Lebih dari sekadar tabligh, dakwah
harus pula dipahami sebagai pengembangan masyarakat Islam (tathwir qaum
al-muslim atau Islamic community development). Pengembangan
masyarakat Islam harus diarahkan pada peningkatan sumber insani (human
resources development) dan peningkatan sumber daya alam (natural
resource development) untuk menjamin kebutuhan hidup manusia baik yang
bersifat primer (dharuriyah), sekunder (hajiyah), dan tersier (tahsiriyah).[1]
Usaha pengembangan masyarakat Islam
mencakup bidang garapan yang amat luas, meliputi pengembangan pendidikan,
ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Pengembangan pendidikan merupakan bagian
penting dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini berarti pendidikan harus
diupayakan untuk menciptakan kehidupan bangsa yang maju, mandiri, terbuka dan
efesien, serta berorientasi kepada masa depan.[2]
Pengembangan pendidikan mesti pula
mampu meningkatkan penguasaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pemberdayaan pendidikan ini amat penting karena persaingan global pada abad 21,
tidak hanya berupa persaingan produk dan jasa, melainkan juga persaingan global
dalam sumber daya manusia. Sejak sekarang kita seyogyanya sudah mempersiapkan
diri terhadap kemungkinan serbuan tenaga asing di pasar tenaga kerja Indonesia.
Adalah tugas mulia dari semua pelaku dalam bidang pendidikan di Indonesia untuk
meningkatkan daya saing dari sumber daya manusia baik di pasar kita sendiri
maupun di pasar global.
Karena sangat strategisnya pengembangan
sumber daya manusia dalam rangka menciptakan masa depan bangsa, maka bagi
mereka yang memiliki dana hendaknya merasa terpanggil untuk memberikan bantuan
kepada dunia pendidikan dalam rangka peningkatan mutu dan keterjangkauan
pendidikan. Bantuan terhadap dunia pendidikan ini akan merupakan investasi yang
amat berharga untuk kemajuan bangsa, maupun untuk kehidupan yang lebih baik dan
lebih abadi di sisi Allah Swt.
Dalam hal pengembangan ekonomi, kita
mesti berupaya sekuat tenaga untuk dapat memberdayakan ekonomi umat dengan
meningkatkan minat usaha dan etos kerja yang tinggi serta menghidupkan dan
mengoptimalkan sumber-sumber ekonomi umat melalui koperasi, BMT, perbankan
syari’ah, dan perbaikan pengelolaan dan manajemen zakat infak dan sedekah (ZIS).[3]
Sementara pengembangan sosial
kemasyarakatan harus dilakukan dalam kerangka merespon problem-problem sosial
yang timbul karena dampak modernisasi dan globalisasi, seperti masalah
pengangguran, tenaga kerja, penegakan hukum, hak asasi manusia (HAM), dan
pemberdayaa perempuan.[4]
Sebagai pengembangan masyarakat
Islam, dakwah memutlakan adanya gerakan percontohan dan keteladanan. Pepatah
Arab mengatakan, “Bahasa perbuatan lebih efektif dari pada bahasa lisan.”
Ini berarti bahwa dakwah harus dimulai dari diri sendiri (ibda’ bi nafsik),
keluarga, masyarakat, umat, dan bangsa. Dalam perspektif ini, dakwah harus
melahirkan perubahan-perubahan sosial dan mampu meningkatkan kualitas
sosio-kultural umat. Dengan perkataan lain, dakwah diharapkan mampu menggeser
kedudukan umat dari posisi marginal (pheri-pheri) ke pusat (centrum),
sehingga umat Islam sebagai “khairu ummah” tidak boleh menjadi penonton,
tetapi menjadi pelaku yang aktif dalam pembangunan bangsa.
1. Pengembangan masyarakat dibidang
Pendidikan
Manusia sepanjang
hidupnya selalu akan mendapatkan pengaruh dari keluarga, sekolah, dan
masyarakat luas. Ketiga lingkungan tersebut disebut Tri Pusat Pendidikan, yang
akan mengaruhi manusia dari segi perilaku, Perkembangan dan pertumbuhan.
a.
