BAB I
PENDAHULUAN
Pada era global, sebuah kampung terpencil di pedalaman Sumatera dapat
berdialog dengan sebuah kota di London Inggris. Berbekal teknologi komunikasi,
media elektronik memungkinkan desa-desa terpencil mendengar berita dan
penanyangan gambar-gambar mengenai berbagai aktivitas kehidupan yang disiarkan
tv, internet, dan media jejaring sosial dari kota-kota besar mancanegara.
Anak-anak, terutama di kota-kota besar dapat melihat dan mendengar bagaimana
aktivitas kehidupan anak-anak sebayanya yang relatif berbeda melalui tv, bioskop, majalah, internet, dan
media jejaring sosial yang tersebar luas.[1]
Dalam era global ini seperti
yang telah diungkap di atas sekat-sekat regional relatif pudar dengan alat
bantu teknologi komunikasi. Jika aktivitas dakwah tidak mengambil bagian dalam
proses tersebut (menggunakan alat bantu teknologi komunikasi). Maka sudah barang tentu, dakwah tidak akan
berhasil merambah semua lini kehidupan. Padahal pada era global saat ini
kegiatan dakwah sangat diuntungkan apabila menggunakan media komunikasi yang
dari waktu ke waktu mengalami kemajuan yang pesat.
Globalisasi sendiri sebenarnya sejalan dengan
ajaran Islam, ajaran atau agama yang diturunkan sebagai rahmat alam semesta.
Jika globalisasi digunakan untuk menduniakan nilai-nilai moral islami, baik
yang bersifat personal (personal morality)
maupun yang publik (public morality),
maka kehidupan umat manusia di dunia dapat berjalan dengan tertib, aman, damai, dan sejahtera. Ringkasnya, secara normatif
globalisasi sebenarnya netral, tergantung siapa dan untuk apa digunakan.[2]
Dakwah dengan pendekatan budaya pada era global, sangat diperlukan sebagai
langkah strategis untuk menjaga dan mengembangkan keberadaan Islam. Selain itu,
melalui pendekataan budaya ini, Islam akan mampu menggerakkan perubahan
masyarakat (the society aimed movement) ke penjuru dunia dengan tidak
menapikan kekhasan dan keunikan Islam di berbagai belahan dunia. Islam bukanlah
agama yang lahir dalam ruang yang hampa budaya. Tetapi justru selalu terjadi
dialog yang dinamis antara Islam ajaran dan yang berkembang di masyarakat.
Sehingga melahirkan budaya baru yang berwawasan keislaman.
Selain dakwah dengan pendekatan
budaya, dakwah dengan pendekatan politik juga sangat diperlukan pada era global
saat ini. Dakwah dengan pendekatan politik memungkinkan umat Islam bergerak
lebih leluasa untuk melakukan aktivitas dakwah struktural baik dalam kancah lokal
maupun internasional.
Konsep dakwah dengan pendekatan politik adalah gerakan dakwah yang berada
dalam dan melalui kekuasaan. Aktivitas dakwah politik yang bergerak
mendakwahkan ajaran Islam dengan memanfaatkan struktur sosial, politik, maupun
ekonomi yang menjadikan Islam sebagai prinsip kehidupan, agar nilai-nilai agama
dapat dilaksanakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.[3]
Dakwah dengan pendekatan politik sebagai alat untuk memperjuangkan
nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, dakwah politik lebih bersifat top down.
Dengan kata lain bentuk dakwah politik cenderung mempunyai maksud dan tujuan
mendirikan negara Islam, karena negara dianggap sebagai alat yang paling
strategis dan menjanjikan dalam melakukan internalisasi nilai-nilai keislaman
dalam prilaku politik mereka serta penegakan ajaran Islam menjadi tanggung
jawab negara dan kekuasaan. Dalam perpsektif dakwah politik negara adalah
instrumen paling penting dalam kegiatan dakwah.[4]
BAB II
TEORITIS DAKWAH DENGAN PENDEKATAN
BUDAYA DAN POLITIK
A. Definisi Ilmu Dakwah
Dakwah secara etimologi berasal dari akar kata da’a
(madli), yad’u (mudlari), dan dakwah (masdar atau gerund
dalam bahasa Inggris), yang berarti seruan, ajakan, panggilan, permintaan,
permohonan, dan doa.[5] Kata ini
dan derivasinya menurut informasi yang diperoleh dari peneliti al-Qur’an
kenamaan Muhammad Fu‘âd ‘Abd. Al-Bâqi terulang sebanyak 215 kali.[6]
Adapun dari tinjauan aspek terminologi, pakar
dakwah Tutty Alawiyah AS, mendefiniskan dakwah adalah proses transaksional untuk terjadinya perubahan
perilaku individual melalui proses-proses komunikasi, persuasi, dan
pembelajaran yang berkelanjutan. (Dakwah
is the transactional process of initiating behavioral changes of individual
through the series of communication, persuasion and continuous learning.)[7]
Sedangkan menurut pakar psikologi Islam Achmad Mubarok dakwah ialah usaha mempengaruhi
orang lain agar mereka bersikap dan bertingkah laku seperti apa yang didakwahkan oleh da’i. Setiap da’i agama
apa pun pasti berusaha mempengaruhi orang lain agar mereka bersikap dan
bertingkah laku sesuai dengan agama mereka. Dengan demikian pengertian dakwah
Islam adalah upaya mempengaruhi orang lain
agar mereka bersikap dan bertingkah laku Islami (memeluk agama Islam).[8]
Berdasarkan berbagai pandangan di atas, dakwah
Islam dapat dikembangkan menjadi suatu proses mengajak umat manusia supaya
masuk ke Jalan Allah secara menyeluruh, baik dengan lisan, tulisan, maupun
dengan perbuatan, sebagai ihtiar umat muslim mewujudkan ajaran Islam menjadi
kenyataan dalam kehidupan syahsiyah,
usrah, jama’ah, dalam semua aspek kehidupan.
B. Dakwah dan
Konsep-Konsep Kebudayaan
- Definisi Kebudayaan
Menurut Achmad Mubarok kebudayaan adalah konsep,
keyakinan, nilai dan norma yang dianut masyarakat yang mempengaruhi prilaku
mereka dalam upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam
sekelilingnya. Disamping sebagai fasilitas, alam adalah tantangan yang harus di
atasi. Berbeda dengan hewan, manusia tidak puas hanya dengan apa yang terdapat
dalam alam kebendaan. Dengan konsep yang dimiliki manusia berusaha mengolah alam ini, dan dengan kesadaran dan cita-citanya manusia
merumuskan apa yang bermakna dan apa yang tidak bermakna dalam kehidupannya.[9]
Sedangkan Koentjaraningrat membagi kebudayaan dalam tiga wujud, (1) wujud
ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, (2) wujud kelakuan, yaitu
wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia
dalam masyarakat, dan (3) wujud benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai
benda-benda hasil karya.[10]
Bagi Nourozzaman Shiddiqi mengatakan bahwa hingga kini belum ada satu
definisi tentang kebudayaan yang disepakati oleh semua orang. Definisi-definisi
yang diberikan sangat beragam, tergantung pada minat dan keahlian orang yang
merumuskannya. A.I. Kroeber Clyde Kluckhon (1952) sebagaimana dikutip Nourouzzaman
mencatat tidak kurang dari 164 definisi kebudayaan yang telah dikemukakan.
Namun demikian dapat dikemukakan bahwa kebudayaan adalah semua produk aktivitas
intelektual manusia untuk memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan hidup
duniawi.[11]
Dari beberapa teori definisi kebudayaan tersebut di atas, dapat diketahui
bahwa kebudayaan adalah segala bentuk hasil kreativitas manusia dengan
menggunakan segala daya dan kemampuan yang dimiliknya dalam rangka mewujudkan
kehidupannya yang sejahtera. Dengan demikian dilihat dari segi bentuknya
kebudayaan dapat mengambil bentuk yang halus seperti ilmu pengetahuan, kesenian
dan filsafat, dan dapat pula mengambil bentuk yang kasar seperti bangunan
gedung-gedung, istana, benteng pertahanan, persenjataan atau peralatan perang,
peralatan komunikasi, peralatan transportasi dan lain sebagainya. Berbagai
produk kebudayaan yang demikian selanjutnya mengambil bentuk pranata, yaitu
aturan-aturan atau konsep-konsep tentang berbagai aspek kehidupan manusia yang
dipilih dan digunakan sebagai alat untuk melakukan interaksi sosial.[12]
- Konsep-Konsep Kebudayaan
a.
Difusi Kebudayaan
Sejak lama para sarjana tertarik akan adanya bentuk-bentuk yang sama dari
unsur-unsur kebudayaan di berbagai tempat yang seringkali jauh letaknya satu
sama lain. Dari banyaknya temuan tentang hal ini, lahirlah satu doktrin tentang
difusi[13] (penyebaran)
kebudayaan dan hubungan sejarah masa lampau yang dikemukakan oleh F. Ratzel
(1844-1904). Aliran ini menganggap difusi sebagai pemindahan unsur suatu budaya
kepada budaya lain. Unsur dan sifat budaya ini digunakan untuk menyelesaikan
masalah atau dicampurkan untuk menjadi kompleks, di mana unsur-unsur budaya
tersebut tidak ada kaitannya antara yang satu dengan yang lain.[14]
Difusi terjadi apabila ada dua masyarakat atau kebudayaan saling bertemu.
Makin banyak dan makin tepat pengetahuan kita tentang dinamika proses difusi,
makin besarlah kemungkinannya untuk membuat rekonstruksi historis yang
sungguh-sungguh dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan penyebaran unsur-unsur kebudayaan.
Penyebaran unsur-unsur kebudayaan. Bersama dengan penyebaran dan migrasi
kelompok-kelompok manusia, turut tersebar pula berbagai unsur kebudayaan.
Sejarah dari proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan yang disebut proses
difusi itu merupakan salah satu obyek penelitian ilmu antropologi, terutama
sub-ilmu antropologi diakronik. Proses difusi dari unsur-unsur kebudayaan
antara lain diakibatkan oleh migrasi bangsa-bangsa yang berpindah dari satu
tempat ke tempat lain di muka bumi. Terutama dalam zaman prasejarah, ketika
kelompok-kelompok manusia yang hidup sebagai pemburu bermigrasi menempuh jarak
yang sangat besar, unsur-unsur kebudayaan yang mereka bawa juga turut tersebar
luas.[15]
Suatu difusi yang meliputi suatu wilayah yang luas biasanya terjadi melalui
serangkaian pertemuan antara sejumlah suku bangsa. Suku bangsa A, misalnya
bertemu dengan suku bangsa B dengan suatu cara tertentu; suku bangsa B bertemu
dengan suku bangsa C dengan cara yang sama pula, tetapi mungkin juga dengan
cara yang lain; dan suku bangsa C mungkin bertemu dengan suku bangsa D dengan
cara lain lagi. Cara-cara yang berbeda yang juga membawa unsur-unsur kebudayaan
yang berbeda-beda itu kemudian didifusikan dari A ke B, ke C, ke D, dan
seterusnya. Proses difusi semacam ini dalam antropologi disebut stimulus
diffusion.[16]
Teori difusi merupakan suatu transmisi nilai budaya tertentu, sehingga
melintasi ruang, daerah, dari budaya setempat, difusi ini bisa melalui migran,
para pengusung agama tertentu, transfer nilai, dan kontak sosial.[17] Salah
satu bentuk bentuk difusi adalah penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari satu
tempat ke tempat lain dimuka bumi, yang dibawa kelompok-kelompok manusia yang
bermigrasi.[18]
Cara lain adalah bentuk hubungan yang disebabkan oleh perdagangan, tetapi
dengan akibat yang lebih jauh daripada yang terjadi pada hubungan simbiotis.
Unsur-unsur kebudayaan asing di bawa oleh para pedagang masuk kedalam
kebudayaan penerima dalam hubungan ini, tidak sengaja dan tanpa paksaan, dengan
mengambil istilah dari ilmu antropologi, sering disebut pacitifique
penetration; artinya adalah pemasukan secara damai. Pemasukan secara damai
tentu juga ada pada bentuk hubungan yang disebabkan oleh usaha dari penyiar
agama. Jadi, datanglah para penyiar agama dan mulailah proses akulturasi yang
merupakan akibat dari aktivitas tersebut.[19]
Akhirnya kalau suatu proses difusi tidak hanya dilihat dari bergeraknya
unsur-unsur kebudayaan dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi, tetapi
terutama sebagai proses dibawanya unsur-unsur kebudayaan oleh individu-individu
suatu kebudayaan kepada individu-individu kebudayaan lain, maka tampak bahwa
bukan hanya satu unsur kebudayaan saja yang didifusikan. Unsur-unsur kebudayaan
yang didifusikan tidak pernah berdiri sendiri, melainkan senantiasa merupakan
suatu kompleks unsur-unsur yang tidak mudah dipisahkan.
b.
