Pembahasan
Setelah peradaban Islam mencapai
puncaknya, kemudian mengalami kemunduran- bagaikan rembulan yang telah menjadi
purnama, maka malam-malam berikutnya cahayanya perlahan-lahan redup dan hilang
ditelan keremangan malam yang pekat. Sedangkan sebab-sebab kehancuran dunia
Islam itu antara lain;
A. Menurunnya Kreativitas Keilmuan Umat Islam
Pemikiran rasional dipengaruhi oleh
persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal seperti terdapat dalam
al-Qur’an dan hadits. Persepsi ini bertemu dengan persepsi yang sama dari
Yunani melalui filsafat dan sains Yunani yang berada di kota-kota pusat
peradaban Yunani di dunia Islam zaman klasik, seperti Aleksandria (Mesir),
Jundisyapur (Irak), Antakia (Syria) dan Bactra (Persia). Di sana memang telah
berkembang pemikiran rasional Yunani.
Pertemuan Islam dan peradaban Yunani pada
masa awal Islam- melahirkan pemikiran rasional di kalangan ulama Islam zaman klasik.
Tapi, perlu ditegaskan di sini bahwa ada perbedaan antara pemikiran rasional
Yunani dan pemikiran rasional Islam zaman klasik. Di Yunani tidak dikenal agama
Samawi, maka pemikiran bebas, tanpa terikat pada ajaran-ajaran agama, tumbuh,
dan berkembang. Sementara pada masa Islam klasik pemikiran rasional ulama
terikat pada ajaran-ajaran agama Islam sebagaimana yang terdapat dalam
al-Qur’an dan hadits. [1]
Oleh karena itu, kalau di Yunani
berkembang pemikiran rasional yang sekular, maka dalam Islam zaman klasik
berkembang pemikiran rasional yang agamis. Pemikiran ulama filsafat dan ulama
sains, sebagaimana halnya pada para ulama dalam bidang agama sendiri, terikat
pada ajaran-ajaran yang terdapat dalam kedua sumber utama tersebut. Dengan
demikian, dalam sejarah peradaban Islam, pemikiran para filosof dan
penemuan-penemuan ulama sains tidak ada yang bertentangan dengan al-Qur’an dan
hadits. Filsafat dan sains berkembang dengan pesat di dunia Islam zaman klasik
ini- di samping ilmu-ilmu agama seperti tafsir, hadits, akidah, ibadah,
muamalah, tasawuf, dan sebagainya. Perkembangan yang pesat ini bukan hanya di
dunia Islam bagian timur yang berpusat di Baghdad, tetapi juga di dunia Islam
bagian Barat, yakni Andalusia (Spanyol Islam) dengan kedua kotanya; Cordoba dan
Sevilla.[2]
Di zaman Islam klasik, Eropa sedang
berada pada zaman pertengahan yang terbelakang. Tidak mengherankan kalau
orang-orang Eropa dari Italia, Prancis, Inggris, dan lain-lain, berdatangan ke
Andalusia untuk mempelajari sains dan filsafat yang berkembang dalam Islam.
Kemudian mereka pulang ke tempat masing-masing membawa ilmu-ilmu yang mereka
peroleh itu. Buku-buku ilmiah Islam mereka terjemahkan ke dalam bahasa latin.
Melalui mereka pemikiran rasional
Islam yang agamis itu beserta sains dan filsafatnya dibawa ke Eropa, tetapi di
sana menghadapi tantangan dari Gereja. Pertentangan itu membuat ulama sains dan
filsafat di Eropa melepaskan diri dari Gereja dan pemikiran rasional di sana
berkembang terlepas dari ikatan agama. Pemikiran rasional di Eropa pada zaman
Renaisans dan zaman Modern kembali menjadi sekular seperti di zaman Yunani
sebelumnnya. Pemikiran rasional sekular itu membawa kemajuan pesat dalam bidang
filsafat, sains, dan teknologi di Eropa sebagaimana yang kita saksikan sekarang
ini.
