“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaknya setiap pribadi memperhatikan apa yang yang ia persiapkan untuk hari esok. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Tahu segala sesuatu yang kamu kerjakan.”
(QS. al-Hasyr [59]: 18
Ketika Napoleon Bonaparte menyerbu dan
mengalahkan Mesir, umat Islam seluruh dunia mengalami shock luar biasa, karena selama ini mereka berpikir bahwa tidak
suatu golongan manusia pun yang lebih unggul dan sanggup mengalahkan mereka.
Selama berabad-abad orang-orang Muslim betul-betul memahami secara taken for granted adagium dalam bahasa
Arab, “al-Islam ya’lu wa la yu’la alayhi”
(Islam adalah unggul, dan tak terungguli oleh yang lain).[1]
Sikap mereka itu tentunya bisa
dipahami, karena memang dapat dikatakan bahwa Islam memegang supremasi dunia
sejak agama itu tampil ke muka bumi sampai munculnya zaman modern. Sejarah
ditandai oleh berbagai variasi jatuh bangun dan naik-turun kekuatan politik
kaum Muslim. Namun supremasi mereka atas golongan non-Muslim di semua bidang,
termasuk bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, tetap bertahan bahkan dalam
masa-masa titik paling rendah kekuatan politik dan militer mereka.
Gambaran tentang sikap orang-orang
Muslim saat itu yang cenderung memandang rendah “orang-orang Utara” (Eropa)
dapat diperoleh dari kutipan pandangan Sha’id al-Andalusi, seorang sarjana
Muslim Spanyol. Dalam bukunya Thabaqat
al-Umam (Tingkat-tingkat Bangsa-bangsa), tentang orang-orang Eropa itu,
Shaid mengatakan demikiran;
...Adapun
selain kategori bangsa-bangsa ini yang tidak pernah mengembangkan ilmu
pengetahuan, mereka itu lebih mirip hewan daripada manusia. Di antara mereka
yang hidup jauh di Utara- yaitu antara iklim ketujuh dan batas-batas dunia yang
bisa dihuni manusia- begitu besar terpengaruh oleh jarak matahari yang amat
jauh dari azimut di atas kepala mereka, yang menghasilkan iklim dingin dan
udara yang pekat, sehingga watak mereka itu menjadi dingin dan jasmani mereka
menjadi kasar. Akibatnya, badan mereka menjadi besar-besar, warna kulit mereka
pucat dan rambut mereka panjang (berewok). Dikarenakan hal yang sama, mereka
kurang tajam dalam kecerdasan dan daya paham, serta bercirikan kebodohan dan
kedunguan. Kebodohan dan kebutaan mental juga sangat umum terdapat pada
bangsa-bangsa Slavia, Bulgaria, dan bangsa-bangsa sekitarnya.[2]
Selain Shaid, masih banyak lagi
sarjana Muslim klasik, termasuk Ibn Khaldun, yang membuat catatan dengan nada
merendahkan bangsa-bangsa Barat. Dan salah satu sebab mengapa penguasa Muslim
Spanyol tidak pernah dengan sungguh-sungguh mencoba lagi menyeberangi
pegunungan Pyrene untuk “menaklukan”
Perancis ialah karena persepsi tadi. Bahwa daerah-daerah di sebelah utara itu
terlalu dingin dan tidak cocok lagi untuk mengembangkan peradaban. Dan
manusianya, seperti kata Sha’id terlalu kasar dan bodoh.
Tetapi keadaan berubah total setelah
munculnya zaman modern oleh revolusi industri di Inggris dan revolusi sosial
politik di Perancis pada paruh kedua abad ke-18 itu. Masyarakat manusia tidak
lagi diatur oleh pola-pola Gelombang 1 (First
Wave, istilah Alvin Toffler) yang telah dirintis oleh bangsa Sumeria di
lembah Mesopotamia 5000 tahun yang lalu, yaitu pola-pola kemasyarakatan
berdasarkan hubungan ekonomi agraris. Peradaban
Islam adalah suatu kelanjutan pola masyarakat Sumeria itu. Maka dalam
hakikatnya yang paling mendasar, peradaban islam kuna itu adalah peradaban
agraris. Akan tetapi, menurut Mashall Hodgson, peradaban Islam bersifat agraris
tidak dalam arti hanya sekadar kelanjutan peradaban Sumeria. Peradaban Islam
adalah puncak perkembangan peradaban Sumeria, dengan cari perkotaan yang sangat
menonjol.
[2] Sha’id
al-Andalusi, Kitab Thabaqat al Umam,
ed. L. Cheiko (Beirut: al-Mathba’at al-Katsulikiyah, 1912), hal. 8-9. Lihat
juga, Philip K. Hitti, Islam and the West,
(Princeton, New Jersey: D. Van Nostrand Co., 1962), hal. 166. Lihat juga, Nurcholis
Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam,
(Jakarta: Paramadina, Cet. I, 1997), hal. 10.
Post a Comment