BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Perkembangan
organisasi gerakan Islam di Indonesia tumbuh dan berkembang sejak dari negeri
ini belum mencapai kemerdekaan secara fisik sampai pada masa reformasi sekarang
ini. Perkembangannya, bahkan, kian pesat dengan dilakukannya tajdid[1]
(pembaharuan) di masing-masing gerakan Islam tersebut. Salah satu organisasi
gerakan Islam itu adalah Muhammadiyah. Muhammadiyah adalah sebuah organisasi
Islam yang besar di Indonesia.
Bahkan
merupakan gerakan kemanusiaan terbesar di dunia di luar gerakan kemanusiaan
yang dilaksanakan oleh gereja, sebagaimana disinyalir oleh seorang James L.
Peacock . Di sebahagian negara di dunia, Muhammadiyah memiliki kantor cabang internasional
(PCIM) seperti PCIM Kairo-Mesir, PCIM Republik Islam Iran, PCIM Khartoum–Sudan,
PCIM Belanda, PCIM Jerman, PCIM Inggris, PCIM Libya, PCIM Kuala Lumpur, PCIM
Perancis, PCIM Amerika Serikat, dan PCIM Jepang. PCIM-PCIM tersebut didirikan
dengan berdasarkan pada SK PP Muhammadiyah . Di tanah air, Muhammadiyah tidak
hanya berada di kota-kota besar, tapi telah merambah sampai ke tingkat
kecamatan di seluruh Indonesia, dari mulai tingkat pusat sampai ke tingkat
ranting.
Nama
organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW, yang berarti bahwa Warga
Muhammadiyah menjadikan segala bentuk tindakan, pemikiran dan prilakunya
didasarkan pada sosok seorang Rasulullah, Nabi Muhammad SAW. Nabi dijadikannya
model (uswah al hasanah), yang sebenarnya tidak hanya bagi warga Muhammadiyah
tetapi juga seluruh umat Islam bahkan bagi warga non-muslim—kaum yang tidak
mempercayainya sebagai rasul—sekalipun.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah berdirinya Muhammadiyah
Organisasi
Islam Muhammadiyah yang kini lebih dikenal dengan sebutan Persyarikatan
Muhammadiyah, didirikan oleh Muhammad Darwis—yang kemudian dikenal dengan nama
K.H. Ahmad Dahlan[2]—di
Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912. Beliau
adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai
pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku
dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya
untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Qur`an
dan Hadist.
KH
A Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun 1922 dimana saat
itu masih menggunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada rapat tahun ke
11, Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh KH Ibrahim yang kemudian memegang Muhammadiyah
hingga tahun 1934. Rapat Tahunan itu sendiri kemudian berubah menjadi Konggres
Tahunan pada tahun 1926 yang di kemudian hari berubah menjadi Muktamar tiga
tahunan dan seperti saat ini Menjadi Muktamar 5 tahunan.[3]
Di samping itu, Muhammadiyah juga mendirikan organisasi untuk kaum perempuan
dengan Nama 'Aisyiyah yang disitulah Istri KH. A. Dahlan, yakni Nyi Walidah
Ahmad Dahlan berperan serta aktif dan sempat juga menjadi pemimpinnya.
Faktor-faktor
yang turut melahirkan gerakan Muhammadiyah kala itu memang sangat komplek.
Sedikitnya ada dua faktor yang ikut berpengaruh dalam menjelaskan lahirnya
Muhammadiyah. Pertama, faktor internal bahwa kelahiran Muhammadiyah
sebagai sebuah respons terhadap tantangan ideologis yang telah berlangsung lama
dalam masyarakat jawa. Dalam masyarakat jawa, kondisi kehidupan keagamaan umat
Islam secara historis dipengaruhi oleh budaya keagamaan sebelumnya. Agama Hindu
dan Budha adalah warisan budaya yang sangat kuat di masyarakat jawa. Prilaku
keagamaan jawa, khususnya di daerah pedalaman masih kental dengan budaya
sinkritisme, yakni pencampuradukan dari berbagai unsur nilai agama.
Lebih-lebih, ada sebagian masyarakat jawa masih memistikkan sesuatu
(tahayyul dan khurafat) yang dianggap memiliki kekuatan supranatual.
