Pada tanggal 18 September 1811 ditandatangani akta penyerahan
dari pihak Belanda kepada pihak Inggris. Pulau Jawa dan daerah-daerah taklukkannya
seperti Timor, Makassar,
dan Palembang menjadi
daerah jajahan Inggris. Di Timor dan Makassar penyerahan tersebut
tidaklah mengalami banyak
kesulitan, tetapi ketika utusan
Raffles tiba di Palembang untuk mengambil alih Loji Belanda
di Sungai Aur, mereka ditolak oleh Sultan Mahmud Badaruddin II, karena
kekuasaan Belanda di Palembang sebelum kapitulasi Perjanjian Tuntang sudah
tidak ada lagi. Raffles tidak dapat menerima alasan penolakan Sultan dan
berdalih bahwa pengambil alihan kekuasaan atas Loji Sungai Aur itu
terjadi sesudah perjanjian
Tuntang. Sultan wajib menghormati perjanjian antara
Inggris dan Belanda,
tegasnya menuntut agar
Sultan menyerahkan
sepenuhnya tambang-tambang timah
di Pulau Bangka
dan Belitung.
Terhadap
tuntutan Inggris Sultan
Mahmud Badaruddin II
tetap berpendirian bahwa beliau menjadi tuan di dalam rumahnya sendiri
dan karenanya tidak dapat menerima Inggris sebagai pewaris Belanda. Delegasi tersebut
kembali ke Batavia dengan tidak membawa hasil apa-apa dan melaporkan sikap
Sultan Mahmud Badaruddin II kepada Raffles.[1]
Pada tanggal 20 Maret 1812 Raffles mengirim ekspedisi ke
Palembang yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Robert Rollo Gillespie. Di lain
pihak Sultan Mahmud Badaruddin II dan rakyat sudah bersiap untuk menghadapi
segala kemungkinan yang akan
terjadi semenjak utusan
Raffles tersebut ke Batavia.
Inggris mulai menggempur
benteng Pulau Borang
untuk memasuki wilayah Kesultanan
Palembang. Pangeran Adi Menggalo yang merupakan pemimpin benteng pertahanan di pulau Borang. Dia menyadari persenjataan yang dimilikinya dan jumlah
pasukannya tidak mungkin dapat menandingi persenjataan musuh yang jauh lebih kuat. Belum lagi jumlah pasukan
mereka lebih banyak, maka Pangeran tersebut segera ke Palembang menghadap
Sultan.
Sultan Mahmud Badaruddin II disarankan untuk meninggalkan
Kraton. Seluruh rakyat sudah siap dalam perahu untuk mengungsi. Ahmad
Najamuddin berjanji akan menghadapi pasukan Gillespie. Tanpa merasa curiga
Sultan Mahmud Badaruddin II menerima saran adiknya. Sebelumnya, Sultan sudah berencana
untuk bertahan di
kota Palembang seandainya
Benteng Pulau Borang jatuh. Berdasarkan
saran Ahmad Najamuddin Sultan akhirnya memutuskan untuk mengungsi.
Dalam melakukan pengungsian Sultan diikuti para pembesar
Kerajaan membawa lambang kebesaran
Kerajaan, persediaan uang,
emas, dan bahan makanan juga tidak dilupakan. Sultan
Mahmud Badaruddin II dan Putra Mahkota meninggalkan kota Palembang menuju ke
daerah Ulu. Kota Palembang setelah ditinggalkan Sultan berada dalam situasi
yang kacau. Pengkhianatan Ahmad Najamuddin sudah diketahui oleh para pengikut
Sultan dan para pengikut Sultan menyerbu kota Palembang. Untuk memadamkan
kerusuhan ini, Gillespie dengan 20 orang pasukan pilihan memasuki kota
Palembang.[2]
Oleh karena Gillespie tidak berhasil bertemu dengan Sultan
Mahmud Badaruddin II yang ditinjau dari sudut kemiliteran merupakan suatu
kegagalan, lalu Inggris mulai melaksanakan politik Devide et Impera-nya. Kemudian Gillespie mengakui Pangeran Adipati
sebagai Sultan Palembang dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin II pada 14 Mei
1812.
Sebagai lanjutan dari pada pengakuan Inggris terhadap Sultan
Ahmad Najamuddin II tersebut dibuatlah perjanjian tersendiri
dimana pulau Bangka
dan Belitung diserahkan
kepada Inggris. Dalam perjalanan pulang ke Batavia lewat Muntok oleh
Gillespie, kedua pulau itu diresmikan menjadi jajahan Kerajaan Inggris dengan
diberi nama Duke of York Islands.
