BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk sosial yang memiliki tabiat suka bekerjasama dan
bersaing sekaligus. Sebagai warga kepulauan Nusantara, mereka merasa
membutuhkan kerja sama, oleh karena itu dispekatilah adanya kesatuan bangsa. Tetapi sebagai
makhluk politik, dalam bekerjasama pun manusia suka bersaing untuk kepentingan
yang lebih kecil, yakni kepetingan dirinya. Apa lagi dalam hidup berbangsa
dibutuhkan adanya pemimpin, oleh karena itu banyak orang yang bersaing secara
politik untuk berusaha menduduki kursi pemimpin. Sesungguhnya bagaimana
kepemimpinan berlangsung, praktek ibadah shalat memberi contoh bagaimana
merekrut pemimpin (imam), apa kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang imam,
dan selanjutnya bagaimana etika kebersamaan dalam menuju tujuan bersama.[1]
Sedangkan sekumpulan manusia
kemudian membentuk menjadi masyarakat Islam. Masyarakat Islam yang berkembang secara politik adalah
masyarakat hukum. Penguasa dan yang dikuasai sama-sama diperintah syari’ah,
seperti yang ditafsirkan dan dilaksanakan sarjana-sarjana Islam yang
terpelajar, yaitu kaum ulama, dan para ahli hukum, yaitu fuqaha. Sebagai
agama yang memperhatikan masalah-masalah dunia di samping masalah-masalah
akhirat, Islam mengatur tingkah-laku manusia sesuai dengan kaedah-kaedah
keadilan dan persamaan yang diajarkan Nabi. Menurut idealnya, pemimpin politik
masyarakat adalah juga pemimpin agamanya, yaitu khalifah atau imam;
keabsahannya diperoleh melalui bai’ah (yaitu pernyataan loyalitas) dari
pemuka-pemuka masyarakat.[2]
Walaupun ajaran Islam tidak seluruhnya jelas mengenai struktur kepemimpinan
masyarakat (dan jauh sebelum jabatan khilafah itu dihapuskan tahun 1924,
ia tidak lagi memiliki kekuatan politik), namun jelas bahwa bagaimana pun
bentuk kepemimpinan, baik dunia atau ukhrawi, ia harus dibimbing dan
dibatasi oleh Kalam dan Hukum Allah. al-Qur’an juga memerintahkan
permusyawarahan sebagai cara mencapai keputusan. Dalam menentukan kebijaksanaan
masyarakat, mereka yang beriman diperintahkan untuk saling bermusyawarah.
Mereka yang terlibat dalam proses permusyawaratan ini dianggap sebagai pimpinan
ruhani yang mewakili masyarakat. Badan ini, yang dikenal dengan nama ahlul-ahli
wal-‘aqdi, terdiri dari alim-ulama yang mewakili masyarakat dan
melaksanakan fungsi legislatif terbatas. Melalui proses permusyawarahan ini, as-syura,
tercapailah kesepakatan masyarakat yang benar, al-ijma,’ tentang
pelaksanaan perintah-perintah Allah terhadap masalah-masalah tertentu.[3]
Masyarakat Islam itu tidak hanya masyarakat berkeseimbangan, akan tetapi juga
secara ideal dipenuhi oleh misi moral dan sikap aktivis. Al-Qur’an mengatakan,
“Demikianlah kami jadikan kamu umat pertengahan agar kamu menjadi saksi bagi
manusia.” Ayat lain memerintahkan orang Islam untuk bekerja keras memperbaiki
nasib. “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum bangsa sampai mereka
sendiri yang mengubah nasibnya.” Ini menghancurkan mitos kaum orientalis
yang mengatakan bahwa fatalism adalah ciri-khas Islam. Dalam masalah
politik perintah Allah itu jelas, yaitu bangun dan kembangkan masyarakat untuk
melaksanakan tugas Ilahinya di dunia.[4]
BAB II
PEMBAHASAN
A.Teori
Pemikiran Politik Islam
Dalam teori dan pemikiran politik Islam, ada tiga gelar simbolik yang
disematkan kepada beberapa orang yang melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan
dalam pucuk elite kekuasaan. Yaitu, al-imam, al-khalifah, dan amir
al-mukminin. Ketiga gelar simbolik ini telah pernah memainkan peran penting
pada roda kepemimpinan dalam sejarah perkembangan Islam. Berikut ini beberapa
penjelasan tentang hakikat makna setiap gelar simbolik tersebut.[5]
- Al-Imam
Dalam bahasa Arab, kata imam dalam berbagai bentuknya mempunyai
beberapa arti, seperti: tujuan atau maksud (al-amm), jalan dan agama (al-immah),
Ibu dan Bendera (al-umma), Pemimpin yang diangkat oleh kaumnya (imam).[6]
Imam juga berarti seorang pemimpin atau orang yang berada di muka. Menurut
Thaba’thaba’I, imam adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang memegang
pimpinan masyarakat dalam suatu gerakan sosial, atau suatu ideologi politik,
atau suatu aliran pemikiran keilmuan atau keagamaan. Murthada Muthahhari
berpendapat, bahwa imam adalah pribadi yang memiliki beberapa pengikut,
terlepas dari kenyataannya apakah dia saleh atau tidak. Dalam al-Qur’an
disebutkan, “Kami telah menjadikan mereka itu sebagai imam-imam yang member
petunjuk dengan seizing Kami.” (QS.