Akulturasi Kebudayaan
Akulturasi atau culture contact, mempunyai berbagai arti di antara
sarjana antropologi, tetapi semua sepakat bahwa konsep itu mengenai proses
sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu
dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian
rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah
kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan
itu sendiri.[20]
Akulturasi juga dapat dipamahi sebagai suatu proses dimana seseorang yang
memiliki budaya bertemu dengan budaya lain, sehingga saling tukar dari kedua
belah pihak.
Proses akulturasi memang sudah ada sejak dulu kala, tetapi proses
akulturasi dengan sifat khusus baru ada ketika kebudayaan-kebudayaan
bangsa-bangsa Eropa Barat mulai menyebar ke daerah-daerah lain di muka bumi
pada awal abad ke-15, dan mulai mempengaruhi masyarakat-masyarakat suku bangsa
di Afrika, Asia, Oseania, Amerika Utara dan Amerika Latin. Mereka membangun
pusat-pusat kekuatan di berbagai tempat di sana, yang menjadi pangkal dari
pemerintah-pemerintah jajahan, dan yang pada akhir ke-19 dan awal abad ke-20
mencapai puncak kejayaannya. Seiring dengan perkembangan berbagai pemerintahan
jajahan itu, berkembang pula berbagai usaha penyebaran agama Nasrani. Hasil
yang tampak sekarang ialah bahwa sudah hampir tidak ada suku bangsa yang
terhindar dari pengaruh unsur-unsur kebudayaan Eropa. Terutama dalam beberapa
dasawarsa terakhir ini, pengaruh unsur-unsur kebudayaan Eropa dan Amerika yang
juga disebut “modernisasi” itu dialami oleh hampir semua warga suku bangsa di
Afrika, Asia, dan Oseania secara sangat intensif, yang bahkan sampai menyentuh
sistem norma dan nilai budaya mereka.[21]
Contoh akulturasi kebudayaan Hadrami dan Palembang sangat banyak sekali.
Salah satunya dalam bidang seni, seperti rebana, barzanji, dan lain-lan
merupakan pengaruh dari seni Hadrami. Hanya saja kesemua bentuk kesenian ini
sudah mengalami elaborasi dan penyesuaian dengan musik lokal. Sehingga seni
yang ada dalam masyarakat Palembang tetap memperlihatkan khal lokalnya.
Dengan memperhatikan para pembawa unsur-unsur kebudayaan asing (agents
of acculturation) dapat diketahui unsur-unsur kebudayaan jenis apa yang
masuk. Para warga masyarakat itu umumnya tidak memahami seluruh kebudayaannya
sendiri, terutama apabila masyarakatnya luas dan kompleks. Karena itu para
agents of acculturation itulah yang menentukan unsur-unsur kebudayaan yang dimasukkan.
Seorang pedagang tentu membawa unsur kebudayaan berupa berbagai jenis barang,
cara berdagang, dan sebagainya; seorang pendeta penyiar agama Islam tentu
membawa berbagai unsur agamanya.[22]
c.
Integrasi Kebudayaan
Vocabulaire Philosophique Lalande memberikan definisi integrasi sebagai “dibangunnya interdependensi yang
lebih rapat antara bagian-bagian dari organisme hidup atau antara
anggota-anggota dalam masyarakat, yang cenderung membuatnya menjadi suatu kota
yang harmonis, yang didasarkan pada tatanan yang oleh anggota-anggotanya
dianggap sama harmonisnya.[23]
Dalam proses integrasi tidak ada satu kebudayaan pun yang pernah mewujudkan
integrasi dengan mutlak atau sempurna. Jelasnya, tak pernah semua unsur-unsur
yang ada di dalamnya saling sesuai menyesuaikan dengan sempurna, karena di
dalam setiap kebudayaan selalu terjadi perubahan, entah berasal dari inovasi
atau dari difusi. Ini berarti, bahwa tidak ada satu kebudayaan pun yang pernah
diintegrasikan dengan sempurna pada suatu titik sejarahnya. Dengan demikian
integrasi merupakan persoalan taraf atau tingkat. Apabila tingkat integrasi
dalam suatu kebudayaan tidak dapat mencapai ukuran minimal, maka akan lumpuhlah
kebudayaan itu dan runtuhlah masyarakatnya sebagai satu kesatuan fungsional.
Namun hal ini jarang sekali terjadi, karena semua kebudayaan mempunyai
kemampuan yang mengagumkan untuk mewujudkan perubahan dan adaptasi. Malahan
dapat dikatakan bahwa setiap atau serangkaian unsur-unsur kebudayaan baru dapat
diintegrasikannya, asal saja tidak bertentangan secara langsung atau berlawanan
dengan unsur-unsur pokok di dalam formasi yang telah ada, sehingga masyarakat
akan menolaknya seketika.[24]
Selama berlangsungnya proses perubahan kultural, disintegrasi berjalan
berdampingan. Pada saat bagian-bagian tertentu dari kebudayaan itu telah
berhasil mengadakan penyesuaian, ada bagian-bagian lain yang baru ‘merasakan’
gerak perubahan yang ditimbulkan oleh unsur baru itu. Pada pokoknya proses
penerimaan unsur baru menimbulkan masa panca roba. Akibat yang ditimbulkan dari
penerimaan unsur-unsur terhadap kebudayaan penerima tidaklah selalu sama. Ada
unsur yang dapat dikatakan tidak menimbulkan kegoncangan sama sekali dan ada
juga yang dapat menimbulkan perubahan yang besar.[25]
Untuk mengetahui sejauhmana interaksi sosial antar
etnis (mayoritas dan minoritas) dan kemungkinan
terjadinya bisa dilakukan dengan menggunakan pendekatan struktural fungsional.
Pendekatan struktural-fungsional sebagaimana dikembangkan oleh Parsons dan
pengikutnya memiliki pandangan bahwa adanya komitmen terhadap norma-norma
sosial (nilai-nilai bersama) sangat penting dalam terjadinya integrasi dalam
suatu masyarakat. Sehingga, dapat dikatakan bahwa individu-individu dan
kelompok-kelompok manusia akan terintegrasi bila adanya, antara lain, persamaan
kepentingan (interast), keyakinan (agama), dan status sosial.
Adanya kecendrungan terwujudnya integrasi dalam masyarakat bukan berarti
terlepas dari perbedaan-perbedaan pendapat dan konflik. Namun, suatu hal yang
penting dari proses integrasi tersebut adalah adanya kesadaran dalam menjaga
keseimbangan hubungan, sehingga eksistensi dan identitas masing-masing kelompok
sosial yang terintegrasi tetap diakui. Usman menulis bahwa proses terrwujudnya
integrasi sosial dikelompokkan menjadi tiga dimensi. Pertama, masyarakat dapat
terintegrasi berdasarkan kesepakatan kebanyakan anggotanya terhadap nilai-nilai
sosial tertentu yang bersifat mendasar. Kedua, masyarakat dapat terintegrasi
dikarenakan kebanyakan anggotanya terhimpun dalam berbagai unit sosial
sekaligus (cross cutting affiliations). Ketiga, masyarakat dapat terintegrasi
atas saling ketergantungan di antara unit-unit sosial yang terhimpun di
dalamnya dalam mencapai kebutuhan ekonomi.
d.
Transformasi Kebudayaan
Pada hakikatnya tidak ada kebudayaan di dunia ini yang statis dan tiada
mengalami perubahan, baik disebabkan oleh faktor internal maupun faktor
eksternal. Kebudayaan yang berfungsi bagi manusia sebagai alat untuk memenuhi
kebutuhannya, senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan dan perubahan,
baik karena perubahan dalam bidang pemikiran, ekologi, politik, ekonomi, dan
sebagainya. Kebutuhan untuk melakukan perubahan atau pembaharuan nilai inilah
yang prosesnya disebut transformasi.[26]
Kuntowijoyo mengartikan transformasi sosio-kultural sebagai arah dari sebuah
perubahan (sosial) yang bersifat profetik (normatif). Pengertian sosio-kultural
dibatasi pada nilai-nilai normatif (agama, etika sosial, ekonomi Islam) yang
dapat dijadikan acuan dalam mendorong peningkatan dan hubungan-hubungan
pertukaran di dalam suatu sistem sosial.[27]
e.
Asimilasi Kebudayaan
Asimilasi adalah suatu proses sosial yang terjadi pada berbagai golongan
manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda setelah mereka bergaul
secara intensif, sehingga sifat khas dari unsur-unsur kebudayaan
golongan-golongan itu masing-masing berubah menjadi unsur-unsur kebudayaan
campuran. Biasanya suatu proses asimilasi terjadi antara suatu golongan
mayoritas dan golongan minoritas, sehingga sifat-sifat khas dari kebudayaannya
lambat-laun berubah dan menyatu dengan kebudayaan golongan mayoritas.[28]
Di Amerika, proses sosial seperti itu banyak diteliti para ahli sosiologi,
dengan munculnya masalah-masalah yang diakibatkan oleh kedatangan para imigran
dari Eropa. Bagi Indonesia, pengetahuan mengenai kebinekaan suku bangsa,
lapisan sosial, dan agama serta proses asimilasi yang terjadi di tempat-tempat
lain di dunia, sangat penting sebagai bahan perbandingan.[29]
Dari berbagai proses asimilasi yang pernah diteliti, diketahui bahwa
pergaulan intensif saja belum tentu mengakibatkan terjadinya proses asimilasi,
tanpa adanya toleransi dan simpati antara kedua golongan. Contohnya adalah
orang Cina di Indonesia, yang walaupun telah bergaul secara intensif dengan
penduduk pribumi bangsa Indonesia sejak beberapa abad, belum seluruhnya
terintegrasi ke dalam masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Sebaliknya,
kurangnya toleransi dan simpati terhadap suatu kebudayaan lain umumnya
disebabkan karena berbagai kendala, yaitu kurangnya pengetahuan mengenai
kebudayaan pihak yang dihadapi, kekhawatiran akan kekuatan yang dimiliki
kebudayaan tersebut, dan perasaan bahwa kebudayaan sendiri lebih unggul dari
kebudayaan pihak yang dihadapi.[30]
C.Dakwah dan
Konsep Politik Islam
1. Definisi Politik
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan W.J.S. Poerwadarminta, politik
diartikan sebagai pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti
tata cara pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan dan sebagainya dan dapat pula
berarti segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan), siasat dan sebagainya
mengenai pemerintahan sesuatu Negara atau terhadap Negara lain.[31]
Selanjutnya sebagai suatu sistem, politik adalah suatu konsepsi yang berisikan antara
lain ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan Negara. Siapa pelaksana
kekuasaan tersebut dan apa dasar dan bagaimana cara untuk menentukan serta
kepada siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan itu diberikan. Kepada siapa
pelaksanaan kekuasaan itu bertanggung jawab dan bagaimana bentuk tanggung
jawabnya.[32]
Dalam bahasa Arab, politik biasanya diwakili oleh kata al-siyasah
dan daulah, walaupun kata-kata tersebut dan kata-kata lainnya yang
berkaitan dengan politik seperti keadilan, musyawarah, pada mulanya bukan
ditujukan untuk masalah politik. Kata siyasah dijumpai dalam bidang
kajian hukum, yaitu ketika berbicara masalah imamah, sehingga dalam
fiqih dikenal adanya bahasan tentang Fiqih Siyasah. Demikian pula kata daulah
pada mulanya dalam al-Qur’an digunakan untuk kasus penguasaan harta di kalangan
orang-orang kaya, yaitu bahwa dengan zakat diharapkan harta tersebut tidak
hanya berputar pada tangan-tangan orang yang kaya. Karena menurut sifatnya
harta tersebut harus bergilir atau berputar, dan tidak hanya dikuasai oleh
orang-orang yang kaya (daulatan baina agniya), kata daulah
tersebut juga digunakan untuk masalah politik yang sifatnya berpindah dari satu
tangan ke tangan lainnya. Demikian juga kata keadilan banyak digunakan dalam
memutuskan perkara dalam kehidupan, dan kata musyawarah pada mulanya digunakan
pada kasus suami isteri yang akan menyerahkan anaknya untuk disusui oleh
perempuan lain yang dalam hal ini perlu dimusyawarahkan.[33]
Bagi Achmad Mubarok, manusia adalah makhluk sosial yang
memiliki tabiat suka bekerjasama dan bersaing sekaligus. Sebagai warga
kepulauan Nusantara, mereka merasa membutuhkan kerjasama, oleh karena itu
disepakatilah adanya kesatuan bangsa, bangsa Indonesia. Tetapi sebagai makhluk
politik, dalam bekerjsama pun manusia suka bersaing untuk kepentingan yang
lebih kecil, yakni kepentingan dirinya. Apa lagi dalam hidup berbangsa
dibutuhkan adanya pemimpin, oleh karena itu banyak orang yang bersaing secara
politik untuk berusaha menduduki kursi pemimpin. Sesungguhnya bagaimana
kepemimpinan berlangsung, praktek ibadah shalat memberi contoh bagaimana
merekrut pemimpin (imam), apa kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang
imam, dan selanjutnya bagaimana etika kebersamaan dalam menuju tujuan bersama.[34]
Tetapi sayangnya, di kalangan masyarakat Islam pada umumnya kurang melihat
hubungan masalah politik dengan agama. Hal ini antara lain disebabkan karena
pemahaman yang kurang utuh terhadap cakupan ajaran Islam itu sendiri.
