Sumber Gambar: |
Da’i memiliki posisi yang strategis dan sentral dalam dakwah,
sehingga da’i harus memiliki image yang baik dalam masyarakat. Image terhadap da’i adalah penilaian
mad’u terhadap da’i, apakah da’i mendapat citra positif atau negatif.
Pencitraan mad’u terhadap diri seorang da’i sangat berpengaruh dalam menentukan
apakah mereka akan menerima informasi atau pesan dakwah atau sebaliknya.
Beberapa kategori yang menjadi kriteria seorang da’i di nilai
baik di antaranya: Pertama, melalui reputasi yang mendahuluinya. Kedua,
melalui perkenalan atau informasi tentang diri da’i. Ketiga, melalui apa
yang diucapkannya. Keempat, bagaimana cara da’i menyampaikan pesan
dakwahnya.
Da’i adalah komunikator yang
mengirim pesan kepada mad’u . Oleh karena itu, da’i sebagai komunikator dapat disebut
pengirim, sumber, source, dan encoder. Sebagai pelaku utama dalam proses
komunikasi, komuniktor memegang peranan penting, terutama dalam mengendalikan
jalannya komunikasi. Oleh karena itu, seorang da’i harus terampil
berkomunikasi, dan juga kaya ide dan penuh daya kreativitas. Suatu hal yang
sering dilupakan oleh da’i sebelum memulai aktivitas komunikasinya, adalah bercermin pada dirinya apakah syarat-syarat
yang harus dimiliki seorang da’i yang handal telah dipenuhi atau belum. Da’i adalah
pengambil inisiatif terjadinya suatu proses komunikasi. Dia yang harus
mengetahui lebih awal kesiapan dirinya, pesan yang ingin disampaikan, media
yang akan digunakan, hambatan yang mungkin ditemui, dan khalayak yang akan
menerima pesannya.
Dalam kehidupan kita sehari-hari,
mengenali diri adalah suatu hal yang sangat penting jika kita menempatkan diri
di tengah-tengah masyarakat. Sebab dengan mengenal diri, kita dapat mengetahui
kelebihan dan kelemahan yang ada pada diri kita.
Untuk mencapai komunikasi yang mengena, seorang da’i selain
mengenal dirinya, ia juga harus memiliki kepercayaan (credibility), daya tarik (attractive),
dan kekuatan (power).
Sosok da’i yang memiliki
kepribadian sangat tinggi dan tidak pernah kering jika digali seperti pribadi
Rasulullah SAW. Ketinggian kepribadian Rasul dapat dilihat pada pernyataan
al-Qur’an, pengakuan Rasul sendiri dan kesaksian para sahabat yang
mendampinginya. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa Rasul adalah teladan utama,
Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari
Akhir, dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab [33]: 21).
Di mata para sahabatnya, Rasul SAW
adalah guru, teman, orang tua, dan pemimpin. Kombinasi kepemimpinan yang sangat
ideal bagi seorang da’i, sehingga beliau layak disebut sebagai da’i agung. Hadits
yang meriwayatkan pengakuan para sahabat atas ketinggian kepribadian Rasul
sangat banyak jumlahnya. Nabi SAW sendiri, dalam kapasitasnya sebagai Rasul
terus terang mengaku dirinya sebagai yang terbaik di antara para sahabatnya. Seperti
yang terungkap dalam sabda beliau, “Orang yang paling baik (perlakuannya)
terhadap istrinya, dan aku adalah orang yang terbaik (perilakunya) terhadap
istriku.” (HR. Tirmidzi). Dalam hadits yang lain dijelaskan, “Bahwasanya aku
diutus tidak lain adalah untuk menyempurnakan ketinggian akhlak.” (HR. Ahmad).
Sedangkan dalam hadits lain diungkapkan, “Ya Allah, perindahlah akhlakku
sebagaimana Engkau telah perindah tubuhku.” (HR. Ahmad dari Ibnu Mas’ud).
Salah satu bukti sejarah tentang
kuatnya daya pesona pribadi Rasul adalah awal hubungan beliau dengan penduduk
kota Yatsrib. Disebutkan bahwa ketika Rasul masih berada di kota Makkah di mana
kaum musyrikin Quraisy masih mendominasi kehidupan kota Makkah dalam menindas
Rasul dan pengikutnya, kepada setiap peziarah kota Makkah selalu diperingatkan
oleh kaum Quraisy bahwa di kota Makkah ada seorang gila yang berbahaya, bernama
Muhammad. Tujuan dari propaganda negatif itu ialah untuk menanamkan persepsi
buruk tentang Rasul kepada orang luar Makkah. Bagi orang Yatsrib, propaganda
yang gencar dalam menjelek-jelekkan seseorang justru menggelitik hati mereka
untuk melihat sendiri, seperti apa orang yang dianggap gila itu.
Pertemuan orang Yatsrib dengan Rasul ternyata kemudian
mengubah jalannya sejarah. Mereka menangkap jelas bahwa Muhammad itu bukan
orang gila. Lebih dari itu, di mata orang Yatsrib, Muhammad justru memiliki
kepribadian yang agung dan cerdas yang merupakan ciri pemimpin yang ideal.
Kepribadian Rasul itu menarik hati orang Yatsrib yang dikala itu sedang
mengalami krisis kepemimpinan, sehingga pertemuan dengan Muhammad menimbulkan
ide untuk mengajak Muhammad hijrah ke Madinah sekaligus mengangkat beliau
menjadi pemimpin mereka. Berangkat dari ketertarikan orang Yatsrib kepada
kepribadian Rasul, maka dakwah Rasul selanjutnya dapat mereka terima sepenuh
hati tanpa ragu sedikit pun.
Post a Comment