Di samping itu, sebagain umat Islam juga sering menambah-nambahi dalam masalah
ibadah atau yang disebut bid'ah, yakni praktek keagamaan yang tidak ada
dasarnya yang jelas baik dari al-qur'an maupun as- sunnah. Keyakinan inilah
yang membuat Muhammadiyah benar-benar tertantang untuk melakukan pemahaman
keagamaan yang lurus dan benar sesuai doktrin Islam yang sesungguhnya.[4]
Kedua,
faktor eksternal bahwa kelahiran Muhammadiyah didorong oleh tersebarnya
pembaharuan Timur Tengah ke Indonesia pada tahun-tahun pertama abad 20. Seperti
kita ketahui, bahwa Islam pasca jatuhnya Bagdad pada abad 13 Umat Islam
mengalami kemunduran dalam berbagai persoalan. Sehingga baru pada abad 19 umat
Islam mulai ada gagasan baru yang agak menggembirakan. Meskipun abad 13, ada
seorang tokoh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Jauziyah sebagai tokoh peletak dasar ide
pembaharuan, tetapi hasilnya pun juga belum signifikan. Baru mulai abad 19
tokoh-tokoh pembaharu mulai melakukan pembenahan dibidang keagamaan dan
pemikiran. Seperti Muhammad ibn Abd al-wahab, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad
Abduh yang kemudian dilanjutkan oleh murid-murid mereka. Semua gagasan dan ide
yang dicetuskan para tokoh pembaharu tersebut lambat laum ikut mempengaruhi
perkembangaan keagamaan dipenjuru dunia, termasuk wilayah Indonesia.[5]
B. Konsep Teologi Muhammadiyah
Bendera
Muhammadiyah menunjukkan dengan jelas betapa seluruh gerakan dan kehidupan
Muhammadiyah harus berdasarkan tauhid. Kalimah tayyibah atau kalimah
tauhid, yaitu la ilaaha illa Allah dan Muhammdarrasulullah (tidak
ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad utusan Allah) yang tercantum dalam bendera
Muhammadiyah menjadi sumber atau axis kehidupan Muhammadiyah.[6]
Mengesakan
Allah atau meyakini keesaan Allah, (unity of Godhead), bagi
Muhammadiyah, menurunkan pengertian-pengertian ketauhidan berikutnya, yaitu
kesatuan penciptaan (unity of creation), kesatuan kemanusiaan (unity
of mankind), kesatuan pedoman hidup berdasar agama wahyu (unity of
guidance) dan akhirnya kesatuan tujuan hidup (unity of purpose of life).[7]
“Tiada
Tuhan Kecuali Allah” mengandung makna bahwa Allah menjadi sumber seluruh
kehidupan dan menjadi tujuan akhir pengabdian seluruh makhluk. Tauhid
mengajarkan agar manusia berpegang teguh pada keesaan Allah sebagai al-urwah
al-wusqa atau tali yang kokoh (QS. Al-Baqarah [2]: 256 dan Luqman [31]: 22)
dan tidak mengkompromikan kekuasaan Allah dengan kekuatan apapun juga, karena
perbuatan syirik seperti itu tidak akan pernah diampuni (QS. An-Nisa [4]: 48,
116).
Tauhid
menuntut pemurnian atau purifikasi keyakinan setiap orang beriman dengan jalan
menjauhkan diri dari setiap gejala tahayul[8],
bid’ah[9], dan khurafat[10],
karena setiap gejala TBK berarti telah menjatuhkan martabat manusia ke lembah
yang paling nista. Tidak mengherankan bila Muhammadiyah kemudian mempunyai
kepekaan tajam terhadap hal-hal yang dikategorikan sebagai TBK.
Namun
jangan dilupakan bahwa tauhid juga menuntut ditegakkannya keadilan social,
karena dilihat dari kacamata tauhid, setiap gejala eksploitasi manusia atas
manusia merupakan pengingkaran terhadap persamaan derajat manusia di depan
Allah. Secara demikian jurang yang menganga lebar antara lapisan kaya dan
lapisan miskin yang selalu disertai kehidupan yang eksploitatif merupakan
fenomena yang tidak tauhidi, bahkan anti-tauhid.
Almarhum
K.H. Ahmad Dahlan, pernah bertahun-tahun hanya mengajarkan al-Qur’an surat
al-Ma’un[11] pada
para santrinya. Saya yakin hal itu dilakukan bukan saja karena pesan-pesan
keadilan sosial dari surat al-Ma’un itu belum dilaksanakan dengan baik oleh
umat Islam, tetapi juga karena K.H. Ahmad Dahlan ingi menanamkan satu
pengertian bahwa keadilan sosial adalah realisasi “tauhid social” di
tengah masyarakat Indonesia.
Dalam
pada itu dalam usaha menegakkan tauhid dalam arti luas, Muhammadiyah
menggunakan semangat amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai sumber dinamika dan
kreativitas. Menyebar kebajikan dan mencegah kebatilan telah menjadi semangat built-in
dalam perjuangan Muhammadiyah, tauhid adalah masalah paling kunci. Tauhid yang
jernih dan benar akan melahirkan kehidupan yang bersih, seimbang, dan adil
serta sejahtera. Sebaliknya bila tauhid itu telah terkena polusi syirik,
kehidupan umat Islam akan mengalami degradasi dan degenerasi dalam segala
bidang.
C. Konsep Pemikiran
Muhammadiyah dan Perkembangannya.
Muhammadiyah,
sebagai gerakan keagamaan yang berwatak sosio kultural, dalam dinamika
kesejarahannya selalu berusaha merespon berbagai perkembangan kehidupan dengan
senantiasa merujuk pada ajaran Islam (al-ruju‘ ila al-Qur’an wa as-Sunnah).
Di satu sisi sejarah selalu melahirkan berbagai persoalan dan pada sisi yang
lain Islam menyediakan referensi normatif atas perbagai persoalan tersebut.
