BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk sosial yang memiliki tabiat suka bekerjasama dan bersaing sekaligus. Sebagai warga kepulauan Nusantara, mereka merasa membutuhkan kerja sama, oleh karena itu dispekatilah adanya kesatuan bangsa. Tetapi sebagai makhluk politik, dalam bekerjasama pun manusia suka bersaing untuk kepentingan yang lebih kecil, yakni kepetingan dirinya. Apa lagi dalam hidup berbangsa dibutuhkan adanya pemimpin, oleh karena itu banyak orang yang bersaing secara politik untuk berusaha menduduki kursi pemimpin. Sesungguhnya bagaimana kepemimpinan berlangsung, praktek ibadah shalat memberi contoh bagaimana merekrut pemimpin (imam), apa kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang imam, dan selanjutnya bagaimana etika kebersamaan dalam menuju tujuan bersama.[1]
            Sedangkan sekumpulan manusia kemudian membentuk menjadi masyarakat Islam. Masyarakat Islam yang berkembang secara politik adalah masyarakat hukum. Penguasa dan yang dikuasai sama-sama diperintah syari’ah, seperti yang ditafsirkan dan dilaksanakan sarjana-sarjana Islam yang terpelajar, yaitu kaum ulama, dan para ahli hukum, yaitu fuqaha. Sebagai agama yang memperhatikan masalah-masalah dunia di samping masalah-masalah akhirat, Islam mengatur tingkah-laku manusia sesuai dengan kaedah-kaedah keadilan dan persamaan yang diajarkan Nabi. Menurut idealnya, pemimpin politik masyarakat adalah juga pemimpin agamanya, yaitu khalifah atau imam; keabsahannya diperoleh melalui bai’ah (yaitu pernyataan loyalitas) dari pemuka-pemuka masyarakat.[2]
Walaupun ajaran Islam tidak seluruhnya jelas mengenai struktur kepemimpinan masyarakat (dan jauh sebelum jabatan khilafah itu dihapuskan tahun 1924, ia tidak lagi memiliki kekuatan politik), namun jelas bahwa bagaimana pun bentuk kepemimpinan, baik dunia atau ukhrawi, ia harus dibimbing dan dibatasi oleh Kalam dan Hukum Allah. al-Qur’an juga memerintahkan permusyawarahan sebagai cara mencapai keputusan. Dalam menentukan kebijaksanaan masyarakat, mereka yang beriman diperintahkan untuk saling bermusyawarah. Mereka yang terlibat dalam proses permusyawaratan ini dianggap sebagai pimpinan ruhani yang mewakili masyarakat. Badan ini, yang dikenal dengan nama ahlul-ahli wal-‘aqdi, terdiri dari alim-ulama yang mewakili masyarakat dan melaksanakan fungsi legislatif terbatas. Melalui proses permusyawarahan ini, as-syura, tercapailah kesepakatan masyarakat yang benar, al-ijma,’ tentang pelaksanaan perintah-perintah Allah terhadap masalah-masalah tertentu.[3]
Masyarakat Islam itu tidak hanya masyarakat berkeseimbangan, akan tetapi juga secara ideal dipenuhi oleh misi moral dan sikap aktivis. Al-Qur’an mengatakan, “Demikianlah kami jadikan kamu umat pertengahan agar kamu menjadi saksi bagi manusia.” Ayat lain memerintahkan orang Islam untuk bekerja keras memperbaiki nasib. “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum bangsa sampai mereka sendiri yang mengubah nasibnya.” Ini menghancurkan mitos kaum orientalis yang mengatakan bahwa fatalism adalah ciri-khas Islam. Dalam masalah politik perintah Allah itu jelas, yaitu bangun dan kembangkan masyarakat untuk melaksanakan tugas Ilahinya di dunia.[4]

BAB II
PEMBAHASAN

A.Teori Pemikiran Politik Islam
Dalam teori dan pemikiran politik Islam, ada tiga gelar simbolik yang disematkan kepada beberapa orang yang melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan dalam pucuk elite kekuasaan. Yaitu, al-imam, al-khalifah, dan amir al-mukminin. Ketiga gelar simbolik ini telah pernah memainkan peran penting pada roda kepemimpinan dalam sejarah perkembangan Islam. Berikut ini beberapa penjelasan tentang hakikat makna setiap gelar simbolik tersebut.[5]

  1. Al-Imam
Dalam bahasa Arab, kata imam dalam berbagai bentuknya mempunyai beberapa arti, seperti: tujuan atau maksud (al-amm), jalan dan agama (al-immah), Ibu dan Bendera (al-umma), Pemimpin yang diangkat oleh kaumnya (imam).[6]
Imam juga berarti seorang pemimpin atau orang yang berada di muka. Menurut Thaba’thaba’I, imam adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang memegang pimpinan masyarakat dalam suatu gerakan sosial, atau suatu ideologi politik, atau suatu aliran pemikiran keilmuan atau keagamaan. Murthada Muthahhari berpendapat, bahwa imam adalah pribadi yang memiliki beberapa pengikut, terlepas dari kenyataannya apakah dia saleh atau tidak. Dalam al-Qur’an disebutkan, “Kami telah menjadikan mereka itu sebagai imam-imam yang member petunjuk dengan seizing Kami.”  (QS. Al-Anbiya’: 73). Jadi secara harfiah, imam adalah seorang pemimpin.[7]
Imam juga berarti sesuatu yang diikuti, baik sebagai kepala, jalan, atau sesuatu yang membuat lurus dan memperbaiki perkataan. Selain itu, imam digunakan juga untuk menyebut al-Qur’an, Nabi Muhammad, khalifah, panglima tentara, dan sebagainya. Dengan demikian, jelaslah bahwa kata imam memiliki banyak makna. Yaitu bisa bermakna: maju ke depan, petunjuk dan bimbingan, kepantasan seseorang menjadi uswah hasanan, dan kepemimpinan. Dalam al-Qur’an, imam digunakan untuk menyebut pemimpin masyarakat (QS. Al-Ambiya: 72-73), pemimpin orang kafir (QS. Al-Qashash dan QS. Al-Tawbah 12).[8]
Dari ayat-ayat di atas, bisa dipetik dua pengertian dari makna imam, sebagian besar digunakan dalam al-Qur’an membuktikan adanya indikasi yang bermakna kebaikan. Pada sisi lain bahwa kata imam juga menunjukkan makna jahat. Karena itu, imam berarti seorang pemimpin yang diangkat oleh beberapa orang dalam suatu kaum. Pengangkatan imam tersebut mengabaikan dan tidak memperdulikan, apakah ia akhirnya akan berjalan ke arah yang lurus atau arah yang sesat. Kedua, kata imam dalam ayat-ayat al-Qur’an itu bisa mengandung makna sebagaimana juga menunjukkan kepada orang-orang yang bertakwa.[9]
Imam bagi kepala Negara Islam ini digunakan karena ia menjadi imam kaum Muslim dalam menunaikan shalat dan dalam menangani urusan mereka serta menjaga kepentingan mereka. Mereka mengikuti dan mematuhi perintahnya seperti halnya makmum mengikuti imam. Ibnu Khladun mengatakan, Penamaan kepada Negara Islam dengan imam dianalogikan dengan imam shalat dalam mengikuti dan meniru. Oleh sebab itu, kepemimpinan Negara Islam disebut imamah kubra (kepemimpinan besar) untuk membedakan dengan imamah shugra (kepemimpinan kecil) dalam shalat, haji, acara, dan perhimpunan.[10]
Ibnu Hazm berkata, “Nama sebutan imam dapat juga dikenakan pada seorang ulama fiqih dan ilmuwan serta orang yang memimpin shalat di masjid manapun. Akan tetapi dengan dibubuhkan pada kata lain, tidak mutlak, sehingga dikatakan: Fulan adalah imam dalam agama, imam suku Fulan, dan begitu seterusnya. Maka seseorang tidak disebut imam kecuali ia menangani urusan pemeluk Islam.[11]
Dalam sekte Syiah imamah mempunyai pengertian lain, yang menurut kata-kata Ibnu Khaldun, “Kemudian kaum Syi’ah mengkhususkan gelar imam kepada Ali Ibn Thalib dengan membubuhkan imamah kepadanya. Bagi mereka Ali lebih berhak menjadi imam shalat daripada Abu Bakar dan para sahabat lainnya. Kemudian gelar imam ini juga mereka berikan kepada para imam Syi’ah dan menyebutkan secara rahasia hingga ketika mereka menguasai Negara pada awal masa Bani Abbas. Akan tetapi kemudian mengubahnya pada masa setelah itu dengan sebutan Amirul Mukminin. Mereka tetap merahasiakan gelar imam hingga masa Ibrahim yang secara terbuka memanggilnya dengan sebutan imam dan membuat bendera perang untuk memperjuangkan kelompok mereka. Ketika ia meninggal dunia saudaranya yang dijuluki as-Saffah (sang penumpah darah), dipanggil dengan Amirul Mukminin.[12]
Perlu dikatakan bahwa khilafah, imamah, dan imarah kaum Mukminun serta kerajaan (al-Mulk) tidak dimaksudkan dalam al-Qur’an selain kepemimpinan dalam pengertian umum, tidak dimaksudkan pada sistem pemerintahan tertentu. Sebab Nabi Daud as dinamakan dalam al-Qur’an seorang khalifah dan juga dinamakan seorang raja. Firman Allah, “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu sang khalifah di muka bumi.” (Shaad:26), dan dalam firman-Nya yang lain: “Dan Daud membunuh jalut dan Allah mengkaruniakan kepadanya kerajaan.” (al-Baqarah: 251) Begitu pula Nabi Ibrahim as dinamakan imam dalam sebuah ayat, dan anak cucunya yang mendapat petunjuk disebut imam-imam (para pendamping). Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan kamu bagi manusia pemimpin.” Dia berkata, “Apakah juga di antara anak cucu hamba?” Allah berfirman, “JanjiKu ini tidak mengenai orang-orang yang zalim.” (al-Baqarah: 124). Sementara itu di ayat yang lain, Allah menggambarkan anak cucu Nabi Ibrahim as dengan para raja, “Maka sungguh telah Kami berikan kepada keluarga Ibrahim al-Kitab dan hikmah dan Kami juga mengkaruniakan kerajaan besar.” (an-Nisa: 53) Allah juga menjanjikan Bani Israil menjadi para imam (pemimpin) setelah mereka ditindas dan dianiaya oleh Firaun di muka bumi, “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin (para imam) dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi.” (al-Qashashs: 5) Ketika mereka melepaskan diri dari kezaliman Fir’aun dan membentuk Negara sendiri, Nabi Musa mulai mengingatkan kepada mereka atas karunia Allah kepada mereka itu seraya bersabda kepada mereka, “Ingatlah kepada Allah atas karunia Allah kepada kalian ketika Dia menjadikan di antara kalian nabi-nabi dan menjadikan kalian raja-raja.” (al-Ma’idah: 20).[13]

2.    Al-Khalifah
Kata khalifah diambil dari kata dasar khalafa yang berarti datang kemudian. Istakhlafa berarti menjadikan seseorang pada posisinya atau mewakilinya. Khalifah adalah orang yang menempati posisi orang yang ada sebelumnya dan khalifah juga berarti penguasa tertinggi di kalangan umat Islam. Jabatan khalifah disebut khilafah atau imarah.[14]
Orang pertama yang menyandang istilah atau gelar khalifah ialah Abu Bakar ra. Ia menggantikan posisi kepemimpinan umat, setelah Rasulullah SAW, dalam memelihara agama dan politik duniawi dengan agama. Ia menerima sebutan ini dan tidak mau diberi diberi khalifatullah (khalifah Allah). sebuatan atau gelar khalifatullah menurut pemahaman jumhur ulama tidak dibenarkan untuk diberikan kepada penguasa atau manusia siapa pun dan mereka menisbahkan orang yang menggunakan gelar khalifatullah sebagai sikap menentang sebab kata khalifah berkaitan dengan menggantikan posisi orang yang tidak ada atau meninggal padahal Allah selalu ada dan tidak mati.[15]
Umar Ibn Abdul Aziz tidak mau menggunakan gelar ini ketika seseorang memanggilnya dengan sebutan, “Hai Khalifatullah.” Ia menjawab, “Tidak, sesungguhnya ketika aku lahir keluargaku memilihkan sebuah nama untukku. Jika kau memanggilku, “Hai Umar,” maka aku tentu menjawab. Ketika aku dewasa dan menjadi orang tua, aku memilih panggilan untuk diriku, Abu Hafsh, tentu aku menjawab. Ketika kalian mengangkatku menjadi pemimpin, kalian menjulukiku Amirul Mukminin. Jika kalian memanggilku dengan sebutan itu, “Hai Amirul Mukminin, tentu aku menjawab. Sedangkan dengan khalifatullah, aku tidak demikian.[16]
Gelar ini sangat berkaitan dengan sejarah pertumbuhan dan perkembangan Islam. Setelah Nabi Muhammad wafat, para sahabat berkumpul untuk memilih dan memutuskan seorang yang akan menjadi pengganti kepemimpinannya. Dan, Abu Bakar terpilih untuk menggantikan Rasulullah dalam memimpin dan memelihara kemaslahatan ummat Islam pada masa-masa berikutnya. Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, yang berarti penerus atau pengganti nabi untuk mengurus masalah umat Islam.[17]
Abu Bakar menegaskan, “Aku bukan khalifah Allah, melainkan khalifah Rasulullah.” Jadi, Abu Bakar diangkat oleh para sahabat sebagai pengganti dan penerus kepemimpinan Rasulullah. Khalifah sebagai konsep politik merupakan anitetesis dari sistem kekaisaran yang absolut otoriter.[18]