Ketika pemikiran rasional Islam pindah
ke Eropa dan berkembang di sana, di dunia Islam zaman pertengahan berkembang
pemikiran tradisional, menggantikan pemikiran rasional tersebut. Dalam
pemikiran tradisional ini, para ulama bukan hanya terikat pada al-Qur’an dan
hadits, tetapi juga pada ajaran hasil ijtihad ulama zaman klasik yang amat
banyak jumlahnya. Oleh karena itu, ruang lingkup pemikiran ulama zaman
pertengahan sangat sempit. Mereka tidak punya kebebasan berpikir. Akibatnya
sains dan filsafat, bahkan juga ilmu-ilmu agama, tidak berkembang di dunia
Islam zaman pertengahan. Filsafat dan sains malahan hilang dari peredaran. Ini
bertentangan sekali dengan keadaan di Eropa zaman modern di mana, seperti telah
disinggung di atas, filsafat dan sains amat pesat berkembang dan jauh melampaui
capaian dunia Islam.[3]
Sementara itu, pendidikan dan
pengajaran Islam pada masa itu- hanya berkutat pada materi-materi keagamaan.[4]
Lembaga-lembaga keagamaan tidak lagi mengajarkan ilmu-ilmu filosofis, termasuk
ilmu pengetahuan. Rasionalisme pun kehilangan peranannya, dalam arti semakin
dijauhi. Kedudukan akal semakin surut. Dengan dicurigainya pemikiran rasional,
daya penalaran umat Islam mengalami kebekuan sehingga pemikiran kritis,
penelitian, dan ijtihad tidak lagi dikembangkan. Akibatnya, tidak ada lagi ulama-ulama yang menghasilkan karya-karya
intelektualisme yang mengagumkan. Mereka lebih senang mengikuti
pemikiran-pemikiran ulama terdahulu daripada berusaha melakukan
penemuan-penemuan baru. Keterpesonaan terhadap buah pikiran masa lampau,
membuat umat Islam merasa cukup dengan apa yang sudah ada. Mereka tidak mau
berusaha lebih keras lagi untuk memunculkan gagasan-gagasan keagamaan yang
cemerlang. Usaha yang mereka tempuh hanyalah sebatas pemberian syarah atau ta’liqah pada kritik-kritik ulama terdahulu yang bertujuan
memudahkan pembaca untuk memahami kitab-kitab rujukan dengan menjelaskan
kalimat-kalimat secara semantik; atau menambah penjelasan dengan mengutip
ucapan-ucapan para ulama lain.[5]
Ketika umat Islam Timur Tengah
menjalin kontak dengan Barat pada abad kedelapan belas Masehi- mereka amat
terkejut melihat kemajuan Eropa. Mereka tidak menyangka bahwa Eropa yang
belajar dari mereka pada abad kedua belas dan abad ketiga belas telah begitu
maju, bahkan mengalahkan mereka dalam peperangan-peperangan seperti yang
terjadi anatara Kerajaan Turki ‘Utsmani dan Eropa Timur.
Hal ini membuat ulama-ulama abad
kesembilan belas merenungkan apa yang perlu dilakukan umat Islam untuk mencapai
kemajuan kembali sebagaimana umat Islam zaman klasik dulu. Maka lahirlah pembaruan
Islam di Mesir seperti al-Thatthawi, Muhammad Abduh, dan Jamaluddin al-Afghani;
di Turki dengan tokoh-tokohnya seperti Mehmet Sedik Rifat, Nemik Kamal. Di
India seperti Ahmad Khan, Ameer Ali, dan Muhammad Iqbal. Semua pembaharu ini
berpendapat bahwa untuk mengejar ketinggalan itu umat Islam harus menghidupkan
kembali pemikiran rasional agamis zaman klasik Islam dengan perhatian yang
besar pada sains dan teknologi.
B. Kesatuan Integral; antara Agama dan Negara dalam
Islam
Islam tidak memisahkan antara agama
dan negara. Sebagaimana al-Qur’an membicarakan tentang Allah dan keesaannya,
surga dan neraka, pahala dan dosa, juga menetapkan puasa dan shalat, serta
menganjurkan umat Islam untuk berakhlak mulia. Ajaran Islam juga mensyariatkan
tentang undang-undang jual beli, ijarah, hudud, hukum waris, masalah peperangan,
problem solving rumah tangga, dan lain-lain.[6]
Ketidakterpisahan itu, tergambar jelas
pada keseharian Rasulullah, selain menjadi pemimpin umat, beliau juga memimpin
pasukan, membuat perjanjian, melakukan pengiriman delegasi-delegasi negaranya
ke wilayah lain. Demikian juga yang dilakukan oleh para khalifah sesudah
beliau.[7]
Oleh karena itu, sulit diterima akal
sehat- kalau ada yang mengemukakan, bahwa ajaran agama adalah salah satu unsur
penyebab kemunduran umat Islam. Padahal sebaliknya- justru agama sebagai faktor
utama yang membuat perkembangan dan kemajuan peradaban Islam. Karena ajaran
agama- menganjurkan umatnya untuk bekerja keras- agar meraih kebahagiaan di
dunia dan akhirat.[8]
Hal senada juga dikemukakan Maududi,
bahwa pentingnya menjadikan Islam sebagai ideologi holistik. Dia mencela
tradisi Islam dan institusi-institusi tradisional yang mencoba memisahkan agama
dengan politik. Baginya, agama dan
politik (negara) merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan
komponen yang menyatu dengan kebenaran Islam. Oleh karena itu, upaya
memaksimalkan da’wah Islamiyah harus ditujukan pada sasaran utamanya yaitu
mendirikan negara Islam.[9]
Hanya negara Islamlah yang mampu
mengatasi berbagai macam problematika yang dihadapi umat Islam saat ini. Pandangan
Maududi yang cukup radikal ini merupakan sintesa harmonis dan sinergis dalam
rangka memetakan da’wah dan politik dalam satu wilayah yang tidak dapat
dipisahkan sama sekali.[10]
C. Islam Agama yang Sesuai dalam setiap Zaman dan
Tempat
Dalam ajaran Islam ada adagium yang
menyatakan bahwa Islam adalah agama yang selalu sesuai dalam setiap zaman dan
tempat. Tetapi dalam prakteknya ada yang beranggapan- bahwa ajaran Islam itu
tidak mungkin di praktekkan umat Islam selalu sesuai dengan zaman dan tempat di
mana mereka hidup.
Padahal, sebagaimana yang dikemukakan
ulama, bahwasanya ajaran tauhid dan akhlak yang baik adalah mutlak- dan tentu termasuk
keberadaan akal yang sehat- karena sangat berguna bagi umat manusia.
Sebagaimana yang sudah dijelaskan bahwa agama Islam adalah agama yang
diperuntukkan bagi kebahagiaan umat manusia di dunia dan akhirat.[11]
Oleh karena itu, Islam sangat
menghargai posisi akal dan mengajak umat manusia untuk mempergunakannya sebaik
mungkin. Seperti yang disinyalir Allah Swt, dalam al-Qur’an Surat, Yasiin [36]:
68, sebagai berikut;
“Dan Barangsiapa yang Kami panjangkan
umurnya niscaya Kami kembalikan Dia kepada kejadian(nya). Maka Apakah mereka
tidak memikirkan?,” (QS. Yasiin [36]: 68).
Al-Qura’an Surah, Arrum [30]: 28, sebagai
berikut;
“Dia membuat perumpamaan untuk kamu
dari dirimu sendiri. Apakah ada diantara hamba-sahaya yang dimiliki oleh tangan
kananmu, sekutu bagimu dalam (memiliki) rezeki yang telah Kami berikan
kepadamu; Maka kamu sama dengan mereka dalam (hak mempergunakan) rezeki itu,
kamu takut kepada mereka sebagaimana kamu takut kepada dirimu sendiri?
Demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat bagi kaum yang berakal.” (QS. Arrum [30]:
28).
Sebagaimana yang sudah dijelaskan
sebelumnya- bahwa ajaran Islam diturunkan ke muka bumi untuk kebahagiaan umat
manusia di dunia dan akhirat. Hal itu ditandai dengan pembahasan ajaran Islam
yang menyentuh seluruh ranah aspek kemanusiaan umat manusia. Diantaranya
membahas hal-hal yang berkenaan dengan spiritual, civilization, konsep ketuhanan, kredo tentang surga, neraka, dan
hari kebangkitan. Dalam urusan muamalah, misalnya membahas tentang jual beli,
penggadaian, problem solving rumah
tangga, harta warisan, dan lain-lain.[1]
Tentunya, apabila peran akal sangat
kurang dalam memahami dan menyelesaikan masalah-masalah diatas- pasti akan
berdampak pada penyelesaian masalah tersebut yang tidak akan behasil dengan
baik. Oleh karena itu, peran akal dalam menyelesaikan suatu persoalan sangat
mendasar- agar pengetahuan yang dihasilkan bermanfaat dan tidak berujung pada
kerusakan.[2]
Tidaklah berlebihan kalau Ahmad Syalabi
menyatakan bahwa- akal dan wahyu sama sekali tidak bertentangan. Apabila
terkesan terjadi pertentangan antara akal dan wahyu. Hal itu lebih disebabkan
karena keterbatasan dan kelemahan akal dalam menafsikran ajaran suci wahyu.
Oleh karena itu, suatu masalah yang dijelaskan wahyu- sudah bisa dipastikan,
pasti menyuarakan kebenaran. Seperti perumpamaan mengenai hak waris suami
terhadap isteri dan sebaliknya, kemudian berdasarkan pertimbangan akal tidak
menerima ketentuan tersebut, karena pembagiaannya dianggap tidak adil. Maka sudah
barang tentu- yang harus diikuti adalah wahyu. Karena hal ini menunjukkan kelemahan
akal yang tidak mampu mengambil hikmah terdalam dari apa yang disyariatkan
Islam.[3]
A. Hancurnya ketahanan moral umat Islam
Hancurnya ketahanan moral umat Islam, lebih
disebabkan- karena umat Islam dihinggapi “penyakit” wahn (hubbundunya wa
karahiyatul mauwt). Umat Islam dilanda sikap hidup berfoya-foya, korup, dan
tidak dekat lagi dengan kehidupan para mustadh’afin dan nasib yang menimpa para
dhu’afa. Ibnu khaldun mengemukakan, “Kemewahan itu merupakan pertanda bahwa
peradaban suatu bangsa yang dibangun akan mengalami kehancuran.[4]
Musuh-musuh Islam melihat dengan jelas
kerusakan dalam masyarakat Muslim. Dalam kaitan dengan runtuhnya Daulah
Abbasiyah- duta dari Mongol, Hulaghu Khan, menggunakan argumen kaum Muslimin,
yang didukung oleh referensi dari al-Qur’an Suci, untuk membenarkan tindakan
mereka. Hulaghu Khan menulis surat, “Doa-doa melawan kami tidak akan di dengar
karena kalian telah memakan yang diharamkan dan kata-kata kalian kotor, kalian
mengingkari sumpah dan janji, dan ketidakpatuhan dan perpecahan terjadi di
antara kalian. Diingatkan bahwa kelompok kalian akan malu dan dihina. “Hari ini
kamu diberi azab yang menghinakan karena kamu berlaku sombong di muka bumi
tanpa kebenaran dan karena kamu telah fasik’ (QS, al-Ahqaf [46]: 20. “Dan
orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan
kembali.” (QS, asy-Syu’ara [26]: 227). Hulaghu Khan memperkirakan dengan tepat,
“Kalian akan menderita malapetaka di tangan kami, dan tanah-tanah kalian akan
kosong dari kalian.”[5]
Hal yang penting bahwa banyak
cendekiawan Muslim masa itu yang menentang penguasa Baghdad, bahkan bergabung
dengan bangsa Mongol. Khawaja Nashiruddin Thusi, salah seorang cendekiawan
Syi’ah termasyhur (1201-1274) dan dihormati oleh Imam Khomeini, juga bergabung
dengan penakluk dari Mongol, Hulaghu, ketika dia melewati Iran dalam
perjalanannya ke Baghdad. Ini menimbulkan tuduhan keterlibatan dalam
penaklukan.[6]
B. Berkembangnya Sikap hidup Fatalistis
Berkembangnya sikap hidup fatalis umat
Islam- yang bergantung dan mengembalikan segala keuntungan dan penderitaan
kepada Tuhan. Sikap hidup yang fatalis ini ditandai dengan tidak lagi percaya
kepada kemampuannya untuk maju atau mengatasi problem keagamaan dan
kemasyarakatan. Mereka lari dari kenyataan dan hanya mendekatkan diri kepada
Tuhan.