Orientasi kepada dimensi ilahiah inilah yang membedakan Muhammadiyah dari
gerakan sosio kultural lainnya, baik dalam merumuskan masalah, menjelaskannya
maupun dalam menyusun kerangka operasional penyelesaiannya. Orientasi inilah
yang mengharuskan Muhammadiyah memproduksi pemikiran, meninjau ulang dan
merekonstruksi manhaj-nya.[12]
Seiring
dengan perubahan nama Majelis Tarjih[13]
menjadi Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, pada tahun 2000 telah
dirumuskan manhaj yang lebih komprehensif dengan menggunakan berbagai
pendekatan, pendekatan bayani, burhani, dan irfani. Pendekatan bayani merupakan pendekatan yang menempatkan nash
sebagai sumber kebenaran dan sumber norma untuk bertindak, sementara akal hanya menempati kedudukan yang sekunder dan berfungsi menjelaskan
dan menjustifikasi nash yang ada. Pendekatan ini lebih didominasi oleh
penafsiran gramatikal dan semantik. Dalam pandangan Muhammadiyah, pendekatan
ini masih diperlukan dalam rangka menjaga komitmennya kembali ke Al-Qur'an dan
As-Sunnah.
Pendekatan
burhani merupakan pendekatan yang rnengandalkan rasio dan pengalaman empiris
sebagai sumber kebenaran dan sumber norma bertindak. Dengan demikian pendekatan ini lebih difokuskan pada pendekatan yang rasional
dan argumentatif, berdasarkan dalil logika, dan tidak hanya merujuk pada teks,
namun juga konteks. Pendekatan burhani diperlukan Muhammadiyah dalam memahami
dan menyelesaikan masalah-masalah yang termasuk al umur al dunyawiyah
(urusan dunia), untuk tercapainya kemaslahatan manusia. Belajar dari khazanah
sejarah Islam, pemaduan antara pendekatan bayani dan burhani tidak banyak
menimbulkan masalah.
Pendekatan 'irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu
pada instrumen pengalaman batin: dzauq, qalb, wijdan, dan ilham.
Pengetahuan yang diperoleh melalui pendekatan ini biasanya disebut pengetahuan
dengan kehadiran (hudhuri), suatu pengetahuan yang berupa inspirasi langsung
yang dipancarkan Allah ke dalam hati orang yang jiwanya selalu bersih.
Pendekatan 'irfani, walaupun ada kritikan, karena antara lain melahirkan
tradisi sufi yang tidak dikenal dalam Muhammadiyah, bagaimanapun ada gunanya.
Intuisi dapat menjadi sumber awal bagi pengetahuan, setidaknya menjadi sumber
inspirasi pencarian hipotesis. Dalam pengamalan agama dan dalam mengembangkan
sikap terhadap orang lain, hati nurani dan qalbu manusia dapat menjadi sumber
bagi kedalaman penghayatan keagamaan, kekayaan rohani, dan kepekaan batin.
Sedangkan bagi ijtihad hukum, intuisi dan kalbu manusia dapat menjadi sumber
pencarian hipotesis hukum, dan pembuktian akhir terletak pada bukti-bukti
bayani dan burhani.
Ketiga
pendekatan di atas, bayani, burhani, dan 'irfani, telah dijadikan pedoman bagi
warga Muhammadiyah dalam berpikir, terutama dalam memahami dan menyelesaikan
masalah-masalah muamalah duniawiah. Sebagai produk pemikiran dan gerakan Islam
Muhammadiyah itu, maka muncullah apa yang disebut Himpunan Putusan Tarjih
(HPT), Putusan Muktamar Muhammadiyah, Pembaharuan Strategi Da'wah Muhammadiyah,
Pembaharuan Diklitbang manajemen Muhammadiyah, dan pemantapan keyakinan warga Muhammadiyah.
D.Konsep Muhammadiyah
dalam Pengembangan dan Pembangunan Umat
Pada
tahap awal pertumbuhannya, Muhammadiyah tidak
membangun kongsi-kongsi dagang, tetapi membangun sekolah sebanyak
mungkin. Pertimbangannya jelas, yakni kebodohan telah menjadi musuh terbesar
umat Islam dan mustahil umat Islam dapat membangun masa depan yang lebih baik
bilamana kebodohan dan keterbelakangan tetap saja melekat lengket dalam
kehidupan mereka.
Lewat
doktrin enlightenment bagi umat Islam, Muhammadiyah merintis sekolah
umum sebanyak-banyaknya. Bagi Muhammadiyah kitab kuning dan kita putih sama
saja pentingnya. Menarik untuk diingat anjuran tokoh-tokoh Muhammadiyah agar
ZIS (Zakat, Infaq, dan Shadaqah) tidak saja disalurkan ke masjid, tetapi kalau
perlu lebih banyak lagi yang disalurkan ke lembaga-lembaga pendidikan.
Alasannya
jelas, yakni umat Islam yang berjubel memadati masjid tidak akan pernah dapat
berangkat jauh bila mereka tetap terbelenggu dalam kebodohan dan
keterbelakangan. Umat Islam yang bodoh, demikian keprihatinan para tokoh
Muhammadiyah sejak dulu, dapat berubah posisi dari mayoritas kuantatif menjadi
mayoritas kualitatif.
Dalam
mencerdaskan dan mencerahkan kehidupan umat Islam, Muhammadiyah menempuh tiga
proses pendidikan sekaligus, yakni ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib.
