BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Saat ini
kehadiran pada da’i semakin dituntut untuk ikut terlibat secara aktif dalam
memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Para da’i tidak boleh
hanya menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekadar menyampaikan pesan-pesan
agama dalam khutbah, melainkan secara konsepsional para da’i dituntut mampu
memecahkan berbagai persoalan dan dinamika hidup yang terjadi dalam masyarakat
luas.
Meminjam istilah
Achmad Satori Ismail, bahwa tidak mungkin mengamalkan Islam secara komprehensif
kalau seorang da’i tidak memiliki ilmu keislaman yang luas. Oleh sebab itu,
seorang da’i harus memiliki ilmu terlebih dahulu tentang keislaman- termasuk
memiliki ilmu tentang al-Qur’an, hadits, usul fiqh, dan lain-lain.[1]
Tuntutan
terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman agama yang
selama ini banyak menggunakan pendekatan teologis normatif dilengkapi dengan
pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain, yang secara operasional
konseptual, dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.
Berkenaan dengan
pemikiran di atas, maka pada tulisan ini pembaca akan diajak untuk mengkaji
berbagai pendekatan yang dapat digunakan dalam memahami agama. Hal demikian
perlu dilakukan, karena melalui pendekatan tersebut, kehadiran agama secara
fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya. Sebaliknya tanpa mengetahui
berbagai pendekatan tersebut, tidak mustahil agama menjadi sulit dipahami oleh
masyarakat, tidak fungsional, dan akhirnya masyarakat mencari pemecahan masalah
kepada selain agama, dan hal ini tidak boleh terjadi.
Berbagai
pendekatan tersebut meliputi pendekatan teologis, normatif, antropologis,
sosiologis, fenomenologis, filosofis, historis, politis, psikologis, dan interdisipliner.
Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau
paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan
dalam memahami agama. Agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai
paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai
dengan kerangka paradigmanya. Karena itu, tidak ada persoalan apakah penelitian
agama itu penelitian ilmu sosial, penelitian legalistik atau penelitian
filosofis.[2]
Sedangkan
menurut Parsudi Suparlan, dalam dunia ilmu pengetahuan makna dari istilah
pendekatan adalah sama dengan metodologi, yaitu sudut pandang atau cara melihat
dan memperlakukan sesuatu yang menjadi perhatian atau masalah yang dikaji.
Bersamaan dengan itu, makna metodologi juga mencakup berbagai teknik yang
digunakan untuk melakukan penelitian atau pengumpulan data sesuai dengan cara
melihat dan memperlakukan masalah yang dikaji. Dengan demikian, pengertian
pendekatan atau metodologi bukan hanya diartikan sebagai sudut pandang atau cara
melihat sesuatu permasalahan yang menjadi perhatian tetapi juga mencakup
pengertian metode-metode atau teknik-teknik penelitian yang sesuai dengan
pendekatan tersebut.[3]
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendekatan Teologis
Dalam
kamus Inggris Indonesia, kata theology diartikan ilmu agama.[4]
sedangkan menurut Harun Nasution teologi adalah ilmu
yang membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Setiap orang yang ingin
menyelami seluk-beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari teologi yang
terdapat dalam agama yang dianutnya. Mempelajari teologi akan memberi seseorang
keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan yang kuat, yang tidak mudah
diumbang-ambing oleh peredaran zaman.[5]
Pendekatan teologis
dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami
agama dengan menggunakan kerangka ilmu Ketuhanan yang bertolak dari satu
keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling
benar dibandingkan dengan lainnya. Sebagaimana kita ketahui, tidak bisa tidak teologi
pasti mengacu kepada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri,
komitmen, dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat
subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan
ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis. Karena sifat dasarnya yang
partikularistik, maka dengan mudah kita dapat menemukan teologi
Kristen-Katolik, teologi Kristen Protestan, dan begitu seterusnya. Dan jika
diteliti lebih mendalam lagi, dalam intern umat beragama tertentu pun masih
dapat dijumpai berbagai paham atau sekte keagamaan. Menurut informasi yang
diberikan The Encyclopedia of American Religion, di Amerika Serikat saja
terdapat 1200 sekte keagamaan. Satu di antaranya adalah sekte Davidian yang
pada bulan April 1993 pemimpin sekte Davidian bersama 80 orang pengikut
fanatiknya melakukan bunuh diri massal setelah berselisih dengan kekuasaan
pemerintah Amerikat. Dalam Islam sendiri, secara tradisional, dapat dijumpai
teologi Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah.[6]
Kritik Terhadap Pendekatan Teologis
Pendekatan
teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk
forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau
simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar
sedangkan yang lainnya sebagai salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan
fanatik bahwa pahamnya yang benar sedangkan yang lainnya sebagai yang salah,
sehingga memandang paham orang lain keliru, sesat, kafir, murtad, dan
seterusnya. Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat, dan kafir itu pun
menuduh kepada lawannya sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian,
maka terjadilah proses saling mengkafirkan, salah menyalahkan dan seterusnya.
Dengan demikian, antara satu aliran dan aliran lainnya tidak terbuka dialog
atau saling menghargai. Yang ada hanyalah ketertutupan (eksklusifisme),
sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan terkotak-kotak.
Perbedaan dalam
bentuk forma teologis yang terjadi di antara berbagai mazhab dan aliran teologi
keagamaan adalah merupakan realitas dan telah menyejarah. Pluralitas dalam
perbedaan tersebut seharusnya tidak membawa mereka saling bermusuhan dan selalu
menonjolkan segi-segi perbedaannya masing-masing secara arogan, tetapi
sebaiknya dicarikan titik persamaannya untuk menuju pada substansi dan misi
agama yang paling suci yang antara lain mewujudkan rahmat bagi seluruh alam
yang dilandasi pada prinsip keadilan, kemanusiaan, kebersamaan, kemitraan,
saling menolong, saling mewujudkan kedamaian dan seterusnya. Jika misi tersebut
dapat dirasakan, maka fungsi agama bagi kehidupan manusia segera dapat
dirasakan.
Dari uraian
tersebut terlihat bahwa pendekatan teologis dalam memahami agama menggunakan
cara berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang
diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang berasal dari Tuhan, sudah
pasti benar, sehingga tidak perlu dipertanyakan lebih dahulu melainkan dimulai
dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.
Pendekatan teologis sebagaimana disebutkan di atas, telah menunjukkan adanya
kekurangan yang antara lain bersifat eksklusif, dogmatis, dan sebagainya.
Kekurangan ini dapat dapat diatasi dengan cara melengkapinya dengan pendekatan
sosiologis sebagaimana telah diuraikan diuraikan di atas. Sedangkan
kelebihannya, melalui pendekatan teologis ini seseorang akan memiliki sikap
milintasi dalam beragama, yakni berpegang teguh kepada agama yang diyakininya
sebagai yang benar, tanpa memandang dan meremehkan agama lainnya. Dengan
pendekatan yang demikian seseorang akan memiliki sikap fanatis terhadap agama
yang dianutnya.
B. Pendekatan Normatif
Kata normatif
berasal dari bahasa Inggris norm yang berarti norma, ajaran, acuan,
ketentuan tentang masalah yang baik dan buruk, yang boleh dilakukan dan yang
tidak boleh dilakukan.[7]
Dalam hubungan ini kata norma erat hubungannya dengan akhlak, yaitu perbuatan
yang muncul dengan mudah dari kesadaran jiwa yang bersih dan dilakukan atas
kemauan sendiri, bukan berpura-pura dan bukan pula paksaan. Selanjutnya karena
akhlak, merupakan inti dari agama, bahkan inti ajaran al-Qur’an, maka norma
sering diartikan pula agama. karena agama tersebut berasal dari Allah, dan
sesuatu yang berasal dari Allah pasti benar adanya, maka norma tersebut juga
diyakini pasti benar adanya, tidak boleh dilanggar, dan wajib dilaksanakan.[8]
Pendekatan
normatif adalah pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok
dan asli dari Tuhan yang didalamnya belum terdapat pemikiran manusia. Dalam pendekatan
normatif ini agama dilihat sebagai suatu kebenaran yang mutlak dari Tuhan yang
di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Dalam kaitan ini agama
tampil sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas. Untuk agama Islam
misalnya, secara normatif pasti benar, menjunjung nilai-nilai luhur. Untuk
bidang sosial, agama tampil menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan,
kesetiakawanan, tolong-menolong, tenggang rasa, persamaan derajat dan
sebagainya.[9]
Sedangkan untuk
bidang ekonomi agama tampil menawarkan keadilan, kebersamaan, kejujuran, dan
saling menguntungkan. Untuk bidang ilmu pengetahuan, agama tampil mendorong
pemeluknya agar memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang
setinggi-tingginya, menguasai keterampilan, keahlian, dan sebagainya. Demikian
pula untuk bidang kesehatan, lingkungan hidup, kebudayaan, politik, dan
sebagainya agama tampil sangat ideal dan yang dibangun berdasarkan dalil-dalil
yang terdapat dalam ajaran agama yang bersangkutan.
C. Pendekatan Antropologis
Kata Antropologi
berasal dari bahasa Yunani, anthropos dan logos. Anthropos
berarti manusia dan logos berarti pikiran atau ilmu. Secara sederhana,
Antropologi dapat dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari manusia. Tentunya
kita akan semakin bertanya-tanya, begitu banyak ilmu yang mempelajari
manusia.
Lalu, apa sebenarnya yang
dipelajari Antropologi? Menurut William A. Haviland, seorang antropolog
Amerika, Antropologi adalah ilmu yang pengetahuan yang mempelajari
keanekaragaman manusia dan kebudayaannya.[10]
Dengan mempelajari kedua hal tersebut, Antropologi adalah studi yang berusaha
menjelaskan tentang berbagai macam bentuk perbedaan dan persamaan dalam aneka
ragam kebudayaan manusia.
Koentjaraningrat,
bapak Antropologi Indonesia, mendukung definisi Antropologi yang diberikan oleh
Haviland. la menyatakan bahwa Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat
manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat,
serta kebudayaan yang dihasilkannya.[11]
Sedangkan menurut The Wold Book Encyclopedia International,
antropologi memiliki makna;
“Antropology is the scientific study of humanity and of human culture.