Keluarga
Keluarga merupakan
keompok primer yang terdiri dari sejumlah kecil orang karena hubungan semenda
dan sedarah. Keluarga itu dapat berbentuk keluarga inti (nucleus family:
ayah, ibu, dan anak), ataupun keluarga yang diperluas (disamping inti ada orang
lain: kakek, nenek, adik/ipar, pembantu dan lain-lain)[5]. Keluarga
merupakan lembaga pendidikan tertua, bersifat informal, yang pertama dan utama
dialami oleh anak serta lembaga pendidikan yang bersifat kodrati orang tua
bertanggung jawab memelihara, merawat, melindungi dan mendidik anak agar
berkembang dengan baik.
Lingkungan
keluarga adalah merupakan lingkungan pendidikan yang pertama karena dalam
keluarga inilah anak pertama-tama mendapatkan didikan dan bimbingan. Dan
dikatakan lingkungan yang terutama karena sebagian besar dari kehidupan anak
adalah di dalam keluarga. Sehingga pendidikan yang paling banyak diterima
oleh anak adalah dalam keluarga.Keluarga sebagai lingkungan pendidikan yang
pertama memiliki Fungsi dan peranan dalam pendidikan, yaitu: pengalaman
pertama masa kanak kanak, menjamin kehidupan emosional anak, menanamkan dasar
pendidikan moral, memberikan dasar pendidikan sosial, peletakan dasar-dasar
keagamaan.[6]
Menurut Ki Hajar
Dewantoro, suasana kehidupan keluarga merupakan tempat yang sebaik-baiknya
untuk melakukan pendidikan orang-seorang (pendidikan individual) maupun
pendidikan sosial. Keluarga itu tempat untuk melangsungkan pendidikan kearah
pembentukan pribadi yang sempurna, tidak saja bagi anak-anak kecil tetapi juga
bagi para remaja. Peran orang tua dalam keluarga sebagai penuntun, sebagai
pengajar, dan sebagai pemberi contoh. Secara khusus terdapat dasar-dasar
tanggung jawab orang tua terhadap anaknya[7],meliputi:
1)
Adanya
motivasi atau dorongan cinta kasih yang menjiwai hubungan orang tua dan anak.
2) Pemberian motivasi kewajiban moral
sebagai konsekuensi kedudukan orang tua terhadap anaknya.
3) Tanggung jawab sosial adalah bagian dari
keluarga yang pada gilirannya akan menjadi tanggung jawab masyarakat, bangsa
dan negara.
4) Memelihara dan membesarkan anaknya.
5)
Memberikan
pendidikan dengan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi
kehidupan anak kelak.
Pendidikan
keluarga adalah yang pertama dan utama. Pertama maksudnya bahwa kehadiran anak
di dunia ini di sebabkan oleh hubungan kedua orang tuanya.Sedangkan utama,
maksudnya adalah bahwa orang tua bertanggung jawab terhadap pendidikan anak.
Hal itu memberikan pengertian bahwa seorang anak dilahirkan dalam keadaan tidak
berdaya, dalam keadaan penuh ketergantungan dengan orang lain, tidak mampu berbuat
apa-apa bahkan tidak mampu menolong dirinya sendiri. Ia lahir dalam keadaan
suci bagaikan meja lilin berwarna putih (a sheet of white paper avoid of all
characters) atau yang lebih dikenal dengan istilah tabularasa.[8]
Tugas utama dari
keluarga bagi pendidikan anak adalah merupakan peletak dasar bagi pendidikan
akhlak dan pandangan hidup keagamaan. Sifat dan tabiat anak sebagian besar
diambil dari kedua orang tuanya dan dari anggota keluarga yang lain. Mengenai
penanaman pandangan hidup keagamaan, masa kanak-kanak adalah masa yang paling
baik untuk meresapkan dasar-dasar hidup beragama. jangan hendaknya penanaman
dasar-dasar hidup beragama ini di tunda-tunda, dinanti sampai anak mencapai
kedewasaan.
Kehidupan dalam
keluarga hendaknya memberikan kondisi kepada anak untuk mengalami suasana hidup
keagamaan. Mengenai hubungan pendidikan dalam keluarga didasarkan atas adanya
hubungan kodrati antar orang tua dan anak. Pendidikan dalam keluarga
dilaksanakan atasa dasar rasa cinta dan kasih sayang yang kodrati, rasa kasih
sayang yang murni, rasa cinta dan kasih sayang orang tua terhadap anaknya. Rasa
cinta dan kasih sayang inilah yang menjadi sumber kekuatan yang tak kunjung
padam pada orang tua untuk tak jemu-jemunya memberikan bimbingan dan pertolongan
yang dibutuhkan oleh anak.
