BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah

Saat ini kehadiran pada da’i semakin dituntut untuk ikut terlibat secara aktif dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Para da’i tidak boleh hanya menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekadar menyampaikan pesan-pesan agama dalam khutbah, melainkan secara konsepsional para da’i dituntut mampu memecahkan berbagai persoalan dan dinamika hidup yang terjadi dalam masyarakat luas.
Meminjam istilah Achmad Satori Ismail, bahwa tidak mungkin mengamalkan Islam secara komprehensif kalau seorang da’i tidak memiliki ilmu keislaman yang luas. Oleh sebab itu, seorang da’i harus memiliki ilmu terlebih dahulu tentang keislaman- termasuk memiliki ilmu tentang al-Qur’an, hadits, usul fiqh, dan lain-lain.[1]
Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan teologis normatif dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain, yang secara operasional konseptual, dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.
Berkenaan dengan pemikiran di atas, maka pada tulisan ini pembaca akan diajak untuk mengkaji berbagai pendekatan yang dapat digunakan dalam memahami agama. Hal demikian perlu dilakukan, karena melalui pendekatan tersebut, kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya. Sebaliknya tanpa mengetahui berbagai pendekatan tersebut, tidak mustahil agama menjadi sulit dipahami oleh masyarakat, tidak fungsional, dan akhirnya masyarakat mencari pemecahan masalah kepada selain agama, dan hal ini tidak boleh terjadi.
Berbagai pendekatan tersebut meliputi pendekatan teologis, normatif, antropologis, sosiologis, fenomenologis, filosofis, historis, politis, psikologis, dan interdisipliner. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Karena itu, tidak ada persoalan apakah penelitian agama itu penelitian ilmu sosial, penelitian legalistik atau penelitian filosofis.[2]
Sedangkan menurut Parsudi Suparlan, dalam dunia ilmu pengetahuan makna dari istilah pendekatan adalah sama dengan metodologi, yaitu sudut pandang atau cara melihat dan memperlakukan sesuatu yang menjadi perhatian atau masalah yang dikaji. Bersamaan dengan itu, makna metodologi juga mencakup berbagai teknik yang digunakan untuk melakukan penelitian atau pengumpulan data sesuai dengan cara melihat dan memperlakukan masalah yang dikaji. Dengan demikian, pengertian pendekatan atau metodologi bukan hanya diartikan sebagai sudut pandang atau cara melihat sesuatu permasalahan yang menjadi perhatian tetapi juga mencakup pengertian metode-metode atau teknik-teknik penelitian yang sesuai dengan pendekatan tersebut.[3]

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pendekatan Teologis
Dalam kamus Inggris Indonesia, kata theology diartikan ilmu agama.[4] sedangkan menurut Harun Nasution teologi adalah ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Setiap orang yang ingin menyelami seluk-beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan yang kuat, yang tidak mudah diumbang-ambing oleh peredaran zaman.[5]
Pendekatan teologis dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu Ketuhanan yang bertolak dari satu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan lainnya. Sebagaimana kita ketahui, tidak bisa tidak teologi pasti mengacu kepada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen, dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis. Karena sifat dasarnya yang partikularistik, maka dengan mudah kita dapat menemukan teologi Kristen-Katolik, teologi Kristen Protestan, dan begitu seterusnya. Dan jika diteliti lebih mendalam lagi, dalam intern umat beragama tertentu pun masih dapat dijumpai berbagai paham atau sekte keagamaan. Menurut informasi yang diberikan The Encyclopedia of American Religion, di Amerika Serikat saja terdapat 1200 sekte keagamaan. Satu di antaranya adalah sekte Davidian yang pada bulan April 1993 pemimpin sekte Davidian bersama 80 orang pengikut fanatiknya melakukan bunuh diri massal setelah berselisih dengan kekuasaan pemerintah Amerikat. Dalam Islam sendiri, secara tradisional, dapat dijumpai teologi Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah.[6]

Kritik Terhadap Pendekatan Teologis
Pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan yang lainnya sebagai salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamnya yang benar sedangkan yang lainnya sebagai yang salah, sehingga memandang paham orang lain keliru, sesat, kafir, murtad, dan seterusnya. Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat, dan kafir itu pun menuduh kepada lawannya sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian, maka terjadilah proses saling mengkafirkan, salah menyalahkan dan seterusnya. Dengan demikian, antara satu aliran dan aliran lainnya tidak terbuka dialog atau saling menghargai. Yang ada hanyalah ketertutupan (eksklusifisme), sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan terkotak-kotak.  
Perbedaan dalam bentuk forma teologis yang terjadi di antara berbagai mazhab dan aliran teologi keagamaan adalah merupakan realitas dan telah menyejarah. Pluralitas dalam perbedaan tersebut seharusnya tidak membawa mereka saling bermusuhan dan selalu menonjolkan segi-segi perbedaannya masing-masing secara arogan, tetapi sebaiknya dicarikan titik persamaannya untuk menuju pada substansi dan misi agama yang paling suci yang antara lain mewujudkan rahmat bagi seluruh alam yang dilandasi pada prinsip keadilan, kemanusiaan, kebersamaan, kemitraan, saling menolong, saling mewujudkan kedamaian dan seterusnya. Jika misi tersebut dapat dirasakan, maka fungsi agama bagi kehidupan manusia segera dapat dirasakan.
Dari uraian tersebut terlihat bahwa pendekatan teologis dalam memahami agama menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang berasal dari Tuhan, sudah pasti benar, sehingga tidak perlu dipertanyakan lebih dahulu melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi. Pendekatan teologis sebagaimana disebutkan di atas, telah menunjukkan adanya kekurangan yang antara lain bersifat eksklusif, dogmatis, dan sebagainya. Kekurangan ini dapat dapat diatasi dengan cara melengkapinya dengan pendekatan sosiologis sebagaimana telah diuraikan diuraikan di atas. Sedangkan kelebihannya, melalui pendekatan teologis ini seseorang akan memiliki sikap milintasi dalam beragama, yakni berpegang teguh kepada agama yang diyakininya sebagai yang benar, tanpa memandang dan meremehkan agama lainnya. Dengan pendekatan yang demikian seseorang akan memiliki sikap fanatis terhadap agama yang dianutnya.

B.  Pendekatan Normatif
Kata normatif berasal dari bahasa Inggris norm yang berarti norma, ajaran, acuan, ketentuan tentang masalah yang baik dan buruk, yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.[7] Dalam hubungan ini kata norma erat hubungannya dengan akhlak, yaitu perbuatan yang muncul dengan mudah dari kesadaran jiwa yang bersih dan dilakukan atas kemauan sendiri, bukan berpura-pura dan bukan pula paksaan. Selanjutnya karena akhlak, merupakan inti dari agama, bahkan inti ajaran al-Qur’an, maka norma sering diartikan pula agama. karena agama tersebut berasal dari Allah, dan sesuatu yang berasal dari Allah pasti benar adanya, maka norma tersebut juga diyakini pasti benar adanya, tidak boleh dilanggar, dan wajib dilaksanakan.[8]
Pendekatan normatif adalah pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang didalamnya belum terdapat pemikiran manusia. Dalam pendekatan normatif ini agama dilihat sebagai suatu kebenaran yang mutlak dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Dalam kaitan ini agama tampil sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas. Untuk agama Islam misalnya, secara normatif pasti benar, menjunjung nilai-nilai luhur. Untuk bidang sosial, agama tampil menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, kesetiakawanan, tolong-menolong, tenggang rasa, persamaan derajat dan sebagainya.[9]
Sedangkan untuk bidang ekonomi agama tampil menawarkan keadilan, kebersamaan, kejujuran, dan saling menguntungkan. Untuk bidang ilmu pengetahuan, agama tampil mendorong pemeluknya agar memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang setinggi-tingginya, menguasai keterampilan, keahlian, dan sebagainya. Demikian pula untuk bidang kesehatan, lingkungan hidup, kebudayaan, politik, dan sebagainya agama tampil sangat ideal dan yang dibangun berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam ajaran agama yang bersangkutan.