Oleh karena itu, mereka masuk ke
tarekat-tarekat sehingga tarekat sangat berpengaruh dalam hidup umat Islam.
Dengan berdzikir dan berdoa sebanyak-banyaknya mereka berharap semoga Allah
menghapus penderitaan mereka dan mengembalikan kejayaan yang pernah dicapai
umat Islam. Berpikir ilmiah dan pengembangan sains kurang mendapat perhatian.
Karena itulah, berkembang tahayyul dan khurafat. Mereka percaya pada kekuatan syeikh-syeikh dan
benda-benda keramat, sebagaimana yang telah digambarkan oleh Ahmad Amin
mengutip dari Muhammad bin Abd al-Wahhab:
...Para
wali itu didatangi dan dijadikan tempat bernazar. Banyak orang Islam yang
percaya bahwa wali-wali itu mampu mendatangkan kebaikan dan bahaya. Kuburan-kuburan
tidak terbilang jumlahnya yang dibangun di seluruh daerah Islam. Orang-orang
datang ke sana, meminta berkah, merendahkan diri dihadapan-nya, dan meminta
untuk mendapatkan kebaikan dan dijauhkan dari kesulitan. Di setiap tempat terdapat
satu atau beberapa wali...[7]
C. Sikap Hidup Umat Islam yang kurang Toleran
Sikap-sikap tidak toleran dan fanatik
kepada madzhab atau golongan sendiri itulah yang menyebabkan umat Islam mundur.
Tidak saja karena sikap-sikap itu menyedot energi masyarakat, tapi juga memalingkan
perhatian orang dari hal-hal yang lebih mendasar dan menentukan perkembangan
dan kemajuan peradaban. Syeikh Muhammad Rasyid Ridla, seorang tokoh pemikir
Islam Zaman Modern dari Mesir (murid dan teman Syeikh Muhammad ‘Abduh), dalam
mukaddimahnya untuk penerbitan kitab al-Mughni (oleh Ibn Qudamah) menggambarkan
sikap-sikap tidak toleran itu demikian:
Mereka
yang fanatik kepada madzhab itu mengingkari bahwa perbedaan adalah rahmat,
semuanya bersikeras dalam sikap pastinya bertaqlid kepada madzhabnya, dan
mengharamkan para penganutnya untuk mengikuti yang lain sekalipun untuk suatu
keperluan yang membawa kebaikan. Sikap saling menjatuhkan satu sama lain sudah
dikenal dalam buku-buku sejarah dan buku-buku lain, sehingga dapat terjadi
bahwa sebagian orang Islam, jika mereka dapati penduduk suatu negeri bersikap
fanatik kepada madzhab selain madzhab mereka sendiri, mereka pandang penduduk
negeri itu bagaikan memandang onta yang penyakitan.[8]
Rasyid
Ridla juga menceritakan bahwa pada zaman Modern ini, di akhir abad
ketigabelas Hijriah, di Tripoli, Syria, dan beberapa tokoh madzhab Syafi’i
mendatangi mufti- dan dia adalah pembesar ulama di sana- agar ia membagi masjid
setempat menjadi dua antara mereka dan para penganut madzhab Hanafi. Alasannya,
tokoh tertentu dalam madzhab Hanafi itu memandang para penganut madzhab Syafi’i
seperti ahl al-dzimmah (non-Muslim
yang harus dilindungi) berdasarkan pendapat yang saat-saat itu menyebar luas
bahwa seorang penganut madzhab Hanafi tidak dibenarkan nikah dengan seorang penganut
madzhab Syafi’i. Para penganut madzhab Syafi’i itu diragukan imannya, karena membolehkan orang mengatakan: “Saya
beriman, insya Allah.” Hal itu menunjukkan bahwa mereka tidak mempunyai
kepastian dalam iman mereka, padahal iman menuntut keyakinan- dan sebaliknya.