Rasa ini pula
yang menyebabkan orang tua ikhlas mengorbankan segala sesuatunya demi
kepentingan anaknya. Namun bagi orang tua memberikan bimbingan dan pertolongan
ini, hendaklah benar-benar merupakan bimbingan dan pertolongan yang memang
perlu dan berguna bagi perkembangan anak ke arah kedewasaan, ke arah sikap
berdiri sendiri. Bimbingan dan pertolonagn yang berlebihan akan menyebabkan
anak menjadi canggung, ragu-ragu untuk bertindak, tidak berani mengambil
keputusan sendiri yang membawa anak kepada sikap menggantungkan diri. jika
demikian halnya anak akan sulit mencapai kedewasaan, anak akan terhambat dalam
mencapai kedewasaan, dan mungkin bisa terjadi tidak pernah mencapai kedewasaan
di dalam jiwanya.
2). Sekolah
Pada dasarnya
pendidikan di sekolah merupakan bagian dari pendidikan dalam keluarga, yang
sekaligus merupakan lanjutan dari pendidikan dalam keluarga. Tidak semua tugas
mendidik dapat dilaksanakan oleh orang tua dalam keluarga,terutama dalam hal
ilmu pengetahuan dan berbagai macam keterampilan. Oleh karena itu dikirimkan
anak ke sekolah. Seiring dengan perkembangan peradaban manusia,sekolah telah
mencapai posisi yang sangat sentral dalam pendidikan keluarga. Hal ini karena
pendidikan telah berimbas pola pikir ekonomi yaitu efektivitas dan efesiensi
dan hal ini telah menjadi semacam ideologi dalam proses pendidikan disekolah.
Yang dimaksud dengan pendidikan sekolah disini adalah pendidikan yang diperoleh
seseorang di sekolah secara teratur, sistematis, bertingkat dan dengan mengikuti
syarat-syarat yang jelas dan ketat.[9]
3.Masyarakat
Masyarakat
diartikan sebagai sekumpulan orang yang menempati suatu daerah, diikat oleh
pengalaman-pengalaman yang sama, memiliki sejumlah persesuaian dan sadarkan
persatuan dan kesatuannya, serta dapat bertindak bersama untuk mencukupi krisis
kehidupannya.[10]
Masyarakat juga
dapat diartikan sebagai satu bentuk tata kehidupan sosial dengan tata nilai dan
tata budaya sendiri. Dalam arti ini masyarakat adalah wadah dan wahana
pendidikan; medan kehidupan manusia yang majemuk (plural:suku, agama, ekonomi,
dan lain sebagainya). Manusia berada dalam multi kompleks antar hubungan dan
antar aksi dalam masyarakat.[11]
Pada dasarnya
masyarakat senantiasa memiliki dinamika untuk selalu tumbuh dan berkembang,
disamping itu juga setiap masyarakat memiliki identitas tersendri sesuai dengan
pengalaman budaya dan perbendaharaan alamiahnya. Masyarakat sebagai satu totalitas
memiliki physical environment (lingkungan alamiah, benda-benda, iklim,
kekayaan material) dan social environment(manusia, kebudayaan, dan
nilai-nilai agama), sumber daya alam, sumber daya manusia dan budaya.[12]
Keterkaitan
masyarakat dengan pendidikan adalah sangat erat dan sangat mempengaruhi,
kenyataannya bagi setiap orang bahwa masyarakat yang baik, maju, modern ialah
masyarakat yang didalamnya ditemukan suatu tingkat pendidikan yang baik, maju,
dan modern pula, dalam wujud lembaga-lembaganya maupun jumlah dan tingkat orang
terdidik. Dengan kata lain suatu masyarakat yang maju karena adanya pendidikan
yang maju dan baik, sebaliknya masyarakat yang kurang memperhatikan pembinaan
pendidikan, akan tetap keterbelakangan, tidak hanya dari segi intelektual
tetapi juga dari segi sosial kultural.
Masyarkat dengan segala atribut dan
identitassnya yang memiliki dinamika ini, secara langsung akan berpengaruh
terhadap pendidikan persekolahan. Pengaruh-pengaruh yang dimaksud adalah.[13]
2.