Antropologist investigate the strategies for living that are learned and shared
by people as members of social groups. These scientists examine the
characteristics that human beings share as members of one species and the
diverse ways that people live in different environment. They also analyse the
products of social groups- material objects and less material creations, such
as beliefs and values.”[12]
Berbagai
penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan positif antara
kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Golongan masyarakat yang
kurang mampu dan golongan miskin pada umumnya, lebih tertarik, kepada
gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat mesianis, yang menjanjikan perubahan
tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan orang kaya lebih cenderung untuk
mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran
tatanan itu menguntungkan pihaknya. Karl Marx (1818-1883), sebagai contoh,
melihat agama sebagai opium atau candu masyarakat tertentu sehingga
mendorongnya untuk memperkenalkan teori konflik atau yang biasa disebut dengan
teori pertentangan kelas. Menurutnya, agama bisa disalah fungsikan oleh
kalangan tertentu untuk melestarikan satus quo peran tokoh-tokoh agama
yang mendukung sistem kapitalisme di Eropa yang beragama kristen. Lain halnya
dengan Max Weber (1964-1920). Dia melihat adanya korelasi positif antara ajaran
Protestan dengan munculnya semangat kapitalisme modern. Etika protestan
dilihatnya sebagai cikal bakal etos kerja masyarakat industri modern yang
kapitalistik. Cara pandang Weber ini kemudian diteruskan oleh Robert N. Bellah
dalam karyanya The Religion of Tokugawam, yakni semacam percampuran
antara ajaran agama Budha dan Sinto pada era pemerintahan Meiji dengan semangat
etos kerja orang Jepang modern. Tidak ketinggalan, seorang Yahudi kelahiran
Paris, Maxime Rodinson, dalam bukunya Islam and Capitalism menganggap
bahwa ekonomi Islam itu lebih dekat kepada sistem kapitalisme, atau
sekurang-kurangnya tidak mengharamkan prinsip-prinsip dasar kapitalisme.
Melalui
pendekatan antropologis di atas, kita melihat bahwa agama ternyata berkorelasi
dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Dalam hubungan
ini, jika kita ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja seseorang, maka
dapat dilakukan dengan cara mengubah pandangan keagamaannya.
Selanjutnya,
melalui pendekatan antropologis ini, kita dapat melihat agama dalam hubungannya
dengan mekanisme social organization juga tidak kalah menarik untuk
diketahui oleh para peneliti sosial keagamaan. Kasus di Indonesia, peneliti
Clifford Geertz dalam karyanya The Religion of Java, dapat dijadikan
contoh yang baik dalam bidang ini. Geertz melihat adanya klasifikasi sosial
dalam masyarakat Muslim di Jawa, antara santri, priyayi dan abangan. Sungguhpun
hasil penelitian antropologis di Jawa Timur ini mendapat sanggahan dari
berbagai ilmuwan sosial yang lain, namun konstruksi stratifikasi sosial yang
dikemukakannya cukup membuat orang berpikir ulang untuk mengecek keabsahannya.
Kritik Terhadap Pendekatan Antropologis
Pendekatan
antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya
memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan
dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan
memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam
disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk
memahami agama. Antropologi dalam kaitan ini lebih mengutamakan pengamatan
langsung, bahkan sifatnya partisipatif. Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan
yang sifatnya induktif[13]
yang mengimbangi pendekatan deduktif.
Ajaran
Islam dalam melihat manusia berbeda dengan pendekatan antropologi. Ajaran Islam
dalam menjelaskan kedudukan manusia di muka bumi ini, bahwa eksistensi manusia tidak berdiri
sendiri, tetapi selalu berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Pencipta. Selain itu,
agama Islam juga memposisikan manusia sebagai pengatur (khalifah) di muka bumi. Sedangkan antropologi dalam melihat manusia
dan agama hanya sebatas sebagai bagian dari fenomena kebudayaan yang tidak
terkait dengan kekuatan di luar dirinya.
Oleh
karena itu, perlu adanya upaya-upaya yang berkelanjutan bagi sarjana-sarjana
muslim untuk memperkaya pendekatan antropologi ini dengan memasukkan
ajaran-ajaran islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits, guna meluruskan
temuan-temuan pendekatan antropologi dengan ilmu keislaman.
D. Pendekatan Sosiologis
Definisi
sosiologi secara luas ialah ilmu tentang masyarakat dan gejala-gejala mengenai
masyarakat. Sosiologi seperti itu disebut macro-sociology, yaitu ilmu
tentang gejala-gejala sosial, institusi-institusi sosial dan pengaruhnya
terhadap masyarakat. Secara sempit sosiologi didefinisikan sebagai ilmu tentang
perilaku sosial ditinjau dari kecendrungan individu dengan individu lain dengan
memperhatikan simbol-simbol interaksi.[14]
Sedangkan menurut The Wold Book Encyclopedia
International, sosiologi memiliki makna;
“Sociology is the study of the individuals, groups, and institutions
that make up human society. The field of sociology covers an extremely broad
range that includes every aspect for human social conditions. Sociologists observe and
record how people relate to one another and to their environments. They also
study the formation of groups; the causes of various forms of social behaviour;
dan the role of churches, schools, and other institutions within a society.
Sociology is a social science and is closely related to anthropolgy,
psychology, and other social sciences.”[15]
Pada dasarnya
sosiologi dapat dipahami sebagai ilmu yang mempelajari kehidupan sosial manusia
dalam tata kehidupan bersama. Ilmu ini memusatkan telaahnya pada kehidupan
kelompok dan tingkah laku sosial lengkap dengan produk kehidupannya. Sosiologi
tidak tertarik pada masalah-masalah yang sifatnya kecil, pribadi, dan unik.
Sebaliknya, ia tertarik pada masalah-masalah yang sifatnya besar dan
substansial serta dalam konteks budaya yang lebih luas. [16]
Penerapan
pendekatan sosiologis Islami di antaranya misalnya bagaimana implementasi
syariah dalam masyarakat Islam. Dengan catatan bahwa peneliti harur menjauhi
sikap purbasangka negatif. Cukup banyak negara muslim yang bisa dijadikan sample
dalam penelitian ini, antara lain Malaysia, Indonesia, Pakistan, Saudi Arabia,
dan Mesir. Yang dimunculkan dalam penelitian ini bukan segi-segi yang bersifat
konflik antara hukum Islam dan masyarakat, melainkan justru segi-segi
positifnya.[17]
Kritik Terhadap Pendekatan
Sosiologis
Hasil penelitian
bidang sosiologi agama bisa saja berbeda dengan agama yang terdapat dalam
doktrin kitab suci. Sosiologi agama bukan
mengkaji benar atau salahnya suatu ajaran agama, tetapi yang dikaji
adalah bagaimana agama tersebut dihayati dan diamalkan oleh pemeluknya. Dalam
kaitan ini, dapat terjadi apa yang ada dalam doktrin kitab suci berbeda dengan
apa yang ada dalam kenyataan empirik. Para sosiolog membuat kesimpulan tentang
agama dari apa yang terdapat dalam masyarakat.
Jika suatu
pemeluk agama terbelakang dalam bidang ilmu pengetahuan, ekonomi, kesehatan,
kebersihan, dan lain sebagainya. Kaum sosiolog terkadang menyimpulkan bahwa
agama dimaksud merupakan agama untuk orang-orang yang terbelakang. Kesimpulan
ini mungkin akan mengagetkan kaum tekstual yang melihat agama sebagaimana yang
terdapat dalam kitab suci yang memang diakui ideal.
E. Pendekatan Fenomenologis
Kata fenomenologi berasal dari kata Yunani fenomenon yaitu
sesuatu yang tampak, yang terlihat karena bercakupan. Dalam bahasa Indonesia
biasa dipakai istilah gejala. Jadi fenomenologi adalah suatu aliran yang
membicarakan fenomenon, atau segala sesuatu yang menampakkan diri.[18]
Tokoh fenomenologi adalah Edmund Husserl (1859-1938), ia adalah pendiri
fenomenologi yang berpendapat bahwa ada kebenaran untuk semua orang, dan
manusia dapat mencapainya.[19]
Adapun inti pemikiran fenomenologi menurut Husserl adalah bawah untuk
menemukan pemikiran yang benar, seseorang harus kembali kepada “benda-benda”
sendiri. Dalam bentuk slogan pendirian ini mengungkapkan dengan kalimat zu den sachen (to the things).[20]
Kembali kepada “benda-benda” dimaksudkan adalah bahwa “benda-benda” diberi
kesempatan untuk berbicara tentang hakikat dirinya. Pernyataan tentang hakikat
“benda-benda” tidak lagi bergantung kepada orang yang membuat pernyataan,
melainkan ditentukan oleh “benda-benda” itu sendiri.
Akan tetapi, “benda-benda” tidaklah secara langsung memperlihatkan hakikat
dirinya. Apa yang kita temui pada “benda-benda” itu dalam pemikiran biasa
bukanlah hakikat. Hakikat benda itu ada di balik yang kelihatan itu. Karena
pemikiran pertama (first look) tidak
membuka tabir yang menutupi hakikat, maka diperlukan pemikiran kedua (second look). Alat yang digunakan untuk
menemukan hakikat pada pemikiran kedua ini adalah intuisi. Istilah yang
digunakan Husserl menunjukkan penggunaan intuisi dalam menemukan hakikat adalah
Wesenschau (melihat secara intuitif) hakikat gejala-gejala.[21]
Dalam usaha melihat hakikat dengan intuisi, Husserl memperkenalkan
pendekatan reduksi. Yang dimaksud reduksi dalam hal ini adalah penundaan segala
pengetahuan yang tentang objek sebelum pengamatan intuitif dilakukan. Reduksi
juga dapat diartikan penyaringan atau pengecilan. Istilah lain yang digunakan
Husserl adalah epoche yang artinya
sebagai penempatan sesuatu di antara dua kurung. Namun yang dimaksud ialah
“melupakan pengertian-pengertian tentang objek untuk sementara dan berusaha
melihat objek secara langsung dengan intuisi tanpa bantuan
pengertian-pengertian yang ada sebelumnya.[22]
Reduksi ini adalah salah satu prinsip yang mendasari sikap fenomenologis. Untuk
mengetahui sesuatu, seorang fenomenologis bersikap netral, tidak menggunakan
teori-teori atau pengertian-pengertian yang telah ada dalam hal ini diberi
kesempatan “berbicara tentang dirinya sendiri.”[23]
Peneliti
dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan
kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu.