C.  Pendekatan Antropologis
Kata Antropologi berasal dari bahasa Yunani, anthropos dan logos. Anthropos berarti manusia dan logos berarti pikiran atau ilmu. Secara sederhana, Antropologi dapat dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari manusia. Tentunya kita akan semakin bertanya-tanya, begitu banyak ilmu yang mempelajari manusia. 
Lalu, apa sebenarnya yang dipelajari Antropologi? Menurut William A. Haviland, seorang antropolog Amerika, Antropologi adalah ilmu yang pengetahuan yang mempelajari keanekaragaman manusia dan kebudayaannya.[10] Dengan mempelajari kedua hal tersebut, Antropologi adalah studi yang berusaha menjelaskan tentang berbagai macam bentuk perbedaan dan persamaan dalam aneka ragam kebudayaan manusia.  
Koentjaraningrat, bapak Antropologi Indonesia, mendukung definisi Antropologi yang diberikan oleh Haviland. la menyatakan bahwa Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat, serta kebudayaan yang dihasilkannya.[11] Sedangkan menurut The Wold Book Encyclopedia International, antropologi memiliki makna;
“Antropology is the scientific study of humanity and of human culture. Antropologist investigate the strategies for living that are learned and shared by people as members of social groups. These scientists examine the characteristics that human beings share as members of one species and the diverse ways that people live in different environment. They also analyse the products of social groups- material objects and less material creations, such as beliefs and values.”[12]

Berbagai penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Golongan masyarakat yang kurang mampu dan golongan miskin pada umumnya, lebih tertarik, kepada gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat mesianis, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan orang kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya. Karl Marx (1818-1883), sebagai contoh, melihat agama sebagai opium atau candu masyarakat tertentu sehingga mendorongnya untuk memperkenalkan teori konflik atau yang biasa disebut dengan teori pertentangan kelas. Menurutnya, agama bisa disalah fungsikan oleh kalangan tertentu untuk melestarikan satus quo peran tokoh-tokoh agama yang mendukung sistem kapitalisme di Eropa yang beragama kristen. Lain halnya dengan Max Weber (1964-1920). Dia melihat adanya korelasi positif antara ajaran Protestan dengan munculnya semangat kapitalisme modern. Etika protestan dilihatnya sebagai cikal bakal etos kerja masyarakat industri modern yang kapitalistik. Cara pandang Weber ini kemudian diteruskan oleh Robert N. Bellah dalam karyanya The Religion of Tokugawam, yakni semacam percampuran antara ajaran agama Budha dan Sinto pada era pemerintahan Meiji dengan semangat etos kerja orang Jepang modern. Tidak ketinggalan, seorang Yahudi kelahiran Paris, Maxime Rodinson, dalam bukunya Islam and Capitalism menganggap bahwa ekonomi Islam itu lebih dekat kepada sistem kapitalisme, atau sekurang-kurangnya tidak mengharamkan prinsip-prinsip dasar kapitalisme.
Melalui pendekatan antropologis di atas, kita melihat bahwa agama ternyata berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Dalam hubungan ini, jika kita ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja seseorang, maka dapat dilakukan dengan cara mengubah pandangan keagamaannya. 
Selanjutnya, melalui pendekatan antropologis ini, kita dapat melihat agama dalam hubungannya dengan mekanisme social organization juga tidak kalah menarik untuk diketahui oleh para peneliti sosial keagamaan. Kasus di Indonesia, peneliti Clifford Geertz dalam karyanya The Religion of Java, dapat dijadikan contoh yang baik dalam bidang ini. Geertz melihat adanya klasifikasi sosial dalam masyarakat Muslim di Jawa, antara santri, priyayi dan abangan. Sungguhpun hasil penelitian antropologis di Jawa Timur ini mendapat sanggahan dari berbagai ilmuwan sosial yang lain, namun konstruksi stratifikasi sosial yang dikemukakannya cukup membuat orang berpikir ulang untuk mengecek keabsahannya.

Kritik Terhadap Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Antropologi dalam kaitan ini lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif. Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif[13] yang mengimbangi pendekatan deduktif.
            Ajaran Islam dalam melihat manusia berbeda dengan pendekatan antropologi. Ajaran Islam dalam menjelaskan kedudukan manusia di muka bumi ini, bahwa eksistensi manusia tidak berdiri sendiri, tetapi selalu berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Pencipta. Selain itu, agama Islam juga memposisikan manusia sebagai pengatur (khalifah) di muka bumi. Sedangkan antropologi dalam melihat manusia dan agama hanya sebatas sebagai bagian dari fenomena kebudayaan yang tidak terkait dengan kekuatan di luar dirinya.
            Oleh karena itu, perlu adanya upaya-upaya yang berkelanjutan bagi sarjana-sarjana muslim untuk memperkaya pendekatan antropologi ini dengan memasukkan ajaran-ajaran islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits, guna meluruskan temuan-temuan pendekatan antropologi dengan ilmu keislaman.

D.  Pendekatan Sosiologis
Definisi sosiologi secara luas ialah ilmu tentang masyarakat dan gejala-gejala mengenai masyarakat. Sosiologi seperti itu disebut macro-sociology, yaitu ilmu tentang gejala-gejala sosial, institusi-institusi sosial dan pengaruhnya terhadap masyarakat. Secara sempit sosiologi didefinisikan sebagai ilmu tentang perilaku sosial ditinjau dari kecendrungan individu dengan individu lain dengan memperhatikan simbol-simbol interaksi.[14] Sedangkan menurut The Wold Book Encyclopedia International, sosiologi memiliki makna;
“Sociology is the study of the individuals, groups, and institutions that make up human society. The field of sociology covers an extremely broad range that includes every aspect for human social conditions. Sociologists observe and record how people relate to one another and to their environments. They also study the formation of groups; the causes of various forms of social behaviour; dan the role of churches, schools, and other institutions within a society. Sociology is a social science and is closely related to anthropolgy, psychology, and other social sciences.”[15]

Pada dasarnya sosiologi dapat dipahami sebagai ilmu yang mempelajari kehidupan sosial manusia dalam tata kehidupan bersama. Ilmu ini memusatkan telaahnya pada kehidupan kelompok dan tingkah laku sosial lengkap dengan produk kehidupannya. Sosiologi tidak tertarik pada masalah-masalah yang sifatnya kecil, pribadi, dan unik. Sebaliknya, ia tertarik pada masalah-masalah yang sifatnya besar dan substansial serta dalam konteks budaya yang lebih luas. [16]
Penerapan pendekatan sosiologis Islami di antaranya misalnya bagaimana implementasi syariah dalam masyarakat Islam. Dengan catatan bahwa peneliti harur menjauhi sikap purbasangka negatif. Cukup banyak negara muslim yang bisa dijadikan sample dalam penelitian ini, antara lain Malaysia, Indonesia, Pakistan, Saudi Arabia, dan Mesir. Yang dimunculkan dalam penelitian ini bukan segi-segi yang bersifat konflik antara hukum Islam dan masyarakat, melainkan justru segi-segi positifnya.[17]

Kritik Terhadap Pendekatan Sosiologis
Hasil penelitian bidang sosiologi agama bisa saja berbeda dengan agama yang terdapat dalam doktrin kitab suci. Sosiologi agama bukan  mengkaji benar atau salahnya suatu ajaran agama, tetapi yang dikaji adalah bagaimana agama tersebut dihayati dan diamalkan oleh pemeluknya. Dalam kaitan ini, dapat terjadi apa yang ada dalam doktrin kitab suci berbeda dengan apa yang ada dalam kenyataan empirik. Para sosiolog membuat kesimpulan tentang agama dari apa yang terdapat dalam masyarakat.
Jika suatu pemeluk agama terbelakang dalam bidang ilmu pengetahuan, ekonomi, kesehatan, kebersihan, dan lain sebagainya. Kaum sosiolog terkadang menyimpulkan bahwa agama dimaksud merupakan agama untuk orang-orang yang terbelakang. Kesimpulan ini mungkin akan mengagetkan kaum tekstual yang melihat agama sebagaimana yang terdapat dalam kitab suci yang memang diakui ideal.

