BAB I
PENDAHULUAN

Pada era global, sebuah kampung terpencil di pedalaman Sumatera dapat berdialog dengan sebuah kota di London Inggris. Berbekal teknologi komunikasi, media elektronik memungkinkan desa-desa terpencil mendengar berita dan penanyangan gambar-gambar mengenai berbagai aktivitas kehidupan yang disiarkan tv, internet, dan media jejaring sosial dari kota-kota besar mancanegara. Anak-anak, terutama di kota-kota besar dapat melihat dan mendengar bagaimana aktivitas kehidupan anak-anak sebayanya yang relatif berbeda melalui tv, bioskop, majalah, internet, dan media jejaring sosial yang tersebar luas.[1]
            Dalam era global ini seperti yang telah diungkap di atas sekat-sekat regional relatif pudar dengan alat bantu teknologi komunikasi. Jika aktivitas dakwah tidak mengambil bagian dalam proses tersebut (menggunakan alat bantu teknologi komunikasi). Maka sudah barang tentu, dakwah tidak akan berhasil merambah semua lini kehidupan. Padahal pada era global saat ini kegiatan dakwah sangat diuntungkan apabila menggunakan media komunikasi yang dari waktu ke waktu mengalami kemajuan yang pesat.
Globalisasi sendiri sebenarnya sejalan dengan ajaran Islam, ajaran atau agama yang diturunkan sebagai rahmat alam semesta. Jika globalisasi digunakan untuk menduniakan nilai-nilai moral islami, baik yang bersifat personal (personal morality) maupun yang publik (public morality), maka kehidupan umat manusia di dunia dapat berjalan dengan tertib, aman, damai, dan sejahtera. Ringkasnya, secara normatif globalisasi sebenarnya netral, tergantung siapa dan untuk apa digunakan.[2]
Dakwah dengan pendekatan budaya pada era global, sangat diperlukan sebagai langkah strategis untuk menjaga dan mengembangkan keberadaan Islam. Selain itu, melalui pendekataan budaya ini, Islam akan mampu menggerakkan perubahan masyarakat (the society aimed movement) ke penjuru dunia dengan tidak menapikan kekhasan dan keunikan Islam di berbagai belahan dunia. Islam bukanlah agama yang lahir dalam ruang yang hampa budaya. Tetapi justru selalu terjadi dialog yang dinamis antara Islam ajaran dan yang berkembang di masyarakat. Sehingga melahirkan budaya baru yang berwawasan keislaman.
 Selain dakwah dengan pendekatan budaya, dakwah dengan pendekatan politik juga sangat diperlukan pada era global saat ini. Dakwah dengan pendekatan politik memungkinkan umat Islam bergerak lebih leluasa untuk melakukan aktivitas dakwah struktural baik dalam kancah lokal maupun internasional.
Konsep dakwah dengan pendekatan politik adalah gerakan dakwah yang berada dalam dan melalui kekuasaan. Aktivitas dakwah politik yang bergerak mendakwahkan ajaran Islam dengan memanfaatkan struktur sosial, politik, maupun ekonomi yang menjadikan Islam sebagai prinsip kehidupan, agar nilai-nilai agama dapat dilaksanakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.[3]
Dakwah dengan pendekatan politik sebagai alat untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, dakwah politik lebih bersifat top down. Dengan kata lain bentuk dakwah politik cenderung mempunyai maksud dan tujuan mendirikan negara Islam, karena negara dianggap sebagai alat yang paling strategis dan menjanjikan dalam melakukan internalisasi nilai-nilai keislaman dalam prilaku politik mereka serta penegakan ajaran Islam menjadi tanggung jawab negara dan kekuasaan. Dalam perpsektif dakwah politik negara adalah instrumen paling penting dalam kegiatan dakwah.[4]


BAB II
TEORITIS DAKWAH DENGAN PENDEKATAN
BUDAYA DAN POLITIK

A.  Definisi Ilmu Dakwah
Dakwah secara etimologi berasal dari akar kata da’a (madli), yad’u (mudlari), dan dakwah (masdar atau gerund dalam bahasa Inggris), yang berarti seruan, ajakan, panggilan, permintaan, permohonan, dan doa.[5] Kata ini dan derivasinya menurut informasi yang diperoleh dari peneliti al-Qur’an kenamaan Muhammad Fu‘âd ‘Abd. Al-Bâqi terulang sebanyak 215 kali.[6]
Adapun dari tinjauan aspek terminologi, pakar dakwah Tutty Alawiyah AS, mendefiniskan dakwah adalah proses  transaksional untuk terjadinya perubahan perilaku individual melalui proses-proses komunikasi, persuasi, dan pembelajaran yang berkelanjutan. (Dakwah is the transactional process of initiating behavioral changes of individual through the series of communication, persuasion and continuous learning.)[7]
Sedangkan menurut pakar psikologi Islam Achmad Mubarok dakwah ialah usaha mempengaruhi orang lain agar mereka bersikap dan bertingkah laku seperti apa  yang didakwahkan oleh da’i. Setiap da’i agama apa pun pasti berusaha mempengaruhi orang lain agar mereka bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan agama mereka. Dengan demikian pengertian dakwah Islam adalah upaya mempengaruhi orang lain  agar mereka bersikap dan bertingkah laku Islami (memeluk agama Islam).[8]
Berdasarkan berbagai pandangan di atas, dakwah Islam dapat dikembangkan menjadi suatu proses mengajak umat manusia supaya masuk ke Jalan Allah secara menyeluruh, baik dengan lisan, tulisan, maupun dengan perbuatan, sebagai ihtiar umat muslim mewujudkan ajaran Islam menjadi kenyataan dalam kehidupan syahsiyah, usrah, jama’ah, dalam semua aspek kehidupan.

B.  Dakwah dan Konsep-Konsep Kebudayaan
  1. Definisi Kebudayaan
            Menurut Achmad Mubarok kebudayaan adalah konsep, keyakinan, nilai dan norma yang dianut masyarakat yang mempengaruhi prilaku mereka dalam upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekelilingnya. Disamping sebagai fasilitas, alam adalah tantangan yang harus di atasi. Berbeda dengan hewan, manusia tidak puas hanya dengan apa yang terdapat dalam alam kebendaan. Dengan konsep yang dimiliki manusia berusaha mengolah alam ini, dan dengan kesadaran dan cita-citanya manusia merumuskan apa yang bermakna dan apa yang tidak bermakna dalam kehidupannya.[9]
Sedangkan Koentjaraningrat membagi kebudayaan dalam tiga wujud, (1) wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, (2) wujud kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) wujud benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya.[10]
Bagi Nourozzaman Shiddiqi mengatakan bahwa hingga kini belum ada satu definisi tentang kebudayaan yang disepakati oleh semua orang. Definisi-definisi yang diberikan sangat beragam, tergantung pada minat dan keahlian orang yang merumuskannya. A.I. Kroeber Clyde Kluckhon (1952) sebagaimana dikutip Nourouzzaman mencatat tidak kurang dari 164 definisi kebudayaan yang telah dikemukakan. Namun demikian dapat dikemukakan bahwa kebudayaan adalah semua produk aktivitas intelektual manusia untuk memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan hidup duniawi.[11]
Dari beberapa teori definisi kebudayaan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa kebudayaan adalah segala bentuk hasil kreativitas manusia dengan menggunakan segala daya dan kemampuan yang dimiliknya dalam rangka mewujudkan kehidupannya yang sejahtera. Dengan demikian dilihat dari segi bentuknya kebudayaan dapat mengambil bentuk yang halus seperti ilmu pengetahuan, kesenian dan filsafat, dan dapat pula mengambil bentuk yang kasar seperti bangunan gedung-gedung, istana, benteng pertahanan, persenjataan atau peralatan perang, peralatan komunikasi, peralatan transportasi dan lain sebagainya. Berbagai produk kebudayaan yang demikian selanjutnya mengambil bentuk pranata, yaitu aturan-aturan atau konsep-konsep tentang berbagai aspek kehidupan manusia yang dipilih dan digunakan sebagai alat untuk melakukan interaksi sosial.[12]