Sosiologi fenomenologis pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh Edmund Husserl
dan Alfred Schultz. Pengaruh lainnya berasal dari Weber yang memberi tekanan
pada verstehen, yaitu pengertian interpretatif terhadap pemahaman
manusia. Fenomoenologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu
bagi orang-orang yang sedang diteliti oleh mereka.[24]
Inkuiri
fenomenologis memulai dengan diam. Diam merupakan tindakan untuk mengungkap
pengertian sesuatu yang sedang diteliti. Yang ditekankan oleh kaum fenomenologis
adalah aspek subjektif dari perilaku orang. Mereka berusaha untuk masuk kedalam
dunia konseptual para subyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka
mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh mereka di
sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari-hari. Para fenomenolog percaya
bahwa pada makhluk hidup tersedia pelbagai cara untuk menginterpretasikan
pengalaman melalui interaksi dengan orang lain, dan bahwa pengertian pengalaman
kitalah yang membentuk kenyataan.[25]
Ada pelbagai cabang penelitian kualitatif, namun semua berpendapat sama tentang tujuan pengertian subyek penelitian, yaitu melihatnya dari “sudut pandang mereka”. Jika ditelaah secara teliti, frase “dari segi pandang mereka” menjadi persoalan. Persoalannya adalah “dari segi pandang mereka” bukanlah merupakan ekspresi yang digunakan oleh subyek itu sendiri dan belum tentu mewakili cara mereka berpikir. “Dari segi pandangan mereka” adalah cara peneliti menggunakannya sebagai pendekatan dalam pekerjaannya. Jadi, “dari segi pandangan mereka” merupakan konstrak penelitian. Melihat subyek dari segi ini hasilnya barangkali akan memaksa subyek tersebut mengalami dunia yang asing baginya.[26]
Sebenarnya upaya mengganggu dunia subyek oleh peneliti bagaimanapun perlu dalam penelitian. Jika tidak, peneliti akan membuat tafsiran dan harus mempunyai kerangka konsep untuk menafsirkannya. Peneliti kualitatif percaya bahwa mendekati orang dengan tujuan mencoba memahami pandangan mereka dapat menghalangi pengalaman subyek. Bagi peneliti kualitatif terdapat perbedaan dalam (1) Derajat mengatasi masalah metodologis/konseptual ini dan (2) cara mengatasinya. Sebagian peneliti mencoba melakukan “deskripsi fenomenologis murni”. Di pihak lain, peneliti lainnya kurang memperdulikan dan berusaha membentuk abstraksi dengan jalan menafsirkan data berdasarkan “segi pandangan mereka”. Apapun posisi seorang peneliti, yang jelas ia harus menyadari persoalan teoretis dan isu metodologis ini.[27]
Ada pelbagai cabang penelitian kualitatif, namun semua berpendapat sama tentang tujuan pengertian subyek penelitian, yaitu melihatnya dari “sudut pandang mereka”. Jika ditelaah secara teliti, frase “dari segi pandang mereka” menjadi persoalan. Persoalannya adalah “dari segi pandang mereka” bukanlah merupakan ekspresi yang digunakan oleh subyek itu sendiri dan belum tentu mewakili cara mereka berpikir. “Dari segi pandangan mereka” adalah cara peneliti menggunakannya sebagai pendekatan dalam pekerjaannya. Jadi, “dari segi pandangan mereka” merupakan konstrak penelitian. Melihat subyek dari segi ini hasilnya barangkali akan memaksa subyek tersebut mengalami dunia yang asing baginya.[26]
Sebenarnya upaya mengganggu dunia subyek oleh peneliti bagaimanapun perlu dalam penelitian. Jika tidak, peneliti akan membuat tafsiran dan harus mempunyai kerangka konsep untuk menafsirkannya. Peneliti kualitatif percaya bahwa mendekati orang dengan tujuan mencoba memahami pandangan mereka dapat menghalangi pengalaman subyek. Bagi peneliti kualitatif terdapat perbedaan dalam (1) Derajat mengatasi masalah metodologis/konseptual ini dan (2) cara mengatasinya. Sebagian peneliti mencoba melakukan “deskripsi fenomenologis murni”. Di pihak lain, peneliti lainnya kurang memperdulikan dan berusaha membentuk abstraksi dengan jalan menafsirkan data berdasarkan “segi pandangan mereka”. Apapun posisi seorang peneliti, yang jelas ia harus menyadari persoalan teoretis dan isu metodologis ini.[27]
Peneliti
kualitatif cenderung berorientasi fenomenologis, namun sebagian besar
diantaranya tidak radikal, tetapi idealis pandangannya. Mereka memberi tekanan
pada segi subjektif, tetapi mereka tidak perlu menolak kenyataan adanya “di
tempat sana”, artinya mereka tidak perlu mendesak atau bertentangan dengan
pandangan orang yang mampu menolak tindakan itu. Sebagai gambaran diberikan
contoh, misalnya guru mungkin percaya bahwa ia mampu menembus dinding bata,
tetapi untuk mencapainya memerlukan pemikiran. Hakikatnya, batu itu keras
ditembus, namun guru itu tidak perlu merasakan bahwa ia tidak mampu berjalan
menembus dinding itu. Peneliti kulaitatif menekankan berpikir subyektif karena,
sebagai yang mereka lihat, dunia di dominasi oleh subyek yang kurang keras
dbandingkan dengan batu. Manusia kurang lebih sama dengan ‘mesin kecil’ yang
dapat melakukan sesuatu. Kita hidup dalam imajinasi kita, lebih banyak berlatar
simbolik daripada konkret.[28]
Sedangkan
kaitannya dengan agama, fenomenologi merupakan sebuah gerakan pengembangan
dalam pemikiran dan penelitian dimana peneliti mencoba memahami manusia dan
mengklasifikasikan fenomena secara spesifik termasuk fenomena keagamaan.
Beberapa poin yang dianggap sebagai sisi positif dari fenomenologi agama
diantaranya :
1.
Fenomenologi agama berorientasi pada faktual
deskriptif, dimana tidak concern pada penilaian evaluatif akan tetapi
mendeskripsikan secara tepat dan akurat suatu fenomena keagamaan seperti
ritual, simbol, ibadah (individual maupun seremonial), teologi (lisan atau
tulisan), personal yang dianggap suci, seni dan sebagainya.
2.
Tidak berusaha menjelaskan fenomena yang
dideskripsikan, terlebih membakukan hukum-hukum universal untuk memprediksikan
persoalan-persoalan keagamaan dimasa depan, akan tetapi untuk mencari pemahaman
yang memadai terhadap setiap persoalan keagamaan.
3.
Perbandingan dalam pengertian terbatas dimana
mengkomparasikan berbagai tradisi keagamaan, namun fenomenologi tidak berusaha
menyamakan atau mengunggulkan salah satu tradisi keagamaan tertentu.
4.
Menghindari reduksionisme, dalam arti murni memahami
fenomena keagamaan dalam term sosiologi, psikologi, antropologi dan ekonomi
saja tanpa memperhatikan kompleksitas pengalaman manusia, memaksakan
nilai-nilai sosial pada isu-isu transendental dan mengabaikan intensionalitas
unik para pelaku tradisi keagamaan.
5.
Menunda pertanyaan tentang kebenaran, dalam hal ini
untuk mengembangkan wawasan terhadap esensi terdalam suatu pengalaman
keagamaan. Fenomenologi berupaya terlibat atau berpartisipasi langsung untuk
memperoleh empati pemahaman yang asli.
6.
Terakhir mengembangkan struktur esensial dan makna
sebuah pengalaman keagamaan.
Kritik
Terhadap Pendekatan Fenomenologi
Pendekatan Fenomenologi adalah mengungkapkan atau mendeskripsikan makna
sebagaimana yang ada dalam data atau gejala. Dalam kerja penelitiannya
fenomenologi dapat mengacu pada tiga hal, yaitu filsafat, sejarah, dan pada
pengertiannya yang lebih luas.
Dengan demikian, “fenomenologi agama” dalam acuan yang pertama
menghubungkan dirinya sebagai salah satu aliran alam filsafat dan sumbangannya
terhadap studi agama sebagai salah satu disiplin ilmu. Adapun acuan yang kedua
memasukkan pendapat peneliti (terdahulu) yang telah menerapkan metodologi
fenomenologi dalam penelitian tentang sejarah agama. Dengan sendirinya mereka
mempergunakan religi sederhana sebagai data, dan meletakkan ekspresi keagamaan
dalam bentuk simbol- seperti bentuk-bentuk upacara keagamaan-
sebagai fokus perhatiannya.[29]
Mungkin yang paling relevan dalam hubungannya dengan penelitian agama
Islam dalam perspektif ilmu budaya adalah acuan ketiga, yaitu penerapan metode
fenomenologi secara lebih luas. Metode ini bisa diterapkan dalam menelaah
(meneliti) ajaran-ajaran, kegiatan-kegiatan, lembaga-lembaga, tradisi-tradisi,
dan simbol-simbol keagamaan.
Dengan mengacu pada tiga kerja penelitian dalam metode fenomenologi maka
langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan diharapkan akan menghasilkan.
1. Deskripsi
tentang tidak saja ajaran, tetapi juga berbagai bentuk ekspresi keagamaan yang
bersifat tata-upacara, simbolik atau mistis.
2. Deskripsi
tentang hakikat kegiatan keagamaan, khususnya dalam hubungannya dengan bentuk
ekspresi kebudayaan.
3.
Deskripsi tentang perilaku keagamaan, berupa;
a. Deskripsi
ontologis
Deksirpsi ini memusatkan perhatiannya pada “objek”
kegiatan keagamaan. Objek ini dapat berupa Tuhan, “Yang Suci” atau “Yang Gaib”,
“Kekuasaan” dan sebagainya.
b. Deskripsi
psikologis
Perhatian diletakkan pada kegiatan keagamaan itu
sendiri. Di dalam penerapannya, Malinowski, misalnya, menghubungkannya dengan
fungsi kegiatan itu dalam masyarakat.
c. Deskripsi
Dialektik
Apa yang memperoleh perhatian di sini adalah
hubungan antara subjek dan objek dalam kegiatan keagamaan. Bisa menentukan diri
pada pengalaman keagamaan, bisa juga memfokuskan diri pada peran simbol-simbol
keagamaan itu sebagai dasar bagi manusia dalam “mengalami” dunianya.