Al-Anbiya’: 73). Jadi secara harfiah, imam adalah seorang pemimpin.[7]
Imam juga berarti sesuatu yang diikuti, baik sebagai kepala, jalan, atau
sesuatu yang membuat lurus dan memperbaiki perkataan. Selain itu, imam
digunakan juga untuk menyebut al-Qur’an, Nabi Muhammad, khalifah, panglima
tentara, dan sebagainya. Dengan demikian, jelaslah bahwa kata imam memiliki
banyak makna. Yaitu bisa bermakna: maju ke depan, petunjuk dan bimbingan,
kepantasan seseorang menjadi uswah hasanan, dan kepemimpinan. Dalam
al-Qur’an, imam digunakan untuk menyebut pemimpin masyarakat (QS. Al-Ambiya:
72-73), pemimpin orang kafir (QS. Al-Qashash dan QS. Al-Tawbah 12).[8]
Dari ayat-ayat di atas, bisa dipetik dua pengertian dari makna imam,
sebagian besar digunakan dalam al-Qur’an membuktikan adanya indikasi yang
bermakna kebaikan. Pada sisi lain bahwa kata imam juga menunjukkan makna jahat.
Karena itu, imam berarti seorang pemimpin yang diangkat oleh beberapa orang
dalam suatu kaum. Pengangkatan imam tersebut mengabaikan dan tidak
memperdulikan, apakah ia akhirnya akan berjalan ke arah yang lurus atau arah yang sesat. Kedua, kata
imam dalam ayat-ayat al-Qur’an itu bisa mengandung makna sebagaimana juga
menunjukkan kepada orang-orang yang bertakwa.[9]
Imam bagi kepala Negara Islam ini digunakan karena ia menjadi imam kaum
Muslim dalam menunaikan shalat dan dalam menangani urusan mereka serta menjaga
kepentingan mereka. Mereka mengikuti dan mematuhi perintahnya seperti halnya
makmum mengikuti imam. Ibnu Khladun mengatakan, Penamaan kepada Negara Islam
dengan imam dianalogikan dengan imam shalat dalam mengikuti dan meniru. Oleh
sebab itu, kepemimpinan Negara Islam disebut imamah kubra (kepemimpinan
besar) untuk membedakan dengan imamah shugra (kepemimpinan kecil) dalam
shalat, haji, acara, dan perhimpunan.[10]
Ibnu Hazm berkata, “Nama sebutan imam dapat juga dikenakan pada seorang
ulama fiqih dan ilmuwan serta orang yang memimpin shalat di masjid manapun.
Akan tetapi dengan dibubuhkan pada kata lain, tidak mutlak, sehingga dikatakan:
Fulan adalah imam dalam agama, imam suku Fulan, dan begitu seterusnya. Maka
seseorang tidak disebut imam kecuali ia menangani urusan pemeluk Islam.[11]
Dalam sekte Syiah imamah mempunyai pengertian lain, yang menurut
kata-kata Ibnu Khaldun, “Kemudian kaum Syi’ah mengkhususkan gelar imam kepada
Ali Ibn Thalib dengan membubuhkan imamah kepadanya. Bagi mereka Ali
lebih berhak menjadi imam shalat daripada Abu Bakar dan para sahabat lainnya.
Kemudian gelar imam ini juga mereka berikan kepada para imam Syi’ah dan
menyebutkan secara rahasia hingga ketika mereka menguasai Negara pada awal masa
Bani Abbas. Akan tetapi kemudian mengubahnya pada masa setelah itu dengan
sebutan Amirul Mukminin. Mereka tetap merahasiakan gelar imam hingga
masa Ibrahim yang secara terbuka memanggilnya dengan sebutan imam dan membuat
bendera perang untuk memperjuangkan kelompok mereka. Ketika ia meninggal dunia saudaranya yang dijuluki as-Saffah
(sang penumpah darah), dipanggil dengan Amirul Mukminin.[12]
Perlu dikatakan bahwa khilafah, imamah, dan imarah
kaum Mukminun serta kerajaan (al-Mulk) tidak dimaksudkan dalam
al-Qur’an selain kepemimpinan dalam pengertian umum, tidak dimaksudkan pada sistem
pemerintahan tertentu. Sebab Nabi Daud as dinamakan dalam al-Qur’an seorang khalifah
dan juga dinamakan seorang raja. Firman Allah, “Hai Daud, sesungguhnya Kami
menjadikan kamu sang khalifah di muka bumi.” (Shaad:26), dan dalam
firman-Nya yang lain: “Dan Daud membunuh jalut dan Allah mengkaruniakan
kepadanya kerajaan.” (al-Baqarah: 251) Begitu pula Nabi Ibrahim as
dinamakan imam dalam sebuah ayat, dan anak cucunya yang mendapat petunjuk disebut
imam-imam (para pendamping). Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan
kamu bagi manusia pemimpin.” Dia berkata, “Apakah juga di antara anak
cucu hamba?” Allah berfirman, “JanjiKu ini tidak mengenai orang-orang
yang zalim.” (al-Baqarah: 124). Sementara itu di ayat yang lain, Allah
menggambarkan anak cucu Nabi Ibrahim as dengan para raja, “Maka sungguh
telah Kami berikan kepada keluarga Ibrahim al-Kitab dan hikmah dan Kami juga
mengkaruniakan kerajaan besar.” (an-Nisa: 53) Allah juga menjanjikan Bani
Israil menjadi para imam (pemimpin) setelah mereka ditindas dan dianiaya oleh
Firaun di muka bumi, “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang
yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin (para
imam) dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi.” (al-Qashashs: 5)