Kuntowijoyo misalnya mengatakan, “Banyak orang, bahkan pemeluk Islam sendiri,
tidak sadar bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi juga sebuah komunitas (umat)
tersendiri yang mempunyai pemahaman, kepentingan dan tujuan-tujuan politik
sendiri. Banyak orang beragama Islam, tetapi hanya menganggap Islam adalah
agama individual, dan lupa kalau Islam juga merupakan kolektivitas. Sebagai
kolektivitas, Islam mempunyai kesadaran, sktruktur, dan mampu melakukan aksi
bersama.[35]
2.Paradigma Dakwah dalam Politik Islam
Perdebatan hubungan agama dan negara mengalami pedebatan yang cukup panjang
dikalangan ulama Islam hingga kini. Berkenaan dengan hal tersebut maka pendapat
para pakar berkenaan dengan relasi agama dan negara dalam Islam dapat dibagi
atas tiga pendapat yakni paradigma integralistik, sekularistik, dan
simbiotik.
a.
Paradigma Integralistik
Paradigma integralistik mengajukan konsep bersatunya agama dan negara.
Agama dan negara tidak dapat dipisahkan (integrated). Dalam konteks
Islam, Islam adalah din wa dawlah. Apa yang merupakan wilayah agama
otomatis merupakan wilayah politik atau negara. Model ini menyimpulakan bahwa
negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus, yang antara keduanya
merupakan totalitas utuh dan tidak dapat dipisahkan.[36]
Pandangan ini berkeyakinan bahwa Islam diturunkan sudah dalam kelengkapan
yang utuh dan bulat (kafah). Islam telah memiliki konsep-konsep lengkap
untuk tiap-tiap bidang kehidupan. Pandangan ini telah mendorong pemeluknya
untuk percaya bahwa Islam mencakup cara hidup yang komprehensif, bahkan
sebagian kalangan menekankan bahwa Islam
merupakan totalitas yang menawarkan pemecahan terhadap semua masalah kehidupan.[37]
Pandangan ini juga memahami bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap
mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Al-Qur’an, ibarat super market telah
menyediakan sistem politik yang mesti diikuti oleh umatnya. Hal ini dijabarkan
pula oleh praktik Nabi dalam membangun Negara Madinah dan pemerintahan yang
dilanjutkan oleh penerus beliau al-Khulafa’ al-Rasyidun. Ini yang mesti
diteladani oleh umat Islam. Karenanya, kita tidak perlu meniru sistem politik
Barat yang dipengaruhi oleh semangat sekularisme.[38]
Paham ini merupakan pendapat atau konsep yang menganggap negara dan agama
adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Paham ini dianut oleh
beberapa ulama-ulama Islam diantaranya yang paling ekstrim adalah golongan
syiah dengan teori Imamah mereka. Dan juga ulama-ulama terkemuka
lainya yakni, Rasyid Ridha (1865-1935 M), kelompok-kelompok Ikhwanul Muslimin,
Abu al-A’la al-Maududi (1903-1979 M), Hasan Al-Bana (1906-1949), Sayyid Quthub
(1906-1966 M), dan lain sebagainya.
Rasyid Ridha[39] walaupun
dia merupakan murid dari Muhammad Abduh yang berpemikiran simbiotik namun Ridha
memiliki ide yang berbeda dengan sang gurunya, menurut Ridha eksistensi syariat
sangat penting dalam rangka penetapan hukum syariat Islam. Bahwa Islam adalah
agama kedaulatan, politik dan pemerintahan, maka bentuk pemerintahan yang lain
(selain kekhalifahan) baginya tidak dapat menerapkan syariat Islam.
Menurut al-Maududi, Islam adalah agama yang sempurna yang memuat
prinsip-prinsip yang lengkap tentang semua segi kehidupan meliputi moral, etika
serta petunjuk di bidang politik, sosial dan ekonomi. Islam dipahami bukan
hanya sebagai satu keyakinan tetapi satu sistem yang lengkap yang mengandung
seperangkat jawaban terhadap persoalan yang dialami umat manusia. Semua itu
tidak bisa diwujudkan dalam bentuk tindakan praktis tanpa adanya negara yang
menjamin pelaksanaannya. Agama Tuhan hanya bisa dicapai dengan menegakkan dan
menjadikan hukum Tuhan sebagai hukum negara. Jika selain hukum Tuhan yang
menjadi pegangan, maka berarti menolak agama itu sendiri.[40]
Oleh karena itu, dalam bernegara Islam, haruslah memakai sistem kenegaraan
Islam dan bukannya meniru sistem Barat. Konsekuensinya perlu ada suatu negara
Islam yang dapat menjamin pelaksanaan hukum Tuhan secara keseluruhan. Yakni
suatu negara yang bertugas melaksanakan dan mengembangkan tindakan yang terpuji
dan mencegah semua tindakan jahat sesuai dengan tuntunan Islam. Negara yang
dapat menjamin tegaknya sistem Islam, menurut Maududi adalah sebuah negara yang
eksistensinya kuat. Dalam hal ini ia menunjuk pola politik semasa al-khulafa
al-Rasyidin sebagai sistem kenegaraan menurut Islam.[41]
Dengan demikian, teori politik al-Maududi mengargumentasikan bahwa negara
merupakan bagian integral (atau perluasan) dari Islam. Menurutnya Islam
memiliki konsep negara dan sistem pemerintahan tersendiri yang lengkap.[42]
Bentuk dakwah struktural integralistik dalam dunia Islam dimulai di Madinah
sejak Nabi menetap di Madinah. Dimana Nabi memiliki peran sebagai kepala negara
sekaligus juga da’i (pemuka agama). Negara dan pemerintahan yang pertama
dalam sejarah Islam itu terkenal dengan Negara Madinah. Kajian terhadap
terhadap negara dan pemerintahan ini dapat diamati dengan menggunakan
pendekatan. Pertama, pendekatan normatif Islam yang menekankan pada
pelacakan nash-nash al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang mengisyaratkan adanya
praktek pemerintahan yang dilakukan oleh Nabi dalam rangka siyasah syar’iyah.
Kedua, pendekatan deskriptif-historis dengan mengidentikkan tugas-tugas
yang dilakukan oleh Nabi di bidang muamalah sebagai tugas-tugas negara dan
pemerintahan. Hal ini diukur dari sudut pandang teori-teori politik dan
ketatanegaraan.[43]
Di kota Madinah keadaan Nabi dan umat Islam mengalami perubahan besar.
Ketika di Makkah mereka sebelumnya merupakan umat lemah yang tertindas, di
Madinah mereka mempunyai kedudukan yang baik dan segera merupakan umat yang
kuat dan dapat berdiri sendiri. Nabi sendiri menjadi kepala dalam masyarakat
yang baru dibentuk itu dan akhirnya merupakan suatu negara, yang kekuasaannya
di akhir zaman Nabi meliputi seluruh Semenanjung Arabia. Dengan kata lain di
Madinah Nabi Muhammad bukan hanya berperan sebagai da’i (penyampai
risalah kebenaran), tetapi juga berfungsi sebagai kepala negara.[44]
Selaku kepala negara dan juga sebagai da’i, Nabi menjalin hubungan
diplomatik dengan negara-negara sahabat. Beliau mengirim surat dakwah kepada
kepala negara lain. Diperkirakan surat-surat tersebut berjumlah 30 pucuk.
Meskipun pada intinya surat-surat tersebut berisi ajakan untuk memeluk Islam,
secara hukum international ini merupakan langkah awal untuk membentuk hubungan
diplomatik dengan negara-negara tersebut secara damai.[45]
Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dilakukan Nabi ini menegaskan bahwa beliau
telah menjalankan perannya sebagai sebagai kepala negara juga sebagai da’i.
Kalangan di luar Islam juga mengakui keberadaan Nabi di Madinah sebagai kepala
negara. W. Montgomery Watt, misalnya, menulis sebuah buku khusus yang mengkaji
sosok Nabi Muhammad sebagai Nabi dan negarawan berjudul Muhammad Prophet and
Statesman. Dalam buku ini Watt menegaskan bahwa masyarakat Madinah yang
dibentuk Nabi Muhammad adalah masyarakat agama dan politik. Di samping sebagai
rasul, Muhammad juga sebagai negarawan.[46]
Sementara Philip K. Hitti menyatakan bahwa masyarakat Madinah yang
dipimpin Nabi bukan berdasarkan ikatan primordial kedaerahan dan kesukuan,
sebagaimana terjadi selama ini dalam masyarakat Arab pra-Islam, melainkan
ikatakan keagamaan. Muhammad, di samping mempunyai tugas sebagai da’i, juga
memiliki kekuasaan politik sebagai kepala pemerintahan.[47]
Selanjutnya paradigma dakwah struktural integralistik ini juga mendapat
perhatian yang besar dari kalangan Al-Ikhwan Al-Muslimin yang dirikan Hasan
Al-Bana di Kairo Mesir tahun 1928. Kalangan Ikhwan semula hanya fokus pada
kegiatan-kegiatan reformasi moral dan sosial, namun dalam perkembangan
berikutnya menjadi suatu organisasi keagamaan dan politik. Hal ini terlihat
jelas saat mereka mendambakan berdirinya negara Islam di Mesir. Adapun pendapat
tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin yang paling sentral adalah Islam adalah suatu
agama yang sempurna dan amat lengkap, yang meliputi tidak saja tuntuan moral
dan peribadatan, tetapi juga petunjuk-petunjuk mengenai cara mengatur segala
aspek kehidupan, termasuk kehidupan politik, ekonomi sosial. Oleh karenanya
untuk pemulihan kejayaan dan kemakmuran, umat Islam harus kembali kepada
agamanya yang sempurna dan lengkap itu, kembali kepada kitab sucinya, Al-Qur’an
dan Sunah Nabi, mencontoh pola hidup rasul dan umat Islam generasi pertama,
tidak perlu atau bahkan jarang meniru pola atau sistem politik, ekonomi dan
sosial barat.
Menurut pemikiran tokoh-tokoh ikhwan muslimin, Islam adalah suatu agama
yang sempurna dan amat lengkap, yang meliputi tidak saja tuntutan moral dan
peribadatan, tetapi juga petunjuk-petunjuk mengenai cara mengatur segala aspek
kehidupan, temasuk kehidupan politik, ekonomi dan sosial. Oleh karenanya untuk
pemulihan kejayaan dan kemakmuran, ummat Islam harus kembali kepada agamanya
yang sempurna dan lengkap itu, kembali kepada kitab sucinya, al-Qur’an dan
Sunnah Nabi, mencontoh pola hidup Rasul dan ummat Islam generasi pertama, tidak
perlu atau bahkan jangan meniru pola atau sistem politik, ekonomi dan sosial
Barat.[48]
b.
Paradigma Sekularistik
Paradigma sekularistik[49]
(agama terpisah dari negara), beranggapan bahwa ada pemisahan antara agama dan
negara, agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain
memiliki garapan bidang masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan.[50]
Pandangan ini berangkat dari pemikiran bahwa al-Qur’an tidak memiliki sistem
politik yang baku dan Muhammad tidak dimaksudkan oleh Allah untuk menciptakan
kekuasaan politik. Tugas Muhammad hanyalah sebagai penyampai wahyu tanpa
memiliki pretensi untuk mendirikan negara.[51]
Pemrakarsa paradigma ini adalah Mushtafa Kemal Attaturk (1881-1938), ‘Ali
Abd. Al-Raziq (1888-1966 M), seorang cendikiawan muslim dari Mesir. Tokoh lain
yang mengikuti pendapat ini adalah Taha Husein (1889-1973), Ahmad Lutfi Sayyid
(1872-1963), kemudian disusul belakangan oleh Muhammad Said al-Asmawi (Mesir, lahir
1932).
