Sumber Gambar: |
Pondok pesantren turut hidup dan mewarnai masyarakat dengan prinsip dan
jiwa yang dimilikinya. pondok ini
memiliki orientasi pendidikan kemasyarakatan, artinya pola pendidikan
yang diterapkan adalah mendidik santri-santri sebagai aset masa depan yang siap
memimpin dan dipimpin. Mereka dilatih untuk hidup di dalam masyarakat
sebagaimana layaknya. Mereka dibimbing untuk dapat mengetahui keadaan
masyarakat sebagai suatu lingkungan yang mereka harus dapat beradaptasi.
Kegiatan-kegiatan kemasyarakatan diberikan sebagai pelatihan.
Di samping itu, agar
dakwah dapat mencapai sasarannya, maka diperlukan beberapa langkah yang menopang
keberhasilan dakwah melalui pesantren tersebut di antaranya: Pertama, memfokuskan
aktivitas dakwah untuk mengentaskan kemiskinan umat. Kedua, menyiapkan
elit strategis Muslim untuk disuplai ke berbagai jalur kepemimpinan bangsa
sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing. Ketiga, membuat peta
sosial umat sebagai informasi awal bagi pengembangan dakwah.
Keempat,
Mengintegrasikan wawasan etika, estetika, logika, dan budaya dalam berbagai
perencanaan dakwah. Kelima, Mendirikan pusat-pusat studi dan informasi
umat secara lebih propesional dan berorientasi pada kemajuan iptek. Keenam,
Menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan: ekonomi, kesehatan dan kebudayaan
umat Islam. Karenanya, sistem manajemen kemasjidan perlu ditingkatkan. Ketujuh,
Menjadikan da’i sebagai pelopor yang propertis, humanis, dan transpormatif.
Karenanya perlu dirumuskan pendekatan-pendekatan dakwah yang progresif dan
inklusif. Dakwah Islam tidak boleh hanya dijadikan sebagai objek dan alat
legitimasi bagi pembangunan yang semata-mata bersifat ekonomis-pragmatis
berdasarkan kepentingan sesaat para penguasa.[1]
Untuk mencapai tujuan
dakwah[2]
secara maksimal, maka perlu dukungan para juru dakwah yang handal. Keandalan
tersebut meliputi kualitas yang seharusnya dimiliki oleh seorang juru dakwah
yang sesuai dengan tujuan dewasa ini. Aktivitas dakwah dipandang sebagai
kegiatan yang diperlukan keahlian. Mengingat suatu keahlian memerlukan penguasaan
pengetahuan, maka para aktivis dakwah
harus memiliki kualifikasi dan persyaratan akademik dan empirik dalam
melaksanakan kewajiban dakwah.[3]
Di era modern ini, juru
dakwah perlu memiliki dua kompetensi dalam melaksanakan dakwah, yaitu;
kompetensi substantif dan kompetensi metodologis. Kompetensi substantif
meliputi penguasaan seorang juru dakwah terhadap ajaran-ajaran Islam secara
tepat dan benar. Kompetensi metodologis meliputi kemampuan juru dakwah dalam
mensosialisasikan ajaran-ajaran
Islam kepada sasaran dakwah (mad’u).[4]
Kegiatan pengembangan
masyarakat Islam terdiri dari kegiatan pokok: transformasi dan pelembagaan
ajaran Islam ke dalam realitas ummat Islam (khairul umma) yang dapat
dirinci sebagai berikut: Pertama, penyampaian konsepsi Islam mengenai
kehidupan sosial, ekonomi dan pemeliharaan lingkungan. Kedua,
penggalangan ukhuwah Islamiyah lembaga ummat dan kemasyarakatan pada umumnya
dalam rangka mengembangkan komunitas dan kelembagaan Islam. Ketiga,
Perwujudan MoU dengan masyarakat. Keempat, riset potensi lokal, dan
pengembangan kelompok swadaya ummat. Kelima, katalisasi aspirasi dan
kebutuhan ummat. Kelima, konsultasi dan pendampingan teknis pengembangan.
Keenam, dampingan penyusunan rencana dan aksi sosial pelaksanaan rencana
dalam rangka pengembangan komunitas dan institusi Islam.[5]
Masyarakat Islam adalah
sebuah masyarakat unik yang berbeda dari semua masyarakat lainnya dengan
komposisi unsur pembentuknya dan karakteristik spesifiknya. Dia adalah suatu
masyarakat rabbani (berpegang teguh pada nilai-nilai ilahi), manusiawi
dan seimbang (harmonis). Umat Islam dituntut untuk dapat mendirikan masyarakat
ini agar dapat memantapkan kehidupan agama Islami dalam naungan masyarakat
Islam itu, suatu kehidupan masyarakat yang diarahkan oleh akidah Islam,
disucikan oleh ibadah-ibadah Islam, dipimpin oleh manhaj dan fikrah (pemikiran)
Islam, digerakkan oleh citarasa Islam, dikendalikan oleh akhlak (moralitas)
Islam, dihiasi oleh adab (etika) Islam, didominasi oleh nilai-nilai Islam,
diatur oleh undang-undang syari’at Islam, prekonomian, kesenian dan politik
mereka di arahkan oleh ajaran-ajaran Islam.[6]
[1]Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia,
(Yogyakarta: Salahudin Press, 1985), hal. 120. Lihat juga Syahrin Harahap, Islam: Konsep dan Implementasi Pemberdayaan,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 143-145.
[2]Tujuan
dakwah adalah menemukan kembali fitrah manusia atau menyadarkan manusia supaya
mengakui kebenaran Islam dan mau mengakui serta mengamalkan ajaran-ajaran
Islam. Semakin banyak orang yang mengakui dan mengamalkan kebenaran Islam,
masyarakat akan semakin baik dan tentram. Lihat, Islmah Salman, “Strategi Dakwah di Era Milenium,”
Dakwah; Jurnal Kajian Dakwah, Komunikasi dan Budaya, Vol. VI No. I (Jakarta:
Fakultas Dakwah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 7.
[3]Asep
Muhyidin, Dakwah dalam Perspektif
al-Qur’an: Studi Kritis atas Visi, Misi dan Wawasan, (Bandung: Pustaka
Setia, 2002), h. 34.
[4]Abdul
Munir Mulkhan, Ideologi Gerakan Dakwah:
Episode Kehidupan M. Natsir dan Azhar Basyir, (Yogyakarta: Sipress, 1996),
h. 237.
[5]Ahmad,
Amrullah, “Dakwah Islam sebagai Ilmu Sebuah Kajian Epistemologi dan Struktur
Keilmuan Dakwah: Bagian Pertama”, Dakwah; Jurnal Kajian Dakwah dan
Kemasyarakatan, Vol. I, No. 2, (Jakarta: Fakultas Dakwah IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1999), h. 8
[6]Yusuf
al-Qaradhawy, Malamih al-Mujtama’ al-Muslim al-Ladzi Nansyuduhu,
Penerjemah. Setiawan Budi Utomo, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999), h. 3.
Post a Comment