Tidak sedikit psikolog dan sosiolog yang
mengemukakan bahwa, poblem mendasar masyarakat modern adalah frustasi, krisis
eksistensi, alienasi, nihilisme, depresi dan hampa makna. Hampa makna- ditandai
ketika seseorang merasa terasing dengan diri sendiri, lingkungan sosial, dan
dunia kerja. Sementara itu, di sisi lain mereka telah kehilangan visi dan misi
hidupnya. Mereka menjalani hidup yang membosankan, tanpa gairah, kesepian dan
persoalan kecemasan yang hampir melanda mereka setiap saat.
Dalam pandangan Abraham Maslow,
modernisasi hanya mengisi ruang kebutuhan-kebutuhan lahiriah masyarakat modern saja.
Padahal masyarakat modern akan tetap dilanda kegelisahan, kecemasan, kebosanan
dan kesepian selama kebutuhan dasarnya yang berkaitan dengan kejiwaan dan ketuhanan
tidak terpenuhi.
Bagi Achmad Mubarak; masyarakat modern
tidak memiliki makna hidup, karena mereka tidak memiliki prinsip hidup. Apa
yang dilakukan adalah mengikuti trend, mengikuti tuntutan sosial, sedangkan
tuntutan sosial belum tentu berdiri pada satu prinsip yang mulia.
Ketidakseimbangan itu, dan terutama karena merasa hidupnya tidak bermakna,
tidak ada dedikasi dalam perbuatannya, maka ia dilanda kegelisahan, kesepian,
kebosanan dan kecemasan yang berkepanjangan. Hal itu menyebabkan seseorang
tidak tahu persis apa yang harus dilakukan. Ia tidak bisa memutuskan sesuatu,
dan ia tidak tahu jalan mana yang harus ditempuh.
Kegelisahan, kesepian, kebosanan dan
kecemasan terjadi karena masyarakat modern telah kehilangan ruang meditasi
(perenungan); sementara setiap kali mengalami peristiwa yang mampu memunculkan
pertanyaan kritis seperti “bagaimana mengatasi problem eksistensial”,
“bagaimana mendapatkan makna hidup (problem kejiwaan)”. Mereka seringkali
melakukannya dengan cara yang kurang tepat, yang justru mengembalikan mereka
pada hingar-bingar kehidupan yang glamor, maka tidak aneh kalau mereka merasa
kesepian ditengah kembang api yang menggairahkan.
Pada prakteknya, solusi yang
ditawarkan untuk mengatasi problem kejiwaan itu dilakukan dengan menggunakan berbagai
jenis pendekatan. Diantaranya; pendekatan psikologi, dalam hal ini kesehatan
mental (mental health). Sedangkan pada masyarakat tertentu, solusi yang
ditawarkan lebih bersifat religius spiritual.
“Adalah suatu kenyataan bahwa
spiritualitas semakin digandrungi oleh masyarakat modern dewasa ini. Sebagai
penawar bagi krisis spiritual manusia modern yang sudah terlalu jauh terbawa
arus materialistis, sehingga tercapai suatu kehidupan yang seimbang antara dua
aspek pentingnya: material dan spiritual, dunia dan akhirat.” Ungkap Mulyadi
Kertanegara.
Menurut Keterangan Haidar Bagir,
“sebuah majalah terkemuka di Amerika Serikat, Times, beberapa tahun lalu
melaporkan adanya kecendrungan pada masyarakat Amerika Serikat untuk kembali
kepada Tuhan. Majalah itu, berdasarkan hasil polling yang mereka buat,
mengatakan bahwa saat ini lebih banyak orang (AS) yang berdo’a ketimbang “berolah-raga, pergi
ke bioskop, atau pun berhubungan seks.” Kecendrungan akan spiritualisme itu pun
makin lama makin meningkat.
Lebih lanjut ia menambahkan; memang di
samping ditandai oleh derasnya arus informasi dan dahsyatnya perkembangan
teknologi informasi, zaman ini ternyata juga diwarnai arus baru di tengah
masyarakat dunia, yaitu kerinduan pada kesejukan bathin dan kedamaian jiwa.
Mencari kebijakan dan inspirasi tentang inner-self menjadi trendy
belakangan ini.
Fenomena di dalam negeri pun
mengindikasikan hal serupa, terlihat dengan maraknya kegiatan ritual-ritual
keagamaan bermunculan bak jamur di musim hujan yang diminati oleh banyak
masyarakat perkotaan. Sebut saja- Aa Gym dengan manajemen Qalbu-nya, Ari
Ginanjar Agustian dengan ESQ-nya, Arifin Ilham dengan Majelis Dzikir-nya dan
lain-lain. Orang rela datang jauh-jauh, meluangkan waktunya bahkan tidak
sedikit membayar mahal- untuk dapat menangis bersama, merasakan kehadiran Tuhan
dalam setiap tarikan nafas, menemukan kembali makna hidup dan jati diri.
Sesungguhnya, masyarakat modern
membutuhkan sesuatu yang melewati rasionalitas. Haidar Bagir, dalam pengantar
buku ‘manusia modern mendamba Allah’ memaparkan, Kiranya ini semua adalah
realisasi dari nubuat William James seorang psikolog terkemuka abad-20. Dalam
sebuah bukunya yang terkenal, Varieties of Religious Experience
yang terbit di tahun-tahun pertama abad 20. Dia menyatakan bahwa, sebagai
makhluk sosial, manusia tidak akan menemukan kepuasan kecuali jika ia
bersahabat dengan “Kawan Yang Agung” (The Great Socius). Tentu Kawan Agung yang dimaksud adalah Tuhan.
Lebih lanjut ia menyatakan bahwa, selama manusia itu belum berkawan dengan “Kawan
Yang Agung” itu, maka selama itu pula ia akan merasakan kegelisahan,
kekosongan, kecemasan, dan kesepian dalam hidupnya. Dia akan merasakan
kesendirian ditengah-tengah hingar-bingar pesta yang menggoda. Dengan kata lain
boleh jadi koleganya banyak dan pergaulannya menggurita, tetapi sebenarnya ia
merasa sepi, sunyi sendiri- tiada seorang pun yang menemani.
Nah, bila kita tarik ke dalam tradisi
Islam sebenarnya sudah sejak lama umat muslim berusaha mendekatkan diri dengan “Kawan
Yang Agung” tersebut, melalui perjuangan yang tidak ringan, dikenal dengan
istilah salik. Salik adalah orang yang selalu mengembara berjuang menuju
“Kawan Yang Agung”. Untuk mencari “Kawan Yang Agung” itu tidak perlu jauh-jauh,
karena dimanapun kita menghadap disitulah Tuhan berada. Fainamâ tuwallû
fatsamma wajhullâhi (QS. al-Baqarah [2]: 115). Maka kemanapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah. Meminjam
ilustrasi Komaruddin Hidayat, “begitu bangun tidur, itu merupakan sapaan Tuhan.
Bahkan angin, pohon dan sebagainya merupakan jejak-jejak Tuhan untuk menyapa
diri manusia”. Fenomena masyarakat kontemporer yang tenggelam dalam kekhusyu’an
dzikir, wirid, sayr, istighostsah dan suluk dalam kehidupan spiritualitas
adalah pertanda bahwa betapa mereka rindu mengenal lebih dekat “Kawan Yang
Agung”.
Post a Comment