  1. Konsep-Konsep Kebudayaan
a.    Difusi Kebudayaan  
Sejak lama para sarjana tertarik akan adanya bentuk-bentuk yang sama dari unsur-unsur kebudayaan di berbagai tempat yang seringkali jauh letaknya satu sama lain. Dari banyaknya temuan tentang hal ini, lahirlah satu doktrin tentang difusi[13] (penyebaran) kebudayaan dan hubungan sejarah masa lampau yang dikemukakan oleh F. Ratzel (1844-1904). Aliran ini menganggap difusi sebagai pemindahan unsur suatu budaya kepada budaya lain. Unsur dan sifat budaya ini digunakan untuk menyelesaikan masalah atau dicampurkan untuk menjadi kompleks, di mana unsur-unsur budaya tersebut tidak ada kaitannya antara yang satu dengan yang lain.[14]
Difusi terjadi apabila ada dua masyarakat atau kebudayaan saling bertemu. Makin banyak dan makin tepat pengetahuan kita tentang dinamika proses difusi, makin besarlah kemungkinannya untuk membuat rekonstruksi historis yang sungguh-sungguh dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan penyebaran unsur-unsur kebudayaan.
Penyebaran unsur-unsur kebudayaan. Bersama dengan penyebaran dan migrasi kelompok-kelompok manusia, turut tersebar pula berbagai unsur kebudayaan. Sejarah dari proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan yang disebut proses difusi itu merupakan salah satu obyek penelitian ilmu antropologi, terutama sub-ilmu antropologi diakronik. Proses difusi dari unsur-unsur kebudayaan antara lain diakibatkan oleh migrasi bangsa-bangsa yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi. Terutama dalam zaman prasejarah, ketika kelompok-kelompok manusia yang hidup sebagai pemburu bermigrasi menempuh jarak yang sangat besar, unsur-unsur kebudayaan yang mereka bawa juga turut tersebar luas.[15]
Suatu difusi yang meliputi suatu wilayah yang luas biasanya terjadi melalui serangkaian pertemuan antara sejumlah suku bangsa. Suku bangsa A, misalnya bertemu dengan suku bangsa B dengan suatu cara tertentu; suku bangsa B bertemu dengan suku bangsa C dengan cara yang sama pula, tetapi mungkin juga dengan cara yang lain; dan suku bangsa C mungkin bertemu dengan suku bangsa D dengan cara lain lagi. Cara-cara yang berbeda yang juga membawa unsur-unsur kebudayaan yang berbeda-beda itu kemudian didifusikan dari A ke B, ke C, ke D, dan seterusnya. Proses difusi semacam ini dalam antropologi disebut stimulus diffusion.[16]
Teori difusi merupakan suatu transmisi nilai budaya tertentu, sehingga melintasi ruang, daerah, dari budaya setempat, difusi ini bisa melalui migran, para pengusung agama tertentu, transfer nilai, dan kontak sosial.[17] Salah satu bentuk bentuk difusi adalah penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari satu tempat ke tempat lain dimuka bumi, yang dibawa kelompok-kelompok manusia yang bermigrasi.[18]
Cara lain adalah bentuk hubungan yang disebabkan oleh perdagangan, tetapi dengan akibat yang lebih jauh daripada yang terjadi pada hubungan simbiotis. Unsur-unsur kebudayaan asing di bawa oleh para pedagang masuk kedalam kebudayaan penerima dalam hubungan ini, tidak sengaja dan tanpa paksaan, dengan mengambil istilah dari ilmu antropologi, sering disebut pacitifique penetration; artinya adalah pemasukan secara damai. Pemasukan secara damai tentu juga ada pada bentuk hubungan yang disebabkan oleh usaha dari penyiar agama. Jadi, datanglah para penyiar agama dan mulailah proses akulturasi yang merupakan akibat dari aktivitas tersebut.[19]
Akhirnya kalau suatu proses difusi tidak hanya dilihat dari bergeraknya unsur-unsur kebudayaan dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi, tetapi terutama sebagai proses dibawanya unsur-unsur kebudayaan oleh individu-individu suatu kebudayaan kepada individu-individu kebudayaan lain, maka tampak bahwa bukan hanya satu unsur kebudayaan saja yang didifusikan. Unsur-unsur kebudayaan yang didifusikan tidak pernah berdiri sendiri, melainkan senantiasa merupakan suatu kompleks unsur-unsur yang tidak mudah dipisahkan.
b.    Akulturasi Kebudayaan
Akulturasi atau culture contact, mempunyai berbagai arti di antara sarjana antropologi, tetapi semua sepakat bahwa konsep itu mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.[20] Akulturasi juga dapat dipamahi sebagai suatu proses dimana seseorang yang memiliki budaya bertemu dengan budaya lain, sehingga saling tukar dari kedua belah pihak. 
Proses akulturasi memang sudah ada sejak dulu kala, tetapi proses akulturasi dengan sifat khusus baru ada ketika kebudayaan-kebudayaan bangsa-bangsa Eropa Barat mulai menyebar ke daerah-daerah lain di muka bumi pada awal abad ke-15, dan mulai mempengaruhi masyarakat-masyarakat suku bangsa di Afrika, Asia, Oseania, Amerika Utara dan Amerika Latin. Mereka membangun pusat-pusat kekuatan di berbagai tempat di sana, yang menjadi pangkal dari pemerintah-pemerintah jajahan, dan yang pada akhir ke-19 dan awal abad ke-20 mencapai puncak kejayaannya. Seiring dengan perkembangan berbagai pemerintahan jajahan itu, berkembang pula berbagai usaha penyebaran agama Nasrani. Hasil yang tampak sekarang ialah bahwa sudah hampir tidak ada suku bangsa yang terhindar dari pengaruh unsur-unsur kebudayaan Eropa. Terutama dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, pengaruh unsur-unsur kebudayaan Eropa dan Amerika yang juga disebut “modernisasi” itu dialami oleh hampir semua warga suku bangsa di Afrika, Asia, dan Oseania secara sangat intensif, yang bahkan sampai menyentuh sistem norma dan nilai budaya mereka.[21]
Contoh akulturasi kebudayaan Hadrami dan Palembang sangat banyak sekali. Salah satunya dalam bidang seni, seperti rebana, barzanji, dan lain-lan merupakan pengaruh dari seni Hadrami. Hanya saja kesemua bentuk kesenian ini sudah mengalami elaborasi dan penyesuaian dengan musik lokal. Sehingga seni yang ada dalam masyarakat Palembang tetap memperlihatkan khal lokalnya.
Dengan memperhatikan para pembawa unsur-unsur kebudayaan asing (agents of acculturation) dapat diketahui unsur-unsur kebudayaan jenis apa yang masuk. Para warga masyarakat itu umumnya tidak memahami seluruh kebudayaannya sendiri, terutama apabila masyarakatnya luas dan kompleks. Karena itu para agents of acculturation itulah yang menentukan unsur-unsur kebudayaan yang dimasukkan. Seorang pedagang tentu membawa unsur kebudayaan berupa berbagai jenis barang, cara berdagang, dan sebagainya; seorang pendeta penyiar agama Islam tentu membawa berbagai unsur agamanya.[22]
c.         Integrasi Kebudayaan
Vocabulaire Philosophique Lalande memberikan definisi integrasi sebagai “dibangunnya interdependensi yang lebih rapat antara bagian-bagian dari organisme hidup atau antara anggota-anggota dalam masyarakat, yang cenderung membuatnya menjadi suatu kota yang harmonis, yang didasarkan pada tatanan yang oleh anggota-anggotanya dianggap sama harmonisnya.[23] 
Dalam proses integrasi tidak ada satu kebudayaan pun yang pernah mewujudkan integrasi dengan mutlak atau sempurna. Jelasnya, tak pernah semua unsur-unsur yang ada di dalamnya saling sesuai menyesuaikan dengan sempurna, karena di dalam setiap kebudayaan selalu terjadi perubahan, entah berasal dari inovasi atau dari difusi. Ini berarti, bahwa tidak ada satu kebudayaan pun yang pernah diintegrasikan dengan sempurna pada suatu titik sejarahnya. Dengan demikian integrasi merupakan persoalan taraf atau tingkat. Apabila tingkat integrasi dalam suatu kebudayaan tidak dapat mencapai ukuran minimal, maka akan lumpuhlah kebudayaan itu dan runtuhlah masyarakatnya sebagai satu kesatuan fungsional. Namun hal ini jarang sekali terjadi, karena semua kebudayaan mempunyai kemampuan yang mengagumkan untuk mewujudkan perubahan dan adaptasi. Malahan dapat dikatakan bahwa setiap atau serangkaian unsur-unsur kebudayaan baru dapat diintegrasikannya, asal saja tidak bertentangan secara langsung atau berlawanan dengan unsur-unsur pokok di dalam formasi yang telah ada, sehingga masyarakat akan menolaknya seketika.[24]
Selama berlangsungnya proses perubahan kultural, disintegrasi berjalan berdampingan. Pada saat bagian-bagian tertentu dari kebudayaan itu telah berhasil mengadakan penyesuaian, ada bagian-bagian lain yang baru ‘merasakan’ gerak perubahan yang ditimbulkan oleh unsur baru itu. Pada pokoknya proses penerimaan unsur baru menimbulkan masa panca roba. Akibat yang ditimbulkan dari penerimaan unsur-unsur terhadap kebudayaan penerima tidaklah selalu sama. Ada unsur yang dapat dikatakan tidak menimbulkan kegoncangan sama sekali dan ada juga yang dapat menimbulkan perubahan yang besar.[25]
Untuk mengetahui sejauhmana interaksi sosial antar etnis (mayoritas dan minoritas) dan kemungkinan terjadinya bisa dilakukan dengan menggunakan pendekatan struktural fungsional. Pendekatan struktural-fungsional sebagaimana dikembangkan oleh Parsons dan pengikutnya memiliki pandangan bahwa adanya komitmen terhadap norma-norma sosial (nilai-nilai bersama) sangat penting dalam terjadinya integrasi dalam suatu masyarakat. Sehingga, dapat dikatakan bahwa individu-individu dan kelompok-kelompok manusia akan terintegrasi bila adanya, antara lain, persamaan kepentingan (interast), keyakinan (agama), dan status sosial.
Adanya kecendrungan terwujudnya integrasi dalam masyarakat bukan berarti terlepas dari perbedaan-perbedaan pendapat dan konflik. Namun, suatu hal yang penting dari proses integrasi tersebut adalah adanya kesadaran dalam menjaga keseimbangan hubungan, sehingga eksistensi dan identitas masing-masing kelompok sosial yang terintegrasi tetap diakui. Usman menulis bahwa proses terrwujudnya integrasi sosial dikelompokkan menjadi tiga dimensi. Pertama, masyarakat dapat terintegrasi berdasarkan kesepakatan kebanyakan anggotanya terhadap nilai-nilai sosial tertentu yang bersifat mendasar. Kedua, masyarakat dapat terintegrasi dikarenakan kebanyakan anggotanya terhimpun dalam berbagai unit sosial sekaligus (cross cutting affiliations). Ketiga, masyarakat dapat terintegrasi atas saling ketergantungan di antara unit-unit sosial yang terhimpun di dalamnya dalam mencapai kebutuhan ekonomi.

d.   Transformasi Kebudayaan
Pada hakikatnya tidak ada kebudayaan di dunia ini yang statis dan tiada mengalami perubahan, baik disebabkan oleh faktor internal maupun faktor eksternal. Kebudayaan yang berfungsi bagi manusia sebagai alat untuk memenuhi kebutuhannya, senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan dan perubahan, baik karena perubahan dalam bidang pemikiran, ekologi, politik, ekonomi, dan sebagainya. Kebutuhan untuk melakukan perubahan atau pembaharuan nilai inilah yang prosesnya disebut transformasi.[26]
Kuntowijoyo mengartikan transformasi sosio-kultural sebagai arah dari sebuah perubahan (sosial) yang bersifat profetik (normatif). Pengertian sosio-kultural dibatasi pada nilai-nilai normatif (agama, etika sosial, ekonomi Islam) yang dapat dijadikan acuan dalam mendorong peningkatan dan hubungan-hubungan pertukaran di dalam suatu sistem sosial.[27]
e.    Asimilasi Kebudayaan
Asimilasi adalah suatu proses sosial yang terjadi pada berbagai golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda setelah mereka bergaul secara intensif, sehingga sifat khas dari unsur-unsur kebudayaan golongan-golongan itu masing-masing berubah menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran. Biasanya suatu proses asimilasi terjadi antara suatu golongan mayoritas dan golongan minoritas, sehingga sifat-sifat khas dari kebudayaannya lambat-laun berubah dan menyatu dengan kebudayaan golongan mayoritas.[28]
Di Amerika, proses sosial seperti itu banyak diteliti para ahli sosiologi, dengan munculnya masalah-masalah yang diakibatkan oleh kedatangan para imigran dari Eropa. Bagi Indonesia, pengetahuan mengenai kebinekaan suku bangsa, lapisan sosial, dan agama serta proses asimilasi yang terjadi di tempat-tempat lain di dunia, sangat penting sebagai bahan perbandingan.[29]  
Dari berbagai proses asimilasi yang pernah diteliti, diketahui bahwa pergaulan intensif saja belum tentu mengakibatkan terjadinya proses asimilasi, tanpa adanya toleransi dan simpati antara kedua golongan. Contohnya adalah orang Cina di Indonesia, yang walaupun telah bergaul secara intensif dengan penduduk pribumi bangsa Indonesia sejak beberapa abad, belum seluruhnya terintegrasi ke dalam masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Sebaliknya, kurangnya toleransi dan simpati terhadap suatu kebudayaan lain umumnya disebabkan karena berbagai kendala, yaitu kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan pihak yang dihadapi, kekhawatiran akan kekuatan yang dimiliki kebudayaan tersebut, dan perasaan bahwa kebudayaan sendiri lebih unggul dari kebudayaan pihak yang dihadapi.[30]

C.Dakwah dan Konsep Politik Islam
1. Definisi Politik
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan W.J.S. Poerwadarminta, politik diartikan sebagai pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti tata cara pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan dan sebagainya dan dapat pula berarti segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan), siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan sesuatu Negara atau terhadap Negara lain.[31]
Selanjutnya sebagai suatu sistem, politik adalah suatu konsepsi yang berisikan antara lain ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan Negara. Siapa pelaksana kekuasaan tersebut dan apa dasar dan bagaimana cara untuk menentukan serta kepada siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan itu diberikan. Kepada siapa pelaksanaan kekuasaan itu bertanggung jawab dan bagaimana bentuk tanggung jawabnya.[32]
Dalam bahasa Arab, politik biasanya diwakili oleh kata al-siyasah dan daulah, walaupun kata-kata tersebut dan kata-kata lainnya yang berkaitan dengan politik seperti keadilan, musyawarah, pada mulanya bukan ditujukan untuk masalah politik. Kata siyasah dijumpai dalam bidang kajian hukum, yaitu ketika berbicara masalah imamah, sehingga dalam fiqih dikenal adanya bahasan tentang Fiqih Siyasah. Demikian pula kata daulah pada mulanya dalam al-Qur’an digunakan untuk kasus penguasaan harta di kalangan orang-orang kaya, yaitu bahwa dengan zakat diharapkan harta tersebut tidak hanya berputar pada tangan-tangan orang yang kaya. Karena menurut sifatnya harta tersebut harus bergilir atau berputar, dan tidak hanya dikuasai oleh orang-orang yang kaya (daulatan baina agniya), kata daulah tersebut juga digunakan untuk masalah politik yang sifatnya berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya. Demikian juga kata keadilan banyak digunakan dalam memutuskan perkara dalam kehidupan, dan kata musyawarah pada mulanya digunakan pada kasus suami isteri yang akan menyerahkan anaknya untuk disusui oleh perempuan lain yang dalam hal ini perlu dimusyawarahkan.[33]
            Bagi Achmad Mubarok, manusia adalah makhluk sosial yang memiliki tabiat suka bekerjasama dan bersaing sekaligus. Sebagai warga kepulauan Nusantara, mereka merasa membutuhkan kerjasama, oleh karena itu disepakatilah adanya kesatuan bangsa, bangsa Indonesia. Tetapi sebagai makhluk politik, dalam bekerjsama pun manusia suka bersaing untuk kepentingan yang lebih kecil, yakni kepentingan dirinya. Apa lagi dalam hidup berbangsa dibutuhkan adanya pemimpin, oleh karena itu banyak orang yang bersaing secara politik untuk berusaha menduduki kursi pemimpin. Sesungguhnya bagaimana kepemimpinan berlangsung, praktek ibadah shalat memberi contoh bagaimana merekrut pemimpin (imam), apa kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang imam, dan selanjutnya bagaimana etika kebersamaan dalam menuju tujuan bersama.[34]
Tetapi sayangnya, di kalangan masyarakat Islam pada umumnya kurang melihat hubungan masalah politik dengan agama. Hal ini antara lain disebabkan karena pemahaman yang kurang utuh terhadap cakupan ajaran Islam itu sendiri. Kuntowijoyo misalnya mengatakan, “Banyak orang, bahkan pemeluk Islam sendiri, tidak sadar bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi juga sebuah komunitas (umat) tersendiri yang mempunyai pemahaman, kepentingan dan tujuan-tujuan politik sendiri. Banyak orang beragama Islam, tetapi hanya menganggap Islam adalah agama individual, dan lupa kalau Islam juga merupakan kolektivitas. Sebagai kolektivitas, Islam mempunyai kesadaran, sktruktur, dan mampu melakukan aksi bersama.[35] 