Terlepas
dari beberapa kelebihan pendekatan fenomenologi, terdapat beberapa kesulitan
untuk memahami esensi dari suatu pengalaman keagamaan dan manifestasi. Dalam
hal ini beberapa kritik terhadap fenomenologi agama diantaranya:
Pertama, peranan deskriptif. Fenomenologi agama mengklaim
pendekatannya deskriptif murni yang resisten terhadap campur tangan peneliti,
namun tidak mustahil seorang fenomenolog memiliki kepentingan maksud-maksud
tertentu dan dalam mengontrol data dan metode yang digunakan. Dalam hal ini
kurang tepat jika fenomenologi diklaim sebagai pendekatan deskriptif murni.
Kedua, melihat peristiwa keagamaan tanpa melihat akar historisnya.
Fenomenologi agama dinilai cenderung memperlakukan fenomena keagamaan dalam
isolasi sejarah seolah-olah sejarah tidak diperlukan dalam menentukan relevansi
fakta-fakta fenomena bagi praktisi agama. Dalam prakteknya seringkali
fenomenologi agama tidak mampu mengkontekstualisasikan fenomena-fenomena
keagamaan yang dikaji.
Ketiga, peranan intuisi. Kesulitan peneliti dalam hal ini adalah
menentukan sisi yang benar dan dapat diterima. Term “objektif” dan “intuisi”
adalah sesuatu yang kontradiktif, terlebih ketika menggunakan data-data yang
bersifat intuitif untuk diverifikasi dalam wilayah objektif.
Ketiga, persoalan empati. Adanya kekhawatiran terjadinya konversi
agama karena tuntutan untuk berpartisipasi langsung dalam praktek dan ritual
keagamaan.
F. Pendekatan Filosofis
Secara harfiah,
kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada
kebenaran, ilmu, dan hikmah. Selain itu, filsafat dapat pula berarti mencari
hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan
pengalaman-pengalaman manusia.[30]
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Poerwadarminta mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan
akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala
yang ada di alam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti adanya sesuatu.[31]
Pengertian filsafat yang umumnya digunakan adalah
pendapat yang dikemukakan Sidi Gazalba. Menurutnya filsafat adalah berpikir
secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam rangka mencari
kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.[32]
Dari definisi
tersebut dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya berupaya menjelaskan inti,
hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik objek formanya.
Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas, dan inti yang terdapat di balik
yang bersifat lahiriah. Sebagai contoh, kita jumpai berbagai merek pulpen
dengan kualitas dan harganya yang berlain-lainan namun inti semua pulpen itu
adalah sebagai alat tulis. Ketika
disebut alat tulis, maka tercakuplah semua nama dan jenis pulpen.[33]
Berpikir secara
filosofis tersebut selanjutnya dapat digunakan dalam memahami ajaran agama,
dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti
dan dipahami secara saksama. Pendekatan filosofis yang demikian itu sebenarnya
sudah banyak dilakukan oleh para ahli. Kita misalnya membaca buku berjudul Hikmah
al-Tasyri’ wa Falsafatuhu yang ditulis oleh Muhammad Jurjawi. Dalam buku
tersebut Jurjawi berupaya mengungkapkan hikmah yang terdapat di balik
ajaran-ajaran agama Islam. Ajaran agama misalnya mengajarkan agar melaksanakan
shalat berjamaah. Tujuannya antara lain agar seseorang merasakan hikmahnya
hidup secara berdampingan dengan orang lain. Dengan mengerjakan puasa misalnya
agar seseorang dapat merasakan lapar yang selanjutnya menimbulkan rasa iba
kepada sesamanya yang hidup serba kekurangan. Demikian pula ibadah haji yang
dilaksanakan di kota Makkah, dalam waktu yang bersamaan, dengan bentuk dan
gerak ibadah (manasik) yang sama dengan yang dikerjakan lainnya
dimaksudkan agar orang yang mengerjakan berpandangan luas, merasa bersaudara
dengan sesama Muslim dari seluruh dunia. Thawaf yang dikerjakan mengandung
makna bahwa hidup penuh dengan dinamika yang tak kenal lelah, namun semuanya
itu harus tertuju sebagai ibadah kepada Allah semata. Mengerjakan sa’i,
yakni lari-lari kecil menggambarkan bahwa hidup tidak boleh putus asa, terus
mencoba. Dimulai dari bukit shafa yang artinya bersih dan berakhir pada
bukit marwa yang artinya berkembang. Dengan demikian hidup ini harus diisi
dengan perjuangan yang didasarkan pada tujuan dan niat yang bersih sehingga
dapat memperoleh keberkahan. Sementara itu wukuf di Arafah maksudnya adalah
saling mengenal, yakni dapat mengenal siapa dirinya, mengenal Tuhannya, dan
mengenal sesama saudaranya berbagai belahan dunia. Demikian pula melontar jamarat
dimaksudkan agar seseorang dapat membuang sifat-sifat negatif yang ada dalam
dirinya untuk diganti dengan sifat-sifat yang positif dan mengenakan pakaian
serba putih maksudnya adalah agar seseorang mengutamakan kesederhanaan,
kesahajaan, dan serba bersih jiwanya sehingga tidak terganggu hubungannya
dengan Tuhan.[34]
Karena demikian
pentingnya pendekatan filosofis ini, maka kita menjumpai bahwa filsafat telah
digunakan untuk memahami berbagai bidang lainnya selain agama. Kita misalnya
membaca adanya filsafat hukum Islam, sejarah, kebudayaan, ekonomi dan lain
sebagainya.
Kritik Terhadap Pendekatan Filsafat
Melalui
pendekatan filosofis ini, seseorang seringkali terjebak pada pengamalan agama
yang bersifat substansi semata,
hanya meyakini kebenaran agama dalam hati, tetapi tidak diikuti dengan
pelaksanaan ibadah formal. Pengamalan agama yang mereka terapkan hanyalah
bersifat hakikat. Misalnya sudah tidak lagi tertarik melaksanakan ibadah haji, puasa
zakat, dan ibadah-ibadah formal lainnnya.
Namun demikian,
pendekatan filosofis ini tidak berarti menafikan atau menyepelekan bentuk
pengamalan agama yang bersifat formal. Filsafat mempelajari segi batin yang
bersifat esoterik, sedangkan bentuk (forma) memfokuskan segi lahiriah
yang bersifat eksoterik.
Islam sebagai
agama yang banyak menyuruh penganutnya mempergunakan akal pikiran sudah dapat
dipastikan sangat memerlukan pendekatan filosofis dalam memahami ajaran
agamanya, yang contoh-contohnya telah dikemukakan di atas. Namun, pendekatan
seperti ini masih belum diterima secara merata terutama oleh kaum tradisionalis
formalistis yang cenderung memahami agama terbatas pada ketetapan melaksanakan
aturan-aturan formalistik dari pengalaman agama.
G. Pendekatan Historis
Pendekatan historis
adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan
memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari
peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini, segala peristiwa dapat dilacak dengan
melihat kapan peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat
dalam peristiwa tersebut. Sedangkan menurut The Wold Book Encyclopedia
International, historis memiliki makna;
“History is the study of the human past. Historians study records of
past events and prepare new records based on their research. These records, as
well as the events themselves, are also commonly called history.”[35]
Sedangkan
menurut Azyumardi Azra, sejarah dari kata Arab syajarah yang berarti
pohon. Pengambilan istilah ini agaknya berkaitan dengan kenyataan, bahwa
sejarah- setidaknya dalam pandangan orang pertama yang menggunakan kata ini-
menyangkut tentang antara lain, syajarah al-nasâb,
pohon genealogis yang dalam masa sekarang agaknya bisa disebut sejarah keluarga
(family history). Atau boleh jadi juga karena kata kerja syajarah
juga punya arti to happen, to occur, dan to develop. Namun
selanjutnya, sejarah dipahami mempunyai makna yang sama dengan târikh
(Arab), istoria (Yunani), history atau geschichte
(Jerman), yang secara sederhana berarti kejadian-kejadian menyangkut manusia
pada masa silam.[36]
Melalui
pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang
bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya
kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan
yang ada di amal empiris dan historis.
Pendekatan
kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri
turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial
kemasyarakatan. Dalam hubungan ini, Kuntowijoyo telah melakukan studi yang
mendalam terhadap agama yang dalam hal ini Islam, menurut pendekatan sejarah.
Ketika ia mempelajari al-Qur’an, ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa pada
dasarnya kandungan al-Qur’an itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama,
berisi konsep-konsep dan bagian kedua, berisi kisah-kisah sejarah dan
perumpamaan.
Dalam bagian
pertama yang berisi konsep-konsep kita mendapati banyak sekali istilah
al-Qur’an yang merujuk kepada pengertian-pengertian normatif yang khusus,
doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal, dan ajaran-ajaran keagamaan pada
umumnya. Istilah-istilah atau singkatnya pernyataan-pernyataan itu mungkin
diangkat dari konsep-konsep yang telah dikenal oleh masyarakat Arab pada waktu
al-Qur’an diturunkan atau bisa jadi merupakan istilah-istilah baru yang
dibentuk untuk mendukung adanya konsep-konsep religius yang ingin
diperkenalkannya. Yang jelas, istilah-istilah itu kemudian diintegrasikan ke
dalam pandangan dunia al-Qur’an, dan dengan demikian lalu menjadi konsep-konsep otentik.
Dalam bagian
pertama ini kita mengenal sekali konsep, baik yang bersifat abstrak maupun
konkret. Konsep tentang Allah, malaikat, akhirat, ma’ruf, munkar, dan
sebagainya adalah konsep-konsep yang abstrak. Sementara itu, juga ditunjukkan
konsep-konsep yang lebih menunjuk kepada fenomena konkret dan dapat diamati (observable),
misalnya konsep tentang fuqara (orang-orang fakir), dhu’afa
(orang lemah), mustadl’afin (kelas tertindas), zhalimun (para
tiran), aghniya (orang kaya), mustakbirun (penguasa), mufasidun
(koruptor-koruptor), dan sebagainya.