D. Jatuhnya Kekhalifahan Abbasiyah
Jatuhnya kerajaan Abbasiyah oleh
serangan orang-orang Tartar dan Mongol pada masa pertengahan abad ke-13 M.,
ketika kota Baghdad sebagai pusat ilmu dan kebudayaan hancur sama sekali.
Sekitar 800. 000 penduduk Baghdad dibunuh. Perpustakaan dihancurkan, ribuan
rumah penduduk diratakan. Dalam peristiwa tersebut, umat Islam kehilangan
lembaga-lembaga pendidikan dan buku-buku ilmu pengetahuan yang sangat berharga
nilainya.
Musnahnya beribu-ribu buku, baik buku-buku
tentang keagamaan maupun ilmu-ilmu sains- mempengaruhi perkembangan
intelektualisme Islam, apalagi yang menyangkut kelestarian ilmu-ilmu
pengetahuan dan sains dalam Islam. Berbagai literatur sains telah lenyap.
Sedangkan di kalangan masyarakat yang bebas dari bencana kaum Mongol tidak ada
yang menguasai berbagai bidang sains dan
filsafat. Inilah salah-satunya yang mempersulit umat Islam untuk
mengembalikan kekayaan intelektual yang berharga seperti pada masa kejayaan
semula.
Kehancuran Abbasiyah membuka
kesempatan bagi orang-orang Turki untuk naik ke panggung sejarah politik Islam.
Keturunan Hulaghukan mendirikan Kerajaan Turki di daerah-daerah yang mereka
kuasai. Timur Lenk, keturunan Jengis Khan, membentuk Dinasti Timur Lenk di
daerah Samarkand setelah menaklukkannya pada 1369 M. Di Asia Kecil, seorang
keturunan Kepala Suku Turki, Usman, membangun dinasti yang dinamai Usmaniyah.
Selain Asia Kecil, Dinasti Usmani mencapai sukses besar dalam mengembangkan
wilayah kekuasaannya sehingga meliputi Asia Kecil, Armenia, Irak, Suria, Libia,
Tunis, Al-Jazair, Bulgaria, Yaman, Yugoslavia, Albania, dan Rumania.
Penguasa-penguasa Turki tersebut
mengerahkan segenap perhatian mereka untuk kebesaran dan kejayaan politik.
Mereka kurang begitu memperhatikan pemikiran dan ilmu pengetahuan. Memang
mereka menyemarakkan pelaksanaan pengajaran dan pendidikan Islam, namun mereka
juga terbawa oleh kondisi dunia Islam pada umumnya yang tidak peduli terhadap
intelektual Islam. Di Irak juga berdiri kerajaan besar, yaitu Kerajaan Syafawi.
Sedangkan di India terdapat kerajaan Islam yang besar seperti halnya Kerajaan
Syafawi dan Kerajaan Usmani.