Menurut Ali Abd Raziq[52],
pemerintahan Rasul bukanlah bagian dari tugas kerasulan, melainkan tugas
terpisah dari dakwah Islam dan berada di luar tugas kerasulan.[53]
Alasanya, bahwa Nabi Muhammad Saw memang telah mendirikan negara di Madinah,
akan tetapi sulit membuat kesimpulan bagaimana prosedur penetapan hukum yang
ditempuh oleh Rasul, demikian pula tidak ada informasi yang cukup mengenai
fungsi-fungsi pemerintahan lain, misalnya masalah keuangan, wawasan, dan
keamanan jiwa, dan harta.
Namun demikian, bagian-bagian tugas yang dilakukan oleh Nabi seperti
ekspedisi militer untuk membeladiri, distribusi zakat, jizyah, dan ghanimah,
pendelegasian tugasnya kepada para sahabat untuk melaksanakannya. Jadi kegiatan
kenegaraan merupakan keadaan nabi yang terpisah dari jabatan beliau sebagai
Rasul, melainkan merupakan tugas beliau sebagai pemimpin dalam dunia muamalah
manusia biasa.
Bila umat tunduk kepada Rasulullah, menurut Raziq, ketundukan itu adalah
ketundukan akidah dan keimanan, dan bukan ketundukan kepada kekuasaan dan
pemerintah. Sebab kepemimpinan beliau adalah kepemimpinan agama, bukan
kepemimpinan duniawi. Oleh karena itu, perekat persatuan orang-orang Arab
semata-mata ikatan Islam, bukan ikatan politik. Artinya masyarakat yang
dipimpin oleh Rasulullah itu adalah masyarakat agama, bukan masyarakat politik.
Alasan yang dikemukakan Raziq adalah yang dikehendaki Allah dengan Islam adalah
untuk mempersatukan umat manusia atas dasar ikatan keagamaan yang berlaku di
seluruh penjuru dunia ini.[54]
Raziq membenarkan bahwa Rasulullah memiliki kekuasaan, yaitu kekuasaan yang
bersifat umum. Oleh karena itu, perintahnya mesti ditaati kaum muslimin, dan
pemerintahannya bersifat menyeluruh. Muhammad Rasulullah memiliki kekuasaan
paling besar daripada rasul-rasul lain. Beliau lebih berhak untuk itu baik
kekuasaan risalah maupun kekuasaan menyampaikan dakwah yang diberikan oleh
Allah. Yaitu kepemimpinan dakwah kepada agama Allah untuk menyampaikan tugas
kerisalahannya. Kemudian kekuasaan Rasulullah atas kaumnya adalah kekuasaan
ruhaniah, sumbernya keimanan yang ada dalam hati. Kekuasaan yang membimbing
kepada agama Allah. Sedangkan kekuasaan seorang raja adalah bersifat fisik yang
berkaitan dengan pengaturan kemaslahatan manusia. Kekuasaan Rasul untuk agama,
sedangkan kekuasaan raja untuk urusan dunia.[55]
Pemerintahan Nabi Saw, menurut al-Raziq, hanya mengandung suatu nilai yang
menyerupai pemerintahan politik dan kekuasaan secara alami, hal ini terwujud
dalam kenyataannya bahwa Nabi Saw, adalah seorang ummi yang diutus untuk bangsa
yang ummi pula. Tentu saja segala langkah dan syariatnya didasarkan atas
prinsip ummi ini, serta muncul dari kepolosan insaniah yang sederhana.[56]
Menurut Raziq Nabi Muhammad Saw, adalah semata-mata seorang utusan (Allah)
untuk mendakwahkan agama murni tanpa maksud untuk mendirikan negara. Nabi tidak
mempunyai kekuasaan duniawi, negara ataupun pemerintahan. Nabi tidak mendirikan
kerajaan dalam arti politik atau sesuatu yang mirip dengan kerajaan. Dia adalah
Nabi semata seperti halnya para Nabi sebelumnya. Dia bukan raja, bukan pendiri
negara dan tidak pula mengajak ummat untuk mendirikan kerajaan duniawi.[57]
Lebih lanjut, Raziq mengatakan bahwa kalau ada kehidupan kemasyarakatan
yang dibebankan kepada dirinya maka itu bukan termasuk risalah atau tugas
nubuwwah. Karena itu setelah beliau wafat, tidak seorangpun yang dapat
menggantikan tugas risalah itu. Kalau pun Abu Bakar muncul, maka itu
kepemimpinan dalam bentuk baru yang bersifat duniawi (profane) atau
pemimpin politik yang bercorak kekuasaan dan pemerintahan.[58]
Sedangkan menurut Taha Husein,[59]
kejayaan dan kemakmuran dunia Islam dapat terwujud kembali bukan dengan jalan
kembali kepada ajaran Islam lama, dan juga bukan dengan mengadakan reformasi
atau pembaharuan ajaran, tetapi dengan perubahan-perubahan total berwatak
liberal dan sekular dengan mengacu kebarat. Sejak kemunculannya, Islam dan
negara memang selalu terpisah. Umat Islam sadar terhadap suatu prinsip yang
sekarang ini telah diakui secara universal bahwa sistem politik dan agama itu
dua hal yang terpisah, dan bahwa negara itu didasarkan atas landasan-landasan
praktis.[60]
Menurut Thaha Husein, supaya Mesir dan umat Islam umummnya dapat meraih
kemajuan, maka jalan satu-satunya adalah dengan meniru dan mengadopsi peradaban
Barat. Sedangkan Mushtafa Kemal berangkat lebih jauh dari dua tokoh ini. Dia
melakukan sekularisasi besar-besaran dengan meniru Barat dalam segala aspeknya
dan membuang warisan budaya Islam. Dia meninggalkan bahasa Arab sebagai bahasa
umat Islam, mengganti aksara Arab dengan aksara Latin, mengganti adzan dengan
bahasa Turki, mengadopsi hukum-hukum Barat dan menghapuskan lembaga-lembaga
keagamaan yang pernah ada di dunia Islam.[61]
Lutfi Sayyid[62] lebih
menekankan identitas nasional Mesir daripada Islam, dan pemisahan antara agama
dan politik, serta perlunya Mesir meniru secara selektif pola politik, ekonomi,
dan sosial Barat. Menurutnya, baik pan-islamisme maupun pan-arabisme tidak lagi
relevan dengan realitas dunia Islam pada zaman modern ini, yang pada
kenyataannya telah terbagi dalam banyak wilayah dan kebangsaan.[63]
Abdullah al-Na’im, intelektual Muslim Sudan yang terpaksa meninggalkan
Khartoun karena mengikuti ajaran Mahmoud Taha, teolog dan tokoh politik Sudan
yang mendukung pembauran politik serta liberalisasi keagamaan, yakin bahwa upaya
pembentukan suatu negara Islam telah ditakdirkan untuk gagal dan bahwa
sekularisme yang berakar pada kebebasan beragama, etika dan moralitas, serta
hak dan kewajiban merupakan sistem terbaik bagi Muslim di seluruh dunia.
Sekularisme model ini harus inklusif terhadap berbagai cara pandang berbeda dan
hanya bisa dibangun melalui dialog dan pertukaran dalam masyarakat sipil
global.[64]
Paradigma sekularistik ini dalam
praktek pemerintahan dikembangkan Mustafa Kemal yang ditetapkan sebagai
presiden Republik Turki pada tahun 1923. Mustafa Kemal menghapuskan sejumlah
lembaga organisasi Islam. Kesultanan Usmani dihapuskan pada tahun 1923,
sedangkan khilafah dihapuskan pada tahun 1924. Lembaga wakaf dan lembaga ulama
dikuasakan kepada kantor urusan agama. Pada tahun 1925 beberapa tarekat sufi
dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Pada tahun 1928 diberlakukan tulisan
latin menggantikan tulisan Arab, dan mulai dilancarkan upaya memurnikan bahasa
Turki dari muatan bahasa Arab dan Parsi. Pada tahun 1935 seluruh warga Turki
diharuskan menggunakan nama kecil sebagaimana yang berlaku dengan pola nama
Barat. Dalam rentangan abad ini diberlakukan kitab hukum keluarga yang
didasarkan pada kitab Swiss menggantikan hukum Syari’ah. Demikianlah,
simbol-simbol ketergantungan bangsa Turki terhadap kultur tradisional
digantikan dengan sistem hukum, kebahasaan, dan beberapa sistem identitas
modern lainnya.[65]
Melihat perkembangan Turki sebagaimana disebutkan di atas, Republik Turki
adalah negara sekuler. Meskipun begitu apa yang diciptakan Mustafa Kemal
belumlah negara yang betul-betul sekuler. Betul syari’at telah dihapus
pemakaiannya dan pendidikan agama dikeluarkan dari kurikulum sekolah, tetapi
Republik Turki Mustafa Kemal masih mengurus soal agama, melalui Departemen
Urusan Agama, sekolah-sekolah Pemerintah untuk imam dan khatib, dan Fakultas
Ilahiyat dari perguruan tinggi Negara, serta Universitas Istambul.[66]
Mustafa Kemal sebagai nasionalis dan pengagum peradaban Barat tidak
menentang agama Islam. Baginya Islam adalah agama yang rasional dan perlu bagi
umat manusia. Tetapi agama yang rasional ini telah dirusak oleh tangan manusia.
Oleh sebab itu, ia melihat perlunya diadakan pembaharuan dalam soal agama untuk
disesuaikan dengan bumi Turki. Al-Qur’an perlu diterjemahkan ke dalam bahasa
Turki, agar dapat dipahami rakyat Turki. Adzan dalam bahasa Turki dimulai
pemakaiannya di tahun 1931. Fakultas Ilahiyat dibentuk untuk mempelajari
pembaharuan yang diperlukan itu. Tetapi usaha itu kelihatannya tak berhasil,
dan pemikiran untuk mengadakan pembaharuan dalam Islam melalui pemerintahan
ditinggalkan.[67]
Sekularisasi yang dijalankan Mustafa Kemal tidak sampai menghilangkan
agama. Sekularisasi berpusat pada kekuasaan golongan ulama dalam soal negara
dan dalam soal politik. Oleh karena itu pembentukan partai yang berdasarkan
agama dilarang, seperti Partai Islam, Partai Kristen, dan sebagainya. Yang
terutama ditentangnya ialah ide negara Islam. Negara mesti dipisahkan dari
agama. Institusi-insitusi negara, sosial, ekonomi, hukum, politik, dan pendidikan
harus dibebaskan dari kekuasaan syari’at. Negara dalam pada itu, menjamin
kebebasan beragama bagi rakyat.[68]
c.
Paradigma Simbiotik
Di antara dua kutub di atas, pemikiran ketiga menyatakan bahwa Islam memang
tidak menyediakan sistem politik yang baku untuk diterapkan oleh umat Islam,
akan tetapi Islam juga tidak membiarkan umatnya tanpa pedoman dalam bernegara
dan mengatur pemerintahan. Islam hanya
memberikan seperangkat nilai saja yang mesti dikembangkan oleh umatnya sesuai
dengan tuntutan situasi, masa dan tempat serta permasalahan yang mereka hadapi.
Karenanya, Islam tidak melarang umatnya mengadopsi pemikiran-pemikiran dari
luar, termasuk dari Barat, sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Islam, umpamanya, tidak menolak pemikiran
tentang hak asasi manusia, pembatasan kekuasaan negara atau tentang
prinsip-prinsip demokrasi.[69]
Oleh karena itu, paham ini menolak klaim ekstrim bahwa Islam adalah agama
yang lengkap yang mengatur semua urusan termasuk politik, tetapi juga menolak
klaim ekstrim kedua yang melihat bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan
politik. Menurut tipologi ini, kendati Islam tidak menunjukkan preferensinya
pada sistem politik tertentu, tetapi dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral
atau etika bagi kehidupan bernegara, yang untuk pelaksanaannya Umat Islam bebas
memilih sistem manapun yang terbaik.[70]
Paham ini memahami bahwa agama dan negara adalah saling membutuhkan artinya
memiliki hubungan timbal balik, perbedaannya dengan aliran integralistik adalah
bahwa agama dan negara suatu etnisitas yang berbeda, namun saling membutuhkan,
bukannya menyatu seperti yang dimaksud pada paham integralistik. Pemikiran ini
di anut kalangan-kalangan ulama Islam yakni Ibnu Taimiyah, Jamaludin
Al-Afghani, Muhammad Abduh, Yusuf Al-Qardawi dan lain-lain.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan
manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan
negara, maka agama tidak bisa tegak. Pendapat beliau meligitimasikan agama dan
negara merupakan dua etensitas yang berbeda, tetapi saling mebutuhkan. Oleh
karenannya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak hanya berasal
dari adanya social contect, tetapi bisa saja diwarnai dengan
hukum agama.