  1. Amir al-Mu’minin
Gelar ini diberikan kepada khalifah kedua: umar Ibn Khattab- setelah menggantikan Khalifah Abu Bakar yang wafat. Dalam bukunya, al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun menjelaskan sebab pemberian nama ini. Ia menulis, “Itu adalah bagian dari ciri khas kekhalifahan dan itu diciptakan sejak masa para khalifah. Mereka telah menamakan para pemimpin delegasi dengan nama amir, yaitu wazan (bentuk kata) fa’il dari imarah. Para sahabat pun memanggil Sa’ad Ibn Abi Waqqash dengan Amir al-Mu’minin karena ia memimpin tentara Islam dalam Perang Qadisiyyah. Pada waktu itu, sebagian sahabat memanggil Umar ibn Khathtab dengan sebutan yang sama juga. Amir al-Mu’minin sebagai pengganti gelar yang susah disebut, yaitu: Khalifatu khalifati Rasulillah (pengganti dari pengganti Rasulullah).[19]
Dikatakan bahwa yang pertama kali memanggil dengan sebutan ini ialah Abdullah Ibn Jahsy. Sedangkan menurut riwayat lain ialah Amr Ibn al-‘Ash dan Mughirah Ibn Syu’bah. Dikatakan pula bahwa Buraid datang membawa kemenangan dalam sebuah misi penyebaran Islam lalu ketika kembali ke Madinah ia menanyakan Umar dengan mengatakan, “Di manakah Amirul Mukminin?” Kata-katanya ini didengar oleh para sahabat, lalu dipandang baik sehingga sebutan ini lalu digunakan. Mereka menjawab, “Demi Allah, sungguh bagus sebutan namanya itu. Dialah benar-benar Amirul Mukminin (pemimpin orang-orang Mukminin). Sebutan ini digunakan dari generasi ke generasi setelah masa pemerintahan Umar.[20]
Jika Abu Bakar adalah khalifah Rasulullah, maka Umar adalah khalifah-khalifah Rasulullah dan yang demikian terlalu panjang dan akan semakin panjang kelak bagi generasi mendatang. Oleh sebab itu, ketika Umar dipanggil dengan sebutan “Wahai khalifah khalifah Rasulullah, menjawab, “Itu panggilan panjang. Setiap kali ada khalifah baru, kalian akan memanggil “Hai khalifah khalifah Rasulullah, padahal kalian adalah orang-orang Mukmin dan aku amir kalian. Jadi aku adalah Amirul Mukminin.[21]
Patut disebutkan di sini bahwa gelar Amirul Mukminin tidak menghapus gelar khalifah melainkan dua gelar ini tetap ada pada masa pemerintahan Umar ra dan juga setelahnya. Gelar Amirul Mukminin mengisyaratkan bahwa masalah memilih khalifah berada di tangan orang-orang Mukmin dan mereka adalah hak untuk memilih amir mereka.[22]
Secara umum, ketika gelar di atas menunjukkan perlu atau adanya kepemimpinan dalam Islam. Bagi suatu kaum atau ummat, keberadaan seorang pemimpin merupakan suatu keharusan yang tak mungkin dimungkiri. Menurut Imam al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, dalam lembaga Negara menurut ijma’. Alasannya, karena lembaga kepala dan pemerintah dijadikan sebagai pengganti fungsi kenabian dan menjaga agama serta mengurus urusan dunia.[23]
Al-Mawardi menyebut tujuh syarat yang harus dipenuhi calon kepala Negara (seorang pemimpin). Syarat-syarat itu, antara lain: keseimbangan atau keadilan (al-‘adalah); punya ilmu pengetahuan untuk berijtihad; punya panca indera lengkap dan sehat; anggota tubuhnya tidak kurang untuk menghalangi gerak dan cepat bangun; punya visi pemikiran yang baik untuk mendapatkan kebijakan yang baik; punya keberanian dan sifat menjaga rakyat; dan punya nasab dari suku Quraish.[24]
Adapun Imam al-Ghazali mengingatkan kepada para pemimpin, khususnya para penguasa, bahwa kekuasaan yang didudukinya memiliki batas dan kadar tertentu, dan bisa juga kekuasaan itu mengandung keburukan. Karena itu, dalam menjalankan kekuasaannya, seorang pemimpin harus menjalankan sepuluh prinsip keadilan sebagai syarat pertama bagi seorang pemimpin, seperti disebutkan al-Mawardi. Antara lain: seorang pemimpin, seperti disebutkan al-Mawardi. Antara lain: seorang pemimpin harus memiliki rasa tanggung jawab yang yang tinggi; menerima pesan ulama; berlaku baik kepada bawahan; memiliki rasa rendah hati dan penyantun; tidak mementingkan diri sendiri; memiliki loyalitas tinggi; hidup sederhana; lemah lembut; cinta rakyat; serta tulus, dan ikhlas.[25]
Yang jelas, Nabi Muhammad dengan tegas mengingatkan para pemimpin. Nabi bersabda, “Hamba yang diberikan kekuasaan oleh Allah untuk memimpin umat, tetapi mengkhianati, dan tidak memberikan nasihat atau mengasihi mereka, Allah mengharamkan surga kepadanya.” Dalam hadis lain Rasulullah berkata, “Siapa jadi pemimpin ummat Islam, tetapi tidak memperhatikan mereka sebagaimana terhadap keluarganya sendiri, berarti ia telah memperoleh tempat yang mapan di api neraka.[26]
           
B. Nurani Politik
1. Pengertian Nurani
Nurani berasal dari bahasa Arab Nur, yang artinya cahaya, sesuatu yang bersifat cahaya. Cahaya apa? Menurut perspektif Psikologi Islam, perangkat kejiwaan manusia itu sendiri dari akal, hati, nurani, syahwat dan hawa nafsu. Akal merupakan problem solving capacity yang kerjanya berpikir, hati merupakan alat untuk memahami realita, nurani merupakan pandangan mata batin sebagai lawan dari pandangan mata kepala. Syahwat merupakan penggerak tingkah laku atau motif, dan hawa nafsu merupakan kekuatan destruktif yang menguji kemampuan jiwa. Sebagai sistem, kelima subsistem tersebut dipimpin oleh hati, oleh karena itu, jika orang hatinya baik maka perilakunya juga baik, jika hatinya busuk maka perilakunya juga busuk. Nurani lebih dekat ke hati, oleh karena itu, dinamakan hatu nurani.[27]
2. Teori Pancaran
Konsep nurani berasal dari teori isyraqy atau teori pancaran yang menyatakan bahwa Tuhan adalah cahaya (Allohu nur assamawati wal al-ardh). Seperti matahari yang selalu memancarkan cahayanya, ia meninggalkan jejak cahayanya di bumi berupa kehidupan, kehangatan atau panas dan terang. Di malam hari, panas dan cahaya matahari itu berusaha kembali ke cahaya asal meninggalkan bumi dalam keadaan gelap dan dingin. Nah Tuhan memancarkan cahaya-Nya, dan diantara jejak cahaya Tuhan adalah manusia, oleh karena itu di dalam diri manusia ada cahaya ketuhanan, disebut bashirah (pandangan batin) atau nurani (sesuatu yang bersifat cahaya). Dan nurani memiliki kerinduan untuk selalu kembali kepada Tuhan sebagai cahaya asalnya.[28]
Berbeda dengan hati yang wataknya tidak konsisten; terkadang benci dilain waktu cinta, terkadang sadar dilain waktu lupa, terkadang tenang dialin waktu bergejolak, nurani merupakan cahaya ketuhanan bersifat konsisten, tidak mau kompromi dengan kebohongan dan kejahatan. Betapapun orang menang di pengadilan dengan cara menyuap hakim misalnya, nuraninya tetap jujur mengatakan bahwa dialah yang bersalah. Nurani tetap konsisten dengan kejujuran. Mengapa? Karena seperti dikatakan dalam ilmu tasawuf nurani adalah cahaya yang ditempatkan Tuhan di dalam hati manusia, nurun yaqdzifullah fi al qalbi. Hanya saja sebagaimana cahaya terkadang buram dan gelap, nurani manusia juga terkadang buram, gelap atau bahkan mati, yakni ketika cahaya itu tertutupi oleh tabir. Jika nurani mati maka orangnya seperti berada di tempat gelap (dzulm) sehingga perilakunya juga seperti prilaku orang dalam kegelapan, salah tempat, salah ambil, salah persepsi, salah naruh, dan salah langkah.[29]
Jika politik dipahami sebagai kekuasaan, maka watak politik adalah korup. Korupsi adalah memanipulasi angka dan fakta untuk kepentingan sendiri. Jika dihubungkan dengan tipologi kejiwaan, maka politisi yang lebih dipengaruhi oleh akalnya cenderung rasional meski terkadang kering, politisi yang lebih dipengaruhi oleh hati maka cenderung hati-hati, politisi yang lebih dipengaruhi oleh syahwat cenderung mudah terdorong ke ambisi, politisi yang lebih dipengaruhi oleh hawa nafsu cenderung desktruktif dan jahat, nah orang berpolitik karena panggilan nurani cenderung kepada keinginan memberi dibanding keinginan menerima.

3.Nurani vs Syahwat Politik
Syahwat adalah kecendrungan kepada apa-apa yang dingini. Tuhan menghiasi manusia dengan syahwat seksual, kebanggaan kepada anak-anaknya, menyenangi perhiasan dan barang berharga, menyukai kendaraan bagus, ladang dan ternak, pokoknya segala yang dipersepsi sebagai kelebihan, kenyamanan dan kebanggaan. Syahwat politik adalah kecendrungan orang untuk menguasai orang lain, pikirannya, seleranya bahkan kemauannya, sehingga syahwat politik mendorong orang untuk bisa menjadi orang nomor satu; ketua, direktur, lurah bahkan presiden, agar ia dapat menguasai dan mengatur orang lain. 
Sesungguhnya syahwat itu manusiawi, netral dan tidak mesti jelek. Jika orang menggapai syahwat dengan mengikuti prosedur dan mematuhi hukum (hukum Tuhan, hukum Negara dan hukum etika) serta jujur maka aktualisasi syahwat itu sah dan bahkan bisa bernilai ibadah. Akan tetapi karena politik itu cenderung korup maka syahwat politik pada umumnya mendorong kepada ambisi, sementara ambisi menutup nurani. Oleh karena itu, mengusung nurani dalam gerakan atau manuver politik riskan tergelincir kepada manipulasi, tidak jujur dalam menilai, tidak jujur dalam mengkritik, dan lupa intropeksi.

4. Pemimpin yang Bernurani
Ciri pemimpin yang digerakkan oleh nurani politik adalah tampil karena panggilan, bukan karena berhitung. Dalam suasana yang tak berpengharapan, maju kena mundur kena, bangsa berada ditubir kehancuran, pemimpin konvensional sibuk berhitung posisi berebut kamar padahal “kapal” nyaris tenggelam. Dalam keadaan seperti itu biasanya muncul seorang pemimpin yang terpanggil nuraninya untuk menyelamatkan keadaan. Ia siap memberikan apapun yang dimiliki tanpa berhitung untung rugi. Pikiran dan hatinya bersih suci dari kepentingan-kepentingan subyektif. Ia tampil bukan karena ingin berkuasa tetapi ingin menyumbangkan potensi dirinya bagi keselamatan bangsa, dan ia bahkan dengan senang hati siap menyerahkan kepemimpinannya itu kepada orang lain yang dinilai lebih tepat.[30]
Dalam khazanah Islam kita mendapati sosok Umar Ibn Abdul Aziz (682M-720 M), yang memiliki hati nurani dalam memimpin. Dia memerintah kurang lebih 2,5 tahun. Walaupun demikian, waktu yang relatif itu dapat digunakan secara produktif untuk membuat kebijaksanaan dalam berbagai bidang. Dalam bidang agama, ia menghidupkan ajaran al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW, seperti pada zaman moyangnya, Umar Ibn Khattab, dalam rangka mengembalikan kemuliaan agama dalam berbagai aspek kehidupan dan menggunakannya untuk mewarnai kehidupan bermasyarakat dan bernegara.[31]
Oleh karena itu, ia mengadakan kerja sama dengan para ulama besar pada zamannya seperti Hasan al-Basri (ahli hadits dan fiqih) dan Sulaiman Ibn Umar. Dia berdialog dan meminta fatwa dari mereka tentang berbagai kebijaksanaannya, mengajak mereka agar mengajar rakyat mengenai hukum syariat, setia mengikuti perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. Ia kemudian menerapkan hukum syariat secara serius dan sistematis. Dialah khalifah pertama dari Dinasti Umayyah yang melakukan hal ini.[32]
Jasanya yang penting di bidang agama dan pengetahuan, yang buahnya dapat diwarisi umat Islam sampai kini, adalah inisatifnya untuk mengadakan kodifikasi hadis yang sebelumnya belum ada. Faktor pendorongnya adalah bahwa ia khawatir hadits-hadits akan lenyap dan hadis-hadis palsu muncul. Pada waktu itu, hadis masih tersimpan dalam hapalan para sahabat dan rawi atau periwayat serta dalam catatan pribadi. Untuk usaha kodifikasi itu ia memerintahkan seluruh wali negeri dan ulama hadis agar mencatat hadits-hadits. Semua hadis yang diperoleh dari berbagai negeri ia percayakan kepada ulama besar Imam Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab az-Zuhri untuk dihimpun dan ditulis. Umar sendiri ikut mendiskusikan hadits-hadits yang telah terkumpul untuk diseleksi apakah palsu atau tidak.[33] Ia juga punya perhatian terhadap ilmu lain. Dikabarkan ia memindahkan sekolah kedokteran yang ada di Iskandariyah (Mesir) ke Antakya (kini di Turki) dan Harran (Turki).
Di bidang sosial politik Umar menerapkan prinsip politik yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan yang lebih utama dari segalanya. Jika khalifah-khalifah Umayyah sebelumnya menjalankan politik kekerasan terhadap lawan-lawan politik mereka, yaitu menindak dan mengejar-ngejar keturunan Ali Ibn Abi Thalib dan Bani Hasyim serta menumpas gerakan khawarij, maka Umar bersikap lunak. Menurutnya, Bani Umayyah tidak mempunyai keistimewaan dibandingkan dengan saudaranya sesama mulsim. Karena itu, ia memberikan kebebasan kepada rakyat dari semua golongan untuk menyatakan pendiriannya, asal tidak mengganggu ketertiban umum. Ia juga bersikap lunak terhadap kaum Khawarij yang waktu itu dipimpin oleh Syauzab dan memerintahkan kepada gubernur Hedzjaj agar tidak memerangi mereka, kecuali bila mereka mengadakan kerusuhan dan pengrusakan. Bahkan ia berkirim surat kepada Syauzab agar datang ke Damaskus untuk bertukar pikiran.[34]
Untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, ia kemudian mengirim utusan-utusan ke berbagai negeri untuk melihat langsung cara kerja para gubernur. Bila ia menemui amil dan gubernur yang tidak taat menjalankan agamanya dan bertindak zalim kepada rakyat, maka ia langsung memecatnya, seperti memecat Yazib Ibn Abi Muslim (gubernur Afrika Utara) dan Salih Ibn Abdur Rahman (gubernur Irak). Ia juga mengembalikan tanah yang dirampas para penguasa kepada pemiliknya.
Dalam menyelesaikan perkara perselisihan, ia menekankan bahwa para hakim harus berdasarkan Kitab Allah (al-Qur’an), sunah Rasulullah SAW, ijmak, dan ijtihad. Untuk itu, menurutnya, seorang hakim harus memenuhi lima syarat, memiliki pengetahuan tentang apa yang terjadi pada masa lalu, menjauhi sifat tamak, bersifat penyantun, bekerjasama dengan para cendikiawan, dan bebas dari pengaruh penguasa.
Dalam bidang militer Umar tidak menaruh perhatian untuk membangun angkatan yang tangguh dari royal, sehingga masa pemerintahannya sepi dari aksi-aksi militer. Ia lebih mengutamakan urusan dalam negeri, yaitu meningkatkan tafaf hidup rakyat. Kebijaksanaan ini berkaitan dengan kebijaksanaannya di bidang dakwah dan perluasan wilayah kekuasaan. Menurutnya perluasan wilayah kekuasaan sekaligus penyebaran Islam tidak harus dengan kekuatan militer, tetapi juga dapat berhasil melalui dakwah amar makruf dan nahi munkar dengan cara yang bijak dan lemah lembut. Untuk itu, ia memerintahkan Musallama agar menghentikan pengepungan Constantinopel (Istanbul sekarang) dan penyerbuan ke Asia Kecil.[35]
Dalam bidang ekonomi Umar juga membuat berbagai kebijaksanaan yang melindungi kepentingan rakyat dan meingkatkan kemakmuran mereka. Ia mengurangi beban pajak yang dipungut dari kaum Nasrani, menghentikan jizyah (pajak) dari umat Islam, membuat aturan mengenai timbangan dan takaran, membasmi cukai dan kerja paksa, memperbaiki tanah pertanian, irigasi, penggalian sumur-sumur, pembangunan jalan, menyediakan tempat penginapan bagi musafir, dan menyantuni fakir miskin. Kebijaksaan ini berhasil meningkatkan taraf hidup rakyat, sehingga umat Islam di bawah kepemimpinannya dapat dikatakan makmur. Kebijaksanaan lainnya adalah menghapuskan kebiasaan mencela nama Ali Ibn Abi Thalib dan keturunannya dalam khotbah setiap shalat jum’at, suatu kebiasaan yang sudah berjalan sejak Mua’wiyah Ibn Abi Sufyan, pendiri Dinasti Umayyah.
Dalam melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaannya tersebut, banyak muncul proyek, tetapi Umar tidak memanfaatkannya untuk memperkaya diri, malahan ia mengimbanginya dengan pola hidup sederhana dan kepribadian terpuji. Sebagai keluarga ningrat ia sangat mungkin hidup mewah. Sebelum menjadi khalifah, ia dikenal gemar memakai wewangian dan pakaian sutra. Namun, begitu ia menjadi khalifah, keadaan ini berbalik. Setelah pemakaman Khalifah Sulaiman, ia menolak kuda-kuda kendaraan untuk angkutan barang dan tunggangan yang bagus-bagus dan penuh dengan hiasan, yang ditawarkan kepadanya oleh petugas kerajaan. Ia berkata, “Kudaku lebih sesuai bagiku.” Lantas kuda-kuda itu dijual dan hasilnya dimasukkan ke dalam kas Negara (Baitulmal). Pakaiannya ia ganti dengan yang lebih kasar. Tanah perkebunannya dan perhiasan istrinya ia jual, dan hasilnya juga dimasukkan ke dalam baitulmal.
Umar juga tidak mau memakai harta Negara untuk keperluan pribadi. Pada suatu malam ia bekerja di kantornya untuk urusan Negara, tiba-tiba putranya datang untuk urusan keluarga. Mereka berdua berbicara dalam kegelapan, karena lampu ia padamkan. Ketika ditanya putranya, kenapa lampu dipadamkan, ia menjawab bahwa putranya datang untuk urusan keluarga, sedang minyak yang dipakai di kantor itu dibeli dengan uang Negara, yang berarti milik rakyat. Begitulah pribadi Umar seorang pemimpin yang memiliki hati nurani dalam memimpin.

  1. Perawatan Nurani
Nurani yang diiklankan pasti bukan nurani. Menurut teori Psikologi Komunikasi, jika benda-benda konsumtif diiklankan berulang-ulang maka ia akan menarik perhatian konsumen, berpengaruh dari aspek kognitif, afektif bahkan psikomotorik meski benda itu sesungguhnya tidak terlalu bermutu. Mengiklankan nurani yang bermutu secara berulang-ulang dalam waktu lama bukan saja hanya berpengaruh secara kognitif, tidak afektif dan tidak psikomotorik, justru membuat nurani itu terasa hambar di telinga konsumen. [36]
Nurani adalah kapasitas spiritual yang sangat lembut dan tajam. Barang siapa dalam hidupnya selalu mengikuti bsisikan nuraninya, dijamin pilihannya tepat dan langkahnya benar. Problemnya, cahaya nurani tidak selamanya optimal terang, terkadang buram, terkadang bahkan mati. Untuk menjaga agar nurani tetap menyala maka harus dilakukan penjagaan dan perawatan. Pengjagaan nurani melalui dua cara.
Pertama; jauhi segala perbuatan dosa. Dosa kecil akan menjadi debu yang membuat cahaya nurani terang. Dosa besar membuat nurani tertutup seperti cermin yang tersiram cat hitam, gelap. Mencampur aduk perbuatan baik dengan perbuatan dosa membuat nurani seperti cermin retak, tidak mampu menangkap realitas secara tepat sehingga keliru persepsi.[37]
Kedua, hidup sederhana. Sederhana adalah mengkonsumi sesuai dengan standar kebutuhan secara universal. Orang boleh punya banyak tetapi yang dikonsumi sekedar yang dibutuhkan. Banyak orang kaya hidupnya sederhana, tak jarang orang miskin hidupnya bermewah-mewah. Problemnya ialah bagaimana merumuskan kebutuhan. Ada orang yang sudah merasa tercukupi jika kebutuhan hari ini sudah ada, yang lain baru merasa cukup jika kebutuhan untuk satu tahun mendatang sudah tersedia, nah yang lain lagi baru merasa cukup jika kebutuhan untuk tujuh turunan sudah berada dalam genggaman tangannya.
Sedangkan perawatan nurani agar tetap menyala terang dapat dilakukan dengan. Pertama, Charge baterai nurani; dalam hal ini dilakukan dengan mendengarkan kata-kata hikmah, membaca kitab suci, dan menjalankan ritual ibadah. Kedua, berakrab-akrab dengan penderitaan hidup manusia. Orang yang sering mengunjungi dan membantu orang lain yang berada dalam penderitaan (orang sakit, orang miskin papa, korban bencana alam dan orang lain yang tidak beruntung) nuraninya tersentuh seperti baterai yang dicharge aliran listrik. Jika sering melakukan maka ketersentuhan itu akan menjadi potensi berupa panggilan nurani untuk melakukan sesuatu yang bermakna.[38]

DAFTAR PUSTAKA

Dewan Editor, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.

---------, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.

Esposito,John L., Identitas Islam: Perubahan Sosial dan Politik, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.

Fariz, Muhammad Abdul Qadir Abu, Sistem Politik Islam, Jakarta: Robbani Press, 2000.

Mubarok, Achmad, Jiwa Dalam al-Qur’an: Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern, (Jakarta: Paramadina, 2000

-----------, Silabus Mata Kuliah: Dakwah Komunikasi Budaya dan Politik, Program Doktor  Ilmu Dakwah, Jakarta: UIA, 2013

Yahya, Ali (Ed), Prof. Dr. Ahmad Mubarok, MA, Ketua Partai Politik Yang Bukan Politisi: Otobiografi dan Percikan Pemikiran Budaya, Jakarta: Mubarok Institute, 2009.
           
Shihab, Alwi, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, Bandung: Mizan, Cet. 5, 1999.

Shihab, Quraish, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 1, 2, 6, 7, dan 13,  Ciputat: Lentera Hati, 2000.

Shihab, Quraish dkk, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosa Kata, Jakarta: Lentera Hati, 2007.




[1]Ali Yahya (Ed), Prof. Dr. Ahmad Mubarok, MA, Ketua Partai Politik Yang Bukan Politisi: Otobiografi dan Percikan Pemikiran Budaya, (Jakarta: Mubarok Institute, 2009), h. 147.  
[2]John L. Esposito, Identitas Islam: Perubahan Sosial dan Politik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 22.
[3]Ibid., h. 22-23.
[4]Ibid., h. 23.
[5]Ali Yahya (Ed), Prof. Dr. Ahmad Mubarok, MA, Ketua Partai Politik Yang Bukan Politisi: Otobiografi dan Percikan Pemikiran Budaya, h. 148.
[6] Ibid., h. 148.
[7] Ibid., h. 148.
[8]Ibid., h. 149.
[9]Ibid., h. 149.
[10]Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, (Jakarta: Robbani Press, 2000), h. 119.
[11]Ibid., h. 119.
[12]Ibid., h. 119.
[13]Ibid., h. 121.
[14]Ibid., h. 116.
[15]Ibid., h. 116.
[16]Ibid., h. 117.
[17]Ali Yahya (Ed), Prof. Dr. Ahmad Mubarok, MA, Ketua Partai Politik Yang Bukan Politisi: Otobiografi dan Percikan Pemikiran Budaya, h. 149.
[18]Ibid.,h . 149.
[19] Ibid., h. 150.
[20]Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, (Jakarta: Robbani Press, 2000), h. 118.
[21]Ibid., h. 118.
[22]Ibid., h. 118.
[23] Ali Yahya (Ed), Prof. Dr. Ahmad Mubarok, MA, Ketua Partai Politik Yang Bukan Politisi: Otobiografi dan Percikan Pemikiran Budaya, h. 150.
[24]Ibid., h. 150.
[25]Ibid., h. 150-151.
[26]Ibid., h. 151.
[27]Ali Yahya (Ed), Prof. Dr. Ahmad Mubarok, MA, Ketua Partai Politik Yang Bukan Politisi: Otobiografi dan Percikan Pemikiran Budaya, h. 157.
[28]Ibid., h. 157.
[29]Ibid., h. 158.
[30]Ibid., h. 159-160.
[31] Dewan Editor, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 123.
[32]Ibid., h. 123.
[33]Ibid., h. 123.
[34] Ibid.,h . 123.
[35]Ibid., h. 123-124.
[36] Ali Yahya (Ed), Prof. Dr. Ahmad Mubarok, MA, Ketua Partai Politik Yang Bukan Politisi: Otobiografi dan Percikan Pemikiran Budaya, h. 160.
[37]Ibid., h. 160.
[38]Ibid., h. 161.

Post a Comment

 
Top