Salah-satu kepribadian
yang melekat pada diri Nabi Muhammad adalah kejujuran dan jauh dari kebohongan.
Sebagaimana yang tergambar dalam kisah pertemuan antara Heraklius dan Abu
Sufyan. Ketika Heraklius, Raja Romawi, bertanya kepada Abu Sufyan tentang
sifat-sifat Muhammad Saw, Abu Sufyan menjawab bahwa Nabi Muhammad SAW adalah
orang yang sangat jujur. Pertanyaan lainnya yang diajukan Heraklius kepada Abu
Sufyan adalah apakah ia pernah mencurigai Nabi Muhammad melakukan kebohongan.
Abu Sufyan menjelaskan bahwa ia tidak pernah meragukan kejujuran Nabi Muhammad.
Komitmen Rasulullah
SAW, untuk selalu bertindak jujur terlihat ketika beliau berkunjung ke rumah
Abdullah bin Amir pada saat itu,
Abdullah bin Amir masih kecil. Ketika ia
pergi hendak bermain, lalu ibunya memanggil, “Ya Abdullah, mari ke sini aku akan memberimu sesuatu.” Rasulullah
bertanya apa yang akan engkau berikan kepadanya. Ibunya menjawab akan
memberikan Abdullah bin Amir kecil
kurma. Kemudian Rasulullah mengingatkan, “Jika engkau tidak menepati (janjimu),
niscaya itu akan dicatat sebagai dusta.” (HR. Abu Daud).
Spirit kisah ini
mengingatkan bahwa selain merugikan kepentingan orang lain, berbohong juga
merugikan orang yang berbohong itu sendiri. Seseorang yang sering berdusta,
meskipun suatu waktu ia berkata benar. Orang lain sulit mempercayai
perkataannya. Padahal untuk memperoleh kesuksesan dan kebahagiaan, seseorang
memerlukan kepercayaan dan dukungan orang lain.
Oleh karena itu, Allah
SWT, mengingatkan, “Sesungguhnya yang mengadakan kebohongan, hanyalah
orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah
pembohong.” (QS. An-Nahl [16]: 105).
Terkait dengan larangan
berbohong, Nabi Muhammad bersabda, “Pengkhianatan yang paling besar ialah
engkau menyampaikan informasi kepada saudaramu yang mereka benarkan, padahal
engkau sendiri berdusta.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud).
Salah satu pribadi yang
jauh dari sifat bohong terekam indah dalam dialog antara Amirul Mukminin Umar
Ibn Khattab dengan seorang anak pengembala. Khalifah Umar mendekati anak
pengembala itu, kemudian berkata: “Cukup banyak kambing yang kamu pelihara,
sangat bagus dan gemuk-gemuk. Oleh karena itu, kamu jual saja padaku seekor yang
gemuk dan bagus.”
Mendengar perkataan
Amirul mukminin tersebut, pengembala menjawab, “Kambing-kambing ini bukanlah
milik saya, tetapi milik tuan saya. Saya hanyalah pengembala yang menerima
gaji.” Kemudian Umar Ibn Khattab berkata, “Katakan saja pada tuanmu, kambingnya
dimakan serigala.”
Anak gembala tersebut
diam sejenak, ditatapnya wajah Amirul Mukminin, “Jika tuan menyuruh saya
berbohong, Bukankah Allah Maha Melihat? Apakah tuan tidak menyadari bahwa siksa
Allah itu pasti bagi para pendusta? Menyaksikan kejujuran anak gembala itu,
Umar Ibn Khattab terharu, bahagia, dan kagum akan ketaatan anak gembala
tersebut kepada Allah SWT. Dialog antara Amirul Mukminin Umar Ibn Khattab
dengan seorang anak pengembala di ini, mengingatkan kita untuk terus berlatih
jujur dalam kondisi dan situasi apa pun.
Tetapi tidak semua
berbohong itu mengandung kesalahan dan terlarang. Dalam situasi tertentu
berbohong diperbolehkan. Seperti berbohong untuk mendamaikan orang yang sedang
berselisih, berbohong sebagai bentuk strategi peperangan, dan dusta untuk
menjaga keharmonisan rumah tangga. Seperti yang diriwayatkan Ummu Kultsum, “Aku
tidak mendengar Rasulullah SAW, sedikitpun menginginkan dusta kecuali dalam
tiga hal, yaitu seseorang yang berkata dusta untuk mendamaikan, seseorang yang
berkata dusta sebagai strategi dalam peperangan, dan suami yang berkata dusta
kepada istri atau istri yang berkata dusta kepada suami demi untuk keharmonisan
rumah tangga. (HR. Muslim
Post a Comment