Taklim berusaha mencerdaskan otak manusia, tarbiyah mendidik
prilaku benar, sedangkan ta’dib memperhalus adab kesopanan. Paling tidak
secara teoritis, seluruh lembaga pendidikan Muhammadiyah berusaha
menggelindingkan pencerahan tiga dimensi itu sekaligus, berdasarkan wawasan
keislaman.
Gerak
langkah organisasi Muhammadiyah dalam amal usahanya telah banyak dirasakan oleh
berbagai kalangan. Hal ini diakui, terutama oleh pemerintah, sangat membantu
pemberdayaan dan kondisi masyarakat luas saat ini. Dalam bidang pendidikan
misalnya, hingga tahun 2000 ormas Islam Muhammadiyah telah memiliki 3.979 taman
kanak-kanak, 33 taman pendidikan Alquran, 6 sekolah luar biasa, 940 sekolah
dasar, 1.332 madrasah diniyah/ibtidaiyah, 2.143 sekolah lanjutan tingkat
pertama (SMP dan MTs), 979 sekolah lanjutan tingkat atas (SMA, MA, SMK), 101
sekolah kejuruan, 13 mualimin/mualimat, 3 sekolah menengah farmasi, serta 64
pondok pesantren.
Dalam
bidang pendidikan tinggi, hingga tahun ini Muhammadiyah memiliki 36
universitas, 72 sekolah tinggi, 54 akademi, dan 4 politeknik (Data Cahgemawang,
2009). Nama-nama seperti Bustanul Athfal/TK Muhammadiyah, SD Muhammadiyah, SMP
Muhammadiyah, SMA Muhammadiyah, SMK Muhammadiyah, dan Universitas Muhammadiyah
bermunculan di berbagai daerah.
Dalam
amal usaha bidang kesehatan, Muhammadiyah telah dan terus mengembangkan layanan
kesehatan masyarakat, sebagai bentuk kepedulian. Balai-balai pengobatan seperti
rumah sakit PKU (Pembina Kesejahteraan Umat) Muhammadiyah, yang pada masa
berdirinya Muhammadiyah bernama PKO (Penolong Kesengsaraan Oemat), kini mulai
meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya. Berdasarkan buku Profil dan
Direktori Amal Usaha Muhammadiyah & ‘Aisyiyah Bidang Kesehatan pada tahun
1997, sebagai berikut; rumah sakit berjumlah 34, rumah bersalin berjumllah 85,
balai Kesehatan Ibu dan Anak berjumlah 50, balai Kesehatan Masyarakat berjumlah
11, balai pengobatan berjumlah 84, apotek dan KB berjumlah 4, institusi
Pendidikan berjumlah 54.
Pada
tahun 2009 diperkirakan jumlah fisik balai pengobatan Muhammadiyah lebih banyak
lagi seiring dengan makin berkembangnya usaha-usaha yang diselenggarakan oleh
persyarikatan Muhammadiyah. Adapun Muhammadiyah sebagai organisasi yang
bergerak di bidang sosial, telah mendirikan lembaga amal usaha sosial dalam
bentuk panti sosial Muhammadiyah, sebagai wujud kepedulian persyarikatan
Muhammadiyah dalam menghadapi permasalahan kemiskinan, pembodohan dan
meningkatnya jumlah anak yatim piatu dan anak terlantar.
Dalam
hal ini Muhammdiyah terinspirasi dan berpijak pada QS Al-Ma'un. Panti sosial
Muhammadiyah sebagai lembaga pelayanan di masyarakat, memiliki perangkat dan
sistem serta mekanisme pelayanan yang diharapkan akan lebih menjamin
efektifitas pelayanan.
Selanjutnya
dalam bidang kesejahteraan sosial ini, hingga tahun 2000 Muhammadiyah telah
memiliki 228 panti asuhan yatim, 18 panti jompo, 22 balai kesehatan sosial, 161
santunan keluarga, 5 panti wreda/manula, 13 santunan wreda/manula, 1 panti
cacat netra, 38 santunan kematian, serta 15 BPKM (Balai Pendidikan Dan
Keterampilan Muhammadiyah).
Forum
Panti Sosial Muhammadiyah-Aisyiyah (Forpama) yang dibentuk untuk Periode 2007
s.d 2010, sejak diberikan tanggungjawab, terus melakukan berbagai macam
terobosan dan langkah-langkah strategis untuk menjadikan panti sosial
Muhammadiyah-Aisyiyah sebagai lembaga profesionalisme, prima dalam kualitas
pelayanan dan memiliki keteguhan komitmen dalam pembinaan anak-anak asuh panti
sosial Muhammadiyah-Aisyiyah yang berjumlah lebih dari 22.000 anak se-Indonesia
dari 351 kelembagaan Panti Sosial Muhammadiyah-Aisyiyah (Direktori Forpama,
2008). Dengan demikian anak asuh Panti Sosial Muhammadiyah-‘Aisyiyah menjadi
labor kader utama guna membangun sumber daya insani yang berkualitas di
Persyarikatan Muhammadiyah.
E. Kritik Terhadap
Muhammadiyah
Muhammadiyah
saat ini, mendapat perhatian yang cukup besar dari berbagai kalangan masyarakat
baik dari tingkat lokal, regional, dan bahkan international. Disamping
perhatian, Muhammadiyah juga tidak luput dari kritik baik dari kalangan
Muhammadiyah sendiri maupun dari luar kalangan Muhammadiyah.
