yang setinggi orang dewasa tersebut tersebut.
Kesempatan berikutnya adalah si belalang muda. Dengan sekuat tenaga belalang
tersebut melompat. Namun, ternyata kekuatan lompatannya hanya mencapai tiga
perempat tinggi pagar tersebut, dan kemudian belalang itu jatuh kembali ke
tempatnya semula. Dia lalu mencoba melompat lagi dan melompat lagi, namun
ternyata gagal pula.
Si anjing lalu menghampiri
belalang dan sambil tertawa berkata, “Nah, belalang, apa lagi yang mau kamu
katakan sekarang? Kamu sudah kalah.”
“Belum,” jawab si
belalang. “Tantangan pertama tadi kamu yang menentukan. Beranikah kamu sekarang
jika saya yang menentukan tantangan kedua?”
“Apa pun tantangan itu, aku siap,” tukas si anjing.
“Apa pun tantangan itu, aku siap,” tukas si anjing.
Belalang lalu berkata
lagi, “Tantangan kedua ini sederhana saja. Kita berlomba melompat di tempat.
Pemenangnya akan diukur bukan dari seberapa tinggi dia melompat, tapi diukur
dari lompatan yang dilakukan tersebut berapa kali tinggi tubuhnya.”
Anjing kembali yang
mencoba pertama kali. Dari hasil lompatannya, ternyata anjing berhasil melompat
setinggi empat kali tinggi tubuhnya. Berikutnya adalah giliran si belalang.
Lompatan belalang hanya setinggi setengah dari lompatan anjing, namun
ketinggian lompatan tersebut ternyata setara dengan empat puluh kali tinggi
tubuhnya. Dan belalang pun menjadi pemenang untuk lomba yang kedua ini. Kali
ini anjing menghampiri belalang dengan rasa kagum.
“Hebat. Kamu menjadi
pemenang untuk perlombaan kedua ini. Tapi pemenangnya belum ada. Kita masih
harus mengadakan lomba ketiga,” kata si anjing.
“Tidak perlu,” jawab si
belalang. “Karena, pada dasarnya pemenang dari setiap perlombaan yang kita
adakan adalah mereka yang menentukan standar perlombaannya. Pada saat lomba pertama
kamu yang menentukan standar perlombaannya dan kamu yang menang. Demikian pula
lomba kedua saya yang menentukan, saya pula yang menang.” “Intinya adalah, kamu
dan saya mempunyai potensi dan standar yang berbeda tentang kemenangan. Adalah
tidak bijaksana membandingkan potensi kita dengan yang lain. Kemenangan sejati
adalah ketika dengan potensi yang kamu miliki, kamu bisa melampaui standar
dirimu sendiri. Iya nggak sih?”
Pesan moral cerita
sederhana di atas ingin mengingatkan diri kita- betapa sering kita
membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Kita membandingkan pendidikan,
penghasilan, kekayaan, dan keturunan kita dengan orang lain. Dampaknya tidak
sedikit muncul perasaan-perasaan negatif, seperti iri hati atau kecewa pada
diri sendiri, yang berujung pada pengkerdilan jati dan bersarang penyakit iri
dan dengki pada orang lain. Pantaslah kalau Nabi Muhammad mengingatkan kita,
kemenangan sejati bukanlah kemenangan atas orang lain, melainkan kemenangan
atas hawa nafsu diri sendiri.
Ibnu Taimiyah menyatakan
penyakit dengki terdiri dari dua macam. Pertama, tidak suka melihat nikmat yang
diperoleh orang lain secara mutlak. Orang yang dengki merasa sakit dan
menderita karena adanya nikmat pada orang lain, serta merasa senang jika nikmat
tersebut hilang. Inilah bentuk dengki yang tercela. Kedua, si pengki tidak suka
melihat kelebihan orang lain, sehingga ia ingin seperti orang tersebut atau
lebih baik. Dengki seperti ini disebut ghibthah. Di disebut dengki karena
berawal dari perasaan tidak suka ketika melihat keadaan orang lain lebih baik
darinya. Orang semacam ini ingin agar Allah hanya memberi nikmat kepada dirinya
saja dan tidak kepada orang lain. Dan ketika kondisi itu yang terjadi, maka
orang tersebut tidak memiliki rasa dengki sama sekali.
Menurut Ibnu Taimiyah,
sebagian besar orang diuji dengan penyakit dengki semacam ini. Jenis kedua ini,
atau ghibthah, disebut juga munafasah (persaingan sehat). Persaingan sehat
bukanlah sesuatu yang tercela, bahkan merupakan kebaikan yang terpuji. Allah
berfirman, “Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam
kenikmatan yang besar (surga). Mereka duduk di atas dipan-dipan sambil
memandang. Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang
penuh kenikmatan. Mereka diberi minum dan khamr murni yang di lak (tempatnya).