Jamaludin Al-Afghani[71]
dalam membahas ketatanegaraan lebih menghendaki pemerintahan republik dimana
pemikiran beliau lebih dipengaruhi pemikiran barat, namun hal ini menurut
beliau cukup ideal diterapkan pada pemerintahan, sebab di dalamnya terdapat
kebebasan berpendapat dan kepala negara harus tunduk kepada undang-undang
dasar, tetapi tidak lepas dari pemahaman beliau terhadap prinsip-prinsip ajaran
Islam.
Kepala negara dalam sistem ini hanya berkuasa untuk menjalankan
undang-undang dan hukum, hasil yang dirumuskan oleh lembaga legislatif untuk
memajukan kesejahteraan umum. Agaknya, pemikiran Al-Afghani ini merupakan
sintesis antara pemerintahan Barat dan prinsip-prinsip ajaran Islam yang
berkaitan dengan kemasyarakatan dan kenegaraan. Dengan demikian, Afghani
menghendaki reformasi dan pembaruan politik Islam dengan mengganti bentuk
khilafah menjadi republik. Pemikiran ini memang berbeda dengan pemikiran umat
Islam pada saat itu yang hanya mengenal bentuk khilafah yang mempunyai
kekuasaan absolut.[72]
Selanjutnya pemikiran Al-Afghani dilanjutkan oleh muridnya yakni Muhammad
Abduh.[73]
Abduh tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan. Jika sistem khalifah masih
tetap menjadi pilihan sebagai model pemerintahan, maka bentuk demikianpun harus
sesuai perkembangan masyarakat dalam kehidupan materi dan kebebasan berpikir,
menurutnya lebih jelas lagi bahwa Islam tidak menentukan bentuk pemerintahan.[74]
Pemerintah dan rakyat mempunyai hak dan kewajiban yang sama memelihara
dasar-dasar agama, dan menafsirkannya selama ia berkaitan dengan masalah
keduniaan. Produk dari pemahaman ini tidak bertentangan dengan salah satu pokok
agama. Dalam kepala negara mereka adalah bentuk pemerintahan. Artinya merekalah
menentukan bagaimana bentuk pemerintahan yang mereka kehendaki.[75]
Namun demikian tidak berarti Muhammad Abduh memisahkan antara urusan agama dan
negara secara mutlak, namun menurutnya Islam menetapkan hak-hak dan kewajiban
kepada rakyat dan pemerintah, dan pemerintah wajib menegakkan keadilan yang
dituntut oleh agama dan rakyat.
Abduh tidak memperdulikan bentuk pemerintahan, karena Islam tidak
menetapkan bentuk pemerintahan. Menurut dia, jika sistem khilafah masih tetap
menjadi pilihan sebagai model pemerintahan, maka bentuk ini harus bersifat
dinamis yakni mengikuti perkembangan masyarakat dalam kehidupan materi dan
kebebasan berpikir. Akibatnya, ia mampu mengantisipasi dinamika zaman.
Pemikiran demikian tampaknya sebagai implikasi dari konsep teologis tentang
manusia yang menganggap bahwa manusia memiliki kehendak bebas dalam memilih dan
berbuat.[76]
Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi pemikiran politik Abduh di
atas, yaitu terlihat oleh Abduh adanya kejumudan pada umat Islam sebagai akibat
dari pemerintahan sewenang-wenang, absolut.[77]
Lagi pula pemahaman Abduh tentang Islam tampak mewarnainya. Bagi Abduh, syariat
itu mempunyai pengertian sempit dan luas. Islam oleh Abduh dianggap memiliki
unsur dinamis yang dapat disesuaikan dengan dinamika zaman lewat jalan ijtihad.[78]
Pandangan ini juga di anut oleh Haykal murid Abduh. Pandangan Haykal antara
lain terlihat dalam bukunya berjudul al-Hukamah al-Islamiyah.
Menurutnya, Islam hanya meletakkan prinsip-prinsip bagi peradaban manusia,
termasuk masalah kenegaraan. Karenanya, Islam tidak punya sistem pemerintahan
yang baku. Umat Islam bebas menganut sistem pemerintahan yang bagaimana, sesuai
dengan kondisi masyarakat yang berkembang, asalkan tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip yang digariskan Islam.[79]
Para pemikir politik Islam kontemporer di Indonesia yang diwakili antara
lain oleh Nurcholish Madjid, Amien Rais, dan Abdurrahman Wahid, secara umum
mereka berpendapat bahwa tidak ada konsep tentang negara Islam. Dan, mereka
juga sepakat untuk menerapkan secara maksimal nilai moral etis al-Qur’an dalam
mengembangkan sistem sosial dan politik yang lebih egaliter, demokratis, adil,
dan manusiawi.[80]
BAB III
DAKWAH, BUDAYA , DAN
POLITIK: MEMBANGUN MANUSIA PADA ERA GLOBAL
A. Pendekatan Budaya Sebuah Konsep Membangun Manusia pada Era Global
Di satu sisi agama adalah sumber nilai budaya, di sisi lain agama juga
kebudayaan. Ketika masih berada di langit, konsep agama Islam pastilah sempurna
karena ia dari Tuhan Yang Maha sempurna. Tetapi ketika membumi dan pemikiran
manusia terlibat, maka agama Islam pun memiliki dimensi budaya. Jika pada
dasarnya memiliki tingkat kebenaran mutlak sesuai dengan karakteristik
pemikiran manusia. Para ulama pun tidak mengklaim kebenaran mutlak pendapatnya
dengan kalimat, wallâhu a’lamu bi as-shawab (hanya Allah yang lebih
mengetahui mana yang benar).[81]
Berbagai produk kebudayaan sebagaimana tersebut di atas selanjutnya
digunakan untuk memahami agama Islam, sehingga pemahaman ke-Islaman tersebut
dipengaruhi oleh paham atau konsep kebudayaan tersebut. Pemahaman ke-Islaman
yang didasarkan atau dipengaruhi oleh pandangan kebudayaan yang demikian itulah
yang selanjutnya dapat dikatakan sebagai Kebudayaan Islam.[82]
Diketahui bersama, bahwa dalam agama Islam antara agama dan kebudayaan
sungguhpun sumbernya berbeda, tetapi saling mempengaruhi. Diketahui bahwa Islam
adalah bersumber pada wahyu yakni al-Qur’an yang turun dari langit Allah SWT
dan al-Hadits yang merupakan penjabaran dari al-Qur’an. Dan sebagai agama,
Islam adalah sesuatu yang datang dari Tuhan untuk menjadi pedoman bagi manusia
dalam mencapai kesejahteraan duniawi dan kebahagiaan ukhrawi. Sedangkan
kebudayaan ialah semua produk aktivitas intelektual manusia untuk memperoleh
kesejahteraan dan kebahagiaan hidup duniawi.[83]
Namun demikian walaupun antara agama (Islam) dan kebudayaan memiliki
identitas sendiri-sendiri, namun antara keduanya bertaut berjalin berkelindan
dan saling mempengaruhi. Corak dan warna kebudayaan dipengaruhi oleh agama dan
sebaliknya pemahaman agama dipengaruhi pula oleh tingkat kebudayaan. Hal ini sejalan
dengan pendapat Erich Fromm (1956) yang mengatakan tidak ada kebudayaan yang
tidak berakar pada agama.[84]
Terjalin dan berakarnya agama dengan kebudayaan, khususnya di Indonesia,
terlihat pada hasil penelitian Geertz (1956) di salah satu kota kecil
di Jawa Tengah. Dia menemukan bahwa Islam telah menjadi
kebudayaan yang ideal dalam masyarakat Indonesia, khususnya di pedesaan.
Penemuan Geertz didukung oleh pengamatan Van de Kroef (1959). Penglihatan
Geertz dan Kroef diperkuat oleh S. Soebardi dan Woodcraff-Lee (1982) yang
berpendapat bahwa setiap upaya memahami watak masyarakat Indonesia masa kini
dan warisan kebudayaannya tidak bisa meninggalkan penelaahan peran Islam, baik
sebagai agama maupun sebagai kekuatan sosial politik.[85]
Dengan memperhatikan hubungan antara agama dan kebudayaan tersebut di atas,
maka munculnya kebudayaan Islam dalam arti Islam yang dipahami melalui
pendekatan kebudayaan atau Islam yang dipengaruhi oleh paham atau konsep
kebudayaan sangat dimungkinkan. Dengan kata lain secara teoritis munculnya kebudayaan Islam
memiliki landasan yang jelas bahkan kuat sekali.[86]
Munculnya kebudayaan Islam agak mudah dimengerti apabila
kita memperhatikan ruang lingkup ajaran Islam yang tidak hanya mencakup masalah
keagamaan seperti teologi, ibadah dan akhlak, melainkan juga mencakup masalah
keduniaan seperti masalah prekonomian, pertahanan keamanan, ilmu pengetahuan,
teknologi, politik, keluarga, mode dan gaya pakaian, mode dan gaya arsitektur
rumah, masalah sosial dan lain sebagainya. Jika pada aspek keagamaan peran
Allah dan Rasul-Nya hanya menetapkan prinsip-prinsip etikanya
saja, sedangkan tata cara dan ekspresinya terserah kepada
manusia. Dalam situasi yang demikian itulah, maka kebudayaan mengambil peran
dan memberi pengaruh yang besar terhadap agama. Yaitu jika agama hanya
menentukan tentang prinsip-prinsip etika berharap hal-hal yang bersifat
duniawi, maka kebudayaan memberikan bentuk ekspresi tentang model keduniawian
yang sejalan dengan nilai-nilai Islami. Berbagai produk kebudayaan yang
didasarkan pada nilai-nilai Islami inilah yang selanjutnya disebut peradaban.[87]
Dengan demikian dapat dibedakan antara kebudayaan dan peradaban
Islam. Kebudayaan adalah produk
hasil kreativitas manusia yang bersifat netral, sedangkan peradaban adalah
produk hasil kreativitas manusia yang sudah didasarkan pada nilai-nilai Islami.
Berdasarkan pada pengertian ini, maka kebudayaan Islam memiliki kedekatan makna
dengan peradaban.
Kebudayaan Islam tidak mempermasalahkan bentuk atau simbol
dari suatu pengamalan agama, tetapi yang lebih penting tujuan dan misi dari
pengamalan tersebut. Dalam hubungan ini kita menjumpai ajaran tentang zikir
atau mengingat kepada Allah. bentuk dari zikir ini terkadang mewujud dalam
menyebut nama Allah sekian ratus kali dengan menggunakan alat semacam tasbih,
ada yang menggunakan batu, ada yang dengan memasang tulisan kaligrafi pada
dinding rumah dan lain sebagainya. Demikian pula ajaran Islam tentang doa ada
yang mengambil bentuk berdoa sendiri-sendiri, berdoa bersama-sama, dilakukan di
tempat yang berbeda-beda, atau dengan memasang benda-benda tertentu,
seperti seorang ibu yang mengikatkan seutas tali atau
benang pada lengan bayinya. Berbagai bentuk atau ekspresi dari pengalaman agama
tersebut menurut pandangan budaya Islam tidak menjadi masalah, karena tujuan
dari semua bentuk perbuatan tersebut adalah sama, yaitu mengingat dan memohon
keberkahan dan rahmat dari Tuhan.[88]
Selanjutnya budaya Islam juga tampil
sebagai Islam yang lebih dapat beradaptasi dengan lingkungan sosialnya, di mana Islam tersebut
dipraktekkan. Dalam hubungan ini, budaya Islam menghargai adanya keanekaragaman
(pluralitas)
prilaku keagamaan. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa sumber ajaran Islam
yang dianut oleh setiap orang Islam adalah sama, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah.
Sedangkan bentuk pemahaman, penghayatan, dan pengamalannya berbeda-beda. Hal
yang demikian mudah dimengerti, karena pada saat ajaran Islam tersebut
dipahami, dihayati dan diamalkan oleh seseorang sangat dipengaruhi oleh latar
belakang pendidikan, kecendrungan, bakat, lingkungan keluarga, kebudayaan,
pengalaman, dan lain sebagainya dari yang bersangkutan. Dengan cara demikian
hasil dari pemahaman, penghayatan, dan pengamalan tersebut berbeda-beda. Mereka
mendapatkan manfaat dari agama sesuai dengan tingkat kesanggupan.
Dengan pandangan yang demikian, maka seseorang yang menganut paham budaya
Islam akan mengakui eksistensi dari pemahaman Islam orang yang beraneka ragam
coraknya, tanpa memandang yang satu lebih hebat dari yang lain. Sikap yang
demikian diambil berdasarkan pandangan bahwa berbagai bentuk pemahaman,
penghayatan, dan pengamalan tentang Islam yang dipengaruhi oleh berbagai faktor tersebut pada hakikatnya merupakan hasil ijtihad.