Akan tetapi, kerajaan-kerajaan besar tersebut
kurang antusias terhadap kehidupan pemikiran Islam. Meski mereka mempunyai
kejayaan terutama dalam bentuk literatur, seperti diungkapkan oleh Harun
Nasution, namun bobot dan jumlahnya tidak mengagumkan seperti pada masa
sebelumnya. Perhatian pada ilmu pengetahuan kurang sekali. Kurangnya perhatian
penguasa-penguasa terhadap kehidupan intelektualisme menambah umat Islam
semakin tidak bergairah untuk melahirkan karya-karya intelektual sehingga ilmu
pengetahuan Islam mengalami stagnasi.
E. Dikuasainya Sektor Prekonomian oleh Eropa
Eropa yang telah menemukan kebangkitan
intelektual, mulai meninggalkan umat Islam. Bangkitnya rasionalisme dan
intelektual telah menuntun orang-orang Eropa menemukan sumber-sumber kekayaan
di luar Eropa, seperti Amerika, Australia, dan Timur Jauh.[9] Penemuan
Tanjung Harapan pada abad ke-15 M, oleh pelaut-pelaut Eropa Barat sangat
memukul prekonomian Islam. Jalur perdagangan Timur Jauh dan Barat yang dahulu
dikuasai oleh Islam karena harus melewati jalur darat milik Islam, berpindah
melalui jalur laut melalui Tanjung Harapan sehingga negara-negara Barat dapat
menggantikan kedudukan Islam sebagai penguasa perdagangan jalur Barat.
Ekonomi yang meningkat dan pemikiran
rasional yang berkembang baik membawa Eropa ke zaman modern yang ditandai
dengan kemajuan dalam pemikiran dan sains serta teknologi. Setelah lama Eropa
tak mempunyai adikuasa, mulailah muncul di sana pada abad kedelapan belas M.
Dua adikuasa yaitu, Inggris dan Perancis.
Ketiga adikuasa Islam, Kerajaan Turki
‘Ustsmani, Safawi, dan Mughal kini menghadapi saingan. Sementara itu, pemikiran rasional dan orientasi dunia,
yang telah hilang dari dunia Islam- digantikan dengan pemikiran tradisional dan
orientasi akhirat- tidak bisa mengembangkan sains dan teknologi. Di Eropa
berkembang dengan cepat sains dan teknologi.
Maka dalam
persaingan ini Inggris dan Prancis dengan sains dan teknologi modernnya
mengungguli ketiga adikuasa Islam tersebut. Persenjataan Kerajaan, Utsmani,
Safawi, dan Mughal yang masih tradisional tak dapat mengimbangi persenjataan
Inggris dan Perancis yang modern. Maka dalam peperangan-peperangan antara dunia
Islam dan Barat, dunia Islam senantiasa mengalami kekalahan.
Jangankan melawan
Inggris dan Prancis, melawan Spanyol dan Portugal, keduanya hanya merupakan
dunia kecil, dunia Islam tak sanggup. Portugal menyerang dunia Islam sebagai
balas dendam terhadap umat Islam yang menguasai daerah mereka di Eropa untuk
lebih dari 700 tahun. Di Timur Jauh Spanyol dan Portugal dapat menjajah
beberapa daerah seperti Filipina oleh Spanyol dan Timor Timur oleh Portugal.
Kerajaan Mughal di
India dihancurkan Inggris pada 1857 M. Kerajaan Safawi di Persia tidak
dihancurkan baik oleh Inggris dan Prancis, tetapi jatuh dengan sendirinya.
Raja-raja Persia sesudahnya tak pernah lagi membuat negara ini menjadi
adikuasa.
Kerajaan Utsmani
dalam peperangannya dengan Eropa mulai dari abad kedelapan belas selalu
mengalami kekalahan sehingga ia degelari The
Sick Man of Europe, orang sakit Eropa. Tetapi, ia masih tetap bertahan
sampai permulaan abad kedua puluh M. Kerajaan Turki Utsmani turut perang
bersama Jerman melawan Inggris dan Prancis dalam Perang Dunia ke-satu, tetapi
mengalami kekalahan. Di sini berakhirlah wujud Kerajaan Turki Utsmani dan
sekaligus berakhir pula masa adikuasa Islam, untuk selanjutnya diganti oleh
adikuasa dunia Barat.