Laknya adalah kasturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya orang
berlomba-lomba. (QS, Al-Muthaffifin [83] : 22-26)
Sang Nabi membolehkan kita
umatnya untuk memiliki sifat iri hanya dalam dua perkara, pertama dalam hal
bersedekah dan ilmu. Sebagaimana yang dikemukakan Nabi, “Tidak ada iri hati
kecuali terhadap dua perkara, yakni seorang yang diberi Allah harta lalu dia
belanjakan pada jalan yang benar, dan seorang diberi Allah ilmu dan kebijaksaan
lalu dia melaksanakan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
Orang yang dengki ini
merasa susah jika melihat orang lain senang. Dan merasa senang jika orang lain
susah. Tak jarang dia berusaha mencelakakan orang yang dia dengki baik dengan
lisan, tulisan, atau pun perbuatan. Oleh karena itu Allah menyuruh kita
berlindung dari kejahatan orang yang dengki: “Dan dari kejahatan pendengki bila
ia dengki.” (QS. al-Falaq [113]: 5). Kedengkian
bisa menghancurkan pahala-pahala kita. "Hindarilah sifat dengki karena ia
akan memakan amalan kamu sebagaimana api memakan kayu yang kering." (HR
Bukhari dan Muslim).
Bagi Ibnu Taimiyah,
penyakit dengki merupakan gejala umum di masyarakat, terutama di kalangan
wanita bersuami. Dengki banyak juga terjadi di kalangan yang memperebutkan
kepemimpinan; atau jika salah satu di antara mereka memperoleh bagian dari
kekuasaan sedangkan yang lain tidak memperolehnya. Dengki juga terjadi di
kalangan saudara sekandung, karena tidak suka salah satu di antara mereka
mengungguli yang lain, seperti kedengkian saudara-saudara Nabi Yusuf.
Ibnu Taimiyah juga
menyebutkan tentang terapi dengki, “Barang siapa yang menemukan kedengkian di
dalam dirinya terhadap orang lain, maka ia harus memanfaatkan ketakwaan dan
kesabaran, sehingga ia membenci hal itu di dalam dirinya, dan melarang dirinya
untu melakukan hal itu lagi.
Ibn Taimiyah mengemukakan,
Allah telah memerintahkan Nabi-Nya dalam surah al-Falaq- supaya meminta
perlindungan dari keburukan pedengki ketika dengki. Demikian pula menolak
keburukan para pedengki dengan sedekah, kebaktian, dan berbuat kebajikan kepada
kaum fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan.
Dengki termasuk akhlak
yang buruk dan merupakan penyakit jiwa yang sangat membahayakan kesehatan
manusia. Sehingga, dapat dikatakan bahwa antara dengki dengan kesehatan manusia
mempunyai hubungan terbalik. Dengki merupakan sumber dari banyak penyakit
kejiwaan. Orang yang dengki hidup dengan penderitaan batin di dalam dirinya.
Obat untuk menyembuhkan
dengki adalah dengan berusaha menjauhinya. Jauhilah rasa dengki kepada orang
lain karena berbagai karunia yang Allah berikan kepada mereka. Dan, senantiasa
doakanlah orang-orang mukmin dengan kebaikan, keberkahan, rezeki, dan
pertolongan. Allah berfirman “Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhan yang
menguasai subuh, dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila
telah gelap-gulita, dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang
menghembus pada buhul-buhulnya, dan dari kejahatan orang yang dengki apabila
dia dengki.” (QS, al-Falaq [113] : 1-5)
Alangkah indahnya hidup
tanpa dengki. Siang memberi kekuatan fizikal untuk giat berkarya manakala malam
pula mententeramkan hati untuk lelap beristirehat. Sungguh indah nasihat
Rasulullah saw buat generasi penerus :
"Janganlah kamu saling mendengki, saling memfitnah (untuk suatu persaingan yang tidak sehat), saling membenci, saling memusuhi dan jangan pula saling mengikat transaksi orang lain. Jadilah kamu hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslimnya yang lain, ia tidak menzaliminya, tidak mempermalukannya, tidak mendustakannya dan tidak pula memperlecehkannya. Taqwa tempatnya adalah di sini –seraya Nabi saw menunjuk ke dadanya tiga kali." (HR, Muslim)
"Janganlah kamu saling mendengki, saling memfitnah (untuk suatu persaingan yang tidak sehat), saling membenci, saling memusuhi dan jangan pula saling mengikat transaksi orang lain. Jadilah kamu hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslimnya yang lain, ia tidak menzaliminya, tidak mempermalukannya, tidak mendustakannya dan tidak pula memperlecehkannya. Taqwa tempatnya adalah di sini –seraya Nabi saw menunjuk ke dadanya tiga kali." (HR, Muslim)
Setiap muslim harus
berusaha membuang dari dirinya sifat dengki tersebut dengan cara ridha terhadap
qadha dan qadarNya serta mencintai kebaikan yang dimiliki saudaranya
sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam., “Tidak beriman salah seorang dari kalian sehingga ia
mencintai untuk saudaranya apa-apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri” (HR,
Al-Bukhari)
“Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh, dari
kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap-gulita, dan
dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhulnya,
dan dari kejahatan orang yang dengki apabila dia dengki.”
(QS, Al-Falaq [113] : 1-5)
Post a Comment