Salah
satunya kritik terhadap teologi keberagamaaan Muhammadiyah, banyak kalangan
yang menilai Muhammadiyah termasuk kelompok Islam yang menginginkan berlakunya
aturan Islam yang murni, seringkali dianggap terlalu mengabaikan tradisi lokal.
Selain itu, juga ada anggapan Muhammadiyah sekarang ini memiliki kecendrungan
konservatif dalam pemahamaan keagamaan. Kecendrungan ini dirasa menyebabkan
Muhammadiyah kurang responsif terhadap pemikiran keagamaan.
Bagi
Ridwan, penulis buku agama borjuis, paradigma berpikir yang dipakai oleh
kelompok seperti Muhammadiyah itu terbelenggu pada dikotomi ‘official
Islam vs. popular Islam’ atau ‘orthodoxy vs.
heterodoxy’ atau ‘normative Islam vs. folk
Islam’ atau ‘great culture vs. small culture’ atau ‘pusat vs.
pinggiran’ atau ‘Islam murni vs. Islam tidak murni’. Paradigma ini seakan ingin
menegaskan bahwa Islam yang benar adalah yang berasal dari pusat Islam (Timur
Tengah), sementara yang jauh dari pusat sudah banyak tercemar. Paradigma
berpikir antropologis itu sepertinya telah dikukuhkan menjadi paradigma
teologis di Muhammadiyah.
Watak
Islam yang akomodati-reformatif terhadap tradisi tampak dalam sejarah. Banyak
tradisi yang diakomodir sekaligus direformasi sebelum turunnya al-Qur’an
seperti thawaf, sa’i, pernikahan, praktik aqiqah, dan kurban, dan lain
sebagainya.[14]
Sebelum
al-Qur’an turun, praktik-praktik thawaf sudah ada, hanya saja dalam
pelaksanaannya diiringi tepuk tangan, bersiul-siul, bahkan tanpa menutup aurat.
Dalam al-Qur’an dikatakan, “Sembahyang mereka di sekitar baitullah itu tidak
lain hanyalah siulan dan tepuk tangan...”(QS. al-Anfal: 35). Tradisi thawaf
tersebut ini tidak dihilangkan oleh Islam, melainkan direformasi, seperti yang
dilakukan oleh Nabi Saw dengan membaca doa talbiyah.[15]
Begitu
pula tradisi melakukan penyembelihan binatang atau hewan ketika anak lahir, yang dalam Islam kemudian disebut dengan aqiqah,
juga telah dilakukan sebelum Islam datang. Pada masa jahiliyah, dalam praktek
aqiqah darah hewan yang disembelih digunakan untuk melumuri kepala bayi yang
baru lahir. Demikian pula tradisi kurban dengan menyembelih binatang pada masa
jahiliyah untuk mendekatkan kepada tuhan-tuhan mereka. Semua itu kemudian
diakomodir sekaligus direformasi oleh Islam, tanpa menghilangkan tradisi
penyembelihannya, melainkan diarahkan sesuai dengan prinsip tauhid dan sosial
kemanusiaan.[16]
Belum
lagi, piranti intelektual apa yang bisa dipakai oleh Muhammadiyah untuk
mereformasi dirinya? Atau, metode berpikir seperti apa yang bisa diadopsi oleh
gerakan ini untuk kembali menjadi motor pembaruan? Dulu Muhammadiyah banyak
mengambil inspirasi dari Muhammad `Abduh dalam pemikiran keagamaan, mencoba
mengkombinasikan antara modernisasi dan puritanisasi.
Setelah
seratus tahun, sepertinya kita belum menemukan piranti yang lebih baru atau
menciptakan piranti yang lebih canggih untuk bisa tetap berada di garda depan
pembaruan. Dulu Amin Rais pernah menawarkan gagasan tentang ‘Tauhid Sosial,’
tapi sepertinya kini ide itu telah mati sebelum sempat berkembang. Ahmad Syafii
Maarif mengusung etika Al-Qur’an untuk melawan korupsi, kultus individu,
pemujaan harta, dan segala penyakit sosial. Namun apa yang dilakukan Buya
Syafii lebih terfokus pada praksis dan lemah dalam metodologi. Terlabih lagi,
gagasan itu belum menjadi sebuah gerakan di Muhammadiyah.
Menurut
saya, selama dua soal ini (Ruju' ila Qur'an wa Sunnah, dan Tajdid) tidak segera
ditemukan benang penyelesaiannya, tarik-menarik antara kelompok muda
Muhammadiyah yang ingin berijtihad bebas, dan kelompok tua-nya (tentu, beserta
pengikutnya) yang masih ngotot dengan ruju' ila Qur'an wa Sunnah akan
terus berlarut-larut. Bagaimanapun, ajaran Ruju' ila Qur'an ini mengarah ke
puritanisme, Sedang, semangat Tajdid pada anak mudanya akan mengarah menjadi
Liberalisme. Bukankah sumber pokok ketidak-sukaan sebagian kalangan
Muhammadiyah terhadap pemikiran liberal beberapa anak muda Muhammadiyah
berangkat dari situ.[17]
Dalam
bidang ekonomi sistem ekonomi syari’ah yang dinilai lebih adil dan terbukti
mampu bertahan dari terpaan krisis. Ranah
ekonomi ini, perlu mendapat perhatian Muhammadiyah dalam rangka meningkatkan
dan memajukan amal usahanya. Terlebih lagi sistem ekonomi syariah ini semakin
mendapat tempat di hati masyarakat. Hal itu terlihat dengan tumbuhnya bank-bank
syaria’h serta lembaga keuangan lainnya.