Pengembangan
Masyarakat di Bidang Ekonomi
Ekonomi termasuk
kebutuhan asasi dalam kehidupan setiap manusia. Kesejahteraan ekonomi memang
tidak menjamin kesuburan keimanan seseorang, akan tetapi kekafiran seringkali
membawa seseorang kepada kekufuran. Hal itu merupakan realitas yang sering kita
temukan. Pendekatan secara ekonomi dalam pelaksanaan dakwah pada masyarakat
yang minus ekonominya guna untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mutlak
diperlukan sebagai pendukung stabilitas keimanan dan kontinuitas ibadah
masyarakat.[14]
Pengembangan
ekonomi umat memang merupakan persoalan besar yang dihadapi dan harus
diupayakan pemecahannya oleh umat itu sendiri. Dalam rangka mencapai sasaran
pengembangan ekonomi umat itu diperlukan perhatian khusus terhadap kelompok
usahawan umat, terutama yang bergerak dalam sektor usaha berskala kecil, bisa
dikatakan sebagai bagian penting dalam usaha-usaha pengembangan ekonomi umat
secara keseluruhan.[15]
Komunikasi,
koordinasi, dan konsultasi antara masyarakat usahawan umat dan instansi
pemerintah perlu ditingkatkan, supaya terjalin suasana saling pengertian yang
memungkinkan terjadinya titik temu, terutama dalam rangka mencari solusi
terbaik terhadap problematika yang dihadapi para usahawan umat itu sendiri.
Dengan adanya saling pengertian tersebut, maka dapat diharapkan adanya
kebijaksanaan ekonomi makro yang penerapannya berorientasi dan mengungtungkan
bagi aktivitas kelompok usahawan umat. Dalam konteks inilah diperlukan adanya
suatu business network yang berwawasan keislaman.[16]
3.
Pengembangan
Masyarakat di Bidang Teknologi
Perkembangan
teknologi yang sangat maju harus direspon dengan sikap positif. Jika teknologi
lebih banyak menimbulkan mudharat dalam kehidupan muslim, maka kesalahan
tersebut terletak dalam diri muslim bukan oleh teknologinya. Masyarakat muslim
seyogyanya tidak terus menerus menyalakan teknologi. Munculnya dampak negatif
disebabkan oleh ketidakmampuan masyarakat muslim dalam menguasai dan
mengembangkan teknologi.[17]
Sikap positif
terhadap teknologi ini harus ditanamkan melalui pendidikan agama. Misalnya,
menggunakan radio, televisi, video, facebook, dan lain sebagainya untuk
mengajarkan pelajaran agama. Dengan memanfaatkan teknologi ini, masyarakat dapat
mempelajari agama secara efektif. Cara ini jauh lebih menarik dan efektif
dibandingkan dengan cara conventional yang selama ini berkembang.[18]
Pemanfaatanteknologi
dalam pelaksanaan ritual agama, misalnya penggunaan kompas untuk menentukan
arah kiblat. Shalat harus menghadap kiblat, arah ka’bah di masjidil haram.
Menghadap kiblat bukan berarti menghadap ke arah barat. Sebab, jika seorang
tinggal di Amerika, kiblat berada pada arah timur. Di beberapa tempat di
Indonesia, arah kiblat berbeda-beda. Dalam kaitan ini masyarakat ditunjukkan
bagaimana menggunakan kompas untuk menunjukkan arah kiblat.[19]
Yang tidak kalah
menariknya adalah pembelajaran al-Qur’an dengan CD-rom, facebook, website, dan
lain-lain. Teknologi ini mampu membantu mencari, mengelompokkan dan menghitung
ayat-ayat dengan cepat dan tepat. Misalnya, ayat tentang haji. Dengan entri
haji, maka seseorang akan menemukan ayat-ayat tentang haji berikut
penafsirannya oleh para ulama. Masyarakat cukup tekan keyboard komputer dan
tidak perlu ke perpustakaan mengusung kitab-kitab tafsir.