2.Paradigma Dakwah dalam Politik Islam
Perdebatan hubungan agama dan negara mengalami pedebatan yang cukup panjang dikalangan ulama Islam hingga kini. Berkenaan dengan hal tersebut maka pendapat para pakar berkenaan dengan relasi agama dan negara dalam Islam dapat dibagi atas tiga pendapat yakni paradigma integralistik, sekularistik, dan simbiotik. 
a.    Paradigma Integralistik
Paradigma integralistik mengajukan konsep bersatunya agama dan negara. Agama dan negara tidak dapat dipisahkan (integrated). Dalam konteks Islam, Islam adalah din wa dawlah. Apa yang merupakan wilayah agama otomatis merupakan wilayah politik atau negara. Model ini menyimpulakan bahwa negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus, yang antara keduanya merupakan totalitas utuh dan tidak dapat dipisahkan.[36]
Pandangan ini berkeyakinan bahwa Islam diturunkan sudah dalam kelengkapan yang utuh dan bulat (kafah). Islam telah memiliki konsep-konsep lengkap untuk tiap-tiap bidang kehidupan. Pandangan ini telah mendorong pemeluknya untuk percaya bahwa Islam mencakup cara hidup yang komprehensif, bahkan sebagian kalangan  menekankan bahwa Islam merupakan totalitas yang menawarkan pemecahan terhadap semua masalah kehidupan.[37]
Pandangan ini juga memahami bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Al-Qur’an, ibarat super market telah menyediakan sistem politik yang mesti diikuti oleh umatnya. Hal ini dijabarkan pula oleh praktik Nabi dalam membangun Negara Madinah dan pemerintahan yang dilanjutkan oleh penerus beliau al-Khulafa’ al-Rasyidun. Ini yang mesti diteladani oleh umat Islam. Karenanya, kita tidak perlu meniru sistem politik Barat yang dipengaruhi oleh semangat sekularisme.[38]
Paham ini merupakan pendapat atau konsep yang menganggap negara dan agama adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Paham ini dianut oleh beberapa ulama-ulama Islam diantaranya yang paling ekstrim adalah golongan syiah dengan teori Imamah mereka. Dan juga ulama-ulama terkemuka lainya yakni, Rasyid Ridha (1865-1935 M), kelompok-kelompok Ikhwanul Muslimin, Abu al-A’la al-Maududi (1903-1979 M), Hasan Al-Bana (1906-1949), Sayyid Quthub (1906-1966 M), dan lain sebagainya. 
Rasyid Ridha[39] walaupun dia merupakan murid dari Muhammad Abduh yang berpemikiran simbiotik namun Ridha memiliki ide yang berbeda dengan sang gurunya, menurut Ridha eksistensi syariat sangat penting dalam rangka penetapan hukum syariat Islam. Bahwa Islam adalah agama kedaulatan, politik dan pemerintahan, maka bentuk pemerintahan yang lain (selain kekhalifahan) baginya tidak dapat menerapkan syariat Islam.
Menurut al-Maududi, Islam adalah agama yang sempurna yang memuat prinsip-prinsip yang lengkap tentang semua segi kehidupan meliputi moral, etika serta petunjuk di bidang politik, sosial dan ekonomi. Islam dipahami bukan hanya sebagai satu keyakinan tetapi satu sistem yang lengkap yang mengandung seperangkat jawaban terhadap persoalan yang dialami umat manusia. Semua itu tidak bisa diwujudkan dalam bentuk tindakan praktis tanpa adanya negara yang menjamin pelaksanaannya. Agama Tuhan hanya bisa dicapai dengan menegakkan dan menjadikan hukum Tuhan sebagai hukum negara. Jika selain hukum Tuhan yang menjadi pegangan, maka berarti menolak agama itu sendiri.[40]
Oleh karena itu, dalam bernegara Islam, haruslah memakai sistem kenegaraan Islam dan bukannya meniru sistem Barat. Konsekuensinya perlu ada suatu negara Islam yang dapat menjamin pelaksanaan hukum Tuhan secara keseluruhan. Yakni suatu negara yang bertugas melaksanakan dan mengembangkan tindakan yang terpuji dan mencegah semua tindakan jahat sesuai dengan tuntunan Islam. Negara yang dapat menjamin tegaknya sistem Islam, menurut Maududi adalah sebuah negara yang eksistensinya kuat. Dalam hal ini ia menunjuk pola politik semasa al-khulafa al-Rasyidin sebagai sistem kenegaraan menurut Islam.[41] Dengan demikian, teori politik al-Maududi mengargumentasikan bahwa negara merupakan bagian integral (atau perluasan) dari Islam. Menurutnya Islam memiliki konsep negara dan sistem pemerintahan tersendiri yang lengkap.[42]
Bentuk dakwah struktural integralistik dalam dunia Islam dimulai di Madinah sejak Nabi menetap di Madinah. Dimana Nabi memiliki peran sebagai kepala negara sekaligus juga da’i (pemuka agama). Negara dan pemerintahan yang pertama dalam sejarah Islam itu terkenal dengan Negara Madinah. Kajian terhadap terhadap negara dan pemerintahan ini dapat diamati dengan menggunakan pendekatan. Pertama, pendekatan normatif Islam yang menekankan pada pelacakan nash-nash al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang mengisyaratkan adanya praktek pemerintahan yang dilakukan oleh Nabi dalam rangka siyasah syar’iyah. Kedua, pendekatan deskriptif-historis dengan mengidentikkan tugas-tugas yang dilakukan oleh Nabi di bidang muamalah sebagai tugas-tugas negara dan pemerintahan. Hal ini diukur dari sudut pandang teori-teori politik dan ketatanegaraan.[43]
Di kota Madinah keadaan Nabi dan umat Islam mengalami perubahan besar. Ketika di Makkah mereka sebelumnya merupakan umat lemah yang tertindas, di Madinah mereka mempunyai kedudukan yang baik dan segera merupakan umat yang kuat dan dapat berdiri sendiri. Nabi sendiri menjadi kepala dalam masyarakat yang baru dibentuk itu dan akhirnya merupakan suatu negara, yang kekuasaannya di akhir zaman Nabi meliputi seluruh Semenanjung Arabia. Dengan kata lain di Madinah Nabi Muhammad bukan hanya berperan sebagai da’i (penyampai risalah kebenaran), tetapi juga berfungsi sebagai kepala negara.[44]
Selaku kepala negara dan juga sebagai da’i, Nabi menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara sahabat. Beliau mengirim surat dakwah kepada kepala negara lain. Diperkirakan surat-surat tersebut berjumlah 30 pucuk. Meskipun pada intinya surat-surat tersebut berisi ajakan untuk memeluk Islam, secara hukum international ini merupakan langkah awal untuk membentuk hubungan diplomatik dengan negara-negara tersebut secara damai.[45]
Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dilakukan Nabi ini menegaskan bahwa beliau telah menjalankan perannya sebagai sebagai kepala negara juga sebagai da’i. Kalangan di luar Islam juga mengakui keberadaan Nabi di Madinah sebagai kepala negara. W. Montgomery Watt, misalnya, menulis sebuah buku khusus yang mengkaji sosok Nabi Muhammad sebagai Nabi dan negarawan berjudul Muhammad Prophet and Statesman. Dalam buku ini Watt menegaskan bahwa masyarakat Madinah yang dibentuk Nabi Muhammad adalah masyarakat agama dan politik. Di samping sebagai rasul, Muhammad juga sebagai negarawan.[46] Sementara Philip K. Hitti menyatakan bahwa masyarakat Madinah yang dipimpin Nabi bukan berdasarkan ikatan primordial kedaerahan dan kesukuan, sebagaimana terjadi selama ini dalam masyarakat Arab pra-Islam, melainkan ikatakan keagamaan. Muhammad, di samping mempunyai tugas sebagai da’i, juga memiliki kekuasaan politik sebagai kepala pemerintahan.[47]
Selanjutnya paradigma dakwah struktural integralistik ini juga mendapat perhatian yang besar dari kalangan Al-Ikhwan Al-Muslimin yang dirikan Hasan Al-Bana di Kairo Mesir tahun 1928. Kalangan Ikhwan semula hanya fokus pada kegiatan-kegiatan reformasi moral dan sosial, namun dalam perkembangan berikutnya menjadi suatu organisasi keagamaan dan politik. Hal ini terlihat jelas saat mereka mendambakan berdirinya negara Islam di Mesir. Adapun pendapat tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin yang paling sentral adalah Islam adalah suatu agama yang sempurna dan amat lengkap, yang meliputi tidak saja tuntuan moral dan peribadatan, tetapi juga petunjuk-petunjuk mengenai cara mengatur segala aspek kehidupan, termasuk kehidupan politik, ekonomi sosial. Oleh karenanya untuk pemulihan kejayaan dan kemakmuran, umat Islam harus kembali kepada agamanya yang sempurna dan lengkap itu, kembali kepada kitab sucinya, Al-Qur’an dan Sunah Nabi, mencontoh pola hidup rasul dan umat Islam generasi pertama, tidak perlu atau bahkan jarang meniru pola atau sistem politik, ekonomi dan sosial barat.
Menurut pemikiran tokoh-tokoh ikhwan muslimin, Islam adalah suatu agama yang sempurna dan amat lengkap, yang meliputi tidak saja tuntutan moral dan peribadatan, tetapi juga petunjuk-petunjuk mengenai cara mengatur segala aspek kehidupan, temasuk kehidupan politik, ekonomi dan sosial. Oleh karenanya untuk pemulihan kejayaan dan kemakmuran, ummat Islam harus kembali kepada agamanya yang sempurna dan lengkap itu, kembali kepada kitab sucinya, al-Qur’an dan Sunnah Nabi, mencontoh pola hidup Rasul dan ummat Islam generasi pertama, tidak perlu atau bahkan jangan meniru pola atau sistem politik, ekonomi dan sosial Barat.[48]
b.    Paradigma Sekularistik
Paradigma sekularistik[49] (agama terpisah dari negara), beranggapan bahwa ada pemisahan antara agama dan negara, agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidang masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan.[50]
Pandangan ini berangkat dari pemikiran bahwa al-Qur’an tidak memiliki sistem politik yang baku dan Muhammad tidak dimaksudkan oleh Allah untuk menciptakan kekuasaan politik. Tugas Muhammad hanyalah sebagai penyampai wahyu tanpa memiliki pretensi untuk mendirikan negara.[51] Pemrakarsa paradigma ini adalah Mushtafa Kemal Attaturk (1881-1938), ‘Ali Abd. Al-Raziq (1888-1966 M), seorang cendikiawan muslim dari Mesir. Tokoh lain yang mengikuti pendapat ini adalah Taha Husein (1889-1973), Ahmad Lutfi Sayyid (1872-1963), kemudian disusul belakangan oleh Muhammad Said al-Asmawi (Mesir, lahir 1932).
Menurut Ali Abd Raziq[52], pemerintahan Rasul bukanlah bagian dari tugas kerasulan, melainkan tugas terpisah dari dakwah Islam dan berada di luar tugas kerasulan.[53] Alasanya, bahwa Nabi Muhammad Saw memang telah mendirikan negara di Madinah, akan tetapi sulit membuat kesimpulan bagaimana prosedur penetapan hukum yang ditempuh oleh Rasul, demikian pula tidak ada informasi yang cukup mengenai fungsi-fungsi pemerintahan lain, misalnya masalah keuangan, wawasan, dan keamanan jiwa, dan harta.
Namun demikian, bagian-bagian tugas yang dilakukan oleh Nabi seperti ekspedisi militer untuk membeladiri, distribusi zakat, jizyah, dan ghanimah, pendelegasian tugasnya kepada para sahabat untuk melaksanakannya. Jadi kegiatan kenegaraan merupakan keadaan nabi yang terpisah dari jabatan beliau sebagai Rasul, melainkan merupakan tugas beliau sebagai pemimpin dalam dunia muamalah manusia biasa.
Bila umat tunduk kepada Rasulullah, menurut Raziq, ketundukan itu adalah ketundukan akidah dan keimanan, dan bukan ketundukan kepada kekuasaan dan pemerintah. Sebab kepemimpinan beliau adalah kepemimpinan agama, bukan kepemimpinan duniawi. Oleh karena itu, perekat persatuan orang-orang Arab semata-mata ikatan Islam, bukan ikatan politik. Artinya masyarakat yang dipimpin oleh Rasulullah itu adalah masyarakat agama, bukan masyarakat politik. Alasan yang dikemukakan Raziq adalah yang dikehendaki Allah dengan Islam adalah untuk mempersatukan umat manusia atas dasar ikatan keagamaan yang berlaku di seluruh penjuru dunia ini.[54]
Raziq membenarkan bahwa Rasulullah memiliki kekuasaan, yaitu kekuasaan yang bersifat umum. Oleh karena itu, perintahnya mesti ditaati kaum muslimin, dan pemerintahannya bersifat menyeluruh. Muhammad Rasulullah memiliki kekuasaan paling besar daripada rasul-rasul lain. Beliau lebih berhak untuk itu baik kekuasaan risalah maupun kekuasaan menyampaikan dakwah yang diberikan oleh Allah. Yaitu kepemimpinan dakwah kepada agama Allah untuk menyampaikan tugas kerisalahannya. Kemudian kekuasaan Rasulullah atas kaumnya adalah kekuasaan ruhaniah, sumbernya keimanan yang ada dalam hati. Kekuasaan yang membimbing kepada agama Allah. Sedangkan kekuasaan seorang raja adalah bersifat fisik yang berkaitan dengan pengaturan kemaslahatan manusia. Kekuasaan Rasul untuk agama, sedangkan kekuasaan raja untuk urusan dunia.[55]
Pemerintahan Nabi Saw, menurut al-Raziq, hanya mengandung suatu nilai yang menyerupai pemerintahan politik dan kekuasaan secara alami, hal ini terwujud dalam kenyataannya bahwa Nabi Saw, adalah seorang ummi yang diutus untuk bangsa yang ummi pula. Tentu saja segala langkah dan syariatnya didasarkan atas prinsip ummi ini, serta muncul dari kepolosan insaniah yang sederhana.[56]
Menurut Raziq Nabi Muhammad Saw, adalah semata-mata seorang utusan (Allah) untuk mendakwahkan agama murni tanpa maksud untuk mendirikan negara. Nabi tidak mempunyai kekuasaan duniawi, negara ataupun pemerintahan. Nabi tidak mendirikan kerajaan dalam arti politik atau sesuatu yang mirip dengan kerajaan. Dia adalah Nabi semata seperti halnya para Nabi sebelumnya. Dia bukan raja, bukan pendiri negara dan tidak pula mengajak ummat untuk mendirikan kerajaan duniawi.[57]
Lebih lanjut, Raziq mengatakan bahwa kalau ada kehidupan kemasyarakatan yang dibebankan kepada dirinya maka itu bukan termasuk risalah atau tugas nubuwwah. Karena itu setelah beliau wafat, tidak seorangpun yang dapat menggantikan tugas risalah itu. Kalau pun Abu Bakar muncul, maka itu kepemimpinan dalam bentuk baru yang bersifat duniawi (profane) atau pemimpin politik yang bercorak kekuasaan dan pemerintahan.[58]
Sedangkan menurut Taha Husein,[59] kejayaan dan kemakmuran dunia Islam dapat terwujud kembali bukan dengan jalan kembali kepada ajaran Islam lama, dan juga bukan dengan mengadakan reformasi atau pembaharuan ajaran, tetapi dengan perubahan-perubahan total berwatak liberal dan sekular dengan mengacu kebarat. Sejak kemunculannya, Islam dan negara memang selalu terpisah. Umat Islam sadar terhadap suatu prinsip yang sekarang ini telah diakui secara universal bahwa sistem politik dan agama itu dua hal yang terpisah, dan bahwa negara itu didasarkan atas landasan-landasan praktis.[60]
Menurut Thaha Husein, supaya Mesir dan umat Islam umummnya dapat meraih kemajuan, maka jalan satu-satunya adalah dengan meniru dan mengadopsi peradaban Barat. Sedangkan Mushtafa Kemal berangkat lebih jauh dari dua tokoh ini. Dia melakukan sekularisasi besar-besaran dengan meniru Barat dalam segala aspeknya dan membuang warisan budaya Islam. Dia meninggalkan bahasa Arab sebagai bahasa umat Islam, mengganti aksara Arab dengan aksara Latin, mengganti adzan dengan bahasa Turki, mengadopsi hukum-hukum Barat dan menghapuskan lembaga-lembaga keagamaan yang pernah ada di dunia Islam.[61]
Lutfi Sayyid[62] lebih menekankan identitas nasional Mesir daripada Islam, dan pemisahan antara agama dan politik, serta perlunya Mesir meniru secara selektif pola politik, ekonomi, dan sosial Barat. Menurutnya, baik pan-islamisme maupun pan-arabisme tidak lagi relevan dengan realitas dunia Islam pada zaman modern ini, yang pada kenyataannya telah terbagi dalam banyak wilayah dan kebangsaan.[63]
Abdullah al-Na’im, intelektual Muslim Sudan yang terpaksa meninggalkan Khartoun karena mengikuti ajaran Mahmoud Taha, teolog dan tokoh politik Sudan yang mendukung pembauran politik serta liberalisasi keagamaan, yakin bahwa upaya pembentukan suatu negara Islam telah ditakdirkan untuk gagal dan bahwa sekularisme yang berakar pada kebebasan beragama, etika dan moralitas, serta hak dan kewajiban merupakan sistem terbaik bagi Muslim di seluruh dunia. Sekularisme model ini harus inklusif terhadap berbagai cara pandang berbeda dan hanya bisa dibangun melalui dialog dan pertukaran dalam masyarakat sipil global.[64]
Paradigma sekularistik ini  dalam praktek pemerintahan dikembangkan Mustafa Kemal yang ditetapkan sebagai presiden Republik Turki pada tahun 1923. Mustafa Kemal menghapuskan sejumlah lembaga organisasi Islam. Kesultanan Usmani dihapuskan pada tahun 1923, sedangkan khilafah dihapuskan pada tahun 1924. Lembaga wakaf dan lembaga ulama dikuasakan kepada kantor urusan agama. Pada tahun 1925 beberapa tarekat sufi dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Pada tahun 1928 diberlakukan tulisan latin menggantikan tulisan Arab, dan mulai dilancarkan upaya memurnikan bahasa Turki dari muatan bahasa Arab dan Parsi. Pada tahun 1935 seluruh warga Turki diharuskan menggunakan nama kecil sebagaimana yang berlaku dengan pola nama Barat. Dalam rentangan abad ini diberlakukan kitab hukum keluarga yang didasarkan pada kitab Swiss menggantikan hukum Syari’ah. Demikianlah, simbol-simbol ketergantungan bangsa Turki terhadap kultur tradisional digantikan dengan sistem hukum, kebahasaan, dan beberapa sistem identitas modern lainnya.[65]
Melihat perkembangan Turki sebagaimana disebutkan di atas, Republik Turki adalah negara sekuler. Meskipun begitu apa yang diciptakan Mustafa Kemal belumlah negara yang betul-betul sekuler. Betul syari’at telah dihapus pemakaiannya dan pendidikan agama dikeluarkan dari kurikulum sekolah, tetapi Republik Turki Mustafa Kemal masih mengurus soal agama, melalui Departemen Urusan Agama, sekolah-sekolah Pemerintah untuk imam dan khatib, dan Fakultas Ilahiyat dari perguruan tinggi Negara, serta Universitas Istambul.[66]
Mustafa Kemal sebagai nasionalis dan pengagum peradaban Barat tidak menentang agama Islam. Baginya Islam adalah agama yang rasional dan perlu bagi umat manusia. Tetapi agama yang rasional ini telah dirusak oleh tangan manusia. Oleh sebab itu, ia melihat perlunya diadakan pembaharuan dalam soal agama untuk disesuaikan dengan bumi Turki. Al-Qur’an perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Turki, agar dapat dipahami rakyat Turki. Adzan dalam bahasa Turki dimulai pemakaiannya di tahun 1931. Fakultas Ilahiyat dibentuk untuk mempelajari pembaharuan yang diperlukan itu. Tetapi usaha itu kelihatannya tak berhasil, dan pemikiran untuk mengadakan pembaharuan dalam Islam melalui pemerintahan ditinggalkan.[67]
Sekularisasi yang dijalankan Mustafa Kemal tidak sampai menghilangkan agama. Sekularisasi berpusat pada kekuasaan golongan ulama dalam soal negara dan dalam soal politik. Oleh karena itu pembentukan partai yang berdasarkan agama dilarang, seperti Partai Islam, Partai Kristen, dan sebagainya. Yang terutama ditentangnya ialah ide negara Islam. Negara mesti dipisahkan dari agama. Institusi-insitusi negara, sosial, ekonomi, hukum, politik, dan pendidikan harus dibebaskan dari kekuasaan syari’at. Negara dalam pada itu, menjamin kebebasan beragama bagi rakyat.[68]
c.    Paradigma Simbiotik
Di antara dua kutub di atas, pemikiran ketiga menyatakan bahwa Islam memang tidak menyediakan sistem politik yang baku untuk diterapkan oleh umat Islam, akan tetapi Islam juga tidak membiarkan umatnya tanpa pedoman dalam bernegara dan mengatur  pemerintahan. Islam hanya memberikan seperangkat nilai saja yang mesti dikembangkan oleh umatnya sesuai dengan tuntutan situasi, masa dan tempat serta permasalahan yang mereka hadapi. Karenanya, Islam tidak melarang umatnya mengadopsi pemikiran-pemikiran dari luar, termasuk dari Barat, sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Islam, umpamanya, tidak menolak pemikiran tentang hak asasi manusia, pembatasan kekuasaan negara atau tentang prinsip-prinsip demokrasi.[69]
Oleh karena itu, paham ini menolak klaim ekstrim bahwa Islam adalah agama yang lengkap yang mengatur semua urusan termasuk politik, tetapi juga menolak klaim ekstrim kedua yang melihat bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan politik. Menurut tipologi ini, kendati Islam tidak menunjukkan preferensinya pada sistem politik tertentu, tetapi dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral atau etika bagi kehidupan bernegara, yang untuk pelaksanaannya Umat Islam bebas memilih sistem manapun yang terbaik.[70]  
Paham ini memahami bahwa agama dan negara adalah saling membutuhkan artinya memiliki hubungan timbal balik, perbedaannya dengan aliran integralistik adalah bahwa agama dan negara suatu etnisitas yang berbeda, namun saling membutuhkan, bukannya menyatu seperti yang dimaksud pada paham integralistik. Pemikiran ini di anut kalangan-kalangan ulama Islam yakni Ibnu Taimiyah, Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Yusuf Al-Qardawi dan lain-lain.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan negara, maka agama tidak bisa tegak. Pendapat beliau meligitimasikan agama dan negara merupakan dua etensitas yang berbeda, tetapi saling mebutuhkan. Oleh karenannya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak hanya berasal dari adanya social contect, tetapi bisa saja diwarnai dengan hukum agama.
Jamaludin Al-Afghani[71] dalam membahas ketatanegaraan lebih menghendaki pemerintahan republik dimana pemikiran beliau lebih dipengaruhi pemikiran barat, namun hal ini menurut beliau cukup ideal diterapkan pada pemerintahan, sebab di dalamnya terdapat kebebasan berpendapat dan kepala negara harus tunduk kepada undang-undang dasar, tetapi tidak lepas dari pemahaman beliau terhadap prinsip-prinsip ajaran Islam.
Kepala negara dalam sistem ini hanya berkuasa untuk menjalankan undang-undang dan hukum, hasil yang dirumuskan oleh lembaga legislatif untuk memajukan kesejahteraan umum. Agaknya, pemikiran Al-Afghani ini merupakan sintesis antara pemerintahan Barat dan prinsip-prinsip ajaran Islam yang berkaitan dengan kemasyarakatan dan kenegaraan. Dengan demikian, Afghani menghendaki reformasi dan pembaruan politik Islam dengan mengganti bentuk khilafah menjadi republik. Pemikiran ini memang berbeda dengan pemikiran umat Islam pada saat itu yang hanya mengenal bentuk khilafah yang mempunyai kekuasaan absolut.[72]
Selanjutnya pemikiran Al-Afghani dilanjutkan oleh muridnya yakni Muhammad Abduh.[73] Abduh tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan. Jika sistem khalifah masih tetap menjadi pilihan sebagai model pemerintahan, maka bentuk demikianpun harus sesuai perkembangan masyarakat dalam kehidupan materi dan kebebasan berpikir, menurutnya lebih jelas lagi bahwa Islam tidak menentukan bentuk pemerintahan.[74]
Pemerintah dan rakyat mempunyai hak dan kewajiban yang sama memelihara dasar-dasar agama, dan menafsirkannya selama ia berkaitan dengan masalah keduniaan. Produk dari pemahaman ini tidak bertentangan dengan salah satu pokok agama. Dalam kepala negara mereka adalah bentuk pemerintahan. Artinya merekalah menentukan bagaimana bentuk pemerintahan yang mereka kehendaki.[75] Namun demikian tidak berarti Muhammad Abduh memisahkan antara urusan agama dan negara secara mutlak, namun menurutnya Islam menetapkan hak-hak dan kewajiban kepada rakyat dan pemerintah, dan pemerintah wajib menegakkan keadilan yang dituntut oleh agama dan rakyat.
Abduh tidak memperdulikan bentuk pemerintahan, karena Islam tidak menetapkan bentuk pemerintahan. Menurut dia, jika sistem khilafah masih tetap menjadi pilihan sebagai model pemerintahan, maka bentuk ini harus bersifat dinamis yakni mengikuti perkembangan masyarakat dalam kehidupan materi dan kebebasan berpikir. Akibatnya, ia mampu mengantisipasi dinamika zaman. Pemikiran demikian tampaknya sebagai implikasi dari konsep teologis tentang manusia yang menganggap bahwa manusia memiliki kehendak bebas dalam memilih dan berbuat.[76]
Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi pemikiran politik Abduh di atas, yaitu terlihat oleh Abduh adanya kejumudan pada umat Islam sebagai akibat dari pemerintahan sewenang-wenang, absolut.[77] Lagi pula pemahaman Abduh tentang Islam tampak mewarnainya. Bagi Abduh, syariat itu mempunyai pengertian sempit dan luas. Islam oleh Abduh dianggap memiliki unsur dinamis yang dapat disesuaikan dengan dinamika zaman lewat jalan ijtihad.[78]
Pandangan ini juga di anut oleh Haykal murid Abduh. Pandangan Haykal antara lain terlihat dalam bukunya berjudul al-Hukamah al-Islamiyah. Menurutnya, Islam hanya meletakkan prinsip-prinsip bagi peradaban manusia, termasuk masalah kenegaraan. Karenanya, Islam tidak punya sistem pemerintahan yang baku. Umat Islam bebas menganut sistem pemerintahan yang bagaimana, sesuai dengan kondisi masyarakat yang berkembang, asalkan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang digariskan Islam.[79]
Para pemikir politik Islam kontemporer di Indonesia yang diwakili antara lain oleh Nurcholish Madjid, Amien Rais, dan Abdurrahman Wahid, secara umum mereka berpendapat bahwa tidak ada konsep tentang negara Islam. Dan, mereka juga sepakat untuk menerapkan secara maksimal nilai moral etis al-Qur’an dalam mengembangkan sistem sosial dan politik yang lebih egaliter, demokratis, adil, dan manusiawi.[80]

BAB III
DAKWAH, BUDAYA , DAN POLITIK: MEMBANGUN MANUSIA PADA ERA GLOBAL

A.  Pendekatan Budaya Sebuah Konsep Membangun Manusia pada Era Global
Di satu sisi agama adalah sumber nilai budaya, di sisi lain agama juga kebudayaan. Ketika masih berada di langit, konsep agama Islam pastilah sempurna karena ia dari Tuhan Yang Maha sempurna. Tetapi ketika membumi dan pemikiran manusia terlibat, maka agama Islam pun memiliki dimensi budaya. Jika pada dasarnya memiliki tingkat kebenaran mutlak sesuai dengan karakteristik pemikiran manusia. Para ulama pun tidak mengklaim kebenaran mutlak pendapatnya dengan kalimat, wallâhu a’lamu bi as-shawab (hanya Allah yang lebih mengetahui mana yang benar).[81]
Berbagai produk kebudayaan sebagaimana tersebut di atas selanjutnya digunakan untuk memahami agama Islam, sehingga pemahaman ke-Islaman tersebut dipengaruhi oleh paham atau konsep kebudayaan tersebut. Pemahaman ke-Islaman yang didasarkan atau dipengaruhi oleh pandangan kebudayaan yang demikian itulah yang selanjutnya dapat dikatakan sebagai Kebudayaan Islam.[82]
Diketahui bersama, bahwa dalam agama Islam antara agama dan kebudayaan sungguhpun sumbernya berbeda, tetapi saling mempengaruhi. Diketahui bahwa Islam adalah bersumber pada wahyu yakni al-Qur’an yang turun dari langit Allah SWT dan al-Hadits yang merupakan penjabaran dari al-Qur’an. Dan sebagai agama, Islam adalah sesuatu yang datang dari Tuhan untuk menjadi pedoman bagi manusia dalam mencapai kesejahteraan duniawi dan kebahagiaan ukhrawi. Sedangkan kebudayaan ialah semua produk aktivitas intelektual manusia untuk memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan hidup duniawi.[83]
Namun demikian walaupun antara agama (Islam) dan kebudayaan memiliki identitas sendiri-sendiri, namun antara keduanya bertaut berjalin berkelindan dan saling mempengaruhi. Corak dan warna kebudayaan dipengaruhi oleh agama dan sebaliknya pemahaman agama dipengaruhi pula oleh tingkat kebudayaan. Hal ini sejalan dengan pendapat Erich Fromm (1956) yang mengatakan tidak ada kebudayaan yang tidak berakar pada agama.[84]
Terjalin dan berakarnya agama dengan kebudayaan, khususnya di Indonesia, terlihat pada hasil penelitian Geertz (1956) di salah satu kota kecil di Jawa Tengah. Dia menemukan bahwa Islam telah menjadi kebudayaan yang ideal dalam masyarakat Indonesia, khususnya di pedesaan. Penemuan Geertz didukung oleh pengamatan Van de Kroef (1959). Penglihatan Geertz dan Kroef diperkuat oleh S. Soebardi dan Woodcraff-Lee (1982) yang berpendapat bahwa setiap upaya memahami watak masyarakat Indonesia masa kini dan warisan kebudayaannya tidak bisa meninggalkan penelaahan peran Islam, baik sebagai agama maupun sebagai kekuatan sosial politik.[85]  
Dengan memperhatikan hubungan antara agama dan kebudayaan tersebut di atas, maka munculnya kebudayaan Islam dalam arti Islam yang dipahami melalui pendekatan kebudayaan atau Islam yang dipengaruhi oleh paham atau konsep kebudayaan sangat dimungkinkan. Dengan kata lain secara teoritis munculnya kebudayaan Islam memiliki landasan yang jelas bahkan kuat sekali.[86]
Munculnya kebudayaan Islam agak mudah dimengerti apabila kita memperhatikan ruang lingkup ajaran Islam yang tidak hanya mencakup masalah keagamaan seperti teologi, ibadah dan akhlak, melainkan juga mencakup masalah keduniaan seperti masalah prekonomian, pertahanan keamanan, ilmu pengetahuan, teknologi, politik, keluarga, mode dan gaya pakaian, mode dan gaya arsitektur rumah, masalah sosial dan lain sebagainya. Jika pada aspek keagamaan peran Allah dan Rasul-Nya hanya menetapkan prinsip-prinsip etikanya saja, sedangkan tata cara dan ekspresinya terserah kepada manusia. Dalam situasi yang demikian itulah, maka kebudayaan mengambil peran dan memberi pengaruh yang besar terhadap agama. Yaitu jika agama hanya menentukan tentang prinsip-prinsip etika berharap hal-hal yang bersifat duniawi, maka kebudayaan memberikan bentuk ekspresi tentang model keduniawian yang sejalan dengan nilai-nilai Islami. Berbagai produk kebudayaan yang didasarkan pada nilai-nilai Islami inilah yang selanjutnya disebut peradaban.[87]
Dengan demikian dapat dibedakan antara kebudayaan dan peradaban Islam. Kebudayaan adalah produk hasil kreativitas manusia yang bersifat netral, sedangkan peradaban adalah produk hasil kreativitas manusia yang sudah didasarkan pada nilai-nilai Islami. Berdasarkan pada pengertian ini, maka kebudayaan Islam memiliki kedekatan makna dengan peradaban.  
            Kebudayaan Islam tidak mempermasalahkan bentuk atau simbol dari suatu pengamalan agama, tetapi yang lebih penting tujuan dan misi dari pengamalan tersebut. Dalam hubungan ini kita menjumpai ajaran tentang zikir atau mengingat kepada Allah. bentuk dari zikir ini terkadang mewujud dalam menyebut nama Allah sekian ratus kali dengan menggunakan alat semacam tasbih, ada yang menggunakan batu, ada yang dengan memasang tulisan kaligrafi pada dinding rumah dan lain sebagainya. Demikian pula ajaran Islam tentang doa ada yang mengambil bentuk berdoa sendiri-sendiri, berdoa bersama-sama, dilakukan di tempat yang berbeda-beda, atau dengan memasang benda-benda tertentu, seperti seorang ibu yang mengikatkan seutas tali atau benang pada lengan bayinya. Berbagai bentuk atau ekspresi dari pengalaman agama tersebut menurut pandangan budaya Islam tidak menjadi masalah, karena tujuan dari semua bentuk perbuatan tersebut adalah sama, yaitu mengingat dan memohon keberkahan dan rahmat dari Tuhan.[88]
            Selanjutnya budaya Islam juga tampil sebagai Islam yang lebih dapat beradaptasi dengan lingkungan sosialnya, di mana Islam tersebut dipraktekkan. Dalam hubungan ini, budaya Islam menghargai adanya keanekaragaman (pluralitas) prilaku keagamaan. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa sumber ajaran Islam yang dianut oleh setiap orang Islam adalah sama, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Sedangkan bentuk pemahaman, penghayatan, dan pengamalannya berbeda-beda. Hal yang demikian mudah dimengerti, karena pada saat ajaran Islam tersebut dipahami, dihayati dan diamalkan oleh seseorang sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, kecendrungan, bakat, lingkungan keluarga, kebudayaan, pengalaman, dan lain sebagainya dari yang bersangkutan. Dengan cara demikian hasil dari pemahaman, penghayatan, dan pengamalan tersebut berbeda-beda. Mereka mendapatkan manfaat dari agama sesuai dengan tingkat kesanggupan.
Dengan pandangan yang demikian, maka seseorang yang menganut paham budaya Islam akan mengakui eksistensi dari pemahaman Islam orang yang beraneka ragam coraknya, tanpa memandang yang satu lebih hebat dari yang lain. Sikap yang demikian diambil berdasarkan pandangan bahwa berbagai bentuk pemahaman, penghayatan, dan pengamalan tentang Islam yang dipengaruhi oleh berbagai faktor tersebut pada hakikatnya merupakan hasil ijtihad. Oleh karena semua itu hasil ijtihad maka bisa terjadi kemungkinan salah, dan kemungkinan benar. Dan jika demikian keadaannya, maka tidak ada yang boleh mengklaim bahwa ijtihadnya sajalah yang benar.
            Pandangan Islam yang bersifat budaya sebagaimana disebutkan di atas mendapat reaksi dan tantangan dari pandangan Islam fundamentalis tekstualis, yaitu pandangan yang melihat bahwa keislaman yang dipraktekkan dalam kenyataan sehari-hari harus sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Namun kenyataan menunjukkan bahwa al-Qur’an dan al-Sunnah bukanlah kitab fikih. Pada kedua sumber tersebut tidak dijumpai petunjuk atau bentuk praktek dari apa yang harus diamalkan itu. Dalam bidang akidah, akhlak, dan ibadah al-Qur’an dan al-Sunnah memiliki intevensi yang amat kuat. Namun perlu diingat bahwa dalam soal akidahpun timbul paham yang amat beragam. Demikian pula dalam bidang akhlak juga amat bervariasi. Dari contoh-contoh yang demikian itu terlihat sekali betapa kebudayaan memiliki pengaruh yang amat dominan.
            Namun demikian budaya Islam tidak identik dengan sinkretisme. Pada sikretisme yang terjadi adalah perpaduan dari beberapa unsur agama (seperti Islam, Hindu, Budha, dan sebagainya) lalu diolah menjadi bentuk agama baru. Sedangkan pada Islam budaya sebagaimana disebutkan di atas, titik tolak atau home base-nya adalah Islam sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits, namun dalam pemahaman, penghayatan, dan praktiknya dipengaruhi oleh latar belakang budaya dari orang yang memahaminya.
            Budaya Islam yang demikian itu tetap menjunjung tinggi nilai-nilai universal yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Namun nilai-nilai universal tersebut ketika dihayati, dipahami, dan diamalkan tidak universal lagi, karena sudah dipengaruhi oleh pemikiran manusia. Paham yang demikian akan membantu kita untuk membedakan mana yang universal dan mana yang tidak universal. Yang universal ada dalam al-Qur’an dan al-Sunnah yang mutawatir, sedangkan yang tidak universal ada dalam pemahaman umatnya, termasuk yang terdapat dalam paham yang dikemukakan para ulama. Oleh sebab itu, jika yang universal berlaku sepanjang zaman, mutlak benar dan tidak dapat diubah, maka yang tidak universal tidak dapat berlaku sepanjang zaman, bisa terjadi kekeliruan dan dapat dirubah.
Mengingat perubahan pola pikir manusia era globalisasi dan semakin transfarannya sekat-sekat agama dan budaya, menurut hemat penulis, sudah tiba saatnya umat beragama mengembangkan dan memekarkan dua bentuk pendekatana dan pemahaman terhadap keberamaan manusia yaitu pendekatan yang bersifat imani (believer) dan sekaligus pendekatan historis atau scientific.[89]
            M. Arkoun menyebutkan kedua pendekatan ini dengan istilah pendekatan taqlidiyyah-taifiyyah dan pendekatan tarikhiyyah-‘ilmiyah.[90] Pendekatan taqlidiyyah-taifiyyah lebih bersifat apriori, sarat dengan truth claim sehingga bercorak eksklusif dan lebih menekankan finalitas dan pemutlakan suatu ajaran agama. Sedangkan pendekatan tarikhiyyah-‘ilmiyyah lebih bersifat aposteriori, empiris, dan open ended, dialogis toleran tanpa meninggalkan normativitas ajaran agama yang dipeluknya sendiri.
Untuk era globalisasi budaya seperti saat sekarang ini, pendekatan keagamaan yang hanya terbatas pada dimensi “keimanan” tanpa melibatkan dialog pemikiran yang bersifat historis, terbuka, egaliter, dan demokratis, agaknya akan membentuk pola pikir yang bersifat eksklusif, yang hanya berlaku dalam wilayah lingkungan intern yang amat terbatas. Pola pikir yang bersifat partikularistik demikian akan mengalami kesulitan jika berhadapan dengan wilayah atau masyarakat di luar lingkungan sendiri. Pola pikir demikian kurang dapat mengapresiasi golongan lain di luar wilayah intern mereka.[91]
Sebaliknya, pendekatan keagamaan yang melulu bersifat scientific-ilmiyyah, juga bukannya tidak mengandung resiko. Pendekatan ilmiah yang hanya melihat agama sebagai fenomena sosial belaka kurang dapat menghayati dimensi kedalaman penghayatan agama yang dimiliki oleh setiap manusia beragama. Pendekatan ilmiah terhadap fenomena sosial yang tidak memedulikan dimensi keagamaan (al-bu’du al-dini) memang akan kering dari nilai-nilai spiritualitas.[92]

B.  Pendekatan Politik Sebuah Konsep Membangun Manusia pada Era Global
Di kalangan masyarakat Islam pada umumnya kurang melihat hubungan masalah politik dengan agama. Hal ini antara lain disebabkan karena pemahaman yang kurang utuh terhadap cakupan ajaran Islam itu sendiri. Kuntowijoyo misalnya mengatakan, “Banyak orang, bahkan pemeluk Islam sendiri, tidak sadar bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi juga sebuah komunitas (umat) tersendiri yang mempunyai pemahaman, kepentingan dan tujuan-tujuan politik sendiri. Banyak orang beragama Islam, tetapi hanya menganggap Islam adalah agama individual, dan lupa kalau Islam juga merupakan kolektivitas. Sebagai kolektivitas, Islam mempunyai kesadaran, sktruktur, dan mampu melakukan aksi bersama.[93] 
            Namun sebagian kalangan mempunyai konsep yang rancu terhadap penyebaran Islam. Misalnya saja ada yang berpendapat bahwa Islam disebarkan dengan pedang, melalui jihad yang diartikan sebagai “perang suci” atau perang penyebaran agama. Sebenarnya, untuk mengerti istilah jihad itu tak bisa tidak seseorang harus lebih dahulu memahami transisi situasi sosial masyarakat Arab yang kebanyakannya hidup secara nomaden dalam biasa melakukan semacam razzia terhadap kabilah-kabilah bangsa Arab lain yang bermusuhan atau tidak mempunyai hubungan dengan suatu kabilah tertentu.[94]  
Semua itu dilakukan tidak lain dalam kerangka strategi untuk menggalang kekuatan tanpa harus membuat jatuhnya korban. Inilah sebenarnya dilakukan Nabi ketika memasuki Mekkah tanpa menimbulkan korban jiwa manusia. Karena itu, istilah jihad lebih proporsional diterjemahkan sebagai “berusaha keras” atau “memperluas usaha”. Konsep jihad seperti inilah yang kemudian juga diteruskan pada masa al-khulafa al-rasyidun. Tetapi dalam perkembangan lebih lanjut, kata jihad mulai semakin bergeser dari arti aslinya, ketika kepentingan-kepentingan kebendaan- semacam harta rampasan perang dan politik mulai muncul di sebagian kalangan umat Islam. Ketika tingkat kepentingan politik itu semakin tinggi, tatkala itu pulalah tercipta konflik politik yang kian tajam pula di antara umat Islam yang kemudian memunculkan berbagai aliran teologi Islam.[95]
Dalam perkembangan selanjutnya, di antara sebagian Negara-negara Muslim terdapat konflik, perlombaan senjata dan bahkan peperangan. Kenyataan ini menimbulkan kesan terdapatnya kontradiksi dengan esensi ajaran Islam yang cinta damai itu. Sebelum kita terlanjur menjatuhkan vonis bahwa ajaran Islam tidak fungsional bagi sementara pemeluknya, ada baiknya melihat pertentangan dan konflik di antara Negara-negara Muslim tertentu tidak terlepas dari suatu struktur kekerasan di muka bumi. Gelombang ketegangan dan perlombaan persenjataan melibatkan dinamika sangat kompleks, menyangkut berbagai aspek yang muncul sebagai implikasi dari struktur kekerasan itu.
Dalam kekerasan politik yang mendunia saat ini, kelihatan betapa lemahnya posisi Negara-negara Islam vis-à-vis Negara-negara kuat  pendukung struktur tersebut. Konflik dan ketegangan yang terjadi di antara sementara Negara Islam dalam banyak hal merupakan imbas dari hawa nafsu yang dipancarkan Negara-negara kuat. Agaknya tidak ada alternatif lain bagi Negara-negara Islam kecuali merapatkan barisan utnuk sedapat mungkin membendung pengaruh kekuatan-kekuatan eksternal. Jika tidak, Negara-negara Islam hanya akan menjadi korban kontinyu dari kekerasan struktural tersebut. Di sini baru timbul pertanyaan; cukup berarti dan fungsionalkah ajaran Islam tentang persatuan dan perdamaian di kalangan Islam sendiri.
Oleh karena itu, sudah saatnya bagi umat Islam dunia untuk memainkan peranan penting dalam dunia global. Dengan memanfaatkan organisasi-organisasi keislaman yang sudah ada misalnya, memaksimalkan perananan dan fungsi OKI dan lain-lain. Dengan begitu, umat Islam mempunyai wadah atau tempat untuk menggalang kekuatan dalam merespon dan menjawab tantangan dunia global saat ini.
Semua agama mengajarkan kepada para pemeluknya untuk hidup dalam kedamaian, keselamatan, dan kesejahteraan baik di dalam dunia maupun di akhirat. Bahkan agama muncul, baik secara teologis guna menyantuni dan menyelamatkan anak manusia, menunjukkan jalan-jalan kedamaian dan keselamatan, menghilangkan ketidakpastian dan mendatangkan ketentraman, mengajarkan kasih sayang di antara sesama manusia, makhluk lain, dan lingkungan hidupnya, menyucikan diri dari perbuatan-perbuatan buruk, tercela atau merusak dan sebagainya.

C.  Pemanfaatan Media Cetak dan Elektronik pada Era Global Sebagai upaya untuk Meningkatkan kualitas Budaya dan Politik Islam
Globalisasi dipahami sebagai berasal dari asal kata globe, yang berarti bola bumi. Istilah ini digunakan karena akselerasi penyebaran informasi yang luar biasa. Dalam waktu sekejap saja, melalui fasilitas teknologi komunikasi yang teramat canggih, arus informasi dari satu belahan bumi bisa menyebar secara merata ke seluruh bola bumi. Karena kenyataan inilah kita lalu seolah-olah menjadi bagian dari istilah-istilah itu.[96]
Disadari atau tidak, bersamaan dengan derasnya arus globalisasi yang tak bisa dikendalikan itu, kemajuan-kemajuan tersebut secara meyakinkan mengubah dan mengarahkan kebudayaan kita dan bahkan melebihi angan-angan kita. Kemajuan teknologi beserta dampaknya telah menguasai hampir seluruh masyarakat dunia. Karena itulah, barangkali, lalu Lucian W. Pye menetapkan bahwa modernitas adalah budaya dunia.[97]
Kemajuan ilmu pengetahuan yang dibarengi terbukanya wawasan dan pola pikir baru punya dampak psikologis mendalam terhadap kehidupan manusia. Manusia yang hidup dalam era teknologi dituntut berpikir universal dan substansial. Namun saat yang sama, mereka juga dituntut bertindak secara lokal, terikat batas-batas weltanschauung yang terbentuk oleh faktor sejarah, geografi, bahasa, agama, dan kultur yang bersifat partikular, primordial, dan tradisional.[98]
Perpaduan dan pertimbangan antara dua cara pikir dan tindakan tersebut tidak dapat dikesampingkan dalam kehidupan pribadi dan sosial kontemporer. Pola pikir global, universal, substansial tanpa memperhatikan faktor budaya lokal akan membawa orang teralienasi dari lingkungannya. Sebaliknya terjerat pola pikir budaya lokal tanpa perduli pengaruh budaya global, juga menyebabkan kepribadian terpecah (split personality), sebab terhimpit dua tuntutan berpikir dan bertindak.[99] 
Teknologi modern tidak hanya merubah wajah kehidupan baik secara pribadi maupun sosial. Untuk memenuhi kebutuhan psikis material dapat diperoleh dengan cara membeli atau mentransfer teknologi. Oleh karena itu, penting bagi umat Islam pada era global ini untuk memanfaatkan media-media cetak, elektronik, dan internet untuk kemajuan dan perkembangan budaya dan politik Islam. Media-media tersebut di antaranya; koran, majalah, buletin, televisi, radio, internet, dan pemaanfaatan media jejaring sosial.
Pengaruh globalisasi terhadap agama, setidaknya dapat dilihat dari munculnya dua respons agama yang tampaknya berlawanan. Agama-agama bisa saja merambah dunia global atau malah menentangnya. Yang pertama, jalan universalisme: pandangan kultural yang menegaskan, kita semua ada dalam kebersamaan dan kita lebih baik belajar satu sama lain sehingga dapat menjalin kerja sama. Hal ini dapat melibatkan ragam kultural yang akhirnya mengantar umat beragama pada kesatuan kemanusiaan sebagai satu keluarga.[100] Namun, bisa juga muncul kecenderungan sebaliknya. Ideologi-ideologi agama atau quasi-agama bisa merespons konteks global baru dengan mengasingkan diri (‘uzlah) sembari menekankan keberbedaan.
Kalangan umat beragama perlu lebih mendalami semangat etis dan paradigma perubahan yang menjadi tuntutan zaman. Dengan semangat itu kita bisa menjawab tantangan globalisasi, seperti hilangnya batas-batas atau sekat-sekat etnik, golongan, bahkan negara. Kita harus membuang jauh konsepsi agama yang sempit dan eksklusif yang cenderung membatasi kebajikan sebagai milik "kita" saja, dan "mereka" tak punya. Pendekatan eksklusif tidak akan mampu mentransendenkan batas-batas keagamaan seseorang.[101]
Beberapa aspek globalisasi, seperti dikemukakan di atas, mungkin dapat membuat umat beragama lebih mudah menyampaikan pesan-pesan agama secara lebih luas dan universal. Dengan jangkauan media yang worldwide kita memiliki kesempatan membentangkan esensi agama sehingga dapat mewarnai etika perdagangan dunia. Kini masyarakat dunia telah menjadi lebih multi-religius, tidak lagi eksklusif.[102]

BAB IV
PENUTUP


A.  Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut, budaya dan politik Islam pada dasarnya merupakan respon Islam terhadap berbagai masalah  kebudayaan dan politik yang ada di masyarakat Islam. Respon tersebut dalam perjalanannya terjadi saling mempengaruhi dan tarik-menarik. Dari satu segi dimensi budaya dan politik lebih dominan, sedangkan pada sisi lain yang terjadi sebaliknya.
Dakwah dengan pendekatan budaya dan politik Islam dengan segala kekurangan dan kelebihannya perlu mendapat perhatian serius dari semua kalangan umat Islam. Sebab melalui pemahaman Islam yang demikian itu, berbagai produk kebudayaan dan politik yang ada di masyarakat dapat disatukan dalam naungan nilai-nilai Islam, dan pada gilirannya dapat memberi rahmat bagi kehidupan manusia. Lebih dari itu, melalui pendekatan ini dialog umat Islam di dunia global akan terjalin harmonis dan dapat bekerjasama membangun dunia, karena stressing point-nya bukan terletak pada bentuk dan simbol, melainkan pada substansinya.

B.  Saran-Saran
Sudah tiba saatnya, umat Islam perlu mengembangkan ICT (information communication technology) berbasis budaya dan politik Islam. Sehingga cita-cita luhur Islam sebagai agama rahmatan alamȋn dapat terwujud di dunia global. Sebab penyebaran informasi pada era globalisasi semakin terbuka dan dapat di akses masyarakat dari belahan dunia manapun, termasuk informasi mengenai dakwah, budaya, dan politik yang berkembang di masyarakat.



DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, Studi Agama: Normalitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Ahmad, Abd. Al-‘Athi Muhammad, al-Fikr al-Siyasi Li al-Imam Muhammad Abduh, Mesir: al-Maiat al-Mishriyyat al-‘Ammat li al-Kitab, 1978.

Alawiyah, Tutty AS, “Paradigma Baru Dakwah Islam: Pemberdayaan Sosio-Kultural Mad’u”, Dakwah; Jurnal Kajian Dakwah dan Kemasyarakatan, Vol. III, No. 2, Jakarta: Fakultas Dakwah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001.

Alfian, Tranformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Nasional, Jakarta: UI. Press, 1986.

Azra, Azyumardi, Islam Substantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih, Bandung: Mizan, Cet. 1, 2000.

-------, Pergolakan Politik Islam: dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernimse, Jakarta: Paramadina, 1996.

Dewan Editor, Ensiklopedi Islam, Vol. 2, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. III, 1994.

Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, Cet. 1, 1998.

Geun, Ali An Sun, Islam Damai di Negeri Asia Timur Jauh: Meneropong Penyebaran dan Dinamika Islam di Korea, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2011.

Grunebaum, Gustave E. Von, (editor), Unity and Variety in Muslim Civilization, Chicago: The University of Chicago Press, 1955.

Hasbullah, Islam dan Transformasi Kebudayaan Melayu di Kerajaan Siak, Riau: Yayasan Pusaka Riau, 2007.

Hitti,  Philip K., History of The Arab, London: Macmillan Press, 1970.

Ilyas, Yunahar, “Globalisasi dan Tantangan Dakwah”, Tulisan ini pernah disampaikan pada diskusi publik Sciences, Yogyakarta, 19 April 2004.

Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. 1, 2001.

Ismail, A. Ilyas, dan Prio Hotman. Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam, Jakarta: Prenada Media Group, Cet. 1, 2011.

John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam in Transition: Muslim Perspectives, Penerjemah Machnun Husein, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. 4, 1994.

Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, 1985.
---------, Pengantar Antropologi I, Jakarta: PT Rineka Cipta, Cet. I, 1996.

Kroeber, A. L., Anthropology Today, New York: Harcourt, Brace and Company, 1948.

Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997.

Linton, Ralph, The Studi of Man; Antropologi Suatu Penyelidikan Tentang Manusia, Bandung: Jemmars, 1984

Malinowski, Dinamik Bagi Perubahan Budaya, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1999.

Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madhhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: PT Lkis Pelangi Aksara, 2001.

Maududi, Abul A’la, Tafhim al-Qur’an, Vol. 2 Lahor: tp, 1951.

Maurice Duverger, Sosiologi Politik, terj. Daniel Dhakidae, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. VI. 1998. 

Mubarok, Achmad, Otobiografi dan Percikan Pemikiran Budaya, Jakarta: Mubarok Institute, 2009.

----------, Psikologi Dakwah,  Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. II,  2001.

Mulkhan, Abdul Munir, “Agama dalam Dialog Budaya,” Atas Nama Agama: Dialog Bebas Konflik, Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.

Munawwir, Ahmad Warsono, al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984.

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1990.

Nasution, Harun, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya Jilid I, Jakarta: UI Press, Cet. IV, 1984.

Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. XI, 1986.

Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, Cet. IX, 2004.

---------, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001.

Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Pulungan, Suyuthi, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,  Jakarta: PT Raja Grafindo, Cet. I, 1994.

Rahman, Fazlur, Islam,  Jakarta: Bumi Aksara, 1992.

Rahmat, M. Imdadun, Ideologi politik PKS; dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen, Yogyakarta: PT LkiS Pelangi Aksara, 2008.

Raziq, Ali Abd, Al-Islam wa Ushul al-Hukm, Cairo: tp,  Cet. 3, 1925.

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan pemikirannya Jakarta: UI Press, Cet. V, 1993.

Soebardi, S. dan Woodcraff-Lee, Islam in Indonesia, Raphael Israeli (ed), The Crescent in the East: Islam Asia Major, London: Curzon Press, 1982.

Sukayat, Tata,  Internalisasi Nilai Agama Melalui Kebijakan Publik: Dakwah Struktural Bandung Agamis, Bandung: CV. Rieksa Utama Jaya, Cet. 1, 2011

Watt, W. Montgomery, Muhammad Prophet and Statesman, London: Oxford University Press, 1965.

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Cet. XII, 1991.



[1]Abdul Munir Mulkhan, “Agama dalam Dialog Budaya,” Atas Nama Agama: Dialog Bebas Konflik, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), h. 279.
[2] Yunahar Ilyas, “Globalisasi dan Tantangan Dakwah”, Tulisan ini pernah disampaikan pada diskusi publik Sciences, Yogyakarta, 19 April 2004
[3]M. Imdadun, Rahmat. Ideologi politik PKS; dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen, (Yogyakarta: PT LkiS Pelangi Aksara, 2008), h. 54.
[4]Tata Sukayat.  Internalisasi Nilai Agama Melalui Kebijakan Publik: Dakwah Struktural Bandung Agamis, (Bandung: CV. Rieksa Utama Jaya, Cet. 1, 2011), h. 150.
[5]Ahmad Warsono Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984), h. 407.
[6]A. Ilyas Ismail , dan Prio Hotman. Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, Cet. 1, 2011), h. 27. 
[7]Tutty Alawiyah AS, “Paradigma Baru Dakwah Islam: Pemberdayaan Sosio-Kultural Mad’u”, Dakwah; Jurnal Kajian Dakwah dan Kemasyarakatan, Vol. III, No. 2, (Jakarta: Fakultas Dakwah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001), h. 1.
[8] Achmad Mubarok, Psikologi Dakwah,  (Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. II,  2001),  h. 19-20.
[9]Achmad Mubarok, Otobiografi dan Percikan Pemikiran Budaya, (Jakarta: Mubarok Institute, 2009), h. 136.
[10]Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1985), h. 5.
[11]Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 258.
[12]Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), h. 173-174.
                [13]Sumbangan difusi kepada kemajuan umat manusia ada dua macam. Pertama, mendorong kebudayaan sebagai keseluruhan. Kedua, memperkaya isi masing-masing kebudayaan sehingga dapat mendorong maju dengan pesat masyarakat-masyarakat yang mendukungnya. Kebudayaan sebagai keseluruhan dapat dipercepat perkembangannya karena masing-masing masyarakat tidak perlu setidak kali mewujudkan penemuan sendiri. Lihat, Linton, Ralph, The Studi of Man; Antropologi Suatu Penyelidikan Tentang Manusia, (Bandung: Jemmars, 1984), h. 255.
[14]Malinowski, Dinamik Bagi Perubahan Budaya, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka), h. 27.
[15]Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, (Jakarta: PT Rineka Cipta, Cet. I, 1996), h. 152.
[16]Konsep ini kadang-kadang digunakan dalam arti lain, yakni bahwa unsur kebudayaan yang dibawa ke dalam suatu kebudayaan mendorong munculnya unsur-unsur kebudayaan baru ciptaan kebudayaan penerima, walaupun gagasan asli berasal dari luar. Lihat A. L. Kroeber, Anthropology Today, (New York: Harcourt, Brace and Company, 1948), h. 368-370.
[17]Gustave E. Von Grunebaum (editor), Unity and Variety in Muslim Civilization, (Chicago: The University of Chicago Press, 1955), h. 29
[18]Ali An Sun Geun, Islam Damai di Negeri Asia Timur Jauh: Meneropong Penyebaran dan Dinamika Islam di Korea, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2011), h. 125.
[19] Ibid.,
[20]Hasbullah, Islam dan Transformasi Kebudayaan Melayu di Kerajaan Siak, (Riau: Yayasan Pusaka Riau, 2007), h. 12.
[21]Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, h. 155-156.

