Surat Sultan Mahmud Badaruddin II kepada Gubernur Jenderal
H.W. Daedels tertanggal 13 Robi’ul Awal tahun 1224 H/1809. Terkait dengan kontrak
pelunasan dan pengisian timah oleh Belanda, dibalas dengan congkak diiringi
ancaman bahwa harga timah putih akan diturunkan dan apabila pada pengiriman
berikutnya tidak terdapat timah putih, maka Palembang akan digempur.
Berawal dari intimidasi itu, Sultan Mahmud Badaruddin II
segera melakukan persiapan perang.
Setelah melakukan musyawarah dengan para pembesar dan pemuka rakyat. Sultan
Mahmud Badaruddin II memperkuat
benteng pertahanan, memeriksa saluran air, dan sungai untuk kepentingan
strategi pertahanan. Penjagaan diperketat, kesiagaan masyarakat di tingkatkan,
dan tempat-tempat lainnya
yang strategis juga diberikan pengawasan yang ekstra.[1]
Sementara itu, Thomas Stamford Raffles diangkat sebagai
perwakilan Gubernur Jenderal Inggris yang berkedudukan di Malaka. Pengangkatan
itu, memberikan kesempatan kepadanya untuk melaksanakan ambisinya menghancurkan
kekuatan Belanda dan menggantikannya dengan kekuasaan Inggris. Perebutan
pengaruh dikalangan kedua kekuatan kolonial tersebut adalah terutama dalam
masalah perdagangan monopoli timah dan lada. Raffles mencoba mempengaruhi
Sultan Mahmud Badaruddin II dengan perantara surat menyurat dia menganjurkan
supaya Sultan mengenyahkan kekuasaan Belanda di Palembang, kemudian membuat
perjanjian dengan pihak Inggris.[2]
Sultan menanggapi surat Raffles tersebut dengan sangat
diplomatis. Surat Raffles pada akhir Mei 1811, menyatakan bahwa ia berterima
kasih apabila Sultan bersedia menghancurkan
Loji Belanda di
Palembang. Selanjutnya dalam
surat itu dinyatakan bahwa akan
dikirim 80 pucuk senapan berikut 10 karung mesiu serta dijanjikan pula bantuan
militer.[3]
Kemudian, Sultan Mahmud Badaruddin II mengutus dua orang
menteri ke Pulau Penang secara rahasia untuk menyelidiki apa maksud Inggris
yang sebenarnya. Kenyataan yang diperoleh dari kedua utusan tersebut bahwa
angkatan bersenjata Inggris telah
dipersiapkan di Malaka.
Setelah mendengar keterangan para utusan itu. Sultan tetap
menunggu perkembangan dengan penuh kewaspadaan, karena beliau sadar kalau Inggris
dan Belanda mempunyai ambisi yang sama. Kepada para priyai diperintahkan untuk
mencari informasi pertempuran di Pulau Jawa, yang pada bulan Agustus 1811 sudah
mulai berkobar.
Untuk menghadapi ancaman
Belanda Sultan membangun
Benteng Borang. Benteng ini berseberangan letaknya dengan Loji Belanda.
Di samping itu, Sultan juga mempersiapkan rakyat Batanghari Sembilan. Pimpinan
Benteng Borang diserahkan Sultan pada Pangeran Arya Kusuma. Sementara itu,
Sultan terus menantikan serangan Inggris terhadap Pulau Jawa, Sultan membangun
pos pengawas di Sunsang dan Muntok. Para pengawas diharuskan melapor kepada
Sultan kalau kapal Inggris dan Belanda yang lewat.[4]
Setelah mendapat berita dari seseorang yang baru tiba dari
Betawi bahwa Belanda di Pulau Jawa terlibat dalam peperangan dengan Inggris.
Sultan mengadakan musyawarah yang bertempat di Pemarekan. Dalam pertemuan itu
dilaporkan oleh priyai-priyai yang ditugaskan mencari informasi itu, bahwa
Belanda tengah menghadapi serbuan Inggris didekat Betawi dan bahwa saat itulah merupakan
waktu yang sangat
tepat untuk mengusir
Belanda dari Palembang.
Pada tanggal 13 September 1811, Sultan mengadakan musyawarah
lagi yang dihadiri oleh semua pembesar, alim ulama, dan pemuka masyarakat.
Sultan menjelaskan tentang kejadian di Jawa, lalu memerintahkan agar Loji
Belanda di Sungai Aur berikut penghuni-penghuninya diamankan.
Sedangkan diluar Kraton telah disiapkan sejumlah 2.000 orang
Laskar bersenjata lengkap. Pada tanggal 14 September 1811, Kiyai Temenggung
Lanang dengan didampingi empat orang priyai
lainnya menemui Resident
Jacob van Woortman untuk menyampaikan perintah Sultan
supaya Loji hari itu dikosongkan Belanda.[5]
Resident Woortman menolak untuk memenuhi perintah itu, karena
dia belum mendapat perintah dari atasannya. Temenggung Lanang kembali ke Kraton
untuk melapor, sedangkan kepada keempat orang priyai yang mendampinginya
berikut pasukan yang mengawal mereka diperintahkan tetap berjaga-jaga dengan
penuh kewaspadaan di sekitar Loji. Hari itu juga lewat tengah hari, Temenggung Lanang
kembali ke Loji, dengan dikawal lebih kurang 500 orang pasukan dan massa
rakyat. Setibanya di Loji, Temenggung Lanang menyerahkan surat Sultan kepada
Resident Woortman yang menjelaskan bahwa pulau Jawa telah dikuasai oleh Inggris
dan karena itu supaya Loji segera dikosongkan.
Resident Woortman masih tetap pada pendiriannya semula.
Utusan Sultan kembali ke Kraton untuk melapor. Sore harinya pasukan di bawah
pimpinan priyai tersebut dengan dibantu oleh massa rakyat melucuti senjata
serdadu-serdadu dan orang-orang Belanda yang berada didalam Loji. Setelah
dilucuti kemudian semuanya diangkut dengan
perahu ke Sunsang.
Ditengah perjalanan tawanan
itu berontak dan melawan, sehingga banyak yang terbunuh,
yaitu 24 orang Eropa dan 63 orang Jawa, kecuali beberapa orang saja yang
selamat yaitu seorang juru bahasa bernama Willem van
de Weeteringe Buijs,
seorang Portugis, dan
tiga orang wanita Belanda.[6]
Peristiwa
tersebut dinamakan dengan
Peristiwa Sungai Aur yang terjadi pada tanggal 14 September
1811. Sultan Mahmud Badaruddin II telah membuktikan, bahwa beliau seorang
pemimpin mempunyai pandangan jauh kedepan dan dapat mempergunakan kesempatan
yang tepat untuk
membebaskan Kesultanan dan rakyat Palembang dari pengaruh asing.[7]
[3] F.H Stapel, Geschiedenis
Van Ned, Indie,
(Amsterdam: Meulenhoff, 1930), h.
227.
[4]
Mardanas Safwan, Sultan Mahmud Badaruddin
II (1767-1852), h. 55-57.
[5] Ibid., h. 57.
[6] H.T.
Colenbrander, Koloniale Geschidenis,
II-III, (S'Gravenhage : Martinus Nijhoff. 925), h. 286.
[7] R.M. Husin Nato Dirajo, Sejarah Perjuangan Almarhum
Sultan Mahmud badaruddin II, (Sumatera Selatan: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Museum, 1985), h. 6.
Post a Comment