Selain,
tiga hal yang dulu menjadi kebanggaan Muhammadiyah, yaitu schooling(pendidikan),feeding (kesejahteraansosial), dan healing (pengobatan,
rumah sakit), kini telah dilampaui oleh organisasi lain. Dalam hal pendidikan,
misalnya, daya tarik sekolah Muhammadiyah telah kalah dari sekolah-sekolah internasional
yang menjamur di Indonesia. Dalam hal filantropi dan kesejahteraan sosial,
Dompet Dhuafa dan PKPU terlihat lebih menarik, kaya ide, dan agresif daripada
lembaga-lembaga Muhammadiyah. Pilar yang dulu menopang Muhammadiyah,
yaitu middle class (kelas menengah) terutama dari kalangan
pedagang, juga banyak yang runtuh di beberapa tempat dan digantikan oleh PNS
(Pegawai Negeri Sipil) yang kurang independen.[18]
BAB III
KESIMPULAN
Sebagai
sebuah gerakan Islam yang lahir pada tahun 1912 Masehi dan kini memasuki usia
100 tahun, telah banyak yang dilakukan oleh Muhammadiyah bagi masyarakat dan
bangsa Indonesia secara luas. Sehingga harus diakui bahwa Muhammadiyah memiliki
kontribusi dan perhatian yang cukup besar dalam dinamika kehidupan masyarakat
Indonesia. Dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah untuk menegakkan dan
menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya. Persyarikatan Muhammadiyah telah menempuh berbagai usaha
meliputi bidang dakwah, sosial, pendidikan, ekonomi, politik, dan sebagainya,
yang secara operasional dilaksanakan melalui berbagai institusi organisasi
seperti majelis, badan, dan amal usaha yang didirikannya.
Peningkatan
jumlah yang demikian spektakuler tidak dapat menutup kenyataan lain di seputar
perkembangan amal usaha Muhammadiyah, yaitu kualitas amal usaha tersebut. Harus
diakui, amal usaha Muhammadiyah untuk hal kualitas mengalami dua masalah
sekaligus. Pertama, keterlambatan pertumbuhan kualitas dibandingkan dengan
penambahan jumlah yang spektakuler. Kedua, ketidakmerataan pengembangan mutu
lembaga pendidikan. Oleh karenanya, untuk membenahi masalah ini, kehadiran
kontribusi pemikiran dan gerakan nyata dari berbagai kalangan mutlak
diperlukan. Ingat, Muhammadiyah adalah gerakan sosial yang kepedualiannya
ditunggu masarakat luas.
Muhammadiyah
difahami, bahwa demikian banyak empowerment measures (ukuran
pemberdayaan) atau centennial revitalizating (revitalisasi ultahnya yang
ke 100 tahun) yang harus dilaksanakan oleh gerakan transformasi ini. Revitalisasi
di bidang theologi, ideology, pemikiran, organisasi, kepemimpinan, amal usaha
dan aksi, semuanya diletakkan dalam konteks pemahaman kembali akan tujuan
membangun umat.
Akhirnya,
sebagai organisasi sosial keagamaan, Muhammadiyah perlu kita dukung, meski
organisasi kita berbeda. Terlebih Muhammadiyah sebagai gerakan, dalam mengikuti
perkembangan dan perubahan, senantiasa mempunyai kepentingan untuk melaksanakan
amar ma'ruf nahi-mungkar, serta menyelenggarakan gerakan dan amal usaha yang
sangat dibutuhkan oleh masyarakat, sebagai usaha Muhammadiyah untuk mencapai
tujuannya, yakni: “Mmenegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga
terwujud masyarakat utama, adil, dan makmur yang diridlai Allah SWT”.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Agus, Bustanuddin, Islam dan Pembangunan, (Jakarta: PT Raja Grapindo
Persada, 2007)
M. Jandra, “Islam dalam Konteks Budaya dan Tradisi
Plural”, Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, (Surakarta: Pusat Studi Budaya
dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2003)
Rais, Amin, “Lima Doktrin Muhammadiyah,” Dinamika
Pemikiran Islam dan Muhammadiyah(al-Manak Muhammadiyah Tahun 1997 M.1417-1418
H), (Yogyakarta: Lembaga Pustaka dan Dokumentasi Pusat Muhammadiyah, Cet. I,
1996)
Usman Yatim dan Al-Misar Hamid, Muhammadiyah dalam
Sorotan, (Yogyakarta: PT Bina Rena Pariwara, Cet. I, 1993)
B. HASIL PENELITIAN, JURNAL, DAN MAKALAH
Ahmad Najib Burhani, Kandidat Doktor di Universitas
California - Santa Barbara, USA, “Kritik Nalar Muhammadiyah: Pertanyaan dan
Tantangan untuk Angkatan Muda Muhammadiyah,” Tabloid Kauman, edisi 03, Januari - Februari
