Sumber Gambar: |
Dalam konteks hidup bermasyarakat, keragaman sosial atau yang sering disebut
dengan pluralisme, seringkali
menjadi persoalan sosial yang dapat mengganggu integritas masyarakat. Beberapa
pandangan menunjukkan, bahwa pluralisme
dipahami sebagai salah-satu faktor yang
menimbulkan konflik-konflik sosial, baik bertolak demi satu kepentingan
keagamaan yang sempit, maupun bertolak dari supremasi budaya kelompok
masyarakat tertentu.[1]
Pandangan demikian ada benarnya, karena di banyak negara terjadi kasus
kekerasan masa yang dilatarbelakangi oleh persoalan-persoalan pluralisme ini. Dalam
kehidupan modern sekarang ini, masalah pluralisme harus mendapat perhatian yang
serius.
Keragaman sosial, baik dalam kelompok budaya maupun pemikiran (perbedaan
pendapat) adalah bagian dari “sunnah
Allah”. Bahkan dapat dikatakan, kehidupan ini ada karena
dibangun di atas keragaman. Oleh karena itu penyelesaian implikasi negatif dari
pluralisme tidak mungkin mengingkari pluralisme itu sendiri. Tetapi yang harus
dilakukan adalah membangun pemahaman yang utuh dan mengembangkan sikap arif
dalam menyikapi perbedaan. Sehingga perbedaan akan menjadi kekuatan yang
sinergis, saling mengisi dan melengkapi dalam membangun peradaban masa depan.
Sikap agama terhadap pluralisme sangat jelas. Ajaran Islam mengakui
adanya pluralisme dalam berbagai aspek. Bahkan memberikan kerangka sikap etis
yang tegas. Al-Qur’an sendiri menyatakan secara eksplisit, bahwa sengaja
manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling
mengenal dan menghargai.[2]
Al-Qur’an juga menyatakan bahwa perbedaan warna kulit dan bangsa harus diterima
sebagai kenyataaan yang positif, yang merupakan salah satu dari tanda-tanda
kekuasaan Allah.[3]
Dalam ayat lain ditegaskan, tentang kemajemukan pandangan dan cara hidup
diantara manusia yang tidak perlu menimbulkan kegusaran, akan tetapi hendaknya
dipahami sebagai pangkal tolak dorongan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan,
karena Tuhan sendirilah yang akan menerangkan sebab-sebab manusia berbeda nanti
ketika kita kembali kepada Nya.[4]
Pengakuan ajaran Islam secara positif terhadap keragamaan tersebut
dilanjutkan dengan penjelasan sikap etis yang harus dikembangkan untuk
mengeliminir implikasi negatifnya. Hal demikian dapat dilihat penegasan al-Qur’an
yang perlu mencari titik temu (kalimatan
sawa) dalam menghadapi pluralisme.[5] Sikap
toleransi (tasamuh) ini
dalam sejarah dakwah Nabi pernah dicontohkan dengan jelas, ketika
berhadapan dengan kelompok lain di Madinah. Menghadapi pluralistik masyarakat
Madinah ini, Nabi berusaha mencari titik temu berbagai golongan dengan terlebih
dahulu mengakui eksistensi mereka. Keterangan demikian dapat dikaji dalam
dokumen yang populer disebut “Konstitusi
Madinah”. Sunnah demikian lalu diteruskan oleh khalifah Umar r.a.
dalam menghadapi penduduk Yerussalem yang kemudian dikenal sebagai “Piagam Aelia”[6]
Alwi Shihab dengan menggunakan kacamata agama dalam bukunya “Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam
Beragama”[7]
menyatakan bahwa agama Islam menghargai perbedaan-perbedaan dari setiap agama.
Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk keempat terbesar dan keenam
dalam luas wilayah, merupakan rumah bagi populasi muslim terbesar di dunia.
Dengan perbedaan suku dan keyakinan beragamanya, Indonesia disifati oleh
tradisi pluralisme yang luar biasa. Dengan adanya karakter mozaik latar
belakang budaya Indonesia, rakyat Indonesia telah hidup dalam tatanan kerukunan
dan keharmonisan yang baik. Tentu saja muncul konflik, tetapi segera dapat
diselesaikan dalam semangat hubungan persaudaraan.
Melihat kenyataan bahwa Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas
penduduk Indonesia, tentunya baik nilai-nilai universalitas dan pandangan
pluralistis Islam telah menyumbang banyak untuk membangun falsafah hidup umat
Islam vis a vis agama-agama
lainnya. Kesantunan budaya muslim Indonesia sama sekali tidak dapat dipisahkan
dari ajaran Al-Qur’an yang memerintahkan setiap orang beriman untuk menghargai
satu sama lain atas dasar kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (QS. Ali
Imran,[ 3]: 64). Toleransi dan pemahaman Muslim di Indonesia tentunya juga
diilhami oleh ayat “Untukmu Agamamu
dan untukku agamaku”[8]
Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa dalam masyarakat yang pluralistik, semua agama
dapat hidup damai secara berdampingan, dengan sikap saling menerima dan kreatif
melebihi toleransi semata. Yang tidak kalah menariknya adalah, bahwa sikap
eksklusivisme agama tidak sesuai dengan jiwa dan pandangan Islam.[9]
Pandangan Al-Qur’an menyangkut dialog sebagai cara yang diperlukan untuk
berhubungan dengan dunia secara keseluruhan, juga bertanggung jawab atas
penghormatan dan toleransi Muslim Indonesia terhadap agama maupun kelompok lain
sungguh patut dikembangkan.
