Sumber Gambar: www.hidayatullah.com

K.H. Ahmad Sanusi memiliki pemikiran dan pemahaman yang dalam mengenai ilmu-ilmu  ke-Islaman. Ia menguasai ilmu tafsir, mantik, dan lain-lain. Bahkan ia hafal al-Qur’an 30 Juz. Oleh sebab itu, tidaklah berlebihan kalau K.H. Ahmad Sanusi mampu merespon dan menjawab persoalan-persoalan keagamaan yang berkembang saat itu. Seperti,  penolakan terhadap gerakan pembaharuan, memerangi kejumudan, maupun masalah-masalah lainnya. Banyak kitab-kitab yang ditulisnya dalam berbagai disiplin ilmu mampu menjawab harapan masyarakat dan menjawab permasalahan tersebut.[1]
Menurut Ahmad Sanusi, al-Quran sebagai kitab Allah merupakan sentral dalam kriteria keberimanan seseorang. Karena itu, menurut beliau, syarat diterimanya keimanan dan ketaatan kepada Allah adalah harus percaya, menghormati dan mengakui seluruh kitab Allah, termasuk di dalamnya al-Qur’an.[2] 
Oleh karenanya, beliau menegaskan bahwa al-Quran diturunkan semata-mata untuk memperbaiki segala perilaku kehidupan umat manusia. al-Quran berisi sejumlah perintah dan larangan yang kemudian disebut Hukum Islam. Menurut K.H Ahmad Sanusi yang dimaksud dengan Hukum Islam (Hukum Syariah) adalah firman Allah yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf.[3]
Ahmad Sanusi menjelaskan bahwa al-Quran adalah kitab Allah yang berisi sejumlah ketentuan bagi manusia dalam hidup.[4] Dengan kata lain, al-Quran adalah tuntunan hidup bagi manusia yang ingin selamat dunia dan akhirat melalui penjelasan-penjelasan dalam al-Quran tentang aturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.
Oleh karenanya, KH Sanusi menerangkan lebih lanjut bahwa di dalam al-Quran ada 4 kategori hukum, yakni: (1) berkaitan dengan keimanan dan kebebasan beragama dalam memilih dan menjalankan ketentuan-ketentuan agama; (2) berkaitan dengan rumah tangga dan pergaulannya seperti pernikahan dan perceraian, keturunan dan kewarisan; (3) berkaitan dengan prinsip kerjasama antarsesama umat manusia seperti jual-beli, sewa-menyewa, gadai dan lain-lain; dan (4) berkaitan dengan pemeliharaan kehidupan, yaitu berupa peraturan pidana dan perdata untuk menghukum di antara sesama manusia yang melakukan kesalahan.[5]
Haji Ahmad Sanusi berkeyakinan bahwa al-Quran sebagai sumber ajaran Islam, oleh karenanya semasa hidupnya digunakan untuk memahami al-Quran, di samping ilmu-ilmu keagamaan yang lain. Di pesantren yang didirikannya, yakni Pesantren Genteng Babakan Sirna, Cibadak, Sukabumi, pria yang pernah menuntut ilmu selama 15 tahun di Makkah ini mengajarkan ilmu-ilmu al-Quran dan tafsir Quran kepada santri-santrinya. Ketekunannya dalam menyampaikan ilmu inilah yang mendorongnya untuk menulis tafsir al-Quran berbahasa Sunda yang ditulis dengan huruf Arab yang kemudian terbit dalam judul Malja’ ath-Thalibin. Proses mengajar tafsir al-Quran kepada santri di lingkungan pesantren berjalan terus sehingga tak lama kemudian terbit sebuah kitab yang sifatnya terjemahan dari al-Qur’an yang berjudul, Raudah al-Irfân fî Ma’rifah al-Qur’ân.[6] Ajengan Genteng juga mengarang sebuah kitab tafsir dalam bahasa Melayu dengan huruf Latin dengan judul, Tamsyiat al-Muslimin fi Tafsir Kalam Rabb al-Alamin. Tafsir ini sengaja beliau buat untuk para pembaca yang tidak memahami bahasa Sunda dan bahasa Arab.
Pemikiran-pemikiran ajengan Ahmad Sanusi dituangkanya dalam berbagai karya, seperti Raudhatul Irfân, kitab terjamah bahasa Sunda per-kata dan dilengkapi dengan tafsir penjelas secara ringkas. Tafsir ini telah dicetak ulang berpuluh kali dan sampai sekarang masih dipakai oleh majlis-majlis ta’lim di wilayah Jawa Barat. Karya lainya adalah serial Tamsyiat al-Muslimîn, tafsir al-Qur’an dalam bahasa Melayu (Indonesia). Setiap ayat-ayat al-Qur’an disamping ditulis dengan huruf Arab juga ditulis (transliterasi) dalam huruf Latin. Sementara banyak ulama pada waktu itu memandang usaha KH. Ahmad Sanusi sebagai suatu bid’ah yang haram, sehingga menimbulkan perdebatan yang sengit. Serial tafsir ini, sarat dengan pesan-pesan tentang pentingnya harga diri, persamaan, persaudaraan dan kemerdekaan di kalangan umat . Kitab lain yang juga ditulis adalah Malja’ al-Talibin fi Tafsir Kalam Tabb al-Alamin, dan Raudah al-‘Irfan.