Kapten Mears yang menggantikan Gillespie meneruskan usaha untuk
bertemu dengan Sultan Mahmud Badaruddin II, tetapi ia tidak berhasil karena
terkena peluru diperutnya ketika kontak senjata dengan gerilyawan di Bailangu,
sehingga terpaksa bersama dengan pasukannya kembali ke Batavia melalui Muntok,
namun dalam perjalanan menuju Bangka ia meninggal di Tanjung Kalian Muntok pada
15 September 1812.
Selama pasukan asing itu pergi meninggalkan daerah Palembang,
Sultan Mahmud Badaruddin II memperkuat pertahanannya dengan benteng baru
seperti Benteng Tanjung Muara Rawas, Benteng Seberang Musi, dan Benteng Tanjung
Rawas. Selama bergerilya itu, Sultan Mahmud Badaruddin II dibantu sepenuhnya
oleh seluruh rakyat di pedalaman yang terdiri dari berbagai suku selain dari
penduduk setempat, seperti orang-orang Jambi, Bangka, Belitung, Minang, Aceh,
Riau, dan Jawa di bawah pimpinan golongan masing-masing. Di lain pihak
Sultan Ahmad Najamuddin
II juga membuat
benteng dibagian ilir Muara Rawas. Benteng
ini dimaksudkan untuk
menjaga agar Sultan Mahmud Badaruddin II tidak merebut kota
Palembang.[3]
Selanjutnya
dibentuk kesatuan gerak cepat,
ditebing-tebing sungai dibuat kubu-kubu pertahanan dengan lubang-lubang
tembak, dan dibuat tembok-tembok penghalang perahu musuh. Kapten Mears
digantikan Mayor Robinson yang yakin bahwa Sultan Mahmud Badaruddin II tidak
mungkin dikalahkan dengan kekuatan senjata. Lambang Kesultanan Palembang masih
dikuasai oleh Sultan Mahmud Badaruddin II.
Sebagian besar rakyat masih mendukung Sultan Mahmud
Badaruddin II. Menghadapi masalah ini, Mayor Robinson mengubah
taktiknya. Melalui seorang
penghubung Robinson mengadakan
kontak dengan Sultan Mahmud Badaruddin II. Setelah dua kali pertemuan
tercapailah kata sepakat antara Robinson dan Sultan Mahmud Badaruddin II.
Robinson bersedia menempatkan kembali Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai Sultan
di Kesultanan Palembang.
Perjanjian ini ditandatangani tanggal 29 Juni 1813. Dalam
perjanjian itu disebutkan bahwa Sultan Mahmud Badaruddin II menyerahkan 100.000 ringgit Spanyol kepada Robinson. Sultan juga harus
menyerahkan 400.000 ringgit Spanyol untuk biaya pasukan Gillespie dan membangun
kembali benteng Belanda. Selanjutnya Sultan Mahmud Badaruddin II
harus mengirim putranya
yang memimpin pembunuhan
orang Belanda ke Batavia. Sultan
juga harus menyerahkan semua hasil
lada kepada Inggris. Inggris juga
diizinkan untuk memasukkan candu yang dibutuhkan ke Palembang.
Para pembesar Kesultanan Palembang menyambut baik perjanjian
ini. Ahmad Najamuddin II akhirnya turun
dari tahtanya dan kemudian menempati keraton di kota lama dengan menerima uang
tahunan. Sultan Mahmud Badaruddin II dijemput oleh Robinson memasuki kota
Palembang pada tanggal 31 Juni 1813, kemudian Sultan Mahmud Badaruddin II
menempati Keraton Kuto Besak.
Kebijaksanaan Mayor Robinson itu tidak dibenarkan oleh
Raffles, ia dipecat dari jabatannya, bukan saja karena kebijaksanaannya
tersebut, tetapi juga dituduh bersalah berhubungan dengan kekacauan di bidang
keuangan (menggelapkan uang). Sebulan kemudian tiba di Palembang suatu komisi
yang dipimpin oleh Mayor Colebrooke dengan tugas mengembalikan keadaan seperti
sebelum kedatangan Mayor Robinson. Setelah Colebrooke mengumumkan pernyataan
Raffles tanggal 4 Agustus 1813, dimaksudkan bahwa Sultan Ahmad Najamuddin II
diakui kembali sebagai Sultan Palembang.
Ahmad Najamuddin II menyetujui pengangkatannya, ia
menandatangani keputusan itu pada tanggal 21 Agustus 1813. Sebagai pengganti
Mayor Robinson, Raffles mengangkat Mayor M.H. Court sebagai Residen Palembang
yang baru.
Tanda-tanda kebesaran
Kesultanan Palembang tetap
pada Sultan Mahmud
Badaruddin II, tidak
diserahkan kepada Sultan
Ahmad Najamuddin II.
Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai rakyat biasa bebas bergerak ke
mana-mana, bagaikan “Harimau yang bergerak bebas seperti kucing”,[4]
sehingga ia senantiasa diperhatikan dan diawasi
pihak Inggris yang
sangat memaklumi ketinggian martabat Sultan dan mengetahui
benar bahwa seluruh rakyat tetap setia dan berada di belakangnya. Sultan Mahmud
Badaruddin II dalam keadaan penuh prihatin itu, tetap sabar tetapi waspada akan
siasat adu domba musuhnya. Keadaan ini berubah dikarenakan Konvensi London 13
Agustus 1814, yang menetapkan Inggris harus menyerahkan kembali daerah-daerah
kekuasaan Belanda di Indonesia.
Pelaksanaan serah terima tersebut agak terhalang disebabkan
kembalinya Napoleon dari Pulau
Elba. Barulah pada
tanggal 19 Agustus
1816 Belanda berkuasa kembali di Indonesia. Dengan demikian tamatlah periode
perjuangan Palembang melawan Inggris
dan mulailah perlawanan
Palembang terhadap Belanda. Semangat
juang rakyat dalam bentuk
perang gerilya di daerah
Musi Rawas juga telah membangkitkan semangat perlawanan rakyat di pulau
Bangka dan Belitung, dalam peristiwa dimana Resident Smissaert dihadang dan
dibunuh oleh rakyat pada tanggal 14 November 1819. Perang gerilya itu telah
mengilhami perlawanan rakyat dibeberapa
daerah seperti perlawanan
Tihang Alam di Komering Ulu, perang Jati, perang
Pasemah, perang Empat Lawang, perang Empat Petulai dan sebagainya.
Post a Comment