Selanjutnya,
jika pada bagian yang berisi konsep-konsep al-Qur’an bermaksud membentuk
pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai Islam, maka pada bagian kedua
yang berisi kisah-kisah dan perumpamaan, al-Qur’an ingin mengajak dilakukannya
perenungan untuk memperoleh hikmah. Melalui kontemplasi terhadap
kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa historis dan juga melalui
kiasan-kiasan yang berisi hikmah tersembunyi, manusia diajak merenungkan
hakikat dan makna kehidupan. Banyak sekali ayat yang berisi ajakan semacam ini,
tersirat maupun tersurat, baik menyangkut hikmah historis ataupun menyangkut
simbol-simbol. Misalnya, simbol tentang rapuhnya rumah laba-laba, tentang
luruhnya sehelai daun yang tak lepas dari pengamatan Allah SWT atau tentang keganasan
samudera yang menyebabkan orang-orang kafir berdoa.
Melalui
pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya
berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini, maka seseorang tidak akan
memahami agama keluar dari konteks historisnya, karena pemahaman demikian itu
akan menyesatkan orang yang memahaminya. Seseorang yang ingin memahami
al-Qur’an secara benar misalnya, yang bersangkutan harus mempelajari sejarah
turunnya al-Qur’an atau kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya al-Qur’an
yang selanjutnya disebut sebagai Ilmu Asbab al-Nuzul (ilmu tentang
sebab-sebab turunnya ayat al-Qur’an) yang pada intinya berisi sejarah turunnya
ayat al-Qur’an. Dengan ilmu asbabun nuzul ini seseorang akan dapat
mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum
tertentu dan ditujukan untuk memelihara syariat dari kekeliruan memahaminya.
Kritik atas Studi Orientalis Terhadap
Sejarah Teks al-Quran
Salah satu
kajian utama orientalis terhadap al-Quran adalah mengenai sejarahnya. Dan salah
satu tokoh orientalis yang melakukannya adalah Arthur Jeffery. Menurutnya tidak
ada yang istimewa dalam sejarah al-Quran karena sama saja dengan sejarah
kitab-kitab suci yang lain. Ia mengatakan, “it was the community which
decided this matter of what was and what was not scripture”. Komunitaslah
yang sangat berperan terhadap kesucian sebuah kitab suci. Dan fenomena semacam
ini terjadi dalam setiap agama termasuk Islam.
Pandangan
seperti ini jelas keliru karena al-Quran ternyata tidak hanya dianggap istimewa
oleh umat islam saja tapi juga oleh komunitas ilmuwan yang secara jujur
mengakui ketepatan konsep-konsep ilmiah dalam al-Quran yang baru terbukti 14
abad kemudian.
Kesalahan Pemahaman Orientalis
terhadap Proses Turunnya Wahyu
Nabi Muhammad
bukanlah satu-satunya nabi yang menerima wahyu, tapi semua nabi telah
menerimanya. Dan wahyu itu berasal dari satu sumber (Allah). Kebanyakan
orientalis tidak mau berusaha untuk meragukan atau mengkritik wahyu yang turun
kepada Nabi Isa (sebagaimana mereka melakukan terhadap Nabi Muhammad). Tetapi
mereka menjaganya dan berpendapat bahwa wahyu untuk Isa tidak mungkin
diperdebatkan lagi dengan metode ilmiah. Dalam waktu bersamaan mereka
mengkritik wahyu Muhammad secara rasio dan
ilmiah. Seharusnya teori kritik atas wahyu tersebut harus dilakukan terhadap semua wahyu yang
bersumber dari Tuhan.
Benar-benar sebuah sikap mendua yang tidak layak dilakukan oleh orang yang
mengaku ilmiah.
Kalau diteliti
dengan seksama, kesalahan pemahaman orientalis terhadap al-Quran diawali dengan
kekeliruannya dalam memahami proses turunnya wahyu. Menurut mereka, ketika Nabi
Muhammad menerima wahyu, terdapat tanda-tanda fisik yang sama dengan orang yang
menderita penyakit epilepsi dimana kesadaran telah hilang dan masuk ke alam
tidak sadar (ghaib). Diantara tanda-tanda fisik itu, sebagaimana dijelaskan
dalam hadits, adalah keluarnya keringat dari sekujur tubuhnya, muka yang pucat,
dan suara gaung yang mengiringi proses penerimaan wahyu.
Kemudian setelah
Nabi sadar, ia menceritakan kepada para sahabatnya bahwa ia baru saja menerima
wahyu. Pemahaman seperti ini jelas salah karena orang yang terkena penyakit
seperti itu pasti tidak ingat sama sekali apa yang dialaminya. Ingatan dan fikirannya
tidak berfungsi sama sekali ketika mengalami hal itu. Kondisi seperti ini sama
sekali tidak terjadi kepada Rasulullah. Karena ketika menerima wahyu,
Rasulullah dengan penuh kesadaran mengetahuinya. Panca indranya berfungsi
dengan sempurna. Sehingga mampu menceritakan secara terperinci apa saja yang
baru dialami.
Dan wahyu itu
sendiri tidak selalu berkaitan dengan hal yang ghaib tapi juga sering turun
dalam keadaan nabi yang sepenuhnya sadar sebagaimana peristiwa-peristiwa
normal. Sementara itu, mereka juga berpendapat bahwa wahyu itu datang dari
dalam diri nabi sendiri. Mereka menyebutnya sebagai al-wahyu
annafsiy (intuisi). Pendapat ini jelas tidak ilmiah karena dalam waktu
bersamaan mereka juga menganggap wahyu sebagai sesuatu yang datang dari alam
ghaib yang menyebabkan Nabi tidak sadar ketika menerimanya seperti dijelaskan
di atas.
Tafsiran
orientalis terhadap wahyu seperti di atas tidak sesuai dengan hakekat wahyu itu
sendiri. Mereka mengistilahkan wahyu sebagai al-wahyu annafsiy (intuisi) yang berasal dari dalam manusia.
Hal ini jelas berbeda dengan wahyu Tuhan
(dalam konsep Islam). Contoh kasus: jika wahyu itu berupa perbuatan (fi’il)
pembeda, maka wahyu itu berasal dari dzat yang mengerjakan yang menginginkan
sesuatu. Dialah Allah. Dan bukan intuisi, karena intuisi kembali kepada tabiat
yang terjadi dalam sebuah realitas. Sehingga memerlukan pemikiran untuk
menyimpulkan yang akhirnya menimbulkan keraguan atau keyakinan. Sementara wahyu
tidak tunduk kepada realitas dan rasio. Ia bisa diyakini secara mutlak tanpa
ada ruang keraguan di dalamnya. Sumber ilham/intuisi adalah batin manusia yang
sangat dipengaruhi oleh pengalaman pribadi sementara wahyu bersumber dari luar
yang tidak dipengaruhi oleh dirinya sendiri.
H. Pendekatan Politis
Kata politik
berasal dari kata politic (Inggris) yang menunjukkan sifat pribadi atau
perbuatan. Secara leksikal, kata asal tersebut berarti acting or judging
wisely, well judged, prudent. Kata ini terambil dari kata Latin politicus
dan bahasa Yunani (Greek) politicos yang berarti relating to a
citizen. Kedua kata tersebut juga berasal dari kata polis yang bermakna city
(kota).[37]
Politic
kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan tiga arti, yaitu: segala
urusan tindakan, kebijaksanaan, dan siasat- mengenai pemerintahan suatu negara
atau terhadap negara lain, dan juga dipergunakan sebagai nama bagi sebuah
disiplin pengetahuan yaitu politik.[38]
Menurut
Deliar Noer, politik adalah segala aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan
kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi, dengan jalan mengubah atau
mempertahankan, suatu macam bentuk susunan masyarakat.[39]
Dalam al-Qur’an
surat al-Nisa ayat 156 terdapat perintah menaati ulil amri yang terjemahannya
termasuk penguasa di bidang politik, pemerintahan dan negara. Dalam hal ini
Islam tidak mengajarkan ketaatan buta terhadap pemimpin. Islam menghendaki
suatu ketaatan kritis, yaitu ketaatan yang didasarkan pada tolok ukur kebenaran
dari Tuhan. Jika pemimpin tersebut berpegang teguh pada tuntutan Allah dan
rasul-Nya maka wajib ditaati. Sebaliknya, jika pemimpin tersebut bertentangan
dengan kehendak Allah dan rasul-Nya, boleh dikritik atau diberi saran agar
kembali ke jalan yang benar dengan cara-cara yang persuasif. Dan jika cara
tersebut juga tidak dihiraukan oleh pimpinan tersebut, boleh saja untuk tidak
dipatuhi.[40]
Masalah politik
ini selanjutnya berhubungan dengan perdebatan hubungan agama dan negara, mengalami
pedebatan yang cukup panjang dikalangan ulama Islam hingga kini. Berkenaan
dengan hal tersebut maka pendapat para pakar berkenaan dengan relasi agama dan
negara dalam Islam dapat dibagi atas tiga pendapat yakni paradigma
integralistik, sekularistik, dan simbiotik.
