Logika
Logika
secara luas dapat didefinisikan sebagai "pengkajian untuk berpikir secara
sahih". Terdapat bermacam-macam cara penarikan kesimpulan namun untuk
sesuai dengan tujuan studi yang memusatkan diri kepada penalaran ilmiah, kita
akan melakukan penelaahan yang saksama hanya terhadap dua jenis cara penarikan
kesimpulan, yakni logika induktif dan logika deduktif. Logika induktif erat hubungannya dengan
penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang
bersifat umum. Sedangkan di pihak lain, kita mempunyai logika deduktif,
yang membantu deduktif, yang membantu kita dalam menarik kesimpulan dari
hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual (khusus).
Induksi merupakan cara berpikir di mana ditarik suatu
kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual.
Penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang
mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang
diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum.
Penalaran
deduktif adalah kegiatan berpikir yang sebaliknya dari penalaran induktif.
Deduksi adalah cara berpikir di mana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik
kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya
mempergunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus. Silogismus disusun dari dua buah
pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogismus ini
disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai premis mayor dan premis
minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif
berdasarkan kedua premis tersebut. Contoh membuat silogismus sebagai berikut:
Semua
makhluk mempunyai mata (Premis mayor)
Si
Polan adalah seorang makhluk (Premis
Minor)
Jadi
Si Polan mempunyai mata. (Kesimpulan)
Sumber Pengetahuan
Pada
dasarnya terdapat dua cara yang pokok bagi manusia untuk mendapatkan
pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio dan yang kedua mendasarkan diri
kepada pengalaman. Kaum rasionalis mengembangkan paham apa yang dikenal dengan
rasionalisme. Sedangkan mereka yang mendasarkan diri kepada pengalaman
mengembangkan paham yang disebut dengan empirisme.
Kaum
rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis
yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang menurut anggapannya
jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pikiran
manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh sebelum manusia berusaha
memikirkannya. Paham ini dikenal dengan nama idealisme.
Berlainan
dengan kaum rasionalis maka kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia
itu bukan didapatkan lewat penalaran rasional yang abstrak namun lewat
pengalaman yang kongkret. Gejala-gejala alamiah menurut anggapan kaum empiris
adalah bersifat kongkret dan dapat dinyatakan lewat tangkapan pancaindera
manusia.
Masalah
utama yang timbul dalam penyusunan pengetahuan secara empiris ini ialah bahwa
pengetahuan yang dikumpulkan itu cenderung untuk menjadi suatu kumpulan
fakta-fakta. Masalah yang kedua adalah mengenai hakikat pengalaman yang
merupakan cara dalam menemukan pengetahuan dan pancaindera sebagai alat yang
menangkapnya. Pertanyaannya adalah apakah yang sebenarnya dinamakan pengalaman?
Apakah hal ini merupakan stimulus pancaindera? Ataukah persepsi? Atau sensasi?
Sekiranya kita mendasarkan diri kepada pancaindera sebagai alat dalam menangkap
gejala fisik yang nyata maka seberapa jauh kita dapat mengandalkan pancaindera
tersebut?
Ternyata
kaum empiris tidak bisa memberikan jawaban yang meyakinkan mengenai hakikat
pengalaman itu sendiri. Sedangkan mengenai kekurangan pancaindera manusia ini
bukan merupakan sesuatu yang baru bagi kita. Pancaindera manusia sangat
terbatas kemampuannya dan terlebih penting lagi pancaindera manusia bisa
melakukan kesalahan.
Di
samping rasionalisme dan empirisme masih terdapat cara untuk mendapatkan
pengetahuan yang lain. Yang penting untuk kita ketahui adalah intuisi dan
wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan tanpa melalui proses penalaran tertentu.
Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk
menyusun pengetahuan secara teratur maka intuisi ini tidak bisa diandalkan.
Pengetahuan intuitif dapat dipergunakan sebagai hipotesis bagi analisis
selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakannya.
Kegiatan intuitif dan analitik bisa bekerja saling membantu dalam menemukan
kebenaran. Bagi Maslow intuisi ini merupakan pengalaman puncak (peak
experience) sedangkan bagi Nietzsche merupakan inteligensi yang paling
tinggi.
Wahyu
merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia. Pengetahuan ini
disalurkan lewat nabi-nabi yang diutusnya sepanjang zaman. Agama merupakan
pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan sekarang yang terjangkau pengalaman,
namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat transendental seperti latar
belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di akhirat nanti. Pengetahuan ini
didasarkan kepada kepercayaan akan hal-hal yang gaib (supernatural).
Kepercayaan kepada Tuhan yang merupakan sumber pengetahuan, kepercayaan kepada
nabi sebagai perantara dan kepercayaan terhadap wahyu sebagai cara penyampaian,
merupakan dasar dari penyusunan pengetahuan ini. Kepercayaan merupakan titik
tolak dalam agama. Suatu pernyataan harus dipercaya dulu untuk dapat diterima:
Pernyataan ini bisa saja selanjutnya dikaji dengan metode lain. Secara rasional
bisa dikaji umpamanya apakah pernyataan-pernyataan yang terkandung di dalamnya
bersifat konsisten atau tidak. Di pihak lain, secara empiris bisa dikumpulkan
fakta-fakta yang mendukung pernyataan tersebut atