Sumber Gambar: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/16/10/29/oft6vo301-pemimpin-yang-melayani |
Kepemimpinan melayani yang religius dimulai dari dalam
(intrapersonal) dan kemudian bergerak ke luar (interpersonal) untuk melayani
mereka yang dipimpinnya. Ketika seorang pemimpin mampu mendengar aspirasi dan
melayani masyarakatnya, tentu ia akan diterima oleh rakyat yang dipimpinnya.
Tetapi sayangnya, pemimpin yang mengaku wakil rakyat justru sering tidak
memiliki integritas dan loyalitas terhadap rakyat yang dipimpinnya.
Oleh karena itu, dalam Islam, kepemimpinan tidak hanya
bermakna kekuasaan tetapi juga bermakna tanggung jawab dan melayani. Ketika
kepemimpinan dimaknai kekuasaan, Allah mengingatkan kita bahwa hakikat
kekuasaan itu adalah milik Allah.
Sebagaimana dijelaskan dalam Alquran, "Katakanlah: Wahai
Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau
kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau
muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau
kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa
atas segala sesuatu." (QS. Ali Imran [3]: 26).
Ayat ini mengingatkan bahwa kekuasaan itu bersifat sementara.
Oleh karena itu, ketika seseorang memegang kekuasaan, semestinya ia akan tetap
bersikap rendah hati, tidak ada keangkuhan dalam dirinya, tidak akan
menyalahgunakan kekuasaannya, dan ia gunakan kekuasaannya itu sebagai alat
untuk menghambakan diri kepada Allah.
Sehingga, dia akan mampu melaksanakan amanah dan tanggung
jawab jabatannya sebaik mungkin untuk kepentingan masyarakat luas. Pemimpin
juga harus menjadi abdi masyarakat, melayani, dan menjadi mediator untuk
kepentingan masyarakat luas.
Pemimpin religius yang senang melayani akan memberikan
pelayanan pada bawahannya dan membantu mereka untuk melangkah ke depan. Ini
sesuai dengan apa yang disabdakan Rasulullah. Aisyah RA berkata, "Saya
telah mendengar Rasulullah SAW bersabda di rumahku ini, Ya Allah, siapa yang
menguasai sesuatu dari urusan umatku lalu mempersukar pada mereka, maka
persukarlah baginya. Dan siapa yang mengurusi umatku lalu berlemah lembut pada
mereka, maka permudahlah baginya. (HR Muslim).
Kepemimpinan Nabi yang melayani ini telah menancapkan
keimanan dalam hati Adin bin Hatim. Dia berjalan bersama Rasulullah menuju
rumah. Di tengah jalan ada seorang wanita lemah dan tua berjumpa dengan
Rasulullah. Wanita tua itu berkata kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah,
aku ingin berbicara denganmu!” Adi berkata, Rasulullah berdiri lama menunggu
wanita itu. Kala itulah aku katakan, "Demi Allah, ini pasti bukan seorang
raja!"
Seperti kisah di atas, pemimpin yang melayani memiliki kasih
sayang, kepedulian, dan perhatian kepada mereka yang dipimpinnya. Kasih sayang
itu terwujud dalam bentuk pemenuhan kebutuhan, kepentingan, impian, dan
harapan mereka yang dipimpinnya.
Kepemimpinan melayani yang religius
dalam suatu pemerintahan, tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan mereka yang
dipimpinnya. Tetapi juga berupaya sungguh-sungguh untuk senantiasa mengikuti
perintah Allah. Oleh karenanya, kepemimpinan religius dalam pemerintahan
bermakna segenap kegiatan yang dilakukan negara (pemerintah) dengan berbagai
perangkatnya untuk mengkonstruksikan tatanan masyarakat sesuai dengan petunjuk
Allah. Dia juga memiliki misi untuk senantiasa memuliakan orang-orang yang
dipimpinnya.
Selain itu, kepemimpinan melayani yang religius juga
bermakna kepemimpinan yang tidak terlepas dari lingkaran amr bi al-ma’ruf
dan nahyi ‘an al munkar. Sebagaimana Allah mengingatkan, “Dan hendaklah di
antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
(berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali ‘Imran [3]:104).
Kepemimpinan melayani yang religius
juga mencakup seluruh segi dan aspek
kehidupan masyarakat, seperti pendidikan, sosial, ekonomi, politik dan aspek
lainnya. Sehingga proses kepemimpinan melayani yang religius tidak terbatas
pada ranah di mimbar (bil lisan) saja, tetapi mencakup ranah tindakan (bil-al-hal),
dan pendekatan keilmuan (bil hikmah).
Kepemimpinan melayani yang religius
dalam pemerintahan juga ditandai dengan senantiasa bertumbuh dan berkembangnya
kebaikan dalam berbagai aspek, baik pengetahuan (knowledge), kesehatan (health),
keuangan (finance), relasi (relation), dan keikhlasan (sincere).
Hal ini, mengindikasikan bahwa ia senantiasa menyelaraskan dirinya terhadap
komitmen untuk melayani Allah, sesama umat manusia, dan menjaga keindahan alam
semesta.
Sebagaimana dalam hadits nabi
dikemukakan, “Maukah kalian aku beritahu pemimpin
kalian yang terbaik dan pemimpin kalian yang terburuk. Pemimpin yang terbaik
adalah mereka yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan
kebaikan kepada mereka dan mereka mendoakan kebaikan kepada kalian, sedangkan
pemimpin kalian yang terburuk adalah mereka yang kalian benci dan merekapun
membenci kalian, kalian melaknat mereka dan merekapun melaknat kalian.”(HR. Tirmidzi, 2190).
Kepemimpinan religius itulah
yang semestinya dianut di Indonesia ini. Sebab sila pertama sebagai dasar
negara Indonesia berbunyi, Ketuhanan Yang Mahaesa. Kemudian dari sila pertama
Pancasila ini semestinya nilai-nilai religius dijadikan pegangan dalam setiap
lini kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Abu Sa’id Al Khudri RA menerangkan, “Aku
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa
di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan
tangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan lisannya. Dan apabila
tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya itulah selemah-lemah
iman.” (HR. Muslim).
Hadits ini mengingatkan,
pentingnya kepemimpinan religius dengan tangan (kekuasaan). Maksudnya, dimana
negara dengan perangkatnya sangat mungkin untuk berperan sebagai subjek.
Sedangkan kepemimpinan melayani yang religius dengan kekuasaan ini juga
bermakna suatu upaya menjadikan kekuasaan, birokrasi, kekuatan politik sebagai
alat untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam.
Oleh karena itu, kepemimpinan
religius dalam suatu pemerintahan lebih bersifat top down. Sebagaimana dalam hadits nabi
dikemukakan, “Seorang imam itu ibarat perisai, seseorang berperang di
belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan kekuasaannya. Jika
seorang imam (pemimpin) memerintahkan supaya takwa kepada Allah SWT dan berlaku
adil, maka dia (imam) akan mendapatkan
pahala karenanya, dan jika dia (imam) memerintahkan selain itu, maka ia
akan mendapatkan siksa.” (HR. Muslim).
Bagi orang yang memikili
kepemimpinan melani yang religius, makna kekayaan dan kemakmuran adalah ketika
seorang pemimpin dapat memberi dan beramal lebih banyak. Aktivitas apapun yang
dilakukan bukan untuk mendapat penghargaan, tetapi melayani sesama. Dia lebih
mengutamakan hubungan yang penuh kasih sayang, semangat berbagi, penghormatan, dibandingkan dengan status,
dan kekuasaan semata.
Menurut Danah Zohar, penulis
buku Spiritual Intelligence: SQ the Ultimate Intelligence, salah satu
tolok-ukur kecerdasan spiritual seseorang adalah kepemimpinan melayani yang religius
(servant leadership). Oleh karenanya, dalam suatu penelitian, mengindikasikan
pemimpin-pemimpin dunia yang berhasil membawa organisasinya ke puncak
kesuksesan. Biasanya adalah pemimpin religius yang ditandai dengan memiliki
kecerdasan spiritual yang tinggi. Para pemimpin ini adalah orang-orang yang memiliki kompetensi, integritas,
terbuka (open minded), mampu menerima kritik, dan rendah hati. Selain itu, juga selalu
berusaha melakukan yang terbaik untuk dirinya sendiri maupun bagi kepentingan
orang-orang yang dipimpinnya.
Ajaran Islam normatif, sangat memperhatikan pentingnya memilih sosok
pemimpin religus yang dapat menjalankan pemerintahan yang solid dan teratur
dalam mewujudkan kesejahteraan seluruh alam semesta. Kemudian, kepemimpinan
Islam dilakukan untuk melaksanakan hukum Islam yang setara (equal) untuk
semua golongan baik kaum lemah maupun bangsawan.
Post a Comment