Sumber: REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA |
Oleh: Ahmad Munir
REPUBLIKA.CO.ID,
JAKARTA -- Ramadhan sudah mulai beranjak menuju akhir. Ketika Ramadhan telah
benar-benar meninggalkan kita, masihkah kita membawa pesan puasa dalam diri
kita untuk waktu selanjutnya? Ada baiknya kita merenungkan makna puasa yang
pernah diutarakan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani.
Dalam
kitabnya Sir al-Asrar, Syekh Abdul Qadir al-Jailani menyebutkan bahwa makna
puasa, dilihat dari segi rentang waktunya, ada dua. Yakni, puasa yang waktunya
terbatas (muaqqat) dan puasa yang tidak terbatas (muabbad). Puasa yang waktunya
terbatas adalah puasa sebagaimana yang kita pahami selama ini. Yakni, mencegah
dari yang hal membatalkan dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Inilah
yang disebut dengan puasa syariat (shaum al-syari'ah).
Pada
puasa ini, seseorang biasanya terfokus pada hal-hal yang terkait dengan hukum
puasa secara lahiriah. Tatkala sudah terpenuhi syarat rukun secara fikih, maka
dianggap cukup dan sahlah puasa tersebut. Dan, memang demikianlah batasan
syar'inya.
Seruan-seruan
moral, semisal tidak boleh berkata buruk (qaul al-zuur) dan melakukan hal-hal
buruk lainnya, sering kali dianggap sebagai pelengkap dan bukan sebagai bagian
integral dari makna puasa itu. Oleh karenanya, masih banyak umat Islam yang
meskipun melaksanakan ibadah puasa, tetapi perilaku akhlaknya tidak selaras dengan
semangat puasa.
Pada
tahap ini, maka selayaknya kita beranjak menuju pemahaman puasa yang kedua,
yakni puasa yang tidak terbatas. Artinya, sepanjang hayat manusia harus
melaksanakan puasa. Pada pengertian ini, puasa dimaknai sebagai menahan diri
dari perilaku yang diharamkan Allah, menjauhi hal yang dilarang-Nya, serta
menghindari perkataan dan perbuatan yang dapat menyakiti sesama.
Inilah
yang disebutnya sebagai puasa tarekat (shaum al-thariqah). Pada fase ini,
seseorang di sepanjang hidupnya harus senantiasa "berpuasa" dengan
berusaha tetap pada jalan kebaikan dan menghindar dari jalan keburukan.
Meskipun
Ramadhan usai, seseorang tetap pada tekadnya untuk berpuasa dari hal yang
diharamkan dan dilarang oleh Allah. Pemahaman ini sebagai tindak lanjut puasa
lahiriah untuk menemukan makna batin dari puasa. Sehingga, puasa melahirkan
akhlak mulia, tidak sekadar lapar dan dahaga sebagaimana termaktub dalam hadis
Rasulullah SAW.
Hingga
pada saatnya, manusia akan sampai pada puasa yang ketiga, yakni puasa hakikat
(shaum al-haqiqah). Pada tahap ini, seorang Muslim berusaha sekuat tenaga untuk
menahan diri dari mencintai sesuatu apa pun bukan karena Allah. Puasa hakikat
meniscayakan ketulusan niat dan kebulatan tekad bahwa setiap ibadah dan
perasaan cinta hakikatnya hanya untuk Allah, bukan semata karena persoalan
duniawi.
Sumber: http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/16/07/12/oa7oge313-puasa-sepanjang-masa
Post a Comment