Oleh karena semua itu hasil ijtihad maka bisa terjadi kemungkinan salah, dan
kemungkinan benar. Dan jika demikian keadaannya, maka tidak ada yang boleh
mengklaim bahwa ijtihadnya sajalah yang benar.
Pandangan Islam yang bersifat budaya sebagaimana
disebutkan di atas mendapat reaksi dan tantangan dari pandangan Islam
fundamentalis tekstualis, yaitu pandangan yang melihat bahwa keislaman yang
dipraktekkan dalam kenyataan sehari-hari harus sesuai dengan al-Qur’an dan
al-Sunnah. Namun kenyataan menunjukkan bahwa al-Qur’an dan al-Sunnah bukanlah
kitab fikih. Pada kedua sumber tersebut tidak dijumpai petunjuk atau bentuk
praktek dari apa yang harus diamalkan itu. Dalam bidang akidah, akhlak, dan
ibadah al-Qur’an dan al-Sunnah memiliki intevensi yang amat kuat. Namun perlu
diingat bahwa dalam soal akidahpun timbul paham yang amat beragam. Demikian
pula dalam bidang akhlak juga amat bervariasi. Dari contoh-contoh yang demikian
itu terlihat sekali betapa kebudayaan memiliki pengaruh yang amat dominan.
Namun demikian budaya Islam tidak
identik dengan sinkretisme. Pada sikretisme yang terjadi adalah perpaduan dari beberapa unsur
agama (seperti Islam, Hindu, Budha, dan sebagainya) lalu diolah menjadi bentuk
agama baru. Sedangkan pada Islam budaya sebagaimana disebutkan di atas, titik
tolak atau home base-nya adalah Islam sebagaimana terdapat dalam
al-Qur’an dan Hadits, namun dalam pemahaman, penghayatan, dan praktiknya
dipengaruhi oleh latar belakang budaya dari orang yang memahaminya.
Budaya Islam yang demikian itu tetap menjunjung tinggi
nilai-nilai universal yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Namun
nilai-nilai universal tersebut ketika dihayati, dipahami, dan diamalkan tidak
universal lagi, karena sudah dipengaruhi oleh pemikiran manusia. Paham yang
demikian akan membantu kita untuk membedakan mana yang universal dan mana yang
tidak universal. Yang universal ada dalam al-Qur’an dan al-Sunnah yang
mutawatir, sedangkan yang tidak universal ada dalam pemahaman umatnya, termasuk
yang terdapat dalam paham yang dikemukakan para ulama. Oleh sebab itu, jika yang universal berlaku sepanjang zaman, mutlak
benar dan tidak dapat diubah, maka yang tidak universal tidak dapat berlaku
sepanjang zaman, bisa terjadi kekeliruan dan dapat dirubah.
Mengingat perubahan pola pikir manusia era
globalisasi dan semakin transfarannya sekat-sekat agama dan budaya, menurut
hemat penulis, sudah tiba saatnya umat beragama mengembangkan dan memekarkan
dua bentuk pendekatana dan pemahaman terhadap keberamaan manusia yaitu
pendekatan yang bersifat imani (believer)
dan sekaligus pendekatan historis atau scientific.[89]
M.
Arkoun menyebutkan kedua pendekatan ini dengan istilah pendekatan taqlidiyyah-taifiyyah dan pendekatan tarikhiyyah-‘ilmiyah.[90]
Pendekatan taqlidiyyah-taifiyyah
lebih bersifat apriori, sarat dengan truth
claim sehingga bercorak eksklusif dan lebih menekankan finalitas dan
pemutlakan suatu ajaran agama. Sedangkan pendekatan tarikhiyyah-‘ilmiyyah lebih bersifat aposteriori, empiris, dan open ended, dialogis toleran tanpa
meninggalkan normativitas ajaran agama yang dipeluknya sendiri.
Untuk era globalisasi budaya seperti saat sekarang
ini, pendekatan keagamaan yang hanya terbatas pada dimensi “keimanan” tanpa
melibatkan dialog pemikiran yang bersifat historis, terbuka, egaliter, dan
demokratis, agaknya akan membentuk pola pikir yang bersifat eksklusif, yang
hanya berlaku dalam wilayah lingkungan intern yang amat terbatas. Pola pikir
yang bersifat partikularistik demikian akan mengalami kesulitan jika berhadapan
dengan wilayah atau masyarakat di luar lingkungan sendiri. Pola pikir demikian
kurang dapat mengapresiasi golongan lain di luar wilayah intern mereka.[91]
Sebaliknya, pendekatan keagamaan yang melulu
bersifat scientific-ilmiyyah, juga
bukannya tidak mengandung resiko. Pendekatan ilmiah yang hanya melihat agama
sebagai fenomena sosial belaka kurang dapat menghayati dimensi kedalaman
penghayatan agama yang dimiliki oleh setiap manusia beragama. Pendekatan ilmiah
terhadap fenomena sosial yang tidak memedulikan dimensi keagamaan (al-bu’du al-dini) memang akan kering
dari nilai-nilai spiritualitas.[92]
B. Pendekatan Politik Sebuah Konsep Membangun Manusia pada Era Global
Di kalangan masyarakat Islam pada umumnya kurang melihat hubungan masalah
politik dengan agama. Hal ini antara lain disebabkan karena pemahaman yang
kurang utuh terhadap cakupan ajaran Islam itu sendiri. Kuntowijoyo misalnya
mengatakan, “Banyak orang, bahkan pemeluk Islam sendiri, tidak sadar bahwa
Islam bukan hanya agama, tetapi juga sebuah komunitas (umat) tersendiri
yang mempunyai pemahaman, kepentingan dan tujuan-tujuan politik sendiri. Banyak
orang beragama Islam, tetapi hanya menganggap Islam adalah agama individual,
dan lupa kalau Islam juga merupakan kolektivitas. Sebagai kolektivitas, Islam
mempunyai kesadaran, sktruktur, dan mampu melakukan aksi bersama.[93]
Namun sebagian kalangan mempunyai
konsep yang rancu terhadap penyebaran Islam. Misalnya saja ada yang berpendapat
bahwa Islam disebarkan dengan pedang, melalui jihad yang diartikan sebagai
“perang suci” atau perang penyebaran agama. Sebenarnya, untuk mengerti istilah
jihad itu tak bisa tidak seseorang harus lebih dahulu memahami transisi situasi
sosial masyarakat Arab yang kebanyakannya hidup secara nomaden dalam biasa
melakukan semacam razzia terhadap kabilah-kabilah bangsa Arab lain yang
bermusuhan atau tidak mempunyai hubungan dengan suatu kabilah tertentu.[94]
Semua itu dilakukan tidak lain dalam kerangka strategi untuk menggalang
kekuatan tanpa harus membuat jatuhnya korban. Inilah sebenarnya dilakukan Nabi
ketika memasuki Mekkah tanpa menimbulkan korban jiwa manusia. Karena itu,
istilah jihad lebih proporsional diterjemahkan sebagai “berusaha keras” atau “memperluas usaha”.
Konsep jihad seperti inilah yang kemudian juga diteruskan pada masa al-khulafa
al-rasyidun. Tetapi dalam perkembangan lebih lanjut, kata jihad mulai
semakin bergeser dari arti aslinya, ketika kepentingan-kepentingan kebendaan-
semacam harta rampasan perang dan politik mulai muncul di sebagian kalangan
umat Islam. Ketika tingkat kepentingan politik itu semakin tinggi, tatkala itu pulalah
tercipta konflik politik yang kian tajam pula di antara umat Islam yang kemudian
memunculkan berbagai aliran teologi Islam.[95]
Dalam perkembangan selanjutnya, di antara sebagian Negara-negara Muslim
terdapat konflik, perlombaan senjata dan bahkan peperangan. Kenyataan ini
menimbulkan kesan terdapatnya kontradiksi dengan esensi ajaran Islam yang cinta
damai itu. Sebelum kita terlanjur menjatuhkan vonis bahwa ajaran Islam tidak
fungsional bagi sementara pemeluknya, ada baiknya melihat pertentangan dan
konflik di antara Negara-negara Muslim tertentu tidak terlepas dari suatu
struktur kekerasan di muka bumi. Gelombang ketegangan dan perlombaan
persenjataan melibatkan dinamika sangat kompleks, menyangkut berbagai aspek
yang muncul sebagai implikasi dari struktur kekerasan itu.
Dalam kekerasan politik yang mendunia saat ini, kelihatan betapa lemahnya
posisi Negara-negara Islam vis-Ã -vis Negara-negara kuat pendukung struktur tersebut. Konflik dan
ketegangan yang terjadi di antara sementara Negara Islam dalam banyak hal
merupakan imbas dari hawa nafsu yang dipancarkan Negara-negara kuat. Agaknya
tidak ada alternatif lain bagi Negara-negara Islam kecuali merapatkan barisan utnuk sedapat
mungkin membendung pengaruh kekuatan-kekuatan eksternal. Jika tidak,
Negara-negara Islam hanya akan menjadi korban kontinyu dari kekerasan struktural tersebut. Di sini baru timbul pertanyaan; cukup
berarti dan fungsionalkah ajaran Islam tentang persatuan dan perdamaian di
kalangan Islam sendiri.
Oleh karena itu, sudah saatnya bagi umat Islam dunia untuk memainkan
peranan penting dalam dunia global. Dengan memanfaatkan organisasi-organisasi
keislaman yang sudah ada misalnya, memaksimalkan perananan dan fungsi OKI dan
lain-lain. Dengan begitu, umat Islam mempunyai wadah atau tempat untuk
menggalang kekuatan dalam merespon dan menjawab tantangan dunia global saat
ini.
Semua agama mengajarkan kepada para pemeluknya untuk hidup dalam kedamaian,
keselamatan, dan kesejahteraan baik di dalam dunia maupun di akhirat. Bahkan
agama muncul, baik secara teologis guna menyantuni dan menyelamatkan anak
manusia, menunjukkan jalan-jalan kedamaian dan keselamatan, menghilangkan
ketidakpastian dan mendatangkan ketentraman, mengajarkan kasih sayang di antara
sesama manusia, makhluk lain, dan lingkungan hidupnya, menyucikan diri dari
perbuatan-perbuatan buruk, tercela atau merusak dan sebagainya.
C. Pemanfaatan Media
Cetak dan Elektronik pada Era Global Sebagai upaya untuk Meningkatkan kualitas Budaya
dan Politik Islam
Globalisasi dipahami sebagai berasal dari asal kata globe, yang berarti bola bumi. Istilah ini digunakan karena
akselerasi penyebaran informasi yang luar biasa. Dalam waktu sekejap saja,
melalui fasilitas teknologi komunikasi yang teramat canggih, arus informasi
dari satu belahan bumi bisa menyebar secara merata ke seluruh bola bumi. Karena
kenyataan inilah kita lalu seolah-olah menjadi bagian dari istilah-istilah itu.[96]
Disadari atau tidak, bersamaan dengan derasnya arus globalisasi yang tak
bisa dikendalikan itu, kemajuan-kemajuan tersebut secara meyakinkan mengubah
dan mengarahkan kebudayaan kita dan bahkan melebihi angan-angan kita. Kemajuan
teknologi beserta dampaknya telah menguasai hampir seluruh masyarakat dunia.
Karena itulah, barangkali, lalu Lucian W. Pye menetapkan bahwa modernitas
adalah budaya dunia.[97]
Kemajuan ilmu pengetahuan yang dibarengi terbukanya wawasan dan pola pikir
baru punya dampak psikologis mendalam terhadap kehidupan manusia. Manusia yang
hidup dalam era teknologi dituntut berpikir universal dan substansial. Namun
saat yang sama, mereka juga dituntut bertindak secara lokal, terikat batas-batas weltanschauung yang
terbentuk oleh faktor sejarah, geografi, bahasa, agama, dan kultur yang bersifat partikular, primordial, dan tradisional.[98]
Perpaduan dan pertimbangan antara dua cara pikir dan tindakan tersebut
tidak dapat dikesampingkan dalam kehidupan pribadi dan sosial kontemporer. Pola
pikir global, universal, substansial tanpa memperhatikan faktor budaya lokal akan membawa orang teralienasi dari lingkungannya.
Sebaliknya terjerat pola pikir budaya lokal tanpa perduli pengaruh budaya global, juga menyebabkan
kepribadian terpecah (split personality),
sebab terhimpit dua tuntutan berpikir dan bertindak.[99]
Teknologi modern tidak hanya merubah wajah kehidupan baik secara pribadi
maupun sosial. Untuk memenuhi kebutuhan psikis material dapat diperoleh dengan
cara membeli atau mentransfer teknologi. Oleh karena itu, penting bagi umat Islam pada era global ini untuk memanfaatkan
media-media cetak, elektronik, dan internet untuk kemajuan dan perkembangan
budaya dan politik Islam. Media-media tersebut di antaranya;
koran, majalah, buletin, televisi, radio, internet, dan
pemaanfaatan media
jejaring sosial.