Dalam agama-agama lain, misalnya Kristen, terdapat kecenderungan
pemikiran yang sama dalam menghadapi persoalan pluralisme. Sebelumnya terdapat
persoalan teologis yang menjadi kendala utama dalam pengembangan dialog antar agama
lain. Persoalan tersebut berhubungan dengan ajaran “Sateriologi” (tentang konsep keselamatan di luar kristus).
Sebelum Konselin Vatikan II, terdapat penafsiran yang salah tentang kalimat “extra ecelisian nulla salus” (di
luar gereja tidak memperoleh keselamatan). Dengan diterbitkannya naskah Nostra Aetate, gereja Katholik
Roma mengakui eksistensi agama-agama lain.[10]
Dilihat dari perspektif teologi agama-agama terdapat pengakuan yang
positif terhadap pluralisme, sehingga terdapat titik singgung yang dapat dipertemukan.
Tetapi persoalan yang seringkali timbul dan menyebabkan dialog agama-agama
mengalami hambatan lebih banyak berkaitan dengan persoalan interpretasi.
Interpretasi ajaran-ajaran agama seringkali mengarah kepada klaim kebenaran
yang mutlak. Apalagi ketika dimanfaatkan oleh kepentingan subyektif.
Dalam rangka kontekstualisasi agama, interpretasi menjadi satu kebutuhan
yang mendesak yaitu upaya pemakaian doktrin-doktrin agama yang lebih demokratis
disamping pendewasaan sikap keberagamaan. Sikap demokratis akan tercermin
sebagai kearifan dalam menafsirkan ajaran agama, serta pengembangan sikap
eksternal ketika berhadapan dengan pemeluk-pemeluk agama lain. Sikap semacam
inilah yang oleh Nurcholis Majid disebut dengan cara beragama “al hanifiyyah a- samhah”, yaitu
sikap beragama yang lapang dan terbuka.[11]
Dalam kehidupan kebangsaan Indonesia yang ditandai adanya pluralisme
agama, sikap demokratis tersebut di atas perlu dikembangkan. Upaya penghapusan
konflik-konflik dan kekerasan antar agama menuju kehidupan bersama yang damai.
Upaya ini dapat dilakukan dengan pola mengembangkan beragama dan menyelesaikan
persoalan-persoalan kemanusiaan universal dari perspektif agama.
Dengan demikian, keragaman masyarakat khususnya aspek agama tidak lagi
dilihat sebagai ancaman, tetapi sebagai potensi untuk membangun masa depan yang
lebih baik. Dalam kehidupan demokrasi, sebagaimana dalam pandangan teori
struktur sosial, pluralisme justru sangat diperlukan sebagai salah satu prasyarat
bagi tumbuhnya demokrasi dalam masyarakat modern.[12] Dan
dilihat dari sudut pandang ini, Indonesia mempunyai potensi besar untuk
berkembang menjadi masyarakat modern yang demokratis dan religius.
Toleransi yang
dimaksud tentu saja bukan toleransi negatif (negatif tolerance)
sebagaimana yang dulu pernah dijalankan oleh pemerintah ORDE BARU, tetapi
toleransi yang benar adalah toleransi positif (positive tolerance).
Sikap toleran yang disebut pertama adalah sikap toleransi semu dan penuh dengan
kepura-puraan. Toleransi jenis pertama ini menganjurkan seseorang untuk tidak
menonjolkan agamanya di hadapan orang yang beragama lain. Jika Anda Kristen,
maka jangan menonjol-nonjolkan ke-Kristenan Anda di hadapan orang Muslim,
demikian pula sebaliknya. Sementara toleransi yang tersebut kedua adalah
toleransi yang sesungguhnya, yang mengajak setiap umat beragama untuk jujur
mengakui dan mengekspresikan keberagamaannya tanpa ditutup-tutupi. Dengan
demikian identitas masing-masing umat beragama tidak tereliminasi, bahkan
masing-masing agama dengan bebas dapat mengembangkannya.[13]
[1]Nasikun, Sistem Sosial Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 1993), h. 64
[2] QS. Al Hujurat: 13
[3] QS. Al-Rum: 22
[4] QS. Al-Maidah: 48
[5] QS. Ali ‘Imron: 64
[6]Muhammad Husain
Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Lentera Antarnusa, 1990), h. 199-205
[7]Lihat. Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung:
Mizan, 1999).
[8]QS. Al-Kafirun,[109]:
6
[9]Lihat QS. Al Maidah,[5]:
48, Al Baqarah, [2]: 148
[10]Sudirman Tabba, Islam Orde Baru: Perubahan Politik dan
Keagamaan, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1993), h. 75
[11]Nurcholis Majid, Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta:
Paramadina, 1992), h. 89
[12]Nasikun, Op. Cit. h.
67
[13]Bentuk toleransi ini
pernah dianjurkan oleh Kuntowijoyo. Lihat. Bachtiar Effendi, “Menyoal Pluralisme di Indonesia” dalam Living
Together in Plural Societies; Pengalaman Indonesia Inggris, ed. Raja Juli Antoni (Yogyakarta: Pustaka
Perlajar, 2002), h. 239-249.
Post a Comment