              KH. Ahmad Sanusi juga mengkritik pola hidup masyarakat Priyangan yang cenderung memfokuskan diri pada akhirat semata tanpa peduli terhadap kemuliaan hidupnya di dunia. Pemahaman terhadap Islam secara parsial seperti masyarakat Priangan ini, menurut Ahmad Sanusi sebagai bukti bahwa proses Islamisasi di suatu daerah hanya bersifat formal keagamaan dalam bentuk pengucapan kalimat Syahadat semata dan kalau itu pun ada hanya sebatas pada perkenalan dengan doktrin-doktrin yang non-interpretable.[7]
              Oleh sebab itu menurut K.H. Ahmad Sanusi perlu adanya re-Islamisasi yang terus menerus. Baginya, kondisi masyarakat Priangan yang seperti itu disebabkan oleh, disamping proses Islamisasi yang belum selesai, juga disebabkan oleh para kyai sebagai penyebar Islam yang tidak benar dalam memahami dan menyampaikan doktrin-doktrin Islam. Maka untuk meluruskan persepsi yang tidak benar tersebut, K.H. Ahmad Sanusi menjelaskan dan menawarkan konsep khoiru ummat, sebagaimana ditulisnya, pangkat khoiru ummat itu satu pangkat yang diwajibkan oleh Allah kepada semua umat Islam yang harus dicapainya.[8]
              Lebih lanjut Kyai Ahmad Sanusi mengatakan bahwa jika umat Islam Indonesia belum sampai kepada identitas khairu ummat, maka wajib bagi seluruh ummat untuk mengusahakannya. Hal-hal yang harus dilakukan oleh seluruh umat Islam, menurutnya, pertama, kepada kaum pesantren dan kaum sekolah untuk berkonsentrasi penuh dalam rangka menuju pangkat tersebut. Kedua, dalam rangka mencapai pangkat tersebut, semua aturan-aturannya harus sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya. Ketiga, perilaku, ucapan, dan langkahnya harus berada dalam kebaikan menurut syara.[9]
              K.H. Ahmad Sanusi menyayangkan sikap kaum ulama muharipin (yang lebih mementingkan kehidupan akhirat) dan godirin (yang bekerjasama dengan penjajah). Demikian ia menyebut bagi ulama Islam yang tidak lurus ilmunya dan memalsukan ilmu terhadap murid-muridnya, yang berpendapat bahwa umat Islam tidak boleh mulia, tidak boleh kaya, tetapi harus bersikap hina dan melarat dalam kehidupan dunia. Alasan mereka tentang konsep kebahagiaan di dunia buat kaum kafir dan cukup bagi kaum muslim mendapat kebahagiaan dan kemuliaan di akhirat saja, di bantah oleh K.H. Ahmad Sanusi sebagai kesalahan pemahaman dalam pengiterpretasian mereka terhadap ayat al-Qur’an.[10]
              Ia juga mengkritik sikap kaum ulama di atas yang tidak memasukkan al-ulumul kauniyyah ke dalam kategori ilmu Islam. Menurutnya ilmu kauniyyah adalah  ilmu kepintaran yang bermanfaat di dunia. Seperti pertanian yang sempurna, ilmu perdagangan yang sempurna, ilmu abniyyah yaitu ilmu membuat segala macam bangunan, ilmu shana’ah yang sempurna, ilmu nasajat yaitu ilmu menenun, ilmu al-khayyathun yaitu ilmu menjahit dan membuat benang dan ilmu al-hadadah yaitu ilmu bengkel pabrik dari mulai membuat pancing sampai membuat kapal, kereta api, kapal udara dan sebagainya.[11]
              Di samping mengkritik masyarakat yang akhirat-oriented, K.H. Ahmad Sanusi juga mengingatkan kepada orang-orang yang dunia-oriented semata. Dalam satu penjelasannya berkata, “Jika kita meninggalkan peraturan-peraturan Allah dan rasulnya, kita tidak akan bisa mencapai pangkat khoiru ummat, walaupun misalnya kita di dunianya bisa mendapat pangkat kebahagiaan dan kehormatan yang tidak memakai peraturan Allah, Rasulullah, itu kemuliaan kebahagiaan bukan khoiru ummat tetapi semata-semata kebahagiaan, kemuliaan yang diungkapkan Allah, wa ma al-dunya illa mata’u al-gurûr, (tidak ada kehidupan, kekayaan, kemuliaan, kehormatan yang dunia saja yang tidak disertai oleh agama Islam taat ibadah kepada Allah yang sempurna, kecuali semata-mata tipuan saja) yang serupa itu mustahil dianggap baik, tentu saja dianggap jelek. Oleh sebab itu, kemuliaan dunia yang tidak disertai dengan kesempurnaan agama bukan khoiru ummat tetapi kehidupan gurur (tipuan).[12]
              Deskripsi di atas mengindikasikan bahwa K.H. Ahmad Sanusi berupaya merasionalisasikan ajaran-ajaran Islam pada konteks yang sebenarnya. Baginya dunia dan segala yang berhubungan dengannya diletakkan dalam konteks amanah, dalam artian harus dipelihara dan dijaga.