1. Paradigma Integralistik
Paradigma
integralistik mengajukan konsep bersatunya agama dan negara. Agama dan negara
tidak dapat dipisahkan (integrated). Dalam konteks Islam, Islam adalah din
wa dawlah. Apa yang merupakan wilayah agama otomatis merupakan wilayah
politik atau negara. Model ini menyimpulakan bahwa negara merupakan lembaga
politik dan keagamaan sekaligus, yang antara keduanya merupakan totalitas utuh
dan tidak dapat dipisahkan.[41]
Pandangan ini
berkeyakinan bahwa Islam diturunkan sudah dalam kelengkapan yang utuh dan bulat
(kafah). Islam telah memiliki konsep-konsep lengkap untuk tiap-tiap
bidang kehidupan. Pandangan ini telah mendorong pemeluknya untuk percaya bahwa
Islam mencakup cara hidup yang komprehensif, bahkan sebagian kalangan menekankan bahwa Islam merupakan totalitas
yang menawarkan pemecahan terhadap semua masalah kehidupan.[42]
Menurut pemikiran
tokoh-tokoh ikhwan muslimin, Islam adalah suatu agama yang sempurna dan amat
lengkap, yang meliputi tidak saja tuntutan moral dan peribadatan, tetapi juga
petunjuk-petunjuk mengenai cara mengatur segala aspek kehidupan, temasuk
kehidupan politik, ekonomi dan sosial. Oleh karenanya untuk pemulihan kejayaan
dan kemakmuran, ummat Islam harus kembali kepada agamanya yang sempurna dan
lengkap itu, kembali kepada kitab sucinya, al-Qur’an dan Sunnah Nabi, mencontoh
pola hidup Rasul dan ummat Islam generasi pertama, tidak perlu atau bahkan
jangan meniru pola atau sistem politik, ekonomi dan sosial Barat.[43]
2. Paradigma Sekularistik
Paradigma sekularistik[44]
(agama terpisah dari negara), beranggapan bahwa ada pemisahan antara agama dan
negara, agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain
memiliki garapan bidang masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan.[45]
Pandangan ini
berangkat dari pemikiran bahwa al-Qur’an tidak memiliki sistem politik yang
baku dan Muhammad tidak dimaksudkan oleh Allah untuk menciptakan kekuasaan
politik. Tugas Muhammad hanyalah sebagai penyampai wahyu tanpa memiliki
pretensi untuk mendirikan negara.[46]
Pemrakarsa paradigma ini adalah Mushtafa Kemal
Attaturk (1881-1938), ‘Ali Abd. Al-Raziq (1888-1966 M), seorang cendikiawan
muslim dari Mesir. Tokoh lain yang mengikuti pendapat ini adalah Taha Husein
(1889-1973), Ahmad Lutfi Sayyid (1872-1963), kemudian disusul belakangan oleh
Muhammad Said al-Asmawi (Mesir, lahir 1932).
Menurut Ali Abd Raziq[47],
pemerintahan Rasul bukanlah bagian dari tugas kerasulan, melainkan tugas
terpisah dari dakwah Islam dan berada di luar tugas kerasulan.[48]
Alasanya, bahwa Nabi Muhammad Saw memang telah mendirikan negara di Madinah,
akan tetapi sulit membuat kesimpulan bagaimana prosedur penetapan hukum yang
ditempuh oleh Rasul, demikian pula tidak ada informasi yang cukup mengenai
fungsi-fungsi pemerintahan lain, misalnya masalah keuangan, wawasan, dan
keamanan jiwa, dan harta.
3. Paradigma Simbiotik
Di antara dua
kutub di atas, pemikiran ketiga menyatakan bahwa Islam memang tidak menyediakan
sistem politik yang baku untuk diterapkan oleh umat Islam, akan tetapi Islam
juga tidak membiarkan umatnya tanpa pedoman dalam bernegara dan mengatur pemerintahan. Islam hanya memberikan
seperangkat nilai saja yang mesti dikembangkan oleh umatnya sesuai dengan
tuntutan situasi, masa dan tempat serta permasalahan yang mereka hadapi.
Karenanya, Islam tidak melarang umatnya mengadopsi pemikiran-pemikiran dari
luar, termasuk dari Barat, sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Islam, umpamanya, tidak menolak pemikiran
tentang hak asasi manusia, pembatasan kekuasaan negara atau tentang
prinsip-prinsip demokrasi.[49]
Oleh karena itu,
paham ini menolak klaim ekstrim bahwa Islam adalah agama yang lengkap yang
mengatur semua urusan termasuk politik, tetapi juga menolak klaim ekstrim kedua
yang melihat bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan politik. Menurut tipologi
ini, kendati Islam tidak menunjukkan preferensinya pada sistem politik
tertentu, tetapi dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral atau etika bagi
kehidupan bernegara, yang untuk pelaksanaannya Umat Islam bebas memilih sistem
manapun yang terbaik.[50]
Paham ini
memahami bahwa agama dan negara adalah saling membutuhkan artinya memiliki
hubungan timbal balik, perbedaannya dengan aliran integralistik adalah bahwa
agama dan negara suatu etnisitas yang berbeda, namun saling membutuhkan, bukannya
menyatu seperti yang dimaksud pada paham integralistik. Pemikiran ini di anut
kalangan-kalangan ulama Islam yakni Ibnu Taimiyah[51],
Jamaludin Al-Afghani[52],
Muhammad Abduh[53],
dan lain-lain.
I. Pendekatan Psikologis
Psikologi
berasal dari dua kata Yunani, yaitu psyche dan logos. Mengenai
kata logos, kiranya sudah banyak orang tahu bahwa artinya adalah nalar,
logika, atau ilmu. Karena itu psikologi berarti psyche. Tetapi apakah psyche
itu? Nah, di sinilah terdapat perbedaan pendapat yang berlarut-larut itu. Kalau
kita periksa Oxford Dictionary misalnya, kita akan melihat bahwa istilah
psyche mempunyai banyak arti dalam bahasa Inggris yaitu soul, mind,
dan spirit. Dalam bahasa Indonesia ketiga kata-kata bahasa Inggris itu
dapat dicakup dalam satu kata yaitu “jiwa”. Karena itulah dalam bahasa
Indonesia kebanyakan orang cenderung mengartikan psikologi sebagai ilmu jiwa.
Tetapi kecendrungan ini tidak terdapat dalam bahasa Indonesia saja. Kalau kita
periksa dalam bahasa Belanda misalnya, maka psikologi diartikan sebagai zielkunde,
dalam bahasa Jerman seelenkunde, dalam bahasa Arab ilmun nafsi,
yang semuanya itu tak lain artinya ilmu jiwa.[54]
Menurut Zakiah
Daradjat, perilaku seseorang yang tampak lahiriah terjadi karena dipengaruhi
oleh keyakinan yang dianutnya. Seseorang ketika berjumpa saling mengucapkan
salam, hormat pada kedua orang tua, kepada guru, menutup aurat, rela berkorban
untuk kebenaran, dan sebagainya merupakan gejala-gejala keagamaan yang dapat
dijelaskan melalui ilmu jiwa agama. Ilmu jiwa agama, sebagaimana dikemukakan
Zakiah Daradjat, tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang
dianut seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah bagaimana keyakinan agama
tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.
Dalam ajaran
agama banyak kita jumpai istilah-istilah yang menggambarkan sikap batin
seseorang. Misalnya sikap beriman dan bertakwa kepada Allah, sebagai orang yang
saleh, orang yang berbuat baik, orang yang jujur, dan sebagainya. Semua itu
adalah gejala-gejala kejiwaan yang berkaitan dengan agama.
Dengan ilmu jiwa
ini seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami
dan diamalkan seseorang- juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan
agama ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan usianya. Dengan ilmu ini
agama akan menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.
Kita misalnya
dapat mengetahui pengaruh dari shalat, puasa, zakat, haji, dan ibadah lainnya
dengan melalui ilmu jiwa. Dengan pengetahuan ini, maka dapat disusun
langkah-langkah baru yang lebih efisien lagi dalam menanamkan ajaran agama.
itulah sebabnya ilmu jiwa ini banyak digunakan sebagai alat untuk menjelaskan
gejala atau sikap keagamaan seseorang.
Kritik Terhadap Pendekatan
Psikologi Barat
Para ilmuwan
Muslim terdahulu sesungguhnya memiliki andil yang sangat besar dalam
mengembangkan kajian tentang kejiwaan. Ironisnya, peranan mereka dalam
memajukan dan mengembangkan ilmu kejiwaan (psikologi) tersebut tidak
mendapatkan perhatian yang selayaknya dari para pakar sejarah psikologi modern
sepanjang sejarah. Umumnya, mereka yang berasal dari Barat memulai kajian psikologi
pada kaum pemikir Yunani, terutama Plato dan Aristoteles. Selanjutnya, mereka
langsung membahas pemikiran kejiwaan para pemikir Eropa Abad Pertengahan dan
masa Kebangkitan (Renaisans) Eropa Modern. Mereka benar-benar melupakan andil
para ilmuwan Muslim yang diantaranya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin
dan banyak mempengaruhi pendapat para pemikir Eropa Abad Pertengahan hingga
awal masa Renaisans Eropa Modern sendiri.[55]
Yang lebih
menyedihkan lagi, sikap para sejarawan psikologi dari Barat tersebut justru
diikuti oleh para pakar psikologi Arab kontemporer. Mereka yang mempelajari
berbagai manuskrip sejarah psikologi di banyak universitas sama sekali tidak
melirik peranan para ilmuwan Muslim. Penghargaan terhadap andil mereka justru
datang para sejarawan filsafat Islam, baik yang berasal dari bangsa Arab
sendiri maupun non-Arab. Mereka menginformasikan kepada kita sejumlah ikhtisar
(re-sume) yang bermanfaat tentang pandangan para ilmuwan Muslim
terdahulu dalam bidang psikologi. Kendati nilainya sangat penting, namun
ikhtisar tersebut tidak cukup menarik para psikolog Islam kontemporer untuk
mendalami pandangan kejiwaan ilmuwan Muslim terdahulu, yang memungkinkan mereka
memberikan penilaian ilmiah terhadap andil mereka dalam memajukan dan mengembangkan
psikologi sepanjang sejarah.[56]
Salah satu
filosof Islam yang mempunyai perhatian yang luar biasa terhadap konsep-konsep
jiwa dan bagaimana mengatasi problem kejiwaan adalah Ibn Sina. Dengan ketajaman
pikiran dan ketelitian pengamatannya, dapat mencapai pengetahuan tentang hukum
proses conditioning sebelum hal itu ditemukan oleh Ivan Pavlov, seorang
psikolog berkebangsaan Rusia. Ibnu Sina juga dapat memberikan interpretasi
ilmiah tentang lupa, dengan mengembalikannya kepada intervensi berbagai
informasi yang belum pernah dicapai para psikologi modern, kecuali pada
perempat pertama abad ke-20. Selain itu, Ibnu Sina juga mendahului para ahli fisiologi dan psikolog modern dalam
mengukur emosi berdasarkan pengukuran berbagai perubahan fisiologi dan psikolog
modern dalam mengukur emosi berdasarkan pengukuran berbagai perubahan
fisiologis yang terjadi setelah terjadinya proses emosi.[57]
Berikutnya, pada
kasus penyembuhan orang sakit yang diakibatkan oleh rasa rindu, Ibnu Sina
berusaha mengetahui nama gadis yang dirindukan si klien, sehingga dia dapat
memberikan metode counseling yang tepat. Ibnu Sina menemukan sebuah
metode yang unik, yaitu dengan menyebutkan kepada si klien sejumlah nama
negeri, seseorang yang hidup dan gadis-gadis. Pada saat itu, dia mengukur
kecepatan detak jantung si klien untuk mengetahui kadar emosi yang ditumbulkan
oleh nama-nama itu. Dengan cara itu, Ibnu Sina dapat mengetahui nama gadis yang
dirindukan si klien dan tempat hidupnya.[58]
Metode yang
digunakan Ibnu Sina ini dianggap sebagai dasar awal bagi penemuan alat modern
yang terkenal dengan sebutan alat respon kulit galvanisasi atau juga yang
disebut alat pendeteksi kebohongan, lantaran banyak digunakan untuk
mengungkapkan berbagai tindak kejahatan. Yaitu, suatu alat yang mengukur
ketidakstabilan emosi berdasarkan pengaruhnya terhadap perubahan fisiologis
tubuh. Selain itu, sesungguhnya Ibnu Sina-dengan metode sederhana yang dia
gunakan untuk mengetahui sebab-sebab ketidakstabilan emosi melalui penyebutan
serangkaian kata-kata dan nama serta mengamati pengaruhnya terhadap emosi
individu- telah mengungguli sebagian ahli psikoanalisis dan prikiater modern
yang menggunakan cara yang sama, yaitu metode asosiasi untuk mengetahui
sebab-sebab ketidakstabilan emosi pada klien mereka.