Pemanfaatan teknologi canggih
tersebut memiliki dua keuntungan. Pertama, pembelajaran agama menjadi
lebih menarik, efektif, dan efisien. Kedua, masyarakat memiliki sikap
positif terhadap teknologi karena membuktikan dan mempraktekkan sendiri manfaat
dan penggunaannya.[20]
4. Pengembangan masyarakat dibidang Sosial
Budaya
a. Sosial
Integritas suatu masyarakat banyak
dipengaruhi oleh kondisi dan situasi lingkungan. Lingkungan yang bermotif
agamis menciptakan suatu masyarakat yang agamis. Lingkungan yang penyamun akan
menciptakan masyarakat penyamun. Hal tersebut tidak dapat dihindarkan sebab interaksi
yang terjadi di masyarakat baik individu dengan individu, individu dengan
masyarakat, maupun masyarakat dengan masyarakat bergantung kepada lingkungan
yang mewarnai corak pemikiran mereka. Masyarakat yang agamis tentunya akan
lebih banyak memikirkan soal-soal agama dalam menjalani kehidupan mereka,
begitu pula sebaliknya dengan masyarakat penyamun.[21]
Pada zaman
sekarang ini efektivitas dalam berdakwah menjadi tolok ukur keberhasilannya
dakwah yang singkat dengan hasil yang maksimal itu menjadi tujuan dalam
melakukan dakwah.
b. Budaya
Keberadaan sebuah pesantren di
tengah-tengah masyarakat adalah sebagai pelita yang menerangi kehidupan di
seluru bidang kegiatan masyarakat. Pondok pesantren dijadikan sebagai cermin
dan contoh untuk melandasi seluruh kegiatan mereka. Dalam hal pesantren pun
mengetahui fungsinya dam meletakkan diri di mana mestinya.[22]
Budaya yang sudah melekat di hati
sanubari masyarakat adalah merupakan budaya empiris yang mereka dapatkan dari
kebudayaan leluhur dan nenek moyang. Kebudayaan bang Indonesia diwarnai dan
diciptakan oleh kebudayaan agama Hindu. Kegiatan masyarakat Indonesia banyak
diwarnai oleh kebudayaan yang bersumber dari agama Hindu. Sehingga Islam
sebagai agama yang universal yaitu: memperhatikan, menilai, serta menyaring
kebudayaan tersebut agar menjadi Islami. Kesenian daerah, cara berpikir, dan
bermusyawarah merupakan fenomena kebudayaan. Islam menginginkan agar kesenian
dan cara berpikir orang Indonesia berdasarkan syariat Islam dan ketentuan agama
yang berlaku.[23]
Tentu pondok pesantren dalam
kegiatan sehari-harinya menerapkan hukum Islam dan mengakarkannya kepada para
santri untuk diterapkan di kelas mereka dan di masyarakat luas. Kegiatan
dimulai dari kesenian, cara berpikir, dan adab sopan santun. Hal itu merupakan
makanan sehari-hari para santri di pondok pesantren. Pondok pesantren bukan
hanya mengajarkan ilmu keagamaan saja, melainkan ikut andil dalam mengubah dan
mewarnai adab sopan santun sebagai budaya yang islami.
A. Pesantren
1.Pengertian Pesantren
Pesantren adalahlembaga pendidikan
Islam tertua yang telah berfungsi sebagai pusat dakwah, pengembangan masyarakat
muslim, danbenteng pertahanan umat
Islamdi Indonesia. Kata Pesantren atau santri berasal dari bahasa tamil yang
berari “guru mengaji”sumber lain menyebutkan bahwa kata itu berasal dari bahasa
India shartri dari akar kata shastra yang berarti buku-buku suci,
buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Di pulau Jawa lembaga
pendidikan ini disebut dengan nama lain seperti surau di Sumatra barat, dayah
diaceh dan pondok didaerah lain.
Pondok Pesantren banyak berperan mendidik
sebagian bangsa Indonesia sebelum lahirnya lembaga-lembaga pendidikan lain yang
cenderung mengikuti pola “Barat” yang moderen. Oleh karena itu, lembaga
pendidikan Pesantren acapkali dijuluki sebagai basis pendidikan tradisional
yang khas Indonesia. Bahkan Clifford Geertz menyebut Pesantren sebagai
subkultur masyarakat Indonesia. Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam,
merupakan “mesin copy” yang bertugas mem-“print out” manusia pintar agama (tafaquh fid-din), serta mampu
menyampaikan keluhuran ajaran Islam (syi’arul
Islam) kepada masyarakat.[24]Sebagaimana dalam
al-Qur’an dijelaskan:
“Dan hendaklah ada
di antara kamu sekalian segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyeru
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang
beruntung.”(QS. Ali ‘Imran [3]:
104)[25]
Dengan demikian, dengan kreasi kultural
berupa pendirian Pesantren dalam khzanah Islam Indonesia, merupakan tonggak
awal penegakan misi profetik (al-nubuwat)
untuk menyebarkan kebaikan (al-khair),
hingga dapat menghidupkan nilai-nilai ketuhanan (ilahiyah) dan
kemanusiaan dalam jiwa umat.