E.   Pendekatan Fenomenologis            
Kata fenomenologi berasal dari kata Yunani fenomenon yaitu sesuatu yang tampak, yang terlihat karena bercakupan. Dalam bahasa Indonesia biasa dipakai istilah gejala. Jadi fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomenon, atau segala sesuatu yang menampakkan diri.[18]
Tokoh fenomenologi adalah Edmund Husserl (1859-1938), ia adalah pendiri fenomenologi yang berpendapat bahwa ada kebenaran untuk semua orang, dan manusia dapat mencapainya.[19] Adapun inti pemikiran fenomenologi menurut Husserl adalah bawah untuk menemukan pemikiran yang benar, seseorang harus kembali kepada “benda-benda” sendiri. Dalam bentuk slogan pendirian ini mengungkapkan dengan kalimat zu den sachen (to the things).[20] Kembali kepada “benda-benda” dimaksudkan adalah bahwa “benda-benda” diberi kesempatan untuk berbicara tentang hakikat dirinya. Pernyataan tentang hakikat “benda-benda” tidak lagi bergantung kepada orang yang membuat pernyataan, melainkan ditentukan oleh “benda-benda” itu sendiri.
Akan tetapi, “benda-benda” tidaklah secara langsung memperlihatkan hakikat dirinya. Apa yang kita temui pada “benda-benda” itu dalam pemikiran biasa bukanlah hakikat. Hakikat benda itu ada di balik yang kelihatan itu. Karena pemikiran pertama (first look) tidak membuka tabir yang menutupi hakikat, maka diperlukan pemikiran kedua (second look). Alat yang digunakan untuk menemukan hakikat pada pemikiran kedua ini adalah intuisi. Istilah yang digunakan Husserl menunjukkan penggunaan intuisi dalam menemukan hakikat adalah Wesenschau (melihat secara intuitif) hakikat gejala-gejala.[21]
Dalam usaha melihat hakikat dengan intuisi, Husserl memperkenalkan pendekatan reduksi. Yang dimaksud reduksi dalam hal ini adalah penundaan segala pengetahuan yang tentang objek sebelum pengamatan intuitif dilakukan. Reduksi juga dapat diartikan penyaringan atau pengecilan. Istilah lain yang digunakan Husserl adalah epoche yang artinya sebagai penempatan sesuatu di antara dua kurung. Namun yang dimaksud ialah “melupakan pengertian-pengertian tentang objek untuk sementara dan berusaha melihat objek secara langsung dengan intuisi tanpa bantuan pengertian-pengertian yang ada sebelumnya.[22] Reduksi ini adalah salah satu prinsip yang mendasari sikap fenomenologis. Untuk mengetahui sesuatu, seorang fenomenologis bersikap netral, tidak menggunakan teori-teori atau pengertian-pengertian yang telah ada dalam hal ini diberi kesempatan “berbicara tentang dirinya sendiri.”[23]
Peneliti dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. Sosiologi fenomenologis pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh Edmund Husserl dan Alfred Schultz. Pengaruh lainnya berasal dari Weber yang memberi tekanan pada verstehen, yaitu pengertian interpretatif terhadap pemahaman manusia. Fenomoenologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang diteliti oleh mereka.[24]
Inkuiri fenomenologis memulai dengan diam. Diam merupakan tindakan untuk mengungkap pengertian sesuatu yang sedang diteliti. Yang ditekankan oleh kaum fenomenologis adalah aspek subjektif dari perilaku orang. Mereka berusaha untuk masuk kedalam dunia konseptual para subyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh mereka di sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari-hari. Para fenomenolog percaya bahwa pada makhluk hidup tersedia pelbagai cara untuk menginterpretasikan pengalaman melalui interaksi dengan orang lain, dan bahwa pengertian pengalaman kitalah yang membentuk kenyataan.[25]
            Ada pelbagai cabang penelitian kualitatif, namun semua berpendapat sama tentang tujuan pen
gertian subyek penelitian, yaitu melihatnya dari “sudut pandang mereka”. Jika ditelaah secara teliti, frase “dari segi pandang mereka” menjadi persoalan. Persoalannya adalah “dari segi pandang mereka” bukanlah merupakan ekspresi yang digunakan oleh subyek itu sendiri dan belum tentu mewakili cara mereka berpikir. “Dari segi pandangan mereka” adalah cara peneliti menggunakannya sebagai pendekatan dalam pekerjaannya. Jadi, “dari segi pandangan mereka” merupakan konstrak penelitian. Melihat subyek dari segi ini hasilnya barangkali akan memaksa subyek tersebut mengalami dunia yang asing baginya.[26]
            Sebenarnya upaya mengganggu dunia subyek oleh peneliti bagaimanapun perlu dalam penelitian. Jika tidak, peneliti akan membuat tafsiran dan harus mempunyai kerangka konsep untuk menafsirkannya. Peneliti kualitatif percaya bahwa mendekati orang dengan tujuan mencoba memahami pandangan mereka dapat menghalangi pengalaman subyek. Bagi peneliti kualitatif terdapat perbedaan dalam (1) Derajat mengatasi masalah metodologis/konseptual ini dan (2) cara mengatasinya. Sebagian peneliti mencoba melakukan “deskripsi fenomenologis murni”. Di pihak lain, peneliti lainnya kurang memperdulikan dan berusaha membentuk abstraksi dengan jalan menafsirkan data berdasarkan “segi pandangan mereka”. Apapun posisi seorang peneliti, yang jelas ia harus menyadari persoalan teoretis dan isu metodologis ini.
[27]
Peneliti kualitatif cenderung berorientasi fenomenologis, namun sebagian besar diantaranya tidak radikal, tetapi idealis pandangannya. Mereka memberi tekanan pada segi subjektif, tetapi mereka tidak perlu menolak kenyataan adanya “di tempat sana”, artinya mereka tidak perlu mendesak atau bertentangan dengan pandangan orang yang mampu menolak tindakan itu. Sebagai gambaran diberikan contoh, misalnya guru mungkin percaya bahwa ia mampu menembus dinding bata, tetapi untuk mencapainya memerlukan pemikiran. Hakikatnya, batu itu keras ditembus, namun guru itu tidak perlu merasakan bahwa ia tidak mampu berjalan menembus dinding itu. Peneliti kulaitatif menekankan berpikir subyektif karena, sebagai yang mereka lihat, dunia di dominasi oleh subyek yang kurang keras dbandingkan dengan batu. Manusia kurang lebih sama dengan ‘mesin kecil’ yang dapat melakukan sesuatu. Kita hidup dalam imajinasi kita, lebih banyak berlatar simbolik daripada konkret.[28]
Sedangkan kaitannya dengan agama, fenomenologi merupakan sebuah gerakan pengembangan dalam pemikiran dan penelitian dimana peneliti mencoba memahami manusia dan mengklasifikasikan fenomena secara spesifik termasuk fenomena keagamaan. Beberapa poin yang dianggap sebagai sisi positif dari fenomenologi agama diantaranya :
1.    Fenomenologi agama berorientasi pada faktual deskriptif, dimana tidak concern pada penilaian evaluatif akan tetapi mendeskripsikan secara tepat dan akurat suatu fenomena keagamaan seperti ritual, simbol, ibadah (individual maupun seremonial), teologi (lisan atau tulisan), personal yang dianggap suci, seni dan sebagainya.
2.    Tidak berusaha menjelaskan fenomena yang dideskripsikan, terlebih membakukan hukum-hukum universal untuk memprediksikan persoalan-persoalan keagamaan dimasa depan, akan tetapi untuk mencari pemahaman yang memadai terhadap setiap persoalan keagamaan.
3.    Perbandingan dalam pengertian terbatas dimana mengkomparasikan berbagai tradisi keagamaan, namun fenomenologi tidak berusaha menyamakan atau mengunggulkan salah satu tradisi  keagamaan tertentu.
4.    Menghindari reduksionisme, dalam arti murni memahami fenomena keagamaan dalam term sosiologi, psikologi, antropologi dan ekonomi saja tanpa memperhatikan kompleksitas pengalaman manusia, memaksakan nilai-nilai sosial pada isu-isu transendental dan mengabaikan intensionalitas unik para pelaku tradisi keagamaan.
5.    Menunda pertanyaan tentang kebenaran, dalam hal ini untuk mengembangkan wawasan terhadap esensi terdalam suatu pengalaman keagamaan. Fenomenologi berupaya terlibat atau berpartisipasi langsung untuk memperoleh empati pemahaman yang asli.
6.    Terakhir mengembangkan struktur esensial dan makna sebuah pengalaman keagamaan.

Kritik Terhadap Pendekatan Fenomenologi
Pendekatan Fenomenologi adalah mengungkapkan atau mendeskripsikan makna sebagaimana yang ada dalam data atau gejala. Dalam kerja penelitiannya fenomenologi dapat mengacu pada tiga hal, yaitu filsafat, sejarah, dan pada pengertiannya yang lebih luas.
Dengan demikian, “fenomenologi agama” dalam acuan yang pertama menghubungkan dirinya sebagai salah satu aliran alam filsafat dan sumbangannya terhadap studi agama sebagai salah satu disiplin ilmu. Adapun acuan yang kedua memasukkan pendapat peneliti (terdahulu) yang telah menerapkan metodologi fenomenologi dalam penelitian tentang sejarah agama. Dengan sendirinya mereka mempergunakan religi sederhana sebagai data, dan meletakkan ekspresi keagamaan dalam bentuk simbol- seperti bentuk-bentuk upacara keagamaan- sebagai fokus perhatiannya.[29]
Mungkin yang paling relevan dalam hubungannya dengan penelitian agama Islam dalam perspektif ilmu budaya adalah acuan ketiga, yaitu penerapan metode fenomenologi secara lebih luas. Metode ini bisa diterapkan dalam menelaah (meneliti) ajaran-ajaran, kegiatan-kegiatan, lembaga-lembaga, tradisi-tradisi, dan simbol-simbol keagamaan.  
Dengan mengacu pada tiga kerja penelitian dalam metode fenomenologi maka langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan diharapkan akan menghasilkan.
1.    Deskripsi tentang tidak saja ajaran, tetapi juga berbagai bentuk ekspresi keagamaan yang bersifat tata-upacara, simbolik atau mistis.
2.    Deskripsi tentang hakikat kegiatan keagamaan, khususnya dalam hubungannya dengan bentuk ekspresi kebudayaan.
3.                            Deskripsi tentang perilaku keagamaan, berupa;
a.    Deskripsi ontologis
Deksirpsi ini memusatkan perhatiannya pada “objek” kegiatan keagamaan. Objek ini dapat berupa Tuhan, “Yang Suci” atau “Yang Gaib”, “Kekuasaan” dan sebagainya.
b.    Deskripsi psikologis
Perhatian diletakkan pada kegiatan keagamaan itu sendiri. Di dalam penerapannya, Malinowski, misalnya, menghubungkannya dengan fungsi kegiatan itu dalam masyarakat.
c.    Deskripsi Dialektik
Apa yang memperoleh perhatian di sini adalah hubungan antara subjek dan objek dalam kegiatan keagamaan. Bisa menentukan diri pada pengalaman keagamaan, bisa juga memfokuskan diri pada peran simbol-simbol keagamaan itu sebagai dasar bagi manusia dalam “mengalami” dunianya.
Terlepas dari beberapa kelebihan pendekatan fenomenologi, terdapat beberapa kesulitan untuk memahami esensi dari suatu pengalaman keagamaan dan manifestasi. Dalam hal ini beberapa kritik terhadap fenomenologi agama diantaranya:
                 Pertama, peranan deskriptif. Fenomenologi agama mengklaim pendekatannya deskriptif murni yang resisten terhadap campur tangan peneliti, namun tidak mustahil seorang fenomenolog memiliki kepentingan maksud-maksud tertentu dan dalam mengontrol data dan metode yang digunakan. Dalam hal ini kurang tepat jika fenomenologi diklaim sebagai pendekatan deskriptif murni.
                 Kedua, melihat peristiwa keagamaan tanpa melihat akar historisnya. Fenomenologi agama dinilai cenderung memperlakukan fenomena keagamaan dalam isolasi sejarah seolah-olah sejarah tidak diperlukan dalam menentukan relevansi fakta-fakta fenomena bagi praktisi agama. Dalam prakteknya seringkali fenomenologi agama tidak mampu mengkontekstualisasikan fenomena-fenomena keagamaan yang dikaji.
                 Ketiga, peranan intuisi. Kesulitan peneliti dalam hal ini adalah menentukan sisi yang benar dan dapat diterima. Term “objektif” dan “intuisi” adalah sesuatu yang kontradiktif, terlebih ketika menggunakan data-data yang bersifat intuitif untuk diverifikasi dalam wilayah objektif.
                 Ketiga, persoalan empati. Adanya kekhawatiran terjadinya konversi agama karena tuntutan untuk berpartisipasi langsung dalam praktek dan ritual keagamaan.