[22] Lihat, Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, (Jakarta: PT Rineka Cipta, Cet. I, 1996), h. 160.
[23]Maurice Duverger, Sosiologi Politik, terj. Daniel Dhakidae, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. VI. 1998), h. 310. 
[24]Hasbullah,  Islam dan Transformasi Kebudayaan Melayu di Kerajaan Siak, h. 19.
[25] Ibid., h. 20.
[26] Alfian, Tranformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Nasional, (Jakarta: UI. Press, 1986), h. x
[27]Hasbullah,  Islam dan Transformasi Kebudayaan Melayu di Kerajaan Siak h. 19.
[28] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, h. 160.
[29] Ibid., h. 160.
[30] Ibid., h. 160.
[31]W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. XII, 1991), h. 763.
[32]Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1990), h. 2-3.
[33]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, Cet. IX, 2004), h. 316-317.
[34]Achmad Mubarok, Otobiografi dan Percikan Pemikiran Budaya, (Jakarta: Mubarok Institute, 2009), h. 147.
[35]Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997), h. 27.
[36]Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madhhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: PT Lkis Pelangi Aksara, 2001), h. 24.
[37]Sukayat, Internalisasi Nilai Agama Melalui Kebijakan Publik: Dakwah Struktural Bandung Agamis, h. 45.
[38] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam  (Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. 1, 2001), h. xiv.
[39]Rasyid Ridha (1865-1935) Rasyid Ridha belajar di sekolah Pemerintah Usmani di sekolah Syeikh Husein Jisr, keduanya di Tripoli, Lebanon, Di sini untuk pertama kalinya dia berkenalan dengan Muhammad Abduh, dan kemudian, pada tahun 1897, ketika dia merantau ke Mesir dia menjadi teman dan murid setia Abduh dan sekaligus penyebar gagasan-gagasannya. Padah tahun 1898 Ridha menerbitkan majalah berkala Al-Manar, yang ketika itu merupakan suara pembaharuan Islam yang terpenting di dunia Arab. Lihat, John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam in Transition: Muslim Perspectives, Penerjemah Machnun Husein (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. 4, 1994), h. 90.
[40]Abul A’la al-Maududi, Tafhim al-Qur’an, Vol. 2 (Lahor: tp, 1951), h. 343. Lihat juga, Muhammad Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan Antara Islam dan Barat  (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. 1, 1996), h. 135.
[41]Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan pemikirannya (Jakarta: UI Press, Cet. V, 1993), h. 166.
[42]Lihat, Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, Cet. 1, 1998), h. 187.
[43]Lihat, Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran  (Jakarta: PT Raja Grafindo, Cet. I, 1994), h. 77.
[44]Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya Jilid I (Jakarta: UI Press, Cet. IV, 1984), h. 92.
[45]Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam,  h. 42.
[46]Lihat, W. Montgomery Watt, Muhammad Prophet and Statesman (London: Oxford University Press, 1965), h. 223-225.
[47]Philip K. Hitti, History of The Arab (London: Macmillan Press, 1970), h. 120.
[48]Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan pemikiranny,  h. 148.
[49]Kata sekular pada dasarnya mempunyai dua konotasi, yaitu waktu dan lokasi. Waktu menunjukkan pada pengertian sekarang, dan lokasi mengandung arti dunia. sedangkan, kata sekularisasi diartikan sebagai pembebasan manusia atas agama atau metafisik. Lihat, M. Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme (Bandung: Pustaka, 1981), hal. 20. Menurut Fazlurrahman, istilah sekularisasi dalam dunia pembaharuan mengandung dua makna praktis, yaitu “pembedaan” yang kultur dan yang doktrinal dalam agama, sekaligus “pemisahan” antara keduanya. Sesuatu yang bersifat kultur dengan menggunakan prinsip-prinsip sekuler-duniawi yang terlepas dari doktrin agama. Lihat, Fazlur Rahman, Islam  (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 155.
[50] Negara sekular adalah negara yang memisahkan urusan agama dengan urusan publik dan politik. Jadi, kalau milsahnya umat beragama, kelompok agama, ingin mendirikan masjid, gereja, atau rumah ibadah lain, mereka tidak boleh dibantu oleh negara. Itu adalah urusan masyarakat keagamaan sendiri, umat beragama sendiri. Dalam sebuah sistem politik sekular, simbol-simbol agama tidak boleh masuk ke dalam simbol-simbol kenegaraan dalam gedung-gedung milik publik atau milik pemerintah. Lihat, Azyumardi Azra, Islam Substantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih (Bandung: Mizan, Cet. 1, 2000), h. 220.
[51]Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam,  h. xiv.
[52]Ali Abd al-Raziq  lahir pada tahun 1888 dan wafat tahun 1966 M. Dia penganut Abduh, meskipun mungkin tidak sempat belajar banyak secara langsung darinya, oleh karena ketika Abduh wafat pada tahun 1905 Ali baru berusia kira-kira tujuh belas tahun. Dia mendapatkan pendidikan agama di Universitas al-Azhar, kemudian pergi belajar ke Universitas Oxford, Inggris, selama satu tahun. Dia seorang ilmuwan agama dan seorang hakim pada Mahkamah Syari’ah Mesir. Lihat, Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan pemikiranny, h. 139.
[53]Ali Abd al-Raziq, Al-Islam wa Ushul al-Hukm, (Cairo: tp,  Cet. 3, 1925), h. 55. Lihat juga, Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: PT Raja Grafindo, Cet. I, 1994), h. 305.
[54] Ibid., h. 307.
[55] Ibid., h. 307.
[56]Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan Antara Islam dan Barat,  h. 116.
[57]Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan pemikirannya, h. 142.
[58]Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan Antara Islam dan Barat,  h. 117. 
[59]Thaha Husein lahir di Magagah, Mesir Selatan, 14 November 1889- 28 Oktober 1973. Seorang sastrawan, pemikir, dan pembaharu di Mesir yang mengajukan seperangkat konsep dan gagasan untuk membangun Mesir modern, baik dalam bidang budaya, politik, pendidikan, maupun keagamaan. Lihat,  Dewan Editor, Ensiklopedi Islam, Vol. 2 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. III, 1994), h. 137.
[60]Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan pemikirannya, h. 139.
[61]Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam,  h. 28.
[62]Ahmad Luthfi Sayid (1872-1963) adalah salah seorang pengikut setia Abduh. Dia mempelajari ilmu hukum dan bekerja sebagai pegawai Pemerintah. Dia banyak membaca tulisan-tulisan orang-orang Eropa dan menghabiskan banyak waktunya untuk bekerja sebagai penyunting surat kabar (al-jaridah). Suatu saat dia melibatkan diri dalam kegiatan politik sebagai pendiri Partai Rakyat, tetapi kemudian berhenti. Dia pernah menjabat Direktur Perpustakaan Nasional dan membantu berdirinya Universitas  Mesir yang baru, di mana ia pernah menjadi guru besar dalam bidang Ilmu Filsafat dan juga pernah menjadi Rektor universitas tersebut. Lihat, John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam in Transition: Muslim Perspectives, h. 115.
[63]Sjadzali,  Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan pemikirannya, h. 138.
[64]Sukayat, Internalisasi Nilai Agama Melalui Kebijakan Publik: Dakwah Struktural Bandung Agamis, h. 54.
[65]Lapidus, A History of Islamic Societies. h. 91.
[66]Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, Cet. XI, 1986), h. 152.
[67]Ibid., h. 153.
[68]Ibid., h. 153.
[69]Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam,  h. xiv.
[70]Sukayat, Internalisasi Nilai Agama Melalui Kebijakan Publik: Dakwah Struktural Bandung Agami,  h. 68.
[71]Jamaluddin Al-Afghani adalah seseorang yang menguasai mistisisme Isyraqi sekaligus penganjur modernisasi yang bersemangat. Ketika berkeliling Iran, Afghanistan, Mesir, dan India, Al-Afghani berupaya terbuka ke semua orang. Dia mampu menampilkan diri sebagai Sunni ketika berhadapan dengan orang Sunni, menjadi martir Syiah bagi orang Syiah, seorang revolusioner, filosof religius, dan seorang parlementer. Lihat, Karen Amrstrong, A History of God: The 4, 000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam. Penerjemah Zaimul Am (Bandung: Mizan, Cet. 2, 2001), h. 466.
[72]Muhammad Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan Antara Islam dan Barat, h. 108.
[73]Muhammad Abduh (1849-1905), murid Al-Afghani dari Mesir, memiliki pendekatan yang berbeda. Dia memutuskan untuk memusatkan aktivitasnya di Mesir saja dan berfokus pada pendidikan intelektual kaum Muslim di sana. Dia dibesarkan di lingkungan Islam tradisional di bawah bimbingan sufi Syaikh Darwis, yang mengajarkan kepadanya sains dan filsafat merupakan dua jalan yang paling aman menuju pengetahuan tentang Tuhan. Akibatnya ketika Abduh mulai belajar di Masjid Al-Azhar yang prestisius di Kairo, dia dikecewakan oleh silabusnya yang ketinggalan zaman. Akan tetapi, dia tertarik pada Al-Afghani, yang membimbingnya dalam logika, teologi, astronomi, fisika dan mistisisme. Lihat, Karen Armstrong, A History of God: The 4, 000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam, h. 466.
[74] Proses sekularisasi oleh pemerintah-pemerintah Muslim pada akhir abad ke-19 diikuti dengan munculnya gerakan modernisme Islam di dunia Arab dan Anak-Benua India. Para pembaru sekuler cenderung mendukung gagasan pemisahan agama dari politik karena, bagi mereka, Islam hanya terbatas pada masalah moral dan pribadi. Mereka berpaling ke Barat untuk memperbaharui segi sosio-politik dalam kehidupan mereka. Namun, selama paruh kedua abad ke-19 itu juga muncul satu generasi mujaddid (pembaru, atau lebih tepatnya modernis) Islam, seperti Jamaaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, yang berusaha mempersatukan dan memperkokoh masyarakat-masyarakat Muslim melalui upaya pembaharuan iman dan masyarakat Islam itu sendiri. Lihat,  Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, Cet. 1, 1996), h. 9.
[75]Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, h. 282.
[76]Abd. Al-‘Athi Muhammad Ahmad, al-Fikr al-Siyasi Li al-Imam Muhammad Abduh, (Mesir: al-Maiat al-Mishriyyat al-‘Ammat li al-Kitab, 1978), hal. 69. Lihat juga,  Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan Antara Islam dan Barat,  h. 108-109.
[77]Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 54.
[78]Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan Antara Islam dan Barat, h. 109.
[79] Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam,  h. 28.
[80] Nugroho Anjar, “Pemikiran Politik Amien Rais dan Abdurrhaman Wahid”, Laporan penelitian, 2002.  h. 74.
[81]Achmad Mubarok, Otobiografi dan Percikan Pemikiran Budaya, (Jakarta: Mubarok Institute, 2009), h. 123.
[82]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 174.
[83]Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim, h. 258.
[84] Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, h. 175.
[85]S. Soebardi dan Woodcraff-Lee, Islam in Indonesia, Raphael Israeli (ed), The Crescent in the East: Islam Asia Major, (London: Curzon Press, 1982), h. 180.
[86]Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, h. 175-176.
[87]Ibid., h. 176.
[88] Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, h. 177.
[89] Ian G. Barbour, Issues in Science and Religion, (New York: Harper Torch Book Harper and Row Publisher, 1966), hal. 129. Lihat juga,  M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural; Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, (Bandung: Mizan, Cet. I, 2000), hal. 116.
[90]Mohammed Arkoun, al-Fikr al-Islamy: Naqd wa Ijtihad, perj. Hashim Shalih, (London: Dar al-Saaqi), h. 293-294.
[91]M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural; Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, (Bandung: Mizan, Cet. I, 2000), h. 116-117.
[92] Ibid.
[93]Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997), h. 27.
[94]Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernimse, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 183.
[95]Ibid., h. 183-184.
[96]Sa’id Aqiel Siradj, “Khazanah Pemikiran Islam dan Peradaban Modern,” Pesantren Masa Depan; Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h. 27
[97] Ibid.
[98]M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normalitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.  45-46.
[99] M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normalitas atau Historisitas, 46.
[100]Mun’im A Sirry, Respons Agama terhadap Globalisasi, Kompas, 17 Januari, 2003
[101] Ibid.
[102] Ibid.

Post a Comment

 
Top