Kekhususan
pesantren dibanding dengan lembaga-lembaga pendidikan lainya adalah para santri
(murid) tinggal bersama dengan
kiai atau mandiri, sehingga dapat menumbuhkan ciri-ciri khas pesantren,
seperti: (1) adanya hubungan akrab antara santri dan kiai (2) santri taat dan
patuh pada kiainya, (3) para sanri hidup secara mandiri dan sederhana, (4)
adanya semangat gotong royong dalam suasana penuh persaudaraan, (5) Para santri
terlatih hidup berdisiplin dan terikat.
Agar dapat
melaksanakan tugas mendidik dengan baik, biasanya sebuah pesantren memiliki
sarana fisik yang minimal terdiri dari sarana dasar yaitu masjid atau langgar
sebagai pusat kegiatan, rumah tempat
tinggal kiai dan keluarganya, pondok tempat tinggal para santri, dan
ruangan-ruangan belajar.
2.
Sejarah dan Perkembangan Pesantren
Terdapat dua
versi pendapat mengenai asal usul dan latar belakang berdirinya pesantren di
Indonesia. Pertama, pendapat yang menyebutkan bahwa pesantren berakar
pada tradisi Islam sendiri, yaitu tradisi Tarekat. Pesantren mempunyai kaitan
yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Pendapat ini
berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di Indonesia pada awalnya lebih banyak
dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat. Hal ini ditandai oleh terbentuknya
kelompok-kelompok organisasi tarekat yang melaksanakan amalan-amalan dzikir dan
wirid-wirid tertentu.
Pemimpin tarekat
ini disebut kiai, yang pengikut-pengikutnya diwajibkan untuk melaksanakan,
suluk selama empat puluh hari dalam satu tahun dengan cara tinggal bersama
sesama anggota tarekat dalam sebuah masjid untuk melakukan ibadah-ibadah
dibawah bimbinan kiai. Untuk keperluan suluk ini, para kiai menyediakan
ruangan-ruangan khususuntuk penginapan dan memasak yang terletak di kiri-kanan
masjid. Di samping mengajarkan amalan-amalan, para pengikut itu juga diajarkan
kitab-kitab agama dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan agama Islam. Aktivitas
yang dilakukan oleh pengikut-pengikut tarekat ini kemudian dinamakan pengajian.
Dalam pekembangan selanjutnya lembaga pengajian ini tumbuh dan berkembang
menjadi lembaga pesantren.
Kedua,
Pesantren yang kita kenal sekarang ini pada mulanya merupakan pengambil alihan
dari sistem pesantren yang diadakan oleh orang-orang Hindu di Nusantara. Hal
ini didasarkan pada fakta bahwa jauh sebelum datangnya Islam ke Indonesia
lembaga pesantren sudah ada di negeri ini. Pendirian pesantren pada masa itu
dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan
ajaran-ajaran agama hindu dan tempat membina kader-kader penyebar Hindu.
Tradisi penghormatan murid kepada gurunya yang pola hubungan antara keduanya
tidak didasarkan kepada hal-hal yang sifatnya materi juga bersumber dari
tradisi Hindu. Fakta lain yang menunjukkan bahwa pesantren bukan berakar dari
tradisi Islam adalah tidak ditemukannya lembaga pesantren di Negara-negara
Islam lainnya, sementara lembaga yang serupa dengan pesantren banyak di temukan
di dalam masyarakat Hindu dan Budha, seperti di India, Myamar, dan Thailand.
Pesantren di
Indonesia baru diketahui keberadaandan perkembanganya setelah abad ke 16,
Karya-karya Jawa klasik seperti Seratt Caboek dan serat centini mengungkapkan
bahwa sejak permulaan abad ke 16 di Indonesia telah banyak ditemukan pesantren yang
mengajarkan berbagai kitab Islam klasik dalam bidang fikih, teologi, tasawuf,
dan juga menjadi pusat-pusat penyiaran Islam.