Ketika mereka melepaskan diri dari kezaliman Fir’aun dan membentuk Negara
sendiri, Nabi Musa mulai mengingatkan kepada mereka atas karunia Allah kepada
mereka itu seraya bersabda kepada mereka, “Ingatlah kepada Allah atas
karunia Allah kepada kalian ketika Dia menjadikan di antara kalian nabi-nabi
dan menjadikan kalian raja-raja.” (al-Ma’idah: 20).[13]
2. Al-Khalifah
Kata khalifah diambil dari kata dasar khalafa yang berarti datang kemudian. Istakhlafa berarti menjadikan seseorang
pada posisinya atau mewakilinya. Khalifah adalah orang yang menempati
posisi orang yang ada sebelumnya dan khalifah juga berarti penguasa tertinggi
di kalangan umat Islam. Jabatan khalifah disebut khilafah atau imarah.[14]
Orang pertama yang menyandang istilah atau gelar khalifah ialah Abu
Bakar ra. Ia menggantikan posisi kepemimpinan umat, setelah Rasulullah SAW,
dalam memelihara agama dan politik duniawi dengan agama. Ia menerima sebutan
ini dan tidak mau diberi diberi khalifatullah (khalifah Allah). sebuatan
atau gelar khalifatullah menurut pemahaman jumhur ulama tidak dibenarkan
untuk diberikan kepada penguasa atau manusia siapa pun dan mereka menisbahkan
orang yang menggunakan gelar khalifatullah sebagai sikap menentang sebab
kata khalifah berkaitan dengan menggantikan posisi orang yang tidak ada
atau meninggal padahal Allah selalu ada dan tidak mati.[15]
Umar Ibn Abdul Aziz tidak mau menggunakan gelar ini ketika seseorang
memanggilnya dengan sebutan, “Hai Khalifatullah.” Ia menjawab, “Tidak,
sesungguhnya ketika aku lahir keluargaku memilihkan sebuah nama untukku. Jika
kau memanggilku, “Hai Umar,” maka aku tentu menjawab. Ketika aku dewasa dan
menjadi orang tua, aku memilih panggilan untuk diriku, Abu Hafsh, tentu aku menjawab. Ketika kalian mengangkatku menjadi
pemimpin, kalian menjulukiku Amirul Mukminin. Jika kalian memanggilku
dengan sebutan itu, “Hai Amirul Mukminin, tentu aku menjawab. Sedangkan dengan khalifatullah,
aku tidak demikian.[16]
Gelar ini sangat berkaitan dengan sejarah pertumbuhan dan perkembangan
Islam. Setelah Nabi Muhammad wafat, para sahabat berkumpul untuk memilih dan memutuskan
seorang yang akan menjadi pengganti kepemimpinannya. Dan, Abu Bakar terpilih
untuk menggantikan Rasulullah dalam memimpin dan memelihara kemaslahatan ummat
Islam pada masa-masa berikutnya. Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, yang
berarti penerus atau pengganti nabi untuk mengurus masalah umat Islam.[17]
Abu Bakar menegaskan, “Aku bukan khalifah Allah, melainkan khalifah
Rasulullah.” Jadi, Abu Bakar diangkat oleh para sahabat sebagai pengganti dan
penerus kepemimpinan Rasulullah. Khalifah sebagai konsep politik merupakan
anitetesis dari sistem kekaisaran yang absolut otoriter.[18]
- Amir al-Mu’minin
Gelar ini diberikan kepada khalifah kedua: umar Ibn Khattab- setelah
menggantikan Khalifah Abu Bakar yang wafat. Dalam bukunya,
al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun menjelaskan sebab pemberian nama ini. Ia menulis,
“Itu adalah bagian dari ciri khas kekhalifahan dan itu diciptakan sejak masa
para khalifah. Mereka telah menamakan para pemimpin delegasi dengan nama amir,
yaitu wazan (bentuk kata) fa’il dari imarah. Para sahabat
pun memanggil Sa’ad Ibn Abi Waqqash dengan Amir al-Mu’minin karena ia
memimpin tentara Islam dalam Perang Qadisiyyah. Pada waktu itu, sebagian
sahabat memanggil Umar ibn Khathtab dengan sebutan yang sama juga. Amir
al-Mu’minin sebagai pengganti gelar yang susah disebut, yaitu: Khalifatu
khalifati Rasulillah (pengganti dari pengganti Rasulullah).[19]
Dikatakan bahwa yang pertama kali memanggil dengan sebutan ini ialah
Abdullah Ibn Jahsy. Sedangkan menurut riwayat lain ialah Amr Ibn al-‘Ash dan
Mughirah Ibn Syu’bah. Dikatakan pula bahwa Buraid datang membawa kemenangan
dalam sebuah misi penyebaran Islam lalu ketika kembali ke Madinah ia menanyakan
Umar dengan mengatakan, “Di manakah Amirul Mukminin?” Kata-katanya ini
didengar oleh para sahabat, lalu dipandang baik sehingga sebutan ini lalu
digunakan. Mereka menjawab, “Demi Allah, sungguh bagus sebutan namanya itu. Dialah benar-benar Amirul
Mukminin (pemimpin orang-orang Mukminin). Sebutan ini digunakan dari
generasi ke generasi setelah masa pemerintahan Umar.[20]
Jika Abu Bakar adalah khalifah Rasulullah, maka Umar adalah khalifah-khalifah
Rasulullah dan yang demikian terlalu panjang dan akan semakin panjang kelak
bagi generasi mendatang. Oleh sebab itu, ketika Umar dipanggil dengan sebutan
“Wahai khalifah khalifah Rasulullah, menjawab, “Itu panggilan panjang.