2012. hal. 19. Lihat juga, di akses tanggal, 15, Mei 2012, http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2012/01/kritik-nalar-muhammadiyah-pertanyaan.html
Mujtahid, Gerakan Pemikiran Muhammadiyah: Antara Purifikasi dan
Modernisasi, di akses tanggal 15 Mei 2012 dari http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_
C. SITUS INTERNET
http://www.muhammadiyah.or.id/muhfile/download/fatwa_putusan_wacana_tarjih/Manhaj_Tarjih.pdf , di akses tanggal 15 05 2012
[1] Kata “Tajdid” dimambil dari bahasa Arab yang berkata
dasar “Jaddada-Yujaddidu-Tajdiidan” yang artinya memperbarui. Kata ini kemudian
dijadikan jargon dalam gerakan pembaruan Islam agar terlepas dari Bid’ah, Takhayyul dan Khurafat. Gerakan ini diilhami dari Gerakan Wahabi di Arab Saudi
dan Pemikiran Al-Afghani yang
dibuang di Mesir. Gerakan ini kemudian menjadi ruh dalam beberapa Organisasi
seperti Sarekat Islam,
Muhammadiyyah dan Al-Irsyad juga Persatuan Islam di Jawa. Gerakan ini pula
pernah menjadi ruh perjuangan Tuanku Imam Bonjol dalam
menggerakkan kaum Paderi.
Gerakan ini kemudian mengalami Kanter dari Akademisi Jawa Kejawen yang
kemudian menggabungkan diri dalam Budhi
Oetomo dan Ulama Jawa yang
bergabung dalam Nahdhatul Ulama.
[2] Pada masa
kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan (1912-1922), daerah pengaruh Muhammadiyah masih
terbatas di karesidenan Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, dan Pekajangan.
Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah berdiri di kota-kota tersebut pada
tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ke
Sumatera Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang, Agam. Dalam tempo yang
relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatera
Barat, dan dari daerah inilah kemudian Muhammadiyah bergerak ke seluruh
Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Pada tahun 1938, Muhammadiyah telah
tersebar keseluruh Indonesia.
[3] Daftar Pimpinan
Muhammadiyah Indonesia sejak berdirinya sampai sekarang, yang dapat penulis
susun adalah; KH Ahmad Dahlan 1912-1922, KH Ibrahim 1923-1934, KH Hisyam 1935 –
1936, KH Mas Mansur 1937 – 1941, Ki Bagus Hadikusuma 1942 – 1953, Buya AR Sutan
Mansur 1956, H.M. Yunus Anis 1959, KH. Ahmad Badawi 1962 – 1965, KH. Faqih
Usman 1968, KH. AR Fachruddin 1971 – 1985, KHA. Azhar Basyir, M.A. 1990, Prof.
Dr. H. M. Amien Rais 1995, Prof. Dr. H.A. Syafii Ma'arif 1998 – 2005, Prof. Dr.
HM Din Syamsuddin 2005 dan sekarang.
[4] Mujtahid, Gerakan
Pemikiran Muhammadiyah: Antara Purifikasi dan Modernisasi, di akses tanggal
15 Mei 2012 dari http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_
[6]Amin Rais, “Lima
Doktrin Muhammadiyah,” Dinamika Pemikiran Islam dan Muhammadiyah(al-Manak
Muhammadiyah Tahun 1997 M.1417-1418 H), (Yogyakarta: Lembaga Pustaka dan
Dokumentasi Pusat Muhammadiyah, Cet. 1, 1996), hal. 1.
[8]Kata tahayul berasal dari bahasa Arab, al-tahayul yang
bermakna reka-rekaan, persangkaan, dan khayalan. Sementara secara istilah,
tahayul adalah kepercayaan terhadap perkara ghaib, yang kepercayaan itu hanya
didasarkan pada kecerdikan akal, bukan didasarkan pada sumber Islam, baik
al-Qur’an maupun al-hadis. Di Indonesia, tahayul berkembang dan menyebar dengan
mudah, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh agama dan kepercayaan lama. Adanya
beberapa bencana alam menimbulkan korban menjadikan manusia berfikir untuk
selalu baik dan menyantuni alam yang direalisasikan dalam suatu bentuk pemujaan
dengan harapan bahwa sang alam tidak akan marah dan mengamuk lagi. Kepercayaan
animisme dan dinamisme merupakan suatu aliran kepercayaan yang ditimbulkan dari
keadaan di atas, seperti kepercayaan pada pohon besar, atau keris yang dianggap
mempunyai kekuatan tertentu atau benda-benda lainya. Kepercayaan kepercayaan
itu terus berlanjut dan berkembang bersama perkembangan kerajaan-kerajaan Hindu
yang menggunakan mistik (kebatinan) sebagai salah satu aliranya. Di askes
tanggal 15 Mei 2012 dari http://ghoffar.staff.umy.ac.id/?p=107.