Kekayaan yang melimpah membuat Eropa
semakin kuat baik dalam politik, ekonomi, bahkan dalam bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi. Akibatnya, timbul tekanan Barat terhadap umat Islam. Semakin
hari umat Islam dibuat lemah oleh Barat. Di kemudian hari, lahirlah upaya-upaya
pembaruan atau modernisme di dunia Islam. Namun, mereka tetap belum mampu
mengejar ketinggalan mereka dari Barat; dan akhirnya malah terjadi kolonialisme
di beberapa wilayah yang mayoritas penduduknya umat Islam, misalnya Indonesia,
Malaysia, India, Siria, dan Lebanon.
F. Sunnatullah
Sungguh, keadaan umat Islam yang jauh
tertinggal oleh bangsa-bangsa lain memang sangat memilukan. Namun barangkali
tida perlu disesali sedemikian rupa sehingga kita kehilangan kemampuan melihat
ke depan dengan penuh harapan. Kemunduran dunia Islam dapat dilihat sebagai
wujud operasi Sunnatullah. Salah satu unsur penting hukum itu ialah adanya
prinsip perputaran (mudawalah).
Yaitu, prinsip bahwa nasib umat manusia, tinggi dan rendah, terjadi secara
berputar dan bergilir antara mereka, sehingga suatu bangsa atau umat adakalanya
berada di atas (menang, unggul, maju, dll.) dan juga adakalanya di bawah
(kalah, merosot, terbelakang, dll.), sebagaimana yang dikemukakan Allah Swt,
dalam al-Qur’an Surah, al-Imran, [3]: 140-141 sebagai berikut;
[4] Osman
Raliby, Ibnu Chaldun tentang Masyarakat
dan Negara, (Jakarta: Bulan Bintang, 1961), hal. 242.
[5] Akbar S.
Ahmed, Discovering Islam, Making Sense of
Muslim History and Society, Terj. Zulfahmi Andri, (New Delhi: Vistaar
Publication, 1990), hal. 86-87.
[8] Umar
Sulayman al-Asyqar, Tarikh al-Fiqh
al-Islamiy, (Kuwait: Maktabah al-Falah, 1982), hal. 172. Lihat juga, Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta:
Paramadina, Cet. I, 1997), hal. 83.
[9] Dengan usaha
Vasco da Gama, ditemuilah jalan ke selatan melalui Tanjung Harapan ke Timur
Jauh. Dagang rempah dan sutera tidak mesti lagi melalui jalan Dunia Islam di
Timur Tengah. Dengan terjadinya langsung antara Timur Jauh dan Eropa melalui
Tanjung Harapan, ekonomi Islam kehilangan sumber dan dengan sendirinya menurun
tajam. Kalau Vasco da Gama menemukan Tanjung Harapan di Afrika Selatan,
Colombus yang mencari jalan dengan mengarah ke barat menemukan benua Amerika.
Benua ini ternyata luas dan kaya akan bahan-bahan, dan kekayaan itu diangkut ke
Eropa. Ekonomi Eropa meningkat sedang ekonomi Dunia Islam menjadi turun. Lihat,
Harun Nasution, Islam Rasional,
(Bandung: Mizan, Cet. I, 1996), hal. 105.
“Jika luka (kesusahan) menimpa diri kamu, maka
(ketahuilah) bahwa luka yang sama telah menimpa pula golongan yang lain. Dan
begitulah hari (hisab) kami buat
berputar di antara manusia, agar Allah memeriksa orang-orang yang beriman dan
mengangkat mereka sebagai saksi-saksi. Allah tidak suka kepada orang-orang yang
zalim. Dan juga agar Allah membersihkan mereka yang beriman, dan membinasakan
orang-orang yang menentang kebenaran (kafir).” (QS. al-Imran, [3]: 140-141).
Post a Comment