F.   Pendekatan Filosofis
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran, ilmu, dan hikmah. Selain itu, filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.[30] Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, Poerwadarminta mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada di alam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti adanya sesuatu.[31] Pengertian filsafat yang umumnya digunakan adalah pendapat yang dikemukakan Sidi Gazalba. Menurutnya filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.[32]
Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya berupaya menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik objek formanya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas, dan inti yang terdapat di balik yang bersifat lahiriah. Sebagai contoh, kita jumpai berbagai merek pulpen dengan kualitas dan harganya yang berlain-lainan namun inti semua pulpen itu adalah sebagai  alat tulis. Ketika disebut alat tulis, maka tercakuplah semua nama dan jenis pulpen.[33]
Berpikir secara filosofis tersebut selanjutnya dapat digunakan dalam memahami ajaran agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara saksama. Pendekatan filosofis yang demikian itu sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh para ahli. Kita misalnya membaca buku berjudul Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu yang ditulis oleh Muhammad Jurjawi. Dalam buku tersebut Jurjawi berupaya mengungkapkan hikmah yang terdapat di balik ajaran-ajaran agama Islam. Ajaran agama misalnya mengajarkan agar melaksanakan shalat berjamaah. Tujuannya antara lain agar seseorang merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan dengan orang lain. Dengan mengerjakan puasa misalnya agar seseorang dapat merasakan lapar yang selanjutnya menimbulkan rasa iba kepada sesamanya yang hidup serba kekurangan. Demikian pula ibadah haji yang dilaksanakan di kota Makkah, dalam waktu yang bersamaan, dengan bentuk dan gerak ibadah (manasik) yang sama dengan yang dikerjakan lainnya dimaksudkan agar orang yang mengerjakan berpandangan luas, merasa bersaudara dengan sesama Muslim dari seluruh dunia. Thawaf yang dikerjakan mengandung makna bahwa hidup penuh dengan dinamika yang tak kenal lelah, namun semuanya itu harus tertuju sebagai ibadah kepada Allah semata. Mengerjakan sa’i, yakni lari-lari kecil menggambarkan bahwa hidup tidak boleh putus asa, terus mencoba. Dimulai dari bukit shafa yang artinya bersih dan berakhir pada bukit marwa yang artinya berkembang. Dengan demikian hidup ini harus diisi dengan perjuangan yang didasarkan pada tujuan dan niat yang bersih sehingga dapat memperoleh keberkahan. Sementara itu wukuf di Arafah maksudnya adalah saling mengenal, yakni dapat mengenal siapa dirinya, mengenal Tuhannya, dan mengenal sesama saudaranya berbagai belahan dunia. Demikian pula melontar jamarat dimaksudkan agar seseorang dapat membuang sifat-sifat negatif yang ada dalam dirinya untuk diganti dengan sifat-sifat yang positif dan mengenakan pakaian serba putih maksudnya adalah agar seseorang mengutamakan kesederhanaan, kesahajaan, dan serba bersih jiwanya sehingga tidak terganggu hubungannya dengan Tuhan.[34]
Karena demikian pentingnya pendekatan filosofis ini, maka kita menjumpai bahwa filsafat telah digunakan untuk memahami berbagai bidang lainnya selain agama. Kita misalnya membaca adanya filsafat hukum Islam, sejarah, kebudayaan, ekonomi dan lain sebagainya. 

Kritik Terhadap Pendekatan Filsafat
Melalui pendekatan filosofis ini, seseorang seringkali terjebak pada pengamalan agama yang bersifat substansi semata, hanya meyakini kebenaran agama dalam hati, tetapi tidak diikuti dengan pelaksanaan ibadah formal. Pengamalan agama yang mereka terapkan hanyalah bersifat hakikat. Misalnya sudah tidak lagi tertarik melaksanakan ibadah haji, puasa zakat, dan ibadah-ibadah formal lainnnya.
Namun demikian, pendekatan filosofis ini tidak berarti menafikan atau menyepelekan bentuk pengamalan agama yang bersifat formal. Filsafat mempelajari segi batin yang bersifat esoterik, sedangkan bentuk (forma) memfokuskan segi lahiriah yang bersifat eksoterik.  
Islam sebagai agama yang banyak menyuruh penganutnya mempergunakan akal pikiran sudah dapat dipastikan sangat memerlukan pendekatan filosofis dalam memahami ajaran agamanya, yang contoh-contohnya telah dikemukakan di atas. Namun, pendekatan seperti ini masih belum diterima secara merata terutama oleh kaum tradisionalis formalistis yang cenderung memahami agama terbatas pada ketetapan melaksanakan aturan-aturan formalistik dari pengalaman agama.

G.  Pendekatan Historis
Pendekatan historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini, segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Sedangkan menurut The Wold Book Encyclopedia International, historis memiliki makna;
“History is the study of the human past. Historians study records of past events and prepare new records based on their research. These records, as well as the events themselves, are also commonly called history.”[35]

Sedangkan menurut Azyumardi Azra, sejarah dari kata Arab syajarah yang berarti pohon. Pengambilan istilah ini agaknya berkaitan dengan kenyataan, bahwa sejarah- setidaknya dalam pandangan orang pertama yang menggunakan kata ini- menyangkut tentang antara lain, syajarah al-nasâb, pohon genealogis yang dalam masa sekarang agaknya bisa disebut sejarah keluarga (family history). Atau boleh jadi juga karena kata kerja syajarah juga punya arti to happen, to occur, dan to develop. Namun selanjutnya, sejarah dipahami mempunyai makna yang sama dengan târikh (Arab), istoria (Yunani), history atau geschichte (Jerman), yang secara sederhana berarti kejadian-kejadian menyangkut manusia pada masa silam.[36]
Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di amal empiris dan historis.
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Dalam hubungan ini, Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini Islam, menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari al-Qur’an, ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, berisi konsep-konsep dan bagian kedua, berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Dalam bagian pertama yang berisi konsep-konsep kita mendapati banyak sekali istilah al-Qur’an yang merujuk kepada pengertian-pengertian normatif yang khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal, dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Istilah-istilah atau singkatnya pernyataan-pernyataan itu mungkin diangkat dari konsep-konsep yang telah dikenal oleh masyarakat Arab pada waktu al-Qur’an diturunkan atau bisa jadi merupakan istilah-istilah baru yang dibentuk untuk mendukung adanya konsep-konsep religius yang ingin diperkenalkannya. Yang jelas, istilah-istilah itu kemudian diintegrasikan ke dalam pandangan dunia al-Qur’an, dan dengan demikian lalu  menjadi konsep-konsep otentik.
Dalam bagian pertama ini kita mengenal sekali konsep, baik yang bersifat abstrak maupun konkret. Konsep tentang Allah, malaikat, akhirat, ma’ruf, munkar, dan sebagainya adalah konsep-konsep yang abstrak. Sementara itu, juga ditunjukkan konsep-konsep yang lebih menunjuk kepada fenomena konkret dan dapat diamati (observable), misalnya konsep tentang fuqara (orang-orang fakir), dhu’afa (orang lemah), mustadl’afin (kelas tertindas), zhalimun (para tiran), aghniya (orang kaya), mustakbirun (penguasa), mufasidun (koruptor-koruptor), dan sebagainya.
Selanjutnya, jika pada bagian yang berisi konsep-konsep al-Qur’an bermaksud membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai Islam, maka pada bagian kedua yang berisi kisah-kisah dan perumpamaan, al-Qur’an ingin mengajak dilakukannya perenungan untuk memperoleh hikmah. Melalui kontemplasi terhadap kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa historis dan juga melalui kiasan-kiasan yang berisi hikmah tersembunyi, manusia diajak merenungkan hakikat dan makna kehidupan. Banyak sekali ayat yang berisi ajakan semacam ini, tersirat maupun tersurat, baik menyangkut hikmah historis ataupun menyangkut simbol-simbol. Misalnya, simbol tentang rapuhnya rumah laba-laba, tentang luruhnya sehelai daun yang tak lepas dari pengamatan Allah SWT atau tentang keganasan samudera yang menyebabkan orang-orang kafir berdoa.
Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini, maka seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya, karena pemahaman demikian itu akan menyesatkan orang yang memahaminya. Seseorang yang ingin memahami al-Qur’an secara benar misalnya, yang bersangkutan harus mempelajari sejarah turunnya al-Qur’an atau kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya al-Qur’an yang selanjutnya disebut sebagai Ilmu Asbab al-Nuzul (ilmu tentang sebab-sebab turunnya ayat al-Qur’an) yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat al-Qur’an. Dengan ilmu asbabun nuzul ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu dan ditujukan untuk memelihara syariat dari kekeliruan memahaminya.

 Kritik atas Studi Orientalis Terhadap Sejarah Teks al-Quran
Salah satu kajian utama orientalis terhadap al-Quran adalah mengenai sejarahnya. Dan salah satu tokoh orientalis yang melakukannya adalah Arthur Jeffery. Menurutnya tidak ada yang istimewa dalam sejarah al-Quran karena sama saja dengan sejarah kitab-kitab suci yang lain. Ia mengatakan, “it was the community which decided this matter of what was and what was not scripture”. Komunitaslah yang sangat berperan terhadap kesucian sebuah kitab suci. Dan fenomena semacam ini terjadi dalam setiap agama termasuk Islam. 
Pandangan seperti ini jelas keliru karena al-Quran ternyata tidak hanya dianggap istimewa oleh umat islam saja tapi juga oleh komunitas ilmuwan yang secara jujur mengakui ketepatan konsep-konsep ilmiah dalam al-Quran yang baru terbukti 14 abad kemudian.

Kesalahan Pemahaman Orientalis terhadap Proses Turunnya Wahyu
Nabi Muhammad bukanlah satu-satunya nabi yang menerima wahyu, tapi semua nabi telah menerimanya. Dan wahyu itu berasal dari satu sumber (Allah). Kebanyakan orientalis tidak mau berusaha untuk meragukan atau mengkritik wahyu yang turun kepada Nabi Isa (sebagaimana mereka melakukan terhadap Nabi Muhammad). Tetapi mereka menjaganya dan berpendapat bahwa wahyu untuk Isa tidak mungkin diperdebatkan lagi dengan metode ilmiah. Dalam waktu bersamaan mereka mengkritik wahyu Muhammad secara rasio dan ilmiah. Seharusnya teori kritik atas wahyu tersebut harus dilakukan terhadap semua wahyu yang bersumber dari Tuhan. Benar-benar sebuah sikap mendua yang tidak layak dilakukan oleh orang yang mengaku ilmiah.
Kalau diteliti dengan seksama, kesalahan pemahaman orientalis terhadap al-Quran diawali dengan kekeliruannya dalam memahami proses turunnya wahyu. Menurut mereka, ketika Nabi Muhammad menerima wahyu, terdapat tanda-tanda fisik yang sama dengan orang yang menderita penyakit epilepsi dimana kesadaran telah hilang dan masuk ke alam tidak sadar (ghaib). Diantara tanda-tanda fisik itu, sebagaimana dijelaskan dalam hadits, adalah keluarnya keringat dari sekujur tubuhnya, muka yang pucat, dan suara gaung yang mengiringi proses penerimaan wahyu.
Kemudian setelah Nabi sadar, ia menceritakan kepada para sahabatnya bahwa ia baru saja menerima wahyu. Pemahaman seperti ini jelas salah karena orang yang terkena penyakit seperti itu pasti tidak ingat sama sekali apa yang dialaminya. Ingatan dan fikirannya tidak berfungsi sama sekali ketika mengalami hal itu. Kondisi seperti ini sama sekali tidak terjadi kepada Rasulullah. Karena ketika menerima wahyu, Rasulullah dengan penuh kesadaran mengetahuinya. Panca indranya berfungsi dengan sempurna. Sehingga mampu menceritakan secara terperinci apa saja yang baru dialami.
Dan wahyu itu sendiri tidak selalu berkaitan dengan hal yang ghaib tapi juga sering turun dalam keadaan nabi yang sepenuhnya sadar sebagaimana peristiwa-peristiwa normal. Sementara itu, mereka juga berpendapat bahwa wahyu itu datang dari dalam diri nabi sendiri. Mereka menyebutnya sebagai al-wahyu annafsiy (intuisi). Pendapat ini jelas tidak ilmiah karena dalam waktu bersamaan mereka juga menganggap wahyu sebagai sesuatu yang datang dari alam ghaib yang menyebabkan Nabi tidak sadar ketika menerimanya seperti dijelaskan di atas. 
Tafsiran orientalis terhadap wahyu seperti di atas tidak sesuai dengan hakekat wahyu itu sendiri. Mereka mengistilahkan wahyu sebagai al-wahyu annafsiy (intuisi) yang berasal dari dalam manusia. Hal ini jelas berbeda dengan wahyu Tuhan (dalam konsep Islam). Contoh kasus: jika wahyu itu berupa perbuatan (fi’il) pembeda, maka wahyu itu berasal dari dzat yang mengerjakan yang menginginkan sesuatu. Dialah Allah. Dan bukan intuisi, karena intuisi kembali kepada tabiat yang terjadi dalam sebuah realitas. Sehingga memerlukan pemikiran untuk menyimpulkan yang akhirnya menimbulkan keraguan atau keyakinan. Sementara wahyu tidak tunduk kepada realitas dan rasio. Ia bisa diyakini secara mutlak tanpa ada ruang keraguan di dalamnya. Sumber ilham/intuisi adalah batin manusia yang sangat dipengaruhi oleh pengalaman pribadi sementara wahyu bersumber dari luar yang tidak dipengaruhi oleh dirinya sendiri.

H.  Pendekatan Politis
Kata politik berasal dari kata politic (Inggris) yang menunjukkan sifat pribadi atau perbuatan. Secara leksikal, kata asal tersebut berarti acting or judging wisely, well judged, prudent. Kata ini terambil dari kata Latin politicus dan bahasa Yunani (Greek) politicos yang berarti relating to a citizen. Kedua kata tersebut juga berasal dari kata polis yang bermakna city (kota).[37]
            Politic kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan tiga arti, yaitu: segala urusan tindakan, kebijaksanaan, dan siasat- mengenai pemerintahan suatu negara atau terhadap negara lain, dan juga dipergunakan sebagai nama bagi sebuah disiplin pengetahuan yaitu politik.[38]
            Menurut Deliar Noer, politik adalah segala aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi, dengan jalan mengubah atau mempertahankan, suatu macam bentuk susunan masyarakat.[39]
Dalam al-Qur’an surat al-Nisa ayat 156 terdapat perintah menaati ulil amri yang terjemahannya termasuk penguasa di bidang politik, pemerintahan dan negara. Dalam hal ini Islam tidak mengajarkan ketaatan buta terhadap pemimpin. Islam menghendaki suatu ketaatan kritis, yaitu ketaatan yang didasarkan pada tolok ukur kebenaran dari Tuhan. Jika pemimpin tersebut berpegang teguh pada tuntutan Allah dan rasul-Nya maka wajib ditaati. Sebaliknya, jika pemimpin tersebut bertentangan dengan kehendak Allah dan rasul-Nya, boleh dikritik atau diberi saran agar kembali ke jalan yang benar dengan cara-cara yang persuasif. Dan jika cara tersebut juga tidak dihiraukan oleh pimpinan tersebut, boleh saja untuk tidak dipatuhi.[40]
Masalah politik ini selanjutnya berhubungan dengan perdebatan hubungan agama dan negara, mengalami pedebatan yang cukup panjang dikalangan ulama Islam hingga kini. Berkenaan dengan hal tersebut maka pendapat para pakar berkenaan dengan relasi agama dan negara dalam Islam dapat dibagi atas tiga pendapat yakni paradigma integralistik, sekularistik, dan simbiotik.  
1.      Paradigma Integralistik
Paradigma integralistik mengajukan konsep bersatunya agama dan negara. Agama dan negara tidak dapat dipisahkan (integrated). Dalam konteks Islam, Islam adalah din wa dawlah. Apa yang merupakan wilayah agama otomatis merupakan wilayah politik atau negara. Model ini menyimpulakan bahwa negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus, yang antara keduanya merupakan totalitas utuh dan tidak dapat dipisahkan.[41]
Pandangan ini berkeyakinan bahwa Islam diturunkan sudah dalam kelengkapan yang utuh dan bulat (kafah). Islam telah memiliki konsep-konsep lengkap untuk tiap-tiap bidang kehidupan. Pandangan ini telah mendorong pemeluknya untuk percaya bahwa Islam mencakup cara hidup yang komprehensif, bahkan sebagian kalangan  menekankan bahwa Islam merupakan totalitas yang menawarkan pemecahan terhadap semua masalah kehidupan.[42]
Menurut pemikiran tokoh-tokoh ikhwan muslimin, Islam adalah suatu agama yang sempurna dan amat lengkap, yang meliputi tidak saja tuntutan moral dan peribadatan, tetapi juga petunjuk-petunjuk mengenai cara mengatur segala aspek kehidupan, temasuk kehidupan politik, ekonomi dan sosial. Oleh karenanya untuk pemulihan kejayaan dan kemakmuran, ummat Islam harus kembali kepada agamanya yang sempurna dan lengkap itu, kembali kepada kitab sucinya, al-Qur’an dan Sunnah Nabi, mencontoh pola hidup Rasul dan ummat Islam generasi pertama, tidak perlu atau bahkan jangan meniru pola atau sistem politik, ekonomi dan sosial Barat.[43]
2.      Paradigma Sekularistik
Paradigma sekularistik[44] (agama terpisah dari negara), beranggapan bahwa ada pemisahan antara agama dan negara, agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidang masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan.[45]
Pandangan ini berangkat dari pemikiran bahwa al-Qur’an tidak memiliki sistem politik yang baku dan Muhammad tidak dimaksudkan oleh Allah untuk menciptakan kekuasaan politik. Tugas Muhammad hanyalah sebagai penyampai wahyu tanpa memiliki pretensi untuk mendirikan negara.[46] Pemrakarsa paradigma ini adalah Mushtafa Kemal Attaturk (1881-1938), ‘Ali Abd. Al-Raziq (1888-1966 M), seorang cendikiawan muslim dari Mesir. Tokoh lain yang mengikuti pendapat ini adalah Taha Husein (1889-1973), Ahmad Lutfi Sayyid (1872-1963), kemudian disusul belakangan oleh Muhammad Said al-Asmawi (Mesir, lahir 1932).
Menurut Ali Abd Raziq[47], pemerintahan Rasul bukanlah bagian dari tugas kerasulan, melainkan tugas terpisah dari dakwah Islam dan berada di luar tugas kerasulan.[48] Alasanya, bahwa Nabi Muhammad Saw memang telah mendirikan negara di Madinah, akan tetapi sulit membuat kesimpulan bagaimana prosedur penetapan hukum yang ditempuh oleh Rasul, demikian pula tidak ada informasi yang cukup mengenai fungsi-fungsi pemerintahan lain, misalnya masalah keuangan, wawasan, dan keamanan jiwa, dan harta.
3.      Paradigma Simbiotik
Di antara dua kutub di atas, pemikiran ketiga menyatakan bahwa Islam memang tidak menyediakan sistem politik yang baku untuk diterapkan oleh umat Islam, akan tetapi Islam juga tidak membiarkan umatnya tanpa pedoman dalam bernegara dan mengatur  pemerintahan. Islam hanya memberikan seperangkat nilai saja yang mesti dikembangkan oleh umatnya sesuai dengan tuntutan situasi, masa dan tempat serta permasalahan yang mereka hadapi. Karenanya, Islam tidak melarang umatnya mengadopsi pemikiran-pemikiran dari luar, termasuk dari Barat, sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Islam, umpamanya, tidak menolak pemikiran tentang hak asasi manusia, pembatasan kekuasaan negara atau tentang prinsip-prinsip demokrasi.[49]
Oleh karena itu, paham ini menolak klaim ekstrim bahwa Islam adalah agama yang lengkap yang mengatur semua urusan termasuk politik, tetapi juga menolak klaim ekstrim kedua yang melihat bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan politik. Menurut tipologi ini, kendati Islam tidak menunjukkan preferensinya pada sistem politik tertentu, tetapi dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral atau etika bagi kehidupan bernegara, yang untuk pelaksanaannya Umat Islam bebas memilih sistem manapun yang terbaik.[50]  
Paham ini memahami bahwa agama dan negara adalah saling membutuhkan artinya memiliki hubungan timbal balik, perbedaannya dengan aliran integralistik adalah bahwa agama dan negara suatu etnisitas yang berbeda, namun saling membutuhkan, bukannya menyatu seperti yang dimaksud pada paham integralistik. Pemikiran ini di anut kalangan-kalangan ulama Islam yakni Ibnu Taimiyah[51], Jamaludin Al-Afghani[52], Muhammad Abduh[53], dan lain-lain.