[9] Menurut bahasa
ialah segala macam apa saja yang baru, atau mengadakan sesuatu yang tidak
berdasarkan contoh yang sudah ada. Sedangkan arti bid’ah secara istilah adalah
mengada-adakan sesuatu dalam agama Islam yang tidak dijumpai keteranganya dalam
al-Qur’an dan al-Sunnah. Di askes tanggal 15 Mei 2012 dari http://ghoffar.staff.umy.ac.id/?p=107.
[10] Kata khurafat berasal dari
bahasa arab: al-khurafat yang berarti dongeng, legenda,
kisah, cerita bohong, asumsi, dugaan, kepercayaan dan keyakinan yang tidak
masuk akal, atau akidah yang tidak benar. Mengingat dongeng, cerita, kisah dan
hal-hal yang tidak masuk akal di atas umumnya menarik dan mempesona, maka
khurafat juga disebut “al-hadis al-mustamlah min al-kidb”, cerita
bohong yang menarik dan mempesona. Sedangkan secara istilah, khurafat adalah
suatu kepercayaan, keyakinan, pandangan dan ajaran yang sesungguhnya tidak
memiliki dasar dari agama tetapi diyakini bahwa hal tersebut berasal dan
memiliki dasar dari agama. Dengan demikian, bagi umat Islam, ajaran atau
pandangan, kepercayaan dan keyakinan apa saja yang dipastikan ketidakbenaranya
atau yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan Hadis nabi,
dimasukan dalam kategori khurafat. Di askes
tanggal 15 Mei 2012 dari http://ghoffar.staff.umy.ac.id/?p=107.
[11]Teologi al-Ma’un –dalam payung Teologi
Islam—yang digagas dan dikembangkan oleh K.H. Ahmad Dahlan, pendiri
Muhammadiyah, dipandang oleh warga Muhammadiyah dan dinilai oleh sebagian
peneliti, seperti Deliar Noer dan Achmad Jainuri, berhasil membawa warga
gerakan modern ini gigih dan bersemangat untuk membebaskan mustad’afn dari
ketertindasannya. Wujud konkret dari gerakan mereka adalah pendirian beberapa
panti asuhan, rumah sakit, dan lembaga pendidikan. Dengan demikian, pada
dataran konsep, teologi Mustad’afin sesungguhnya merupakan istilah
baru, bukan konsep baru, yang dikembangkan dari sumbernya, yakni
teologi al-Ma’un sebagai identitas yang diambil dari spirit Q.S.
al-Ma’un [107].Teologi Mustad’afin menarik untuk dikaji kaitannya
dengan konteks dilektika historis perkembangan aliran-aliran Islam di Indonesia
dan pemaknaan konsep teologis tersebut pada wilayah konkret dan praksis.
Meskipun dalam kajian teologi Islam sudah terdapat tipe-tipe kontemporer
teologi pembebasan versi Asghar Ali Engineer (Pakistan), Farid Esack (Afrika
Selatan), dan Hassan Hanafi (Mesir) tetapi kajian teologi Mustad’afinini
menarik dalam konteks khas IslamIndonesia. Lihat, di akses tanggal, 15 Mei
2012, http://tsaqafah.isid.gontor.ac.id/volume-vii-1/volume-vii-2/teologi-mustadafin-di-indonesia-kajian-atas-teologi-muhammadiya
[12]http://www.muhammadiyah.or.id/muhfile/download/fatwa_putusan_wacana_tarjih/Manhaj_Tarjih.pdf , di akses tanggal 15 05 2012.
[13] Tarjih adalah secara teknis tarjih adalah proses analisis
untuk menetapkan hukum dengan menetapkan dalil yang lebih kuat (rajih), lebih
tepat analogi dan lebih kuat maslahatnya. Sedangkan secara institusional majlis
tarjih adalah lembaga ijtihad jama’i (organisatoris) di lingkungan Muhammadiyah
yang anggotanya terdiri dari orang-orang yang meiliki kompetensi ushuliyah dan
ilmiyah dalam bidangnya masing-masing. Lihat, di askes tanggal, 15 Mei 2012, http://tarjihbms.wordpress.com/manhaj/
[14] M. Jandra, “Islam
dalam Konteks Budaya dan Tradisi Plural”, Agama dan Pluralitas Budaya
Lokal, (Surakarta: Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas
Muhammadiyah Surakarta, 2003), hal. 73.
[17] Ahmad Najib Burhani, Kandidat Doktor di Universitas
California - Santa Barbara, USA, “Kritik Nalar Muhammadiyah: Pertanyaan dan
Tantangan untuk Angkatan Muda Muhammadiyah,” Tabloid Kauman, edisi 03, Januari - Februari
2012. hal. 19. Lihat juga, di akses tanggal, 15, Mei 2012, http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2012/01/kritik-nalar-muhammadiyah-pertanyaan.html
[18]Ahmad Najib Burhani, Kandidat Doktor di Universitas California - Santa
Barbara, USA, “Kritik Nalar Muhammadiyah: Pertanyaan dan Tantangan untuk
Angkatan Muda Muhammadiyah,” Tabloid
Kauman, edisi 03, Januari - Februari 2012. hal. 19. Lihat juga, di akses
tanggal, 15, Mei 2012, http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2012/01/kritik-nalar-muhammadiyah-pertanyaan.html
Post a Comment