Setiap kali ada khalifah baru, kalian akan memanggil “Hai khalifah
khalifah Rasulullah, padahal kalian adalah orang-orang Mukmin dan aku amir
kalian. Jadi aku adalah Amirul Mukminin.[21]
Patut disebutkan di sini bahwa gelar Amirul Mukminin tidak menghapus
gelar khalifah melainkan dua gelar ini tetap ada pada masa pemerintahan
Umar ra dan juga setelahnya. Gelar Amirul Mukminin mengisyaratkan bahwa
masalah memilih khalifah berada di tangan orang-orang Mukmin dan mereka
adalah hak untuk memilih amir mereka.[22]
Secara umum, ketika gelar di atas menunjukkan perlu atau adanya
kepemimpinan dalam Islam. Bagi suatu kaum atau ummat, keberadaan seorang
pemimpin merupakan suatu keharusan yang tak mungkin dimungkiri. Menurut Imam
al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah,
dalam lembaga Negara menurut ijma’. Alasannya, karena lembaga kepala dan
pemerintah dijadikan sebagai pengganti fungsi kenabian dan menjaga agama serta
mengurus urusan dunia.[23]
Al-Mawardi menyebut tujuh syarat yang harus dipenuhi calon kepala Negara
(seorang pemimpin). Syarat-syarat itu, antara lain: keseimbangan atau keadilan
(al-‘adalah); punya ilmu pengetahuan untuk berijtihad; punya panca
indera lengkap dan sehat; anggota tubuhnya tidak kurang untuk menghalangi gerak
dan cepat bangun; punya visi pemikiran yang baik untuk mendapatkan kebijakan
yang baik; punya keberanian dan sifat menjaga rakyat; dan punya nasab
dari suku Quraish.[24]
Adapun Imam al-Ghazali mengingatkan kepada para pemimpin, khususnya para
penguasa, bahwa kekuasaan yang didudukinya memiliki batas dan kadar tertentu,
dan bisa juga kekuasaan itu mengandung keburukan. Karena itu, dalam menjalankan
kekuasaannya, seorang pemimpin harus menjalankan sepuluh prinsip keadilan sebagai
syarat pertama bagi seorang pemimpin, seperti disebutkan al-Mawardi. Antara
lain: seorang pemimpin, seperti disebutkan al-Mawardi. Antara lain: seorang
pemimpin harus memiliki rasa tanggung jawab yang yang tinggi; menerima pesan
ulama; berlaku baik kepada bawahan; memiliki rasa rendah hati dan penyantun;
tidak mementingkan diri sendiri; memiliki loyalitas tinggi; hidup sederhana;
lemah lembut; cinta rakyat; serta tulus, dan ikhlas.[25]
Yang jelas, Nabi Muhammad dengan tegas mengingatkan para pemimpin. Nabi
bersabda, “Hamba yang diberikan kekuasaan oleh Allah untuk memimpin umat,
tetapi mengkhianati, dan tidak memberikan nasihat atau mengasihi mereka, Allah
mengharamkan surga kepadanya.” Dalam hadis lain Rasulullah berkata, “Siapa jadi
pemimpin ummat Islam, tetapi tidak memperhatikan mereka sebagaimana terhadap
keluarganya sendiri, berarti ia telah memperoleh tempat yang mapan di api
neraka.”[26]
B. Nurani Politik
1. Pengertian Nurani
Nurani berasal dari bahasa Arab Nur, yang artinya cahaya, sesuatu
yang bersifat cahaya. Cahaya apa? Menurut perspektif Psikologi Islam, perangkat
kejiwaan manusia itu sendiri dari akal, hati, nurani, syahwat dan hawa nafsu.