I.     Pendekatan Psikologis
Psikologi berasal dari dua kata Yunani, yaitu psyche dan logos. Mengenai kata logos, kiranya sudah banyak orang tahu bahwa artinya adalah nalar, logika, atau ilmu. Karena itu psikologi berarti psyche. Tetapi apakah psyche itu? Nah, di sinilah terdapat perbedaan pendapat yang berlarut-larut itu. Kalau kita periksa Oxford Dictionary misalnya, kita akan melihat bahwa istilah psyche mempunyai banyak arti dalam bahasa Inggris yaitu soul, mind, dan spirit. Dalam bahasa Indonesia ketiga kata-kata bahasa Inggris itu dapat dicakup dalam satu kata yaitu “jiwa”. Karena itulah dalam bahasa Indonesia kebanyakan orang cenderung mengartikan psikologi sebagai ilmu jiwa. Tetapi kecendrungan ini tidak terdapat dalam bahasa Indonesia saja. Kalau kita periksa dalam bahasa Belanda misalnya, maka psikologi diartikan sebagai zielkunde, dalam bahasa Jerman seelenkunde, dalam bahasa Arab ilmun nafsi, yang semuanya itu tak lain artinya ilmu jiwa.[54]
Menurut Zakiah Daradjat, perilaku seseorang yang tampak lahiriah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Seseorang ketika berjumpa saling mengucapkan salam, hormat pada kedua orang tua, kepada guru, menutup aurat, rela berkorban untuk kebenaran, dan sebagainya merupakan gejala-gejala keagamaan yang dapat dijelaskan melalui ilmu jiwa agama. Ilmu jiwa agama, sebagaimana dikemukakan Zakiah Daradjat, tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang dianut seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.
Dalam ajaran agama banyak kita jumpai istilah-istilah yang menggambarkan sikap batin seseorang. Misalnya sikap beriman dan bertakwa kepada Allah, sebagai orang yang saleh, orang yang berbuat baik, orang yang jujur, dan sebagainya. Semua itu adalah gejala-gejala kejiwaan yang berkaitan dengan agama.
Dengan ilmu jiwa ini seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan diamalkan seseorang- juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan usianya. Dengan ilmu ini agama akan menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.
Kita misalnya dapat mengetahui pengaruh dari shalat, puasa, zakat, haji, dan ibadah lainnya dengan melalui ilmu jiwa. Dengan pengetahuan ini, maka dapat disusun langkah-langkah baru yang lebih efisien lagi dalam menanamkan ajaran agama. itulah sebabnya ilmu jiwa ini banyak digunakan sebagai alat untuk menjelaskan gejala atau sikap keagamaan seseorang.

Kritik Terhadap Pendekatan Psikologi Barat
Para ilmuwan Muslim terdahulu sesungguhnya memiliki andil yang sangat besar dalam mengembangkan kajian tentang kejiwaan. Ironisnya, peranan mereka dalam memajukan dan mengembangkan ilmu kejiwaan (psikologi) tersebut tidak mendapatkan perhatian yang selayaknya dari para pakar sejarah psikologi modern sepanjang sejarah. Umumnya, mereka yang berasal dari Barat memulai kajian psikologi pada kaum pemikir Yunani, terutama Plato dan Aristoteles. Selanjutnya, mereka langsung membahas pemikiran kejiwaan para pemikir Eropa Abad Pertengahan dan masa Kebangkitan (Renaisans) Eropa Modern. Mereka benar-benar melupakan andil para ilmuwan Muslim yang diantaranya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan banyak mempengaruhi pendapat para pemikir Eropa Abad Pertengahan hingga awal masa Renaisans Eropa Modern sendiri.[55]
Yang lebih menyedihkan lagi, sikap para sejarawan psikologi dari Barat tersebut justru diikuti oleh para pakar psikologi Arab kontemporer. Mereka yang mempelajari berbagai manuskrip sejarah psikologi di banyak universitas sama sekali tidak melirik peranan para ilmuwan Muslim. Penghargaan terhadap andil mereka justru datang para sejarawan filsafat Islam, baik yang berasal dari bangsa Arab sendiri maupun non-Arab. Mereka menginformasikan kepada kita sejumlah ikhtisar (re-sume) yang bermanfaat tentang pandangan para ilmuwan Muslim terdahulu dalam bidang psikologi. Kendati nilainya sangat penting, namun ikhtisar tersebut tidak cukup menarik para psikolog Islam kontemporer untuk mendalami pandangan kejiwaan ilmuwan Muslim terdahulu, yang memungkinkan mereka memberikan penilaian ilmiah terhadap andil mereka dalam memajukan dan mengembangkan psikologi sepanjang sejarah.[56]
Salah satu filosof Islam yang mempunyai perhatian yang luar biasa terhadap konsep-konsep jiwa dan bagaimana mengatasi problem kejiwaan adalah Ibn Sina. Dengan ketajaman pikiran dan ketelitian pengamatannya, dapat mencapai pengetahuan tentang hukum proses conditioning sebelum hal itu ditemukan oleh Ivan Pavlov, seorang psikolog berkebangsaan Rusia. Ibnu Sina juga dapat memberikan interpretasi ilmiah tentang lupa, dengan mengembalikannya kepada intervensi berbagai informasi yang belum pernah dicapai para psikologi modern, kecuali pada perempat pertama abad ke-20. Selain itu, Ibnu Sina juga mendahului para  ahli fisiologi dan psikolog modern dalam mengukur emosi berdasarkan pengukuran berbagai perubahan fisiologi dan psikolog modern dalam mengukur emosi berdasarkan pengukuran berbagai perubahan fisiologis yang terjadi setelah terjadinya proses emosi.[57]
Berikutnya, pada kasus penyembuhan orang sakit yang diakibatkan oleh rasa rindu, Ibnu Sina berusaha mengetahui nama gadis yang dirindukan si klien, sehingga dia dapat memberikan metode counseling yang tepat. Ibnu Sina menemukan sebuah metode yang unik, yaitu dengan menyebutkan kepada si klien sejumlah nama negeri, seseorang yang hidup dan gadis-gadis. Pada saat itu, dia mengukur kecepatan detak jantung si klien untuk mengetahui kadar emosi yang ditumbulkan oleh nama-nama itu. Dengan cara itu, Ibnu Sina dapat mengetahui nama gadis yang dirindukan si klien dan tempat hidupnya.[58]
Metode yang digunakan Ibnu Sina ini dianggap sebagai dasar awal bagi penemuan alat modern yang terkenal dengan sebutan alat respon kulit galvanisasi atau juga yang disebut alat pendeteksi kebohongan, lantaran banyak digunakan untuk mengungkapkan berbagai tindak kejahatan. Yaitu, suatu alat yang mengukur ketidakstabilan emosi berdasarkan pengaruhnya terhadap perubahan fisiologis tubuh. Selain itu, sesungguhnya Ibnu Sina-dengan metode sederhana yang dia gunakan untuk mengetahui sebab-sebab ketidakstabilan emosi melalui penyebutan serangkaian kata-kata dan nama serta mengamati pengaruhnya terhadap emosi individu- telah mengungguli sebagian ahli psikoanalisis dan prikiater modern yang menggunakan cara yang sama, yaitu metode asosiasi untuk mengetahui sebab-sebab ketidakstabilan emosi pada klien mereka.  
Tidak hanya itu, dalam mengkaji mimpi pun al-Farabi dan Ibnu Sina menemukan fakta ilmiah yang membuat mereka unggul atas ilmuwan modern, terutama peran mimpi dalam memuaskan dorongan dan hasrat sebagaimana pendapat Sigmund Freud pada masa modern.[59] Namun demikian, bagaimana argumentasi dan dasar-dasar yang digunakan Ibnu Sina berkaitan dengan konsep jiwa serta perbedaan mendasar konsep jiwa yang dikemukakan Ibnu Sina dengan berbagai konsep jiwa yang pernah ada sebelumnya serta letak keunggulan dan kelemahan konsep jiwa yang ditawarkan Ibnu Sina ini, selanjutnya merupakan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban.