Berdasarkan data
Departemen agama tahun 1984/1985, jumlah pesantren di Indonesia pada abad ke 16
sebanyak 613 buah, tetapi tidak diketahui tahun berapa pesantren-pesantren itu
didirikan. Demikian pula, berdasarkan laporan pemerintahan Hindia belanda
diketahui bahwa pada tahun 1831 di Indonesia ada sejumlah 1.853 buah pendidikan
Islam tradisional dengan jumlah murid 16.556 orang. Namun laporan tersebut
belum memisahkan antara lembaga pengajian dan lembaga pesantren, dan terbatas
pada yang terdapat di pulau Jawa saja. Baru setelah ada laporan penelitian Van
den Berg pada tahun 1885 diketahui bahwa dari sejumah 14,929 buah lembaga
pendidikan Islam yang ada di Indonesia, 30 diantaranya merupakan lembaga
pesantren.
Pada masa
berikutnya, lembaga pesantren berkembang terus dalam segi jumlah, sistem dan
materi yang diajarkan. Pesatnya perkembangan pesantren pada masa ini antara
lain disebabkan oleh hal-hal berikut:
1)
Para
ulama dan kiai mempunyai kedudukan yang kokoh di lingkungan kerajaan dan
keraton yaitu sebagai poenasehat raja atau sultan.
2)
Kebutuhan
umat Islam akan sarana Pendidikan yang mempunyai ciri khas keislaman juga
semakin meningkat, sementara sekolah-sekolah Belanda pada waktu itu hanya
diperuntukan untuk kalangan tertentu.
3)
Hubungan
transportasi antara Indonesia dan Mekah semakin lancar sehingga memutuskan
pemuda-pemudi Islam di Indonesia menuntut ilmu ke Mekah. Sekembalinya ke tanah
air, mereka biasanya langsung mendirikan pondok pesantren di daerah asalnya
dengan menerapkan cara-carabelajar yang dijumpai di Mekah.
5. Ciri-Ciri Umum Pesantren
Pesantren memiliki lima elemen dasar
yang merupakan satu kesatuan tak terpisahkan dan berada pada satu kompleks
tersendiri, yaitu:
1)
Pondok.
Dalam tradisi persantren pondok merupakan asrama di mana para santri tinggal
bersama dan belajar di bawah bimbingan kiai. Pada umumnya komplek pesantren
dikelilingi dengan pagar sebagai pembatas yang memisahkan dengan masyarakat
umum di sekelilingnya, Ada pula yang tidak terbatas.
Bangunan pondok pada setiap
pesantren berbeda-beda, baik kualitas maupun kelengkapannya. Dan yang didirikan
atas biaya kiainya, atas gotong royong para santri, dari sumbangan warga
masyarakat atau sumbangan dari pemerintah. Tetapi dalam tradisi pesantren ada
kesamaan yang umum, yaitu kiai yang memimpin pesantren memiliki kemenangan dan
kekuasaan mutak atas pembangunan dan pengelolaan pondok.
2)
Masjid.Dalam
struktur pesantren,masjid merupakan unsur dasar yang harus dimiliki pesantren
karena ia merupakan tempat utama yang ideal untuk mendidik dan melatih para
santri kususnya dalam mengerjakan tata cara ibadah, pengajaran kitab-kitab
Islam klasik, dan kegiatan kemasyarakatan.
3)
Pengajaran
kitan-kitab klasik. Dalam tradisi pesantren,
pengajaran kitab-kitab klasik lazimnya memakaimetode-metode berikut.
a.
Metode
Sorongan, yatu bentuk belajar mengajar di mana
kiai hanya menghadapi seorang santri atau sekelompok kecil santri yang masih
dalam tingkat dasar.
b.
Metode
Wetonan dan bandongan, ialah metode mengajar
dengan sistem ceramah. Kiai membaca kitab dihadapan kelompok santri tingkat lanjutan
dalam jumlah besar pada waktu-waktu tertentu seperti sholat berjamaah subuh dan
isya.
c.
Metode
Musyawarah, ialah system belajar dalam
bentukseminar untuk membahas setiap masalah yang berhubungan dengan pelajaran
santri di tingkat tinggi.
4)
Santri.