Akal merupakan problem solving capacity yang kerjanya berpikir, hati
merupakan alat untuk memahami realita, nurani merupakan pandangan mata batin
sebagai lawan dari pandangan mata kepala. Syahwat merupakan penggerak tingkah
laku atau motif, dan hawa nafsu merupakan kekuatan destruktif yang
menguji kemampuan jiwa. Sebagai sistem, kelima subsistem tersebut dipimpin oleh hati, oleh
karena itu, jika orang hatinya baik maka perilakunya juga baik, jika hatinya
busuk maka perilakunya juga busuk. Nurani lebih dekat ke hati, oleh karena itu,
dinamakan hatu nurani.[27]
2. Teori Pancaran
Konsep nurani berasal dari teori isyraqy atau teori pancaran yang
menyatakan bahwa Tuhan adalah cahaya (Allohu nur assamawati wal al-ardh).
Seperti matahari yang selalu memancarkan cahayanya, ia meninggalkan jejak
cahayanya di bumi berupa kehidupan, kehangatan atau panas dan terang. Di malam
hari, panas dan cahaya matahari itu berusaha kembali ke cahaya asal
meninggalkan bumi dalam keadaan gelap dan dingin. Nah Tuhan memancarkan
cahaya-Nya, dan diantara jejak cahaya Tuhan adalah manusia, oleh karena itu di
dalam diri manusia ada cahaya ketuhanan, disebut bashirah (pandangan
batin) atau nurani (sesuatu yang bersifat cahaya). Dan nurani memiliki
kerinduan untuk selalu kembali kepada Tuhan sebagai cahaya asalnya.[28]
Berbeda dengan hati yang wataknya tidak konsisten; terkadang benci dilain
waktu cinta, terkadang sadar dilain waktu lupa, terkadang tenang dialin waktu
bergejolak, nurani merupakan cahaya ketuhanan bersifat konsisten, tidak mau kompromi dengan kebohongan dan kejahatan. Betapapun
orang menang di pengadilan dengan cara menyuap hakim misalnya, nuraninya tetap
jujur mengatakan bahwa dialah yang bersalah. Nurani tetap konsisten dengan
kejujuran. Mengapa? Karena seperti dikatakan dalam ilmu tasawuf nurani adalah
cahaya yang ditempatkan Tuhan di dalam hati manusia, nurun yaqdzifullah fi
al qalbi. Hanya saja sebagaimana cahaya terkadang buram dan gelap, nurani
manusia juga terkadang buram, gelap atau bahkan mati, yakni ketika cahaya itu
tertutupi oleh tabir. Jika nurani mati maka orangnya seperti berada di tempat
gelap (dzulm) sehingga perilakunya juga seperti prilaku orang dalam
kegelapan, salah tempat, salah ambil, salah persepsi, salah naruh, dan salah
langkah.[29]
Jika politik dipahami sebagai kekuasaan, maka watak politik adalah korup.
Korupsi adalah memanipulasi angka dan fakta untuk kepentingan sendiri. Jika
dihubungkan dengan tipologi kejiwaan, maka politisi yang lebih dipengaruhi oleh
akalnya cenderung rasional meski terkadang kering, politisi yang lebih
dipengaruhi oleh hati maka cenderung hati-hati, politisi yang lebih dipengaruhi
oleh syahwat cenderung mudah terdorong ke ambisi, politisi yang lebih
dipengaruhi oleh hawa nafsu cenderung desktruktif dan jahat, nah orang
berpolitik karena panggilan nurani cenderung kepada keinginan memberi dibanding
keinginan menerima.
3.Nurani vs Syahwat Politik
Syahwat adalah kecendrungan kepada apa-apa yang dingini. Tuhan menghiasi
manusia dengan syahwat seksual, kebanggaan kepada anak-anaknya, menyenangi
perhiasan dan barang berharga, menyukai kendaraan bagus, ladang dan ternak,
pokoknya segala yang dipersepsi sebagai kelebihan, kenyamanan dan kebanggaan.
Syahwat politik adalah kecendrungan orang untuk menguasai orang lain,
pikirannya, seleranya bahkan kemauannya, sehingga syahwat politik mendorong
orang untuk bisa menjadi orang nomor satu; ketua, direktur, lurah bahkan
presiden, agar ia dapat menguasai dan mengatur orang lain.
Sesungguhnya syahwat itu manusiawi, netral dan tidak mesti jelek. Jika
orang menggapai syahwat dengan mengikuti prosedur dan mematuhi hukum (hukum
Tuhan, hukum Negara dan hukum etika) serta jujur maka aktualisasi syahwat itu
sah dan bahkan bisa bernilai ibadah. Akan tetapi karena politik itu cenderung
korup maka syahwat politik pada umumnya mendorong kepada ambisi, sementara
ambisi menutup nurani. Oleh karena itu, mengusung nurani dalam gerakan atau manuver
politik riskan tergelincir kepada manipulasi, tidak jujur dalam menilai, tidak
jujur dalam mengkritik, dan lupa intropeksi.