J.     Pendekatan Interdisipliner
Pendekatan interdisipliner memusatkan perhatian pada masalah-masalah sosial yang dapat didekati dari berbagai disiplin keilmuan sosial. Yang menjadi titik tolak pembelajaran biasanya konsep atau generalisasi yang berdimensi jarak atau masalah sosial yang menyangkut atau menuntut pemecahan masalah dari berbagai bidang keilmuan sosial. 
Pendekatan interdisipliner disebut juga pendekatan terpadu atau integrated approach atau istilah yang digunakan Wesley dan Wronsky adalah “corelation” untuk pendekatan antar ilmu, dan “integration” untuk pendekatan terpadu.
Dalam pendekatan interdisipliner konsep-konsep dari berbagai ilmu sosial atau bidang studi telah terpadu sebagai suatu kesatuan sehingga bahannya diintegrasikan menurut kepentingan dan tidak lagi menurut urutan konsep masing-masing ilmu atau bidang studi. 
Pendekatan interdisliner yang dimaksud disini adalah kajian dengan menggunakan sejumlah pendekatan atau sudut pandang (perspektif). Dalam studi misalnya menggunakan pendekatan sosiologis, historis dan normatif secara bersamaan. Pentingnya penggunaan pendekatan ini semakin disadari keterbatasan dari hasil-hasil penelitian yang hanya menggunakan satu pendekatan tertentu. Misalnya, dalam mengkaji teks agama, seperti Al-Qur’an dan sunnah Nabi tidak cukup hanya mengandalkan pendekatan tekstual, tetapi harus dilengkapi dengan pendekatan sosiologis dan historis sekaligus, bahkan masih perlu ditambah dengan pendekatan-pendekatan lainnya.
Sarjana klasik Islam yang menggunakan pendekatan ini di antaranya adalah Ibn Khaldun yang terekam dalam karyanya al-Mukaddimah, Ibn Khaldun tidak sekadar menarasikan kejadian-kejadian masa lampau, apalagi membatasinya pada peristiwa-peristiwa politik. Lebih jauh, untuk menjelaskan kejadian-kejadian pada masal silam, ia tidak menggunakan ilmu sejarah per se, tetapi juga ilmu-ilmu lain, termasuk: geografi, antropologi, etnologi, filologi, astronomi, dan meteorologi, ekonomi dan politik, kebudayaan, logika, filsafat, agama, sosiologi, sastra, dan banyak lagi. Bahkan, dalam analisisnya tentang tumbuh, bangkit, dan punahnya suatu kebudayaan, ia membangun kerangka teori yang disebut sejarawan Annales sebagai “long-term structure” yang membentuk, menentukan atau mempengaruhi perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia.[60]

BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Studi mengenai Islam dan tentang aspek-aspek keislaman dari kebudayaan masyarkat Islam, suatu distingsi harus dibuat antara Islam normatif (preskripsi-preskripsi, norma-norma, dan nilai-nilai yang termuat dalam petunjuk kitab suci) dan Islam aktual (semua bentuk gerakan, praktek, dan gagasan yang pada kenyataannya eksis dalam masyarakat Muslim dalam waktu dan tempat yang berbeda-beda).
Studi normatif terhadap Islam, yang umumnya dikerjakan kaum Muslim sendiri untuk menemukan kebenaran religius, meliputi studi-studi tafsir, hadits, fiqih, dan kalam. Kemudian studi selanjutnya non-normatif terhadap aspek-aspek kebudayaan dan masyarakat Muslim, dalam pengertian yang lebih luas: meliputi telaah Islam dari sudut sejarah dan sastra atau antropologi, sosiologi dan lain-lain.

B.  Saran-Saran
Dari uraian tersebut kita melihat ternyata semua agama dapat dipahami melalui berbagai pendekatan. Dengan pendekatan itu semua orang akan sampai pada agama. Seorang teolog, sosiolog, antropolog, sejarawan, ahli ilmu jiwa, dan budayawan akan sampai pada pemahaman agama yang benar. Di sini kita melihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normatif belaka, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupan yang dimilikinya. Dari keadaan demikian seseorang akan memiliki kepuasan dari agama karena seluruh persoalan hidupnya mendapat bimbingan dari agama.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Syamsuddin, Agama dan Masyarakat: Pendekatan Sosiologi Agama, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Abdullah, Taufik dan M. Rusli Karim (Ed.), Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar,  Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.

Azhari, Tahir, “Penelitian Agama Islam: Tinjauan Disiplin Ilmu Hukum,”, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Bandung: Nuansa, 2001.

Azra, Azyumardi, Islam Substantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih, Bandung: Mizan, Cet. 1, 2000.
---------,“Penelitian Non-Normatif tentang Islam: Pemikiran Awal tentang Pendekatan Kajian Sejarah pada Fakultas Adab,” Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan antara Disiplin Ilmu, Bandung: Pusjarlit, 1998.

Bakker, Anton, Metode-Metode Filsafat, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.

Bertens, K., Filsafat Barat Dalam Abad XX, Jakarta: PT Gramedia, 1981.

Echols, John M., Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1979.

Edward Paul, (ed), The Encyclopaedia of Philosophy, Vol. 5, New York: MacMilan Publishing Co., Inc and Free Press, 1972.

Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat Jilid I, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.

Hammersma, Harry, Tokoh-Tokoh Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia, 1983.

Ismail, Achmad Satori, Sepuluh Pilar Dakwah di Era Globalisasi, Jakarta: Mitra Grafika, 2003.

Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, Jakarta: PT Rineka Cipta, Cet. I, 1996.

Magestari, Noerhadi, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Bandung: Pusjarlit, Cet. I, 1998.

Mastuhu, “Penelitian Agama Islam: Tinjaun Disiplin Sosiologi”, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Bandung: Nuansa, 2001.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998.

Najati,Muhammad Utsman, Jiwa dalam Pandangan Filosof Muslim, Alih bahasa, Gazi Saloom, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.

Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.

---------, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo, 2001.

Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1972.

Noer, Deliar, Pengantar ke Pemikiran Politik, Jakarta: Rajawali, 1983.

Poerwadarminta, J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991.

Pulungan, Suyuthi, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: PT Raja Grafindo, Cet. I, 1994.

Rahman, Fazlur, Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.

Raziq, Ali Abd, Al-Islam wa Ushul al-Hukm, Cairo: tp,  Cet. 3, 1925

Salim, Abd. Muin, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995.

Sarwono, Sarlito W., Berkenalan dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi, Jakarta: PT Bulan Bintang: 2000.

Suparlan, Parsudi,“Agama Islam: Tinjauan Disiplin Antropologi”, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam; Tinjauan antar Disiplin Ilmu, Bandung: Nuansa bekerja sama dengan Pusjarlit, Cet. I, 1998.

Tata, Sukayat. Internalisasi Nilai Agama Melalui Kebijakan Publik: Dakwah Struktural Bandung Agamis. Bandung: CV. Rieksa Utama Jaya, Cet. 1, 2011.

The Wold Book Encyclopedia International, Chicago, Illinois: World Book Inc,  1994.

Toumy, Omar Mohammad, Falsafah Pendidikan Islam, Penerjemah. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

Wahid, Marzuki dan Rumadi, Fiqh Madhhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: PT Lkis Pelangi Aksara, 2001.