Jumlah santri dalam sebuah pesantren biasanya jadi tolak ukur atas maju
mundurnya suatu pesantren. Semakin banyak santri pesantren dinilai semakin
maju.
Para santri yang belajar di dalam
satu pondok biasanya memiliki rasa solidaritas dan kekeluargaan yang kuat, baik
sesama santri maupun antara santri dan kiai mereka. Situasi sosial yang
berkembang di antara para santri menumbuhkan system sosial tersendiri. Di dalam
pesantren para santri belajar hidup bermasyarakat, berorganisasi, memimpin dan
dipimpin. Mereka juga dituntut untuk dapat menaati kiai dan meneladani
kehidupannya dalam segala hal, disamping harus bersedia menjalankan tugas apa
pun yang diberikan oleh kiai.
4.Peranan Pesantren
Dalam perjalanan sejarah Indonesia
pesantren telah memainkan peranan yang besar dalam usaha memperkuat
iman,meningkatkan ketaqwaan, membina akhlakmulia dan mengembangkan swadaya
masyarakat Indonesia serta ikut mencerdaskan kehidupan bangsa melalui
pendidikan informal, nonformal dan pendidikan formal yang diselenggarakannya.
Secara informal lembaga pesantren di
Indonesia telah berfungsi sebagai keluarga yang membentuk watak dan kepribadian
santri. Pesantren juga telahmelaksanakan pendidikan keterampilan melalui
kursus-kursus untuk membekali dan membantu kemandirian para santri. Dalam
kehidupan masa depannya sebagai muslim yang juga dai dan membina masyarakat.
Secara keseluruhan, pesantren selalu
dijadikan contoh dan panutan oleh masyarakat dalam segala hal yang dilakukan
atau dianjurkan untuk dilaksanakan oleh masyarakat, sehingga keberadaan
pesantren di Indonesia itu telah berperan menjadi potensi yang sangat besar
dalam mengembangkan masyarakat.
[1]Tutty Alawiyah AS, “Paradigma
Baru Dakwah Islam: Pemberdayaan Sosio-Kultural Mad’u”, Dakwah; Jurnal Kajian
Dakwah dan Kemasyarakatan, Vol. III, No. 2 (Jakarta: Fakultas Dakwah IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2001), h. 11.
[6]Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu
Pendidikan,(cet.II; Jakarta: PT. Rajagravindo Persada, 2001), h.32-33.
[7]Tim Dosen IKIP Malang, Pengantar
Dasar-Dasar pendidikan(Malang: Usaha Nasional Surabaya-Indonesia,1980),
h.17-18.
[8]Tabularasa
adalah sebuah teori yang dikemukakan olehjhon lock, seorang tokoh aliran
Empirisme, yang menyatakan bahwa anak lahir dalam keadaan suci bagai meja lilin
warna putih. Maka lingkunganlah yang akan menentukan kemana anak itu dibawa
[11] Drs.
Amir Daien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan (cet II;
Jakarta: Usaha Nasional, 1975) h.112.
[12]Mohammad
Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Usaha
Nasional, Surabaya, 1996, h. 197.
[14]Amal Fathullah Zarkasyi, “Pondok
Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan dan Dakwah” Solusi Islam Atas
Problematika Umat (Jakarta: Gema Insani Press), h. 101.
[15]N. Halim Chotib, “Konsep
Pengembangan Ekonomi Umat di Indonesia,”Solusi Islam Atas Problematika Umat
(Jakarta: Gema Insani Press), h. 81.
[17]Abdul Mukti, “Pendidikan
Agama Dalam Masyarakat Teknokratik”,Paradigma
Pendidikan Isla (Semarang: Pustaka
Pelajar, 2001), h. 358-359.
[21]Amal Fathullah Zarkasyi, “Pondok
Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan dan Dakwah” Solusi Islam Atas
Problematika Umat (Jakarta: Gema Insani Press), h. 166.
[24]Din Syamsuddin, dalam
pengantar buku, Mohammad Tidjani Djauhari, Masa
Depan Pesantren Agenda yang Belum Terselesaikan (Jakarta: Taj Publishing, 2008), h. xx.
[25]Departemen Agama
RI,. Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta:
Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an Depag RI, 2004), h.79.
Mas mau tany nih apakah keberadaan ilmu dkwh itu sma dgn sejrah dkwah?
ReplyDelete