4. Pemimpin
yang Bernurani
Ciri pemimpin yang digerakkan oleh nurani politik adalah tampil karena
panggilan, bukan karena berhitung. Dalam suasana yang tak berpengharapan, maju
kena mundur kena, bangsa berada ditubir kehancuran, pemimpin konvensional sibuk
berhitung posisi berebut kamar padahal “kapal” nyaris tenggelam. Dalam keadaan seperti
itu biasanya muncul seorang pemimpin yang terpanggil nuraninya untuk
menyelamatkan keadaan. Ia siap memberikan apapun yang dimiliki tanpa berhitung
untung rugi. Pikiran dan hatinya bersih suci dari kepentingan-kepentingan
subyektif. Ia tampil bukan karena ingin berkuasa tetapi ingin menyumbangkan
potensi dirinya bagi keselamatan bangsa, dan ia bahkan dengan senang hati siap
menyerahkan kepemimpinannya itu kepada orang lain yang dinilai lebih tepat.[30]
Dalam khazanah Islam kita mendapati sosok Umar Ibn Abdul Aziz (682M-720 M),
yang memiliki hati nurani dalam memimpin. Dia memerintah kurang lebih 2,5
tahun. Walaupun demikian, waktu yang relatif itu dapat digunakan secara produktif untuk membuat
kebijaksanaan dalam berbagai bidang. Dalam bidang agama, ia menghidupkan ajaran
al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW, seperti pada zaman moyangnya, Umar Ibn
Khattab, dalam rangka mengembalikan kemuliaan agama dalam berbagai aspek
kehidupan dan menggunakannya untuk mewarnai kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.[31]
Oleh karena itu, ia mengadakan kerja sama dengan para ulama besar pada
zamannya seperti Hasan al-Basri (ahli hadits dan fiqih) dan Sulaiman Ibn Umar.
Dia berdialog dan meminta fatwa dari mereka tentang berbagai kebijaksanaannya,
mengajak mereka agar mengajar rakyat mengenai hukum syariat, setia mengikuti
perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. Ia kemudian menerapkan hukum
syariat secara serius dan sistematis. Dialah khalifah pertama dari Dinasti
Umayyah yang melakukan hal ini.[32]
Jasanya yang penting di bidang agama dan pengetahuan, yang buahnya dapat diwarisi umat Islam sampai kini, adalah inisatifnya untuk
mengadakan kodifikasi hadis yang sebelumnya belum ada. Faktor pendorongnya adalah bahwa ia khawatir hadits-hadits
akan lenyap dan hadis-hadis palsu muncul. Pada waktu itu, hadis masih tersimpan
dalam hapalan para sahabat dan rawi atau periwayat serta dalam catatan pribadi.
Untuk usaha kodifikasi itu ia memerintahkan seluruh wali negeri dan ulama hadis
agar mencatat hadits-hadits. Semua hadis yang diperoleh dari berbagai negeri ia
percayakan kepada ulama besar Imam Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab az-Zuhri
untuk dihimpun dan ditulis. Umar sendiri ikut mendiskusikan hadits-hadits yang
telah terkumpul untuk diseleksi apakah palsu atau tidak.[33]
Ia juga punya perhatian terhadap ilmu lain. Dikabarkan ia
memindahkan sekolah kedokteran yang ada di Iskandariyah (Mesir) ke Antakya
(kini di Turki) dan Harran (Turki).
Di bidang sosial politik Umar menerapkan prinsip politik yang menjunjung
tinggi kebenaran dan keadilan yang lebih utama dari segalanya. Jika khalifah-khalifah Umayyah
sebelumnya menjalankan politik kekerasan terhadap lawan-lawan politik mereka,
yaitu menindak dan mengejar-ngejar keturunan Ali Ibn Abi Thalib dan Bani Hasyim
serta menumpas gerakan khawarij, maka Umar bersikap lunak. Menurutnya, Bani
Umayyah tidak mempunyai keistimewaan dibandingkan dengan saudaranya sesama mulsim. Karena itu, ia memberikan kebebasan kepada
rakyat dari semua golongan untuk menyatakan pendiriannya, asal tidak mengganggu
ketertiban umum. Ia juga bersikap lunak terhadap kaum Khawarij yang waktu itu
dipimpin oleh Syauzab dan memerintahkan kepada gubernur Hedzjaj agar tidak
memerangi mereka, kecuali bila mereka mengadakan kerusuhan dan pengrusakan.
Bahkan ia berkirim surat kepada Syauzab agar datang ke Damaskus untuk bertukar
pikiran.[34]
Untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, ia kemudian mengirim utusan-utusan
ke berbagai negeri untuk melihat langsung cara kerja para gubernur. Bila ia
menemui amil dan gubernur yang tidak taat menjalankan agamanya dan bertindak
zalim kepada rakyat, maka ia langsung memecatnya, seperti memecat Yazib Ibn Abi
Muslim (gubernur Afrika Utara) dan Salih Ibn Abdur Rahman (gubernur Irak). Ia
juga mengembalikan tanah yang dirampas para penguasa kepada pemiliknya.