Pengaruh globalisasi terhadap agama, setidaknya dapat dilihat dari
munculnya dua respons agama yang tampaknya berlawanan. Agama-agama bisa saja
merambah dunia global atau malah menentangnya. Yang pertama, jalan
universalisme: pandangan kultural yang menegaskan, kita semua ada dalam
kebersamaan dan kita lebih baik belajar satu sama lain sehingga dapat menjalin
kerja sama. Hal ini dapat melibatkan ragam kultural yang akhirnya mengantar
umat beragama pada kesatuan kemanusiaan sebagai satu keluarga.[100] Namun,
bisa juga muncul kecenderungan sebaliknya. Ideologi-ideologi agama atau
quasi-agama bisa merespons konteks global baru dengan mengasingkan diri (‘uzlah)
sembari menekankan keberbedaan.
Kalangan umat beragama perlu lebih mendalami semangat etis dan paradigma
perubahan yang menjadi tuntutan zaman. Dengan semangat itu kita bisa menjawab
tantangan globalisasi, seperti hilangnya batas-batas atau sekat-sekat etnik,
golongan, bahkan negara. Kita harus membuang jauh konsepsi agama yang sempit
dan eksklusif yang cenderung membatasi kebajikan sebagai milik "kita"
saja, dan "mereka" tak punya. Pendekatan eksklusif tidak akan mampu
mentransendenkan batas-batas keagamaan seseorang.[101]
Beberapa aspek globalisasi, seperti dikemukakan di atas, mungkin dapat
membuat umat beragama lebih mudah menyampaikan pesan-pesan agama secara lebih
luas dan universal. Dengan jangkauan media yang worldwide kita memiliki kesempatan membentangkan esensi agama
sehingga dapat mewarnai etika perdagangan dunia. Kini masyarakat dunia telah
menjadi lebih multi-religius, tidak lagi eksklusif.[102]
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut, budaya dan politik Islam pada dasarnya
merupakan respon Islam terhadap berbagai masalah kebudayaan dan politik yang ada di masyarakat
Islam. Respon tersebut dalam
perjalanannya terjadi saling mempengaruhi dan tarik-menarik. Dari satu segi
dimensi budaya dan politik lebih dominan, sedangkan pada sisi lain yang terjadi
sebaliknya.
Dakwah dengan pendekatan budaya dan politik Islam dengan segala kekurangan
dan kelebihannya perlu mendapat perhatian serius dari semua kalangan umat
Islam. Sebab melalui pemahaman Islam yang demikian itu, berbagai produk kebudayaan
dan politik yang ada di masyarakat dapat disatukan dalam naungan nilai-nilai
Islam, dan pada gilirannya dapat memberi rahmat bagi kehidupan manusia. Lebih
dari itu, melalui pendekatan ini dialog umat Islam di dunia global akan
terjalin harmonis dan dapat bekerjasama membangun dunia, karena stressing point-nya
bukan terletak pada bentuk dan simbol, melainkan pada substansinya.
B. Saran-Saran
Sudah tiba saatnya, umat Islam perlu mengembangkan
ICT (information communication technology) berbasis budaya dan politik Islam.
Sehingga cita-cita luhur Islam sebagai agama rahmatan alamȋn dapat terwujud di dunia global. Sebab penyebaran
informasi pada era globalisasi semakin terbuka dan dapat di akses masyarakat
dari belahan dunia manapun, termasuk informasi mengenai dakwah, budaya, dan
politik yang berkembang di masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, Studi Agama: Normalitas atau Historisitas,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Ahmad, Abd. Al-‘Athi Muhammad, al-Fikr
al-Siyasi Li al-Imam Muhammad Abduh, Mesir: al-Maiat al-Mishriyyat
al-‘Ammat li al-Kitab, 1978.
Alawiyah, Tutty AS, “Paradigma
Baru Dakwah Islam: Pemberdayaan Sosio-Kultural Mad’u”, Dakwah; Jurnal
Kajian Dakwah dan Kemasyarakatan, Vol. III, No. 2, Jakarta: Fakultas Dakwah
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001.
Alfian, Tranformasi Sosial
Budaya dalam Pembangunan Nasional, Jakarta: UI. Press, 1986.
Azra, Azyumardi, Islam
Substantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih, Bandung: Mizan, Cet. 1, 2000.
-------, Pergolakan Politik
Islam: dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernimse, Jakarta:
Paramadina, 1996.
Dewan Editor, Ensiklopedi Islam, Vol. 2, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. III, 1994.
Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan
Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta:
Paramadina, Cet. 1, 1998.
Geun, Ali An Sun, Islam Damai di Negeri Asia Timur Jauh:
Meneropong Penyebaran dan Dinamika Islam di Korea, Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2011.
Grunebaum, Gustave E. Von, (editor), Unity
and Variety in Muslim Civilization, Chicago: The University of Chicago
Press, 1955.
Hasbullah, Islam dan
Transformasi Kebudayaan Melayu di Kerajaan Siak, Riau: Yayasan Pusaka Riau,
2007.
Hitti, Philip K., History of The Arab, London: Macmillan Press, 1970.
Ilyas, Yunahar, “Globalisasi
dan Tantangan Dakwah”, Tulisan ini pernah disampaikan pada diskusi publik Sciences,
Yogyakarta, 19 April 2004.
Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin
Politik Islam,
Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. 1, 2001.
Ismail, A. Ilyas, dan Prio Hotman. Filsafat Dakwah: Rekayasa
Membangun Agama dan Peradaban Islam, Jakarta: Prenada Media Group, Cet. 1,
2011.
John J. Donohue dan John L.
Esposito, Islam in Transition: Muslim Perspectives, Penerjemah Machnun
Husein, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. 4, 1994.
Koentjaraningrat, Kebudayaan,
Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, 1985.
---------,
Pengantar Antropologi I, Jakarta: PT Rineka Cipta, Cet. I, 1996.
Kroeber, A. L., Anthropology
Today, New York: Harcourt, Brace and Company, 1948.
Kuntowijoyo, Identitas
Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997.
Linton, Ralph,
The Studi of Man; Antropologi Suatu Penyelidikan Tentang Manusia, Bandung:
Jemmars, 1984
Malinowski, Dinamik Bagi
Perubahan Budaya, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1999.
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh
Madhhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: PT Lkis Pelangi Aksara, 2001.
Maududi, Abul A’la, Tafhim
al-Qur’an, Vol. 2 Lahor: tp, 1951.
Maurice Duverger, Sosiologi
Politik, terj. Daniel Dhakidae, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. VI.
1998.
Mubarok, Achmad, Otobiografi dan Percikan Pemikiran Budaya,
Jakarta: Mubarok Institute, 2009.
----------,
Psikologi
Dakwah, Jakarta: Pustaka
Firdaus, Cet. II, 2001.
Mulkhan, Abdul Munir, “Agama
dalam Dialog Budaya,” Atas Nama Agama: Dialog Bebas Konflik, Bandung:
Pustaka Hidayah, 1998.
Munawwir, Ahmad Warsono, al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia,
Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984.
Munawir Sjadzali, Islam dan
Tata Negara, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1990.
Nasution, Harun, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya Jilid I, Jakarta: UI Press, Cet. IV, 1984.
Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan
Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. XI, 1986.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, Cet. IX, 2004.
---------, Peta Keragaman
Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001.
Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram
Peradaban Muslim, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Pulungan, Suyuthi, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: PT Raja
Grafindo, Cet. I, 1994.
Rahman, Fazlur, Islam, Jakarta: Bumi
Aksara, 1992.
Rahmat, M. Imdadun, Ideologi politik PKS; dari Masjid Kampus ke
Gedung Parlemen, Yogyakarta: PT LkiS Pelangi Aksara, 2008.
Raziq, Ali Abd, Al-Islam wa Ushul al-Hukm, Cairo:
tp, Cet. 3, 1925.
Sjadzali, Munawir, Islam dan
Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan pemikirannya Jakarta: UI Press, Cet. V,
1993.
Soebardi, S. dan Woodcraff-Lee, Islam in Indonesia, Raphael
Israeli (ed), The Crescent in the East: Islam Asia Major, London: Curzon
Press, 1982.
Sukayat, Tata, Internalisasi Nilai Agama Melalui
Kebijakan Publik: Dakwah Struktural Bandung Agamis, Bandung: CV. Rieksa
Utama Jaya, Cet. 1, 2011
Watt, W. Montgomery, Muhammad Prophet and Statesman, London: Oxford University Press, 1965.
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus
Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Cet. XII, 1991.
[1]Abdul
Munir Mulkhan, “Agama dalam Dialog Budaya,” Atas Nama Agama: Dialog Bebas
Konflik, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), h. 279.
[2]
Yunahar Ilyas, “Globalisasi dan Tantangan
Dakwah”, Tulisan ini pernah disampaikan
pada diskusi publik Sciences, Yogyakarta, 19 April 2004
[3]M.
Imdadun, Rahmat. Ideologi politik PKS; dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen,
(Yogyakarta: PT LkiS Pelangi Aksara, 2008), h. 54.
[4]Tata
Sukayat. Internalisasi Nilai Agama
Melalui Kebijakan Publik: Dakwah Struktural Bandung Agamis, (Bandung: CV.
Rieksa Utama Jaya, Cet. 1, 2011), h. 150.
[5]Ahmad
Warsono Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab
Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984), h. 407.
[6]A.
Ilyas Ismail , dan Prio Hotman. Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama
dan Peradaban Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, Cet. 1, 2011), h.
27.
[7]Tutty
Alawiyah AS, “Paradigma Baru Dakwah
Islam: Pemberdayaan Sosio-Kultural Mad’u”, Dakwah; Jurnal Kajian Dakwah dan
Kemasyarakatan, Vol. III, No. 2, (Jakarta: Fakultas Dakwah IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2001), h. 1.
[9]Achmad
Mubarok, Otobiografi dan Percikan Pemikiran Budaya, (Jakarta: Mubarok
Institute, 2009), h. 136.
[10]Koentjaraningrat,
Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1985), h. 5.
[11]Nourouzzaman
Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996), h. 258.
[12]Abuddin
Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2001), h. 173-174.
[13]Sumbangan difusi kepada kemajuan umat manusia ada dua
macam. Pertama, mendorong kebudayaan sebagai keseluruhan. Kedua,
memperkaya isi masing-masing kebudayaan sehingga dapat mendorong maju dengan
pesat masyarakat-masyarakat yang mendukungnya. Kebudayaan sebagai keseluruhan
dapat dipercepat perkembangannya karena masing-masing masyarakat tidak perlu
setidak kali mewujudkan penemuan sendiri. Lihat, Linton, Ralph, The Studi of
Man; Antropologi Suatu Penyelidikan Tentang Manusia, (Bandung: Jemmars,
1984), h. 255.
[14]Malinowski,
Dinamik Bagi Perubahan Budaya, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka),
h. 27.
[15]Koentjaraningrat,
Pengantar Antropologi I, (Jakarta: PT Rineka Cipta, Cet. I, 1996), h.
152.
[16]Konsep
ini kadang-kadang digunakan dalam arti lain, yakni bahwa unsur kebudayaan yang
dibawa ke dalam suatu kebudayaan mendorong munculnya unsur-unsur kebudayaan
baru ciptaan kebudayaan penerima, walaupun gagasan asli berasal dari luar.
Lihat A. L. Kroeber, Anthropology Today, (New York: Harcourt, Brace and
Company, 1948), h. 368-370.
[17]Gustave
E. Von Grunebaum (editor), Unity and Variety in Muslim Civilization,
(Chicago: The University of Chicago Press, 1955), h. 29
[18]Ali
An Sun Geun, Islam Damai di Negeri Asia Timur Jauh: Meneropong Penyebaran
dan Dinamika Islam di Korea, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2011), h. 125.
[19] Ibid.,
[20]Hasbullah,
Islam dan Transformasi Kebudayaan Melayu di Kerajaan Siak, (Riau:
Yayasan Pusaka Riau, 2007), h. 12.
[21]Koentjaraningrat,
Pengantar Antropologi I, h. 155-156.
[22]
Lihat, Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, (Jakarta: PT Rineka
Cipta, Cet. I, 1996), h. 160.
[23]Maurice
Duverger, Sosiologi Politik, terj. Daniel Dhakidae, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, Cet. VI. 1998), h. 310.
[24]Hasbullah, Islam dan Transformasi Kebudayaan Melayu
di Kerajaan Siak, h. 19.
[25] Ibid.,
h. 20.
[26]
Alfian, Tranformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Nasional, (Jakarta:
UI. Press, 1986), h. x
[27]Hasbullah, Islam dan Transformasi Kebudayaan Melayu
di Kerajaan Siak h. 19.
