Konsep-Konsep Kebudayaan
Secara umum, pemahaman akan sebuah
kebudayaan bisa kita bagi dalam dua pandangan teori besar mengenai kebudayaan
sebagai berikut. Pertama, kebudayaan harus dipahami secara utuh. Cara melihat
kebudayaan seperti ini, banyak dikembangkan oleh Kroeber dan Kluckhom. Para
peneliti, dalam pandangan ini harus menampilkan kebudayaan yang ditelitinya
secara utuh dan menyeluruh. Akan tetapi, pendekatan seperti ini dirasakan
terlalu mencakup banyak hal sehingga terlalu sulit untuk memilah-milah serta
menganalisis berbagai jalinan pengalaman manusia. Dan lebih rumit lagi ketika
sampai pada interpretasi makna hubungan jaringan itu sehingga muncullah
pendekatan kedua yang memandang kebudayaan sebagai sebuah sistem.[1]
Pendekatan ini mencoba mengungkapkan
kebudayaan secara lebih lengkap dengan cara "merampingkan" konsep
kebudayaan itu. Secara garis besar dalam pandangan ini, dalam sebuah kebudayaan
terdapat empat sistem, sebagai berikut.
- Kebudayaan sebagai Sistem Adaptasi
Konsep ini dikembangkan dari teori
evolusi. Yang menjadi fokus perhatiannya adalah persoalan perubahan kebudayaan.
Bagaimanakah kebudayaan itu berubah? Perubahan itu selanjutnya dilihat sebagai
proses, sedangkan kebudayaan sendiri dipandang sebagai sistem. Dalam hal ini
perubahan kebudayaan dilihat sebagai proses adaptasi, yakni adaptasi terhadap
lingkungan alam di mana kebudayaan itu berada.[2]
Sistem inilah yang selalu mencoba
untuk beradaptasi antara satu sistem dan sistem yang lain, baik itu sistem
lingkungan, demografi, teknologi, maupun sistem-sistem lain. Dalam proses
adaptasi ini dapat dilihat apakah sistem itu menjaga keseimbangan dalam
ekosistem ataukah berubah menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Perubahan
itu dapat dilihat dari perkembangan teknologi, cara berorganisasi sosial, pola
permukiman, cara pengelompokan, bahkan berorganisasi politik. Demikian pula
perubahan-perubahan yang terjadi dalam pola pemaharnan dan penghayatan agama,
lengkap dengan pemahaman akan perubahan sistem ritus (upacara) agama.[3]
Secara singkat, dalam pendekatan ini
sistem kebudayaan ini mendukung fokus perhatian hubungan antara masyarakat
pendukungnya dengan lingkungan di mana mereka hidup. Proses adaptasi itu
dimulai dari unsur-unsur teknologi, ekonomi, organisasi sosial, dan seterusnya
yang kesemuanya langsung berhubungan dengan kemampuan produksi. Singkat kata
dalam pandangan ini yang menjadi subjek adalah pola hidup yang berkembang di
masyarakat.
- Kebudayaan sebagai Sistem Kognitif
Apabila pada pandangan kebudayaan
sebagai sistem adaptasi yang menjadi perhatian utama adalah pola kehidupan
masyarakat, yang menjadi perhatian disini adalah sistem kognitif atau sistem
pengetahuan dan masyarakat. Pandangan ini berargumen bahwa melalui
pengetahuanlah masyarakat mencoba untuk menangkap, menghubungkan, dan menginterpretasikan
benda-benda di luar dirinya. Kebudayaan di sini dianggap sebagai
"sesuatu" yang standar untuk menentukan sesuatu, menentukan apa yang
dapat diperbuat, apa pendapat tentang itu, dan apa yang dapat diperbuat
terhadapnya. Pandangan ini dikembangkan dari studi linguistik yang menempatkan
bahasa sebagai yang mengatur ujaran atau kemampuan yang mengatur pernyataan.
Lebih lanjut pandangan ini dikembangkan dan apa yang kita kenal dengan ethno
science.[4]
- Kebudayaan sebagai Sistem Struktural
Paham ini berpendapat bahwa proses
pemikiran menghasilkan sistem simbol. Atas dasar ini kebudayaan dianggap
sebagai sistem simbol yang dimiliki bersama dan tercipta secara kumulatif dan
pikiran-pikiran. Sistem simbol ini dapat dikenali dan struktur ranah kebudayaan
seperti myth (mitos, ed.), seni,
sistem kekerabatan, dan bahasa. Perlu ditegaskan di sini bahwa kebudayaan yang
dimaksud di sini harus diartikan secara abstrak dan bukan kebudayaan Indonesia
atau Australia misalnya. Alasannya ialah bahwa kebudayaan dalam konsep seperti
ini bisa saja mencakup beberapa bahasa.[5]
- Kebudayaan sebagai Sistem Simbol
Di sini kebudayaan diperlakukan
sebagai sistem simbol. Namun, berbeda dengan sistem simbol yang menjadi milik
bersama, seperti yang dikemukakan sebelumnya. Sistem simbol di sini dilihat
sebagai sistem simbol perseorangan, serta dilihat dalam hubungannya dengan
perseorangan lain. Perseorangan dianggap sebagai aktor-aktor dalam kegiatan
simbolis dan sesuatu peristiwa khusus, seperti adu ayam atau sebuah upacara
penguburan.
Sistem simbol perseorangan dalam
hubungan orang per orang ini ada pula yang melihatnya dan sudut pandang seorang
peneliti yang telah memiliki pengetahuan tentang sistem simbol tertentu.
Misalnya, tentang sistem kekerabatan (schneider).
Dan dengan pengetahuan ini, peneliti itu mencoba melihat sistem kekerabatan
pada kebudayaan yang ditelitinya.[6]
[1]Noerhadi Magestari, “Penelitian Agama Islam: Tinjauan Disiplin Ilmu Budaya”, Tradisi Baru Penelitian Agama
Islam; Tinjauan antar Disiplin Ilmu, (Bandung: Nuansa
bekerja sama dengan Pusjarlit, Cet. I, 1998), hal. 145
Post a Comment