Dalam menyelesaikan perkara perselisihan, ia menekankan bahwa para hakim
harus berdasarkan Kitab Allah (al-Qur’an), sunah Rasulullah SAW, ijmak, dan
ijtihad. Untuk itu, menurutnya, seorang hakim harus memenuhi lima syarat,
memiliki pengetahuan tentang apa yang terjadi pada masa lalu, menjauhi sifat
tamak, bersifat penyantun, bekerjasama dengan para cendikiawan, dan bebas dari
pengaruh penguasa.
Dalam bidang militer Umar tidak menaruh perhatian untuk membangun angkatan
yang tangguh dari royal, sehingga masa pemerintahannya sepi dari aksi-aksi
militer. Ia lebih mengutamakan urusan dalam negeri, yaitu meningkatkan tafaf
hidup rakyat. Kebijaksanaan ini berkaitan dengan kebijaksanaannya di bidang
dakwah dan perluasan wilayah kekuasaan. Menurutnya perluasan wilayah kekuasaan
sekaligus penyebaran Islam tidak harus dengan kekuatan militer, tetapi juga
dapat berhasil melalui dakwah amar makruf dan nahi munkar dengan cara yang
bijak dan lemah lembut. Untuk itu, ia memerintahkan Musallama agar menghentikan
pengepungan Constantinopel (Istanbul sekarang) dan penyerbuan ke Asia Kecil.[35]
Dalam bidang ekonomi Umar juga membuat berbagai kebijaksanaan yang
melindungi kepentingan rakyat dan meingkatkan kemakmuran mereka. Ia mengurangi
beban pajak yang dipungut dari kaum Nasrani, menghentikan jizyah (pajak) dari
umat Islam, membuat aturan mengenai timbangan dan takaran, membasmi cukai dan
kerja paksa, memperbaiki tanah pertanian, irigasi, penggalian sumur-sumur,
pembangunan jalan, menyediakan tempat penginapan bagi musafir, dan menyantuni
fakir miskin. Kebijaksaan ini berhasil meningkatkan taraf hidup rakyat,
sehingga umat Islam di bawah kepemimpinannya dapat dikatakan makmur. Kebijaksanaan
lainnya adalah menghapuskan kebiasaan mencela nama Ali Ibn Abi Thalib dan
keturunannya dalam khotbah setiap shalat jum’at, suatu kebiasaan yang sudah
berjalan sejak Mua’wiyah Ibn Abi Sufyan, pendiri Dinasti Umayyah.
Dalam melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaannya tersebut, banyak muncul
proyek, tetapi Umar tidak memanfaatkannya untuk memperkaya diri, malahan ia
mengimbanginya dengan pola hidup sederhana dan kepribadian terpuji. Sebagai
keluarga ningrat ia sangat mungkin hidup mewah. Sebelum menjadi khalifah, ia
dikenal gemar memakai wewangian dan pakaian sutra. Namun, begitu ia menjadi
khalifah, keadaan ini berbalik. Setelah pemakaman Khalifah Sulaiman, ia menolak
kuda-kuda kendaraan untuk angkutan barang dan tunggangan yang bagus-bagus dan
penuh dengan hiasan, yang ditawarkan kepadanya oleh petugas kerajaan. Ia
berkata, “Kudaku lebih sesuai bagiku.” Lantas kuda-kuda itu dijual dan hasilnya
dimasukkan ke dalam kas Negara (Baitulmal). Pakaiannya ia ganti dengan yang
lebih kasar. Tanah perkebunannya dan perhiasan istrinya ia jual, dan hasilnya
juga dimasukkan ke dalam baitulmal.
Umar juga tidak mau memakai harta Negara untuk keperluan pribadi. Pada
suatu malam ia bekerja di kantornya untuk urusan Negara, tiba-tiba putranya
datang untuk urusan keluarga. Mereka berdua berbicara dalam kegelapan, karena
lampu ia padamkan. Ketika ditanya putranya, kenapa lampu dipadamkan, ia
menjawab bahwa putranya datang untuk urusan keluarga, sedang minyak yang
dipakai di kantor itu dibeli dengan uang Negara, yang berarti milik rakyat.
Begitulah pribadi Umar seorang pemimpin yang memiliki hati nurani dalam
memimpin.
- Perawatan Nurani
Nurani yang diiklankan pasti bukan nurani. Menurut teori Psikologi
Komunikasi, jika benda-benda konsumtif diiklankan berulang-ulang maka ia akan
menarik perhatian konsumen, berpengaruh dari aspek kognitif, afektif bahkan
psikomotorik meski benda itu sesungguhnya tidak terlalu bermutu. Mengiklankan
nurani yang bermutu secara berulang-ulang dalam waktu lama bukan saja hanya
berpengaruh secara kognitif, tidak afektif dan tidak psikomotorik, justru
membuat nurani itu terasa hambar di telinga konsumen.
[36]
Nurani adalah kapasitas spiritual yang sangat lembut dan tajam. Barang siapa dalam hidupnya selalu mengikuti bsisikan nuraninya,
dijamin pilihannya tepat dan langkahnya benar. Problemnya, cahaya nurani tidak
selamanya optimal terang, terkadang buram, terkadang bahkan mati. Untuk menjaga
agar nurani tetap menyala maka harus dilakukan penjagaan dan perawatan.
Pengjagaan nurani melalui dua cara.