Tidak hanya itu,
dalam mengkaji mimpi pun al-Farabi dan Ibnu Sina menemukan fakta ilmiah yang
membuat mereka unggul atas ilmuwan modern, terutama peran mimpi dalam memuaskan
dorongan dan hasrat sebagaimana pendapat Sigmund Freud pada masa modern.[59] Namun
demikian, bagaimana argumentasi dan dasar-dasar yang digunakan Ibnu Sina
berkaitan dengan konsep jiwa serta perbedaan mendasar konsep jiwa yang
dikemukakan Ibnu Sina dengan berbagai konsep jiwa yang pernah ada sebelumnya
serta letak keunggulan dan kelemahan konsep jiwa yang ditawarkan Ibnu Sina ini,
selanjutnya merupakan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban.
J. Pendekatan Interdisipliner
Pendekatan
interdisipliner memusatkan perhatian pada masalah-masalah sosial yang dapat
didekati dari berbagai disiplin keilmuan sosial. Yang menjadi titik tolak
pembelajaran biasanya konsep atau generalisasi yang berdimensi jarak atau
masalah sosial yang menyangkut atau menuntut pemecahan masalah dari berbagai
bidang keilmuan sosial.
Pendekatan
interdisipliner disebut juga pendekatan terpadu atau integrated
approach atau istilah yang digunakan Wesley dan Wronsky adalah “corelation”
untuk pendekatan antar ilmu, dan “integration”
untuk pendekatan terpadu.
Dalam pendekatan
interdisipliner konsep-konsep dari berbagai ilmu sosial atau bidang studi telah
terpadu sebagai suatu kesatuan sehingga bahannya diintegrasikan menurut
kepentingan dan tidak lagi menurut urutan konsep masing-masing ilmu atau bidang
studi.
Pendekatan
interdisliner yang dimaksud disini adalah kajian dengan menggunakan sejumlah
pendekatan atau sudut pandang (perspektif). Dalam studi misalnya menggunakan
pendekatan sosiologis,
historis dan normatif secara bersamaan. Pentingnya penggunaan pendekatan ini
semakin disadari keterbatasan dari hasil-hasil penelitian yang hanya menggunakan
satu pendekatan tertentu. Misalnya, dalam mengkaji teks agama, seperti
Al-Qur’an dan sunnah Nabi tidak cukup hanya mengandalkan pendekatan tekstual,
tetapi harus dilengkapi dengan pendekatan sosiologis dan historis sekaligus,
bahkan masih perlu ditambah dengan pendekatan-pendekatan lainnya.
Sarjana klasik Islam
yang menggunakan pendekatan ini di antaranya adalah Ibn Khaldun yang terekam
dalam karyanya al-Mukaddimah, Ibn Khaldun tidak sekadar menarasikan
kejadian-kejadian masa lampau, apalagi membatasinya pada peristiwa-peristiwa
politik. Lebih jauh, untuk menjelaskan kejadian-kejadian pada masal silam, ia
tidak menggunakan ilmu sejarah per se, tetapi juga ilmu-ilmu lain,
termasuk: geografi, antropologi, etnologi, filologi, astronomi, dan
meteorologi, ekonomi dan politik, kebudayaan, logika, filsafat, agama,
sosiologi, sastra, dan banyak lagi. Bahkan, dalam analisisnya tentang tumbuh,
bangkit, dan punahnya suatu kebudayaan, ia membangun kerangka teori yang
disebut sejarawan Annales sebagai “long-term structure” yang
membentuk, menentukan atau mempengaruhi perkembangan kebudayaan dan peradaban
manusia.[60]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Studi mengenai
Islam dan tentang aspek-aspek keislaman dari kebudayaan masyarkat Islam, suatu
distingsi harus dibuat antara Islam normatif (preskripsi-preskripsi,
norma-norma, dan nilai-nilai yang termuat dalam petunjuk kitab suci) dan Islam
aktual (semua bentuk gerakan, praktek, dan gagasan yang pada kenyataannya
eksis dalam masyarakat Muslim dalam waktu dan tempat yang berbeda-beda).
Studi normatif terhadap Islam,
yang umumnya dikerjakan kaum Muslim sendiri untuk menemukan kebenaran religius,
meliputi studi-studi tafsir, hadits, fiqih, dan kalam. Kemudian studi
selanjutnya non-normatif terhadap aspek-aspek kebudayaan dan masyarakat Muslim,
dalam pengertian yang lebih luas: meliputi telaah Islam dari sudut sejarah dan
sastra atau antropologi, sosiologi dan lain-lain.
B.
Saran-Saran
Dari uraian
tersebut kita melihat ternyata semua agama dapat dipahami melalui berbagai
pendekatan. Dengan pendekatan itu semua orang akan sampai pada agama. Seorang
teolog, sosiolog, antropolog, sejarawan, ahli ilmu jiwa, dan budayawan akan
sampai pada pemahaman agama yang benar. Di sini kita melihat bahwa agama bukan
hanya monopoli kalangan teolog dan normatif belaka, melainkan agama dapat
dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupan yang dimilikinya.
Dari keadaan demikian seseorang akan memiliki kepuasan dari agama karena
seluruh persoalan hidupnya mendapat bimbingan dari agama.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Syamsuddin, Agama dan Masyarakat: Pendekatan
Sosiologi Agama, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Abdullah, Taufik dan M. Rusli Karim (Ed.), Metodologi
Penelitian Agama Sebuah Pengantar, Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1990.
Azhari, Tahir, “Penelitian Agama Islam: Tinjauan Disiplin
Ilmu Hukum,”, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Bandung: Nuansa,
2001.
Azra, Azyumardi, Islam Substantif: Agar Umat Tidak
Jadi Buih, Bandung: Mizan, Cet. 1, 2000.
---------,“Penelitian Non-Normatif tentang Islam:
Pemikiran Awal tentang Pendekatan Kajian Sejarah pada Fakultas Adab,” Tradisi
Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan antara Disiplin Ilmu, Bandung:
Pusjarlit, 1998.
Bakker, Anton, Metode-Metode
Filsafat, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.
Bertens, K., Filsafat
Barat Dalam Abad XX, Jakarta: PT Gramedia, 1981.
Echols, John M., Kamus Inggris Indonesia, Jakarta:
Gramedia, 1979.
Edward Paul, (ed), The
Encyclopaedia of Philosophy, Vol. 5, New York: MacMilan Publishing Co., Inc
and Free Press, 1972.
Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat Jilid I, Jakarta:
Bulan Bintang, 1967.
Hammersma, Harry, Tokoh-Tokoh
Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia, 1983.
Ismail, Achmad Satori, Sepuluh Pilar Dakwah di Era
Globalisasi, Jakarta: Mitra Grafika, 2003.
Koentjaraningrat, Pengantar
Antropologi I, Jakarta: PT Rineka Cipta, Cet. I, 1996.
Magestari, Noerhadi, Tradisi Baru Penelitian Agama
Islam, Bandung: Pusjarlit, Cet. I, 1998.
Mastuhu, “Penelitian Agama Islam: Tinjaun Disiplin
Sosiologi”, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Bandung: Nuansa, 2001.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998.
Najati,Muhammad
Utsman, Jiwa dalam Pandangan Filosof
Muslim, Alih bahasa, Gazi Saloom, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004.
---------, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia,
Jakarta: PT RajaGrafindo, 2001.
Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah
Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1972.
Noer, Deliar,
Pengantar ke Pemikiran Politik, Jakarta: Rajawali, 1983.
Poerwadarminta, J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1991.
Pulungan, Suyuthi, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan
Pemikiran, Jakarta: PT Raja Grafindo, Cet. I, 1994.
Rahman, Fazlur, Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
Raziq, Ali Abd, Al-Islam wa Ushul al-Hukm, Cairo:
tp, Cet. 3, 1925
Salim, Abd. Muin, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan
Politik dalam al-Qur’an, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995.
Sarwono, Sarlito W., Berkenalan dengan Aliran-Aliran
dan Tokoh-Tokoh Psikologi, Jakarta: PT Bulan Bintang: 2000.
Suparlan,
Parsudi,“Agama Islam: Tinjauan Disiplin Antropologi”, Tradisi Baru
Penelitian Agama Islam; Tinjauan antar Disiplin Ilmu, Bandung: Nuansa bekerja sama dengan Pusjarlit, Cet.
I, 1998.
Tata, Sukayat. Internalisasi Nilai Agama Melalui
Kebijakan Publik: Dakwah Struktural Bandung Agamis. Bandung: CV. Rieksa
Utama Jaya, Cet. 1, 2011.
The Wold Book Encyclopedia
International, Chicago, Illinois: World Book Inc, 1994.
Toumy, Omar Mohammad, Falsafah Pendidikan Islam,
Penerjemah. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Wahid, Marzuki dan Rumadi, Fiqh Madhhab Negara: Kritik
Atas Politik Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: PT Lkis Pelangi Aksara,
2001.
[1]Lihat,
Achmad Satori Ismail, Sepuluh Pilar Dakwah di Era Globalisasi, (Jakarta:
Mitra Grafika, 2003), h. 51-52.
[2]Taufik
Abdullah dan M. Rusli Karim (Ed.), Metodologi Penelitian Agama Sebuah
Pengantar, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1990), h. 92.
[3]Parsudi Suparlan,“Agama
Islam: Tinjauan Disiplin Antropologi”, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam;
Tinjauan antar Disiplin Ilmu, (Bandung: Nuansa
bekerja sama dengan Pusjarlit, Cet. I, 1998), h. 110.
[4]John
M. Echols, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1979) h. 586.
[5]Harun
Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI Press, 1972), h. iv.
[6]Lihat,
Harun Nasution, Teologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: UI Press, 1978),
h. 32.
[7]John
M. Echols, Kamus Inggris Indonesia, h. 396.
[8]Abuddin
Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia (Jakarta: PT
RajaGrafindo, 2001), h. 28.
[9]Objek
penelitian normatif Islami di sini adalah asas-asas, doktrin, konsep,
sistematika dan substansi hukum Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah
Rasul, baik menurut aliran klasik maupun kontemporer. Lihat. M. Tahir Azhari,
“Penelitian Agama Islam: Tinjauan Disiplin Ilmu Hukum,” Tradisi Baru
Penelitian Agama Islam Tinjauan Antar Disiplin Ilmu, (Bandung: Pusjarlit,
1998), h. 138.
[10]Menurut
Edward B. Taylor Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang
didalamnya terkandung pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adapt istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang
sebagai anggota masyarakat.
[11]Lihat,
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi
I, (Jakarta: PT Rineka Cipta, Cet. I, 1996), h. 4.
[13]Induktif
adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan cara berpikir atau
mengambil kesimpulan yang bertolak dari mengumpulkan data-data dan
contoh-contoh yang bersifat detail untuk menuju kepada suatu kesimpulan yang
bersifat umum dan menyeluruh.
[14]Syamsuddin
Abdullah, Agama dan Masyarakat: Pendekatan Sosiologi Agama, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997) h. 13
[16]Mastuhu,
“Penelitian Agama Islam: Tinjaun Disiplin Sosiologi”, Tradisi Baru
Penelitian Agama Islam, (Bandung: Nuansa, 2001), h. 107.
[17]Tahir
Azhari, “Penelitian Agama Islam: Tinjauan Disiplin Ilmu Hukum,”, Tradisi
Baru Penelitian Agama Islam, (Bandung: Nuansa, 2001), h. 139.
[18]Lihat,
K. Bertens, Filsafat Barat Dalam Abad XX,
(Jakarta: PT Gramedia, 1981), h. 109
[19]Lihat,
Paul Edward (ed), The Encyclopaedia of
Philosophy, Vol. 5, (New York: MacMilan Publishing Co., Inc and Free Press,
1972), h. 137.
[20]Harry
Hammersma, Tokoh-Tokoh Filsafat,
(Jakarta: PT. Gramedia, 1983), h. 116.
[21]Anton
Bakker, Metode-Metode Filsafat,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), h. 113-117
[22]Yusuf
Karim, Tarikh al-Falsafat al-Hadithah,
tt., h. 460.
[23]Anton
Bakker, Metode-Metode Filsafat,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), h. 112.
[24]Lexy
J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1998), h. 9.
[29]Noerhadi
Magestari, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, (Bandung: Pusjarlit,
Cet. I, 1998), h. 147.
[30]Omar
Mohammad al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, Pernejamah. Hasan
Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 25.
[31]J.S.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1991), h. 280.
[32]Sidi
Gazalba, Sistematika Filsafat Jilid I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967),
h. 15.
[36]Azyumardi
Azra, “Penelitian Non-Normatif tentang Islam: Pemikiran Awal tentang Pendekatan
Kajian Sejarah pada Fakultas Adab,” Tradisi Baru Penelitian Agama Islam:
Tinjauan antara Disiplin Ilmu, (Bandung: Pusjarlit, 1998), h. 119.
[37]Abd.
Muin Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an, (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 1995), h. 34.
[39]Deliar
Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, (Jakarta: Rajawali, 1983), h.
94-95.
[40]Dalam
hadits Rasulullah Saw, kita jumpai petunjuknya, bahwa mentaati pemimpin bagi
setiap muslim adalah merupakan kewajiban, tetapi apabila pemimpin tersebut
memerintahkan perbuatan dosa, maka boleh ditentang. (HR. Bukhari Muslim).
[41]
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madhhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum
Islam di Indonesia (Yogyakarta: PT Lkis Pelangi Aksara, 2001), h. 24.
[42]Sukayat,
Internalisasi Nilai Agama Melalui Kebijakan Publik: Dakwah Struktural
Bandung Agamis, h. 45.
[44]
Kata sekular pada dasarnya mempunyai dua konotasi, yaitu waktu dan lokasi.
Waktu menunjukkan pada pengertian sekarang, dan lokasi mengandung arti dunia.
sedangkan, kata sekularisasi diartikan sebagai pembebasan manusia atas agama
atau metafisik. Lihat, M. Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme (Bandung:
Pustaka, 1981), hal. 20. Menurut Fazlurrahman, istilah sekularisasi dalam dunia
pembaharuan mengandung dua makna praktis, yaitu “pembedaan” yang kultur dan
yang doktrinal dalam agama, sekaligus “pemisahan” antara keduanya. Sesuatu yang
bersifat kultur dengan menggunakan prinsip-prinsip sekuler-duniawi yang
terlepas dari doktrin agama. Lihat, Fazlur Rahman, Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 155.
[45] Negara
sekular adalah negara yang memisahkan urusan agama dengan urusan publik dan
politik. Jadi, kalau milsahnya umat beragama, kelompok agama, ingin mendirikan
masjid, gereja, atau rumah ibadah lain, mereka tidak boleh dibantu oleh negara.
Itu adalah urusan masyarakat keagamaan sendiri, umat beragama sendiri. Dalam
sebuah sistem politik sekular, simbol-simbol agama tidak boleh masuk ke dalam
simbol-simbol kenegaraan dalam gedung-gedung milik publik atau milik
pemerintah. Lihat, Azyumardi Azra, Islam Substantif: Agar Umat Tidak Jadi
Buih (Bandung: Mizan, Cet. 1, 2000), h. 220.
[46]
Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, h. xiv.
[47]Ali
Abd al-Raziq lahir pada tahun 1888 dan
wafat tahun 1966 M. Dia penganut Abduh, meskipun mungkin tidak sempat belajar
banyak secara langsung darinya, oleh karena ketika Abduh wafat pada tahun 1905
Ali baru berusia kira-kira tujuh belas tahun. Dia mendapatkan pendidikan agama
di Universitas al-Azhar, kemudian pergi belajar ke Universitas Oxford, Inggris,
selama satu tahun. Dia seorang ilmuwan agama dan seorang hakim pada Mahkamah
Syari’ah Mesir. Lihat, Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan
pemikiranny, h. 139.
[48]Ali
Abd al-Raziq, Al-Islam wa Ushul al-Hukm, (Cairo: tp, Cet. 3, 1925), h. 55. Lihat juga, Suyuthi
Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: PT
Raja Grafindo, Cet. I, 1994), h. 305.
[50]Sukayat,
Internalisasi Nilai Agama Melalui Kebijakan Publik: Dakwah Struktural Bandung
Agami, h. 68.
[51]Ibnu
Taimiyah menyatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia
merupakan kewajiban agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan negara,
maka agama tidak bisa tegak. Pendapat beliau meligitimasikan agama dan negara
merupakan dua etensitas yang berbeda, tetapi saling mebutuhkan. Oleh
karenannya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak hanya berasal
dari adanya social contect, tetapi bisa saja diwarnai dengan
hukum agama.
[52]Afghani
menghendaki reformasi dan pembaruan politik Islam dengan mengganti bentuk
khilafah menjadi republik. Pemikiran ini memang berbeda dengan pemikiran umat
Islam pada saat itu yang hanya mengenal bentuk khilafah yang mempunyai
kekuasaan absolut. Lihat, Muhammad Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan
Antara Islam dan Barat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. 1, 1996), h.
108.
[53]Abduh
tidak memperdulikan bentuk pemerintahan, karena Islam tidak menetapkan bentuk
pemerintahan. Menurut dia, jika sistem khilafah masih tetap menjadi pilihan
sebagai model pemerintahan, maka bentuk ini harus bersifat dinamis yakni
mengikuti perkembangan masyarakat dalam kehidupan materi dan kebebasan
berpikir. Akibatnya, ia mampu mengantisipasi dinamika zaman. Pemikiran demikian
tampaknya sebagai implikasi dari konsep teologis tentang manusia yang
menganggap bahwa manusia memiliki kehendak bebas dalam memilih dan berbuat.
Lihat, Abd. Al-‘Athi Muhammad Ahmad, al-Fikr al-Siyasi Li al-Imam Muhammad
Abduh, (Mesir: al-Maiat al-Mishriyyat al-‘Ammat li al-Kitab, 1978), hal.
69. Lihat juga, Azhar, Filsafat
Politik: Perbandingan Antara Islam dan Barat, h. 108-109.
[54]Sarlito
W. Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi,
(Jakarta: PT Bulan Bintang: 2000), h. 4.
[55]Muhammad
Utsman Najati, Jiwa dalam Pandangan
Filosof Muslim, Alih bahasa, Gazi Saloom, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002),
h. 15.
[60]Azyumardi
Azra, “Penelitian Non-Normatif tentang Islam: Pemikiran Awal tentang Pendekatan
Kajian Sejarah pada Fakultas Adab,” Tradisi Baru Penelitian Agama Islam:
Tinjauan antara Disiplin Ilmu, h. 121.
Post a Comment