[28]
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, h. 160.
[30] Ibid.,
h. 160.
[31]W.J.S.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
Cet. XII, 1991), h. 763.
[32]Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,
(Jakarta: UI Press, 1990), h. 2-3.
[33]Abuddin
Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, Cet. IX,
2004), h. 316-317.
[34]Achmad
Mubarok, Otobiografi dan Percikan Pemikiran Budaya, (Jakarta: Mubarok
Institute, 2009), h. 147.
[35]Kuntowijoyo,
Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997), h. 27.
[36]Marzuki
Wahid dan Rumadi, Fiqh Madhhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam di
Indonesia (Yogyakarta: PT Lkis Pelangi Aksara, 2001), h. 24.
[37]Sukayat,
Internalisasi Nilai Agama Melalui Kebijakan Publik: Dakwah Struktural
Bandung Agamis, h. 45.
[38] Muhammad
Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. 1,
2001), h. xiv.
[39]Rasyid
Ridha (1865-1935) Rasyid Ridha belajar di sekolah Pemerintah Usmani di sekolah
Syeikh Husein Jisr, keduanya di Tripoli, Lebanon, Di sini untuk pertama kalinya
dia berkenalan dengan Muhammad Abduh, dan kemudian, pada tahun 1897, ketika dia
merantau ke Mesir dia menjadi teman dan murid setia Abduh dan sekaligus
penyebar gagasan-gagasannya. Padah tahun 1898 Ridha menerbitkan majalah berkala
Al-Manar, yang ketika itu merupakan suara pembaharuan Islam yang
terpenting di dunia Arab. Lihat, John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam
in Transition: Muslim Perspectives, Penerjemah Machnun Husein (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, Cet. 4, 1994), h. 90.
[40]Abul
A’la al-Maududi, Tafhim al-Qur’an, Vol. 2 (Lahor: tp, 1951), h. 343.
Lihat juga, Muhammad Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan Antara Islam dan
Barat (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, Cet. 1, 1996), h. 135.
[41]Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan pemikirannya (Jakarta:
UI Press, Cet. V, 1993), h. 166.
[42]Lihat,
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik
Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, Cet. 1, 1998), h. 187.
[43]Lihat,
Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: PT Raja Grafindo, Cet. I, 1994), h.
77.
[44]Harun
Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya Jilid I (Jakarta: UI
Press, Cet. IV, 1984), h. 92.
[45]Iqbal,
Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, h. 42.
[46]Lihat, W.
Montgomery Watt, Muhammad Prophet and Statesman (London: Oxford
University Press, 1965), h. 223-225.
[47]Philip
K. Hitti, History of The Arab (London: Macmillan Press, 1970), h. 120.
[48]Sjadzali,
Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan pemikiranny, h. 148.
[49]Kata
sekular pada dasarnya mempunyai dua konotasi, yaitu waktu dan lokasi. Waktu
menunjukkan pada pengertian sekarang, dan lokasi mengandung arti dunia.
sedangkan, kata sekularisasi diartikan sebagai pembebasan manusia atas agama
atau metafisik. Lihat, M. Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme (Bandung:
Pustaka, 1981), hal. 20. Menurut Fazlurrahman, istilah sekularisasi dalam dunia
pembaharuan mengandung dua makna praktis, yaitu “pembedaan” yang kultur dan
yang doktrinal dalam agama, sekaligus “pemisahan” antara keduanya. Sesuatu yang
bersifat kultur dengan menggunakan prinsip-prinsip sekuler-duniawi yang
terlepas dari doktrin agama. Lihat, Fazlur Rahman, Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 155.
[50] Negara
sekular adalah negara yang memisahkan urusan agama dengan urusan publik dan
politik. Jadi, kalau milsahnya umat beragama, kelompok agama, ingin mendirikan
masjid, gereja, atau rumah ibadah lain, mereka tidak boleh dibantu oleh negara.
Itu adalah urusan masyarakat keagamaan sendiri, umat beragama sendiri. Dalam
sebuah sistem politik sekular, simbol-simbol agama tidak boleh masuk ke dalam
simbol-simbol kenegaraan dalam gedung-gedung milik publik atau milik
pemerintah. Lihat, Azyumardi Azra, Islam Substantif: Agar Umat Tidak Jadi
Buih (Bandung: Mizan, Cet. 1, 2000), h. 220.
[51]Iqbal,
Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, h. xiv.
[52]Ali
Abd al-Raziq lahir pada tahun 1888 dan
wafat tahun 1966 M. Dia penganut Abduh, meskipun mungkin tidak sempat belajar
banyak secara langsung darinya, oleh karena ketika Abduh wafat pada tahun 1905
Ali baru berusia kira-kira tujuh belas tahun. Dia mendapatkan pendidikan agama
di Universitas al-Azhar, kemudian pergi belajar ke Universitas Oxford, Inggris,
selama satu tahun. Dia seorang ilmuwan agama dan seorang hakim pada Mahkamah
Syari’ah Mesir. Lihat, Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan
pemikiranny, h. 139.
[53]Ali
Abd al-Raziq, Al-Islam wa Ushul al-Hukm, (Cairo: tp, Cet. 3, 1925), h. 55. Lihat juga, Suyuthi
Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: PT
Raja Grafindo, Cet. I, 1994), h. 305.
[56]Azhar,
Filsafat Politik: Perbandingan Antara Islam dan Barat, h. 116.
[57]Sjadzali,
Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan pemikirannya, h. 142.
[58]Azhar,
Filsafat Politik: Perbandingan Antara Islam dan Barat, h. 117.
[59]Thaha
Husein lahir di Magagah, Mesir Selatan, 14 November 1889- 28 Oktober 1973.
Seorang sastrawan, pemikir, dan pembaharu di Mesir yang mengajukan seperangkat
konsep dan gagasan untuk membangun Mesir modern, baik dalam bidang budaya,
politik, pendidikan, maupun keagamaan. Lihat,
Dewan Editor, Ensiklopedi Islam,
Vol. 2 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. III, 1994), h. 137.
[60]Sjadzali,
Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan pemikirannya, h. 139.
[61]Iqbal,
Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, h. 28.
[62]Ahmad
Luthfi Sayid (1872-1963) adalah salah seorang pengikut setia Abduh. Dia
mempelajari ilmu hukum dan bekerja sebagai pegawai Pemerintah. Dia banyak
membaca tulisan-tulisan orang-orang Eropa dan menghabiskan banyak waktunya
untuk bekerja sebagai penyunting surat kabar (al-jaridah). Suatu saat
dia melibatkan diri dalam kegiatan politik sebagai pendiri Partai Rakyat,
tetapi kemudian berhenti. Dia pernah menjabat Direktur Perpustakaan Nasional
dan membantu berdirinya Universitas
Mesir yang baru, di mana ia pernah menjadi guru besar dalam bidang Ilmu
Filsafat dan juga pernah menjadi Rektor universitas tersebut. Lihat, John J.
Donohue dan John L. Esposito, Islam in Transition: Muslim Perspectives,
h. 115.
[63]Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah,
dan pemikirannya, h. 138.
[64]Sukayat,
Internalisasi Nilai Agama Melalui Kebijakan Publik: Dakwah Struktural Bandung
Agamis, h. 54.
[65]Lapidus, A History of Islamic Societies. h. 91.
[66]Harun
Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
(Jakarta: Bulan Bintang, Cet. XI, 1986), h. 152.
[69]Iqbal,
Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, h. xiv.
[70]Sukayat,
Internalisasi Nilai Agama Melalui Kebijakan Publik: Dakwah Struktural Bandung
Agami, h. 68.
[71]Jamaluddin
Al-Afghani adalah seseorang yang menguasai mistisisme Isyraqi sekaligus
penganjur modernisasi yang bersemangat. Ketika berkeliling Iran, Afghanistan,
Mesir, dan India, Al-Afghani berupaya terbuka ke semua orang. Dia mampu
menampilkan diri sebagai Sunni ketika berhadapan dengan orang Sunni, menjadi
martir Syiah bagi orang Syiah, seorang revolusioner, filosof religius, dan
seorang parlementer. Lihat, Karen Amrstrong, A History of God: The 4,
000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam. Penerjemah Zaimul Am
(Bandung: Mizan, Cet. 2, 2001), h. 466.
[72]Muhammad
Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan Antara Islam dan Barat, h. 108.
[73]Muhammad
Abduh (1849-1905), murid Al-Afghani dari Mesir, memiliki pendekatan yang
berbeda. Dia memutuskan untuk memusatkan aktivitasnya di Mesir saja dan
berfokus pada pendidikan intelektual kaum Muslim di sana. Dia dibesarkan di
lingkungan Islam tradisional di bawah bimbingan sufi Syaikh Darwis, yang
mengajarkan kepadanya sains dan filsafat merupakan dua jalan yang paling aman
menuju pengetahuan tentang Tuhan. Akibatnya ketika Abduh mulai belajar di
Masjid Al-Azhar yang prestisius di Kairo, dia dikecewakan oleh silabusnya yang
ketinggalan zaman. Akan tetapi, dia tertarik pada Al-Afghani, yang
membimbingnya dalam logika, teologi, astronomi, fisika dan mistisisme. Lihat,
Karen Armstrong, A History of God: The 4, 000-Year Quest of Judaism,
Christianity and Islam, h. 466.
[74] Proses
sekularisasi oleh pemerintah-pemerintah Muslim pada akhir abad ke-19 diikuti
dengan munculnya gerakan modernisme Islam di dunia Arab dan Anak-Benua India.
Para pembaru sekuler cenderung mendukung gagasan pemisahan agama dari politik
karena, bagi mereka, Islam hanya terbatas pada masalah moral dan pribadi.
Mereka berpaling ke Barat untuk memperbaharui segi sosio-politik dalam
kehidupan mereka. Namun, selama paruh kedua abad ke-19 itu juga muncul satu
generasi mujaddid (pembaru, atau lebih tepatnya modernis) Islam, seperti
Jamaaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, yang berusaha mempersatukan dan
memperkokoh masyarakat-masyarakat Muslim melalui upaya pembaharuan iman dan
masyarakat Islam itu sendiri. Lihat,
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme,
Modernisme Hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, Cet. 1, 1996), h.
9.
[75]Suyuthi
Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, h. 282.
[76]Abd.
Al-‘Athi Muhammad Ahmad, al-Fikr al-Siyasi Li al-Imam Muhammad Abduh,
(Mesir: al-Maiat al-Mishriyyat al-‘Ammat li al-Kitab, 1978), hal. 69. Lihat
juga, Azhar, Filsafat Politik:
Perbandingan Antara Islam dan Barat, h. 108-109.
[77]Harun
Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 54.
[78]Azhar,
Filsafat Politik: Perbandingan Antara Islam dan Barat, h. 109.
[79]
Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, h. 28.
[80] Nugroho
Anjar, “Pemikiran Politik Amien Rais dan Abdurrhaman Wahid”, Laporan
penelitian, 2002. h. 74.
[81]Achmad
Mubarok, Otobiografi dan Percikan Pemikiran Budaya, (Jakarta: Mubarok
Institute, 2009), h. 123.
[82]Abuddin
Nata, Metodologi Studi Islam, 174.
[83]Nourouzzaman
Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim, h. 258.
[84]
Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, h. 175.
[85]S.
Soebardi dan Woodcraff-Lee, Islam in Indonesia, Raphael Israeli (ed), The
Crescent in the East: Islam Asia Major, (London: Curzon Press, 1982), h.
180.
[86]Abuddin
Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, h. 175-176.
[88]
Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, h. 177.
[89] Ian G. Barbour, Issues in Science and Religion, (New
York: Harper Torch Book Harper and Row Publisher, 1966), hal. 129. Lihat
juga, M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural; Pemetaan atas
Wacana Keislaman Kontemporer, (Bandung: Mizan, Cet. I, 2000), hal. 116.
[90]Mohammed Arkoun, al-Fikr
al-Islamy: Naqd wa Ijtihad, perj. Hashim Shalih, (London: Dar al-Saaqi), h.
293-294.
[91]M. Amin Abdullah, Dinamika
Islam Kultural; Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, (Bandung:
Mizan, Cet. I, 2000), h. 116-117.
[92] Ibid.
[93]Kuntowijoyo,
Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997), h. 27.
[94]Azyumardi
Azra, Pergolakan Politik Islam: dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga
Post-Modernimse, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 183.
[96]Sa’id Aqiel Siradj, “Khazanah
Pemikiran Islam dan Peradaban Modern,” Pesantren Masa Depan; Wacana
Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h.
27
[97] Ibid.
[98]M.
Amin Abdullah, Studi Agama: Normalitas atau Historisitas, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996), h. 45-46.
[99] M.
Amin Abdullah, Studi Agama: Normalitas atau Historisitas, 46.
[101] Ibid.
[102] Ibid.
Post a Comment