                   [1]Munadi Shaleh, op. cit., h. 29-30. Sosok KH Ahmad Sanusi juga dikenal lewat karya-karyanya. Tidak kurang 75 judul buku telah ditulisnya, antara lain kitab “Tamsyiat al-Muslimin fi Kalam Rab al-Alamin” (Perjalanan Muslimin dalam Firman Tuhan Seru Sekalian Alam) dan “Raudhah Al-Irfan” (Taman Ilmu Pengetahuan). Ia juga menulis buku-buku yang membahas ilmu tauhid dan fikih. Karyanya yang paling menonjol adalah Raudhah Al-Irfan, yang berisi terjemahan Alquran 30 juz dalam bahasa Sunda, dengan terjemahan kata per kata dan syarah (tafsir penjelasan) singkat. Menulis berbagai macam Kitab dan Majalah dan Bulletin untuk memberikan pencerahan bagi masyarakat, dengan mengupas ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan kemanusiaan, kebangsaan, persaudaraan, kemerdekaan, dan lain-lain, sehingga tumbuh dan berkembang rasa kebangsaan dikalangan maysarakat yang menjadi salah satu motivasi dalam pergerakkan nasional untuk menuju gerbang kemerdekaan Republik Indonesia.
[2]Haji Ahmad Sanusi, Al-‘Uhud fi al-Hudud (Sukabumi: ttp., tt.), h. 19.
[3]Haji Ahmad Sanusi, Al-Aqwâl al-Mufîdah fi al-Umûr al-Muhimmah, (Sukabumi: al-Ittihad, tt.), h. 1-2.
[4]Haji Ahmad Sanusi, Tafsir Tamsyiat al-Muslimîn fi Tafsîr Kalâm Rabb al-’Alamin (Sukabumi: tp., 1934), h. 7.
[5]Ibid., h.7.
[6]Fadlil Munawwar Manshur, Ajaran Tasawuf dalam Raudah al-Irfan fi Ma’rifatil Qur’an Karya Kiai Haji Ahmad Sanusi: Analisis Semiotika dan Resepsi (Yogyakarta: Tesis-Universitas Gajah Mada, 1992), h. 117.

[7] Ibid., h. 235.
[8]Ahmad Sanusi, Addalil, No. 3 Juni 1933 Tahun 1, (Tanah Tinggi Senen 191, Batavia Centrum), h. 9.
[9] Ahmad Sanusi, Addalil, No. 3 Juni 1933 Tahun 1, (Tanah Tinggi Senen 191, Batavia Centrum), h. 10.
[10] Ahmad Sanusi, At-tablighul Islami, no. 3 Juli 1935, h. 17.
[11] Ibid., h. 18.
[12]Ahmad Sanusi, Addalil, No. 3 Juni 1933 Tahun 1, (Tanah Tinggi Senen 191, Batavia Centrum), h. 11.

Post a Comment

 
Top