Pertama; jauhi segala perbuatan dosa. Dosa kecil akan menjadi
debu yang membuat cahaya nurani terang. Dosa besar membuat nurani tertutup seperti
cermin yang tersiram cat hitam, gelap. Mencampur aduk perbuatan baik dengan
perbuatan dosa membuat nurani seperti cermin retak, tidak mampu menangkap
realitas secara tepat sehingga keliru persepsi.[37]
Kedua, hidup sederhana.
Sederhana adalah mengkonsumi sesuai dengan standar kebutuhan secara universal.
Orang boleh punya banyak tetapi yang dikonsumi sekedar yang dibutuhkan. Banyak orang kaya hidupnya sederhana, tak jarang orang miskin
hidupnya bermewah-mewah. Problemnya ialah bagaimana merumuskan kebutuhan. Ada
orang yang sudah merasa tercukupi jika kebutuhan hari ini sudah ada, yang lain
baru merasa cukup jika kebutuhan untuk satu tahun mendatang sudah tersedia, nah
yang lain lagi baru merasa cukup jika kebutuhan untuk tujuh turunan sudah
berada dalam genggaman tangannya.
Sedangkan perawatan nurani agar tetap menyala terang dapat dilakukan
dengan. Pertama, Charge baterai nurani; dalam hal ini dilakukan dengan mendengarkan kata-kata
hikmah, membaca kitab suci, dan menjalankan ritual ibadah. Kedua,
berakrab-akrab dengan penderitaan hidup manusia. Orang yang sering mengunjungi
dan membantu orang lain yang berada dalam penderitaan (orang sakit, orang
miskin papa, korban bencana alam dan orang lain yang tidak beruntung) nuraninya
tersentuh seperti baterai yang dicharge aliran listrik. Jika sering melakukan
maka ketersentuhan itu akan menjadi potensi berupa panggilan nurani untuk
melakukan sesuatu yang bermakna.[38]
DAFTAR PUSTAKA
Dewan Editor, Ensiklopedi
Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
---------, Ensiklopedi Hukum
Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Esposito,John L., Identitas
Islam: Perubahan Sosial dan Politik, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Fariz, Muhammad Abdul Qadir
Abu, Sistem Politik Islam, Jakarta: Robbani Press, 2000.
Mubarok, Achmad, Jiwa Dalam al-Qur’an: Solusi Krisis
Keruhanian Manusia Modern, (Jakarta: Paramadina, 2000
-----------, Silabus Mata Kuliah: Dakwah Komunikasi
Budaya dan Politik, Program Doktor Ilmu
Dakwah, Jakarta: UIA, 2013
Yahya, Ali (Ed), Prof. Dr. Ahmad Mubarok, MA, Ketua Partai
Politik Yang Bukan Politisi: Otobiografi dan Percikan Pemikiran Budaya,
Jakarta: Mubarok Institute, 2009.
Shihab, Alwi, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam
Beragama, Bandung: Mizan, Cet. 5, 1999.
Shihab, Quraish, Tafsir
al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 1, 2, 6, 7, dan
13, Ciputat: Lentera Hati, 2000.
Shihab, Quraish dkk, Ensiklopedia
al-Qur’an: Kajian Kosa Kata, Jakarta: Lentera Hati, 2007.
[1]Ali Yahya
(Ed), Prof. Dr. Ahmad Mubarok, MA, Ketua
Partai Politik Yang Bukan Politisi: Otobiografi dan Percikan Pemikiran Budaya,
(Jakarta: Mubarok Institute, 2009), h. 147.
[2]John L. Esposito, Identitas
Islam: Perubahan Sosial dan Politik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 22.
[5]Ali Yahya
(Ed), Prof. Dr. Ahmad Mubarok, MA, Ketua
Partai Politik Yang Bukan Politisi: Otobiografi dan Percikan Pemikiran Budaya, h.
148.
[6] Ibid., h. 148.
[7] Ibid., h. 148.
[10]Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik
Islam, (Jakarta: Robbani Press, 2000), h. 119.
[13]Ibid., h. 121.
[17]Ali Yahya
(Ed), Prof. Dr. Ahmad Mubarok, MA, Ketua
Partai Politik Yang Bukan Politisi: Otobiografi dan Percikan Pemikiran Budaya, h.
149.
[19] Ibid., h. 150.
[20]Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik
Islam, (Jakarta: Robbani Press, 2000), h. 118.
[23] Ali Yahya
(Ed), Prof. Dr. Ahmad Mubarok, MA, Ketua
Partai Politik Yang Bukan Politisi: Otobiografi dan Percikan Pemikiran Budaya, h.
150.
[27]Ali Yahya
(Ed), Prof. Dr. Ahmad Mubarok, MA, Ketua
Partai Politik Yang Bukan Politisi: Otobiografi dan Percikan Pemikiran Budaya, h.
157.
[34] Ibid.,h
. 123.
[36] Ali Yahya
(Ed), Prof. Dr. Ahmad Mubarok, MA, Ketua
Partai Politik Yang Bukan Politisi: Otobiografi dan Percikan Pemikiran Budaya, h.
160.
Post a Comment