[1]Lihat, Achmad Satori Ismail, Sepuluh Pilar Dakwah di Era Globalisasi, (Jakarta: Mitra Grafika, 2003), h. 51-52.
[2]Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (Ed.), Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar,  (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), h. 92.
[3]Parsudi Suparlan,“Agama Islam: Tinjauan Disiplin Antropologi”, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam; Tinjauan antar Disiplin Ilmu, (Bandung: Nuansa bekerja sama dengan Pusjarlit, Cet. I, 1998), h. 110.
[4]John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1979)  h. 586.
[5]Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1972), h. iv.
[6]Lihat, Harun Nasution, Teologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: UI Press, 1978), h. 32.
[7]John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia, h. 396.
[8]Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2001), h. 28.
[9]Objek penelitian normatif Islami di sini adalah asas-asas, doktrin, konsep, sistematika dan substansi hukum Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah Rasul, baik menurut aliran klasik maupun kontemporer. Lihat. M. Tahir Azhari, “Penelitian Agama Islam: Tinjauan Disiplin Ilmu Hukum,” Tradisi Baru Penelitian Agama Islam Tinjauan Antar Disiplin Ilmu, (Bandung: Pusjarlit, 1998), h. 138.
[10]Menurut Edward B. Taylor Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adapt istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.
[11]Lihat, Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, (Jakarta: PT Rineka Cipta, Cet. I, 1996), h. 4.
[12]The Wold Book Encyclopedia International, (Chicago, Illinois: World Book Inc,  1994), h. 476.
[13]Induktif adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan cara berpikir atau mengambil kesimpulan yang bertolak dari mengumpulkan data-data dan contoh-contoh yang bersifat detail untuk menuju kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum dan menyeluruh.
[14]Syamsuddin Abdullah, Agama dan Masyarakat: Pendekatan Sosiologi Agama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) h. 13
[15]The World Book Encyclopedia International, (Chicago, Illinois: World Book Inc,  1994), h. 11.
[16]Mastuhu, “Penelitian Agama Islam: Tinjaun Disiplin Sosiologi”, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, (Bandung: Nuansa, 2001), h. 107.
[17]Tahir Azhari, “Penelitian Agama Islam: Tinjauan Disiplin Ilmu Hukum,”, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, (Bandung: Nuansa, 2001), h. 139.
[18]Lihat, K. Bertens, Filsafat Barat Dalam Abad XX, (Jakarta: PT Gramedia, 1981), h. 109
[19]Lihat, Paul Edward (ed), The Encyclopaedia of Philosophy, Vol. 5, (New York: MacMilan Publishing Co., Inc and Free Press, 1972), h. 137.
[20]Harry Hammersma, Tokoh-Tokoh Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia, 1983), h. 116.
[21]Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), h. 113-117
[22]Yusuf Karim, Tarikh al-Falsafat al-Hadithah, tt., h. 460.
[23]Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), h. 112.
[24]Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998), h. 9.
[25]Ibid., h. 9.
[26] Ibid., h. 9.
[27]Ibid., h. 9-10.
[28]Ibid., h. 10.
[29]Noerhadi Magestari, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, (Bandung: Pusjarlit, Cet. I, 1998), h. 147.
[30]Omar Mohammad al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, Pernejamah. Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 25.
[31]J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 280.
[32]Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat Jilid I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), h. 15.
[33]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, h. 42-43.
[34]Ibid., h. 43-44.
[35]The Wold Book Encyclopedia International, (Chicago, Illinois: World Book Inc,  1994), h. 223.
[36]Azyumardi Azra, “Penelitian Non-Normatif tentang Islam: Pemikiran Awal tentang Pendekatan Kajian Sejarah pada Fakultas Adab,” Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan antara Disiplin Ilmu, (Bandung: Pusjarlit, 1998), h. 119.
[37]Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), h. 34.
[38]Ibid., h. 34.
[39]Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, (Jakarta: Rajawali, 1983), h. 94-95.
[40]Dalam hadits Rasulullah Saw, kita jumpai petunjuknya, bahwa mentaati pemimpin bagi setiap muslim adalah merupakan kewajiban, tetapi apabila pemimpin tersebut memerintahkan perbuatan dosa, maka boleh ditentang. (HR. Bukhari Muslim).
[41] Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madhhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: PT Lkis Pelangi Aksara, 2001), h. 24.
[42]Sukayat, Internalisasi Nilai Agama Melalui Kebijakan Publik: Dakwah Struktural Bandung Agamis, h. 45.
[43] Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan pemikiranny,  h. 148.
[44] Kata sekular pada dasarnya mempunyai dua konotasi, yaitu waktu dan lokasi. Waktu menunjukkan pada pengertian sekarang, dan lokasi mengandung arti dunia. sedangkan, kata sekularisasi diartikan sebagai pembebasan manusia atas agama atau metafisik. Lihat, M. Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme (Bandung: Pustaka, 1981), hal. 20. Menurut Fazlurrahman, istilah sekularisasi dalam dunia pembaharuan mengandung dua makna praktis, yaitu “pembedaan” yang kultur dan yang doktrinal dalam agama, sekaligus “pemisahan” antara keduanya. Sesuatu yang bersifat kultur dengan menggunakan prinsip-prinsip sekuler-duniawi yang terlepas dari doktrin agama. Lihat, Fazlur Rahman, Islam  (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 155.
[45] Negara sekular adalah negara yang memisahkan urusan agama dengan urusan publik dan politik. Jadi, kalau milsahnya umat beragama, kelompok agama, ingin mendirikan masjid, gereja, atau rumah ibadah lain, mereka tidak boleh dibantu oleh negara. Itu adalah urusan masyarakat keagamaan sendiri, umat beragama sendiri. Dalam sebuah sistem politik sekular, simbol-simbol agama tidak boleh masuk ke dalam simbol-simbol kenegaraan dalam gedung-gedung milik publik atau milik pemerintah. Lihat, Azyumardi Azra, Islam Substantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih (Bandung: Mizan, Cet. 1, 2000), h. 220.
[46] Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam,  h. xiv.
[47]Ali Abd al-Raziq  lahir pada tahun 1888 dan wafat tahun 1966 M. Dia penganut Abduh, meskipun mungkin tidak sempat belajar banyak secara langsung darinya, oleh karena ketika Abduh wafat pada tahun 1905 Ali baru berusia kira-kira tujuh belas tahun. Dia mendapatkan pendidikan agama di Universitas al-Azhar, kemudian pergi belajar ke Universitas Oxford, Inggris, selama satu tahun. Dia seorang ilmuwan agama dan seorang hakim pada Mahkamah Syari’ah Mesir. Lihat, Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan pemikiranny, h. 139.
[48]Ali Abd al-Raziq, Al-Islam wa Ushul al-Hukm, (Cairo: tp,  Cet. 3, 1925), h. 55. Lihat juga, Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: PT Raja Grafindo, Cet. I, 1994), h. 305.
[49] Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam,  h. xiv.
[50]Sukayat, Internalisasi Nilai Agama Melalui Kebijakan Publik: Dakwah Struktural Bandung Agami,  h. 68.
[51]Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan negara, maka agama tidak bisa tegak. Pendapat beliau meligitimasikan agama dan negara merupakan dua etensitas yang berbeda, tetapi saling mebutuhkan. Oleh karenannya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak hanya berasal dari adanya social contect, tetapi bisa saja diwarnai dengan hukum agama.
[52]Afghani menghendaki reformasi dan pembaruan politik Islam dengan mengganti bentuk khilafah menjadi republik. Pemikiran ini memang berbeda dengan pemikiran umat Islam pada saat itu yang hanya mengenal bentuk khilafah yang mempunyai kekuasaan absolut. Lihat, Muhammad Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan Antara Islam dan Barat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. 1, 1996), h. 108.
[53]Abduh tidak memperdulikan bentuk pemerintahan, karena Islam tidak menetapkan bentuk pemerintahan. Menurut dia, jika sistem khilafah masih tetap menjadi pilihan sebagai model pemerintahan, maka bentuk ini harus bersifat dinamis yakni mengikuti perkembangan masyarakat dalam kehidupan materi dan kebebasan berpikir. Akibatnya, ia mampu mengantisipasi dinamika zaman. Pemikiran demikian tampaknya sebagai implikasi dari konsep teologis tentang manusia yang menganggap bahwa manusia memiliki kehendak bebas dalam memilih dan berbuat. Lihat, Abd. Al-‘Athi Muhammad Ahmad, al-Fikr al-Siyasi Li al-Imam Muhammad Abduh, (Mesir: al-Maiat al-Mishriyyat al-‘Ammat li al-Kitab, 1978), hal. 69. Lihat juga,  Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan Antara Islam dan Barat,  h. 108-109.
[54]Sarlito W. Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi, (Jakarta: PT Bulan Bintang: 2000), h. 4.
[55]Muhammad Utsman Najati, Jiwa dalam Pandangan Filosof Muslim, Alih bahasa, Gazi Saloom, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), h. 15.
[56] Ibid, h. 16
[57] Ibid, h. 17
[58] Ibid, h. 17
[59] Ibid, h. 17
[60]Azyumardi Azra, “Penelitian Non-Normatif tentang Islam: Pemikiran Awal tentang Pendekatan Kajian Sejarah pada Fakultas Adab,” Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan antara Disiplin Ilmu, h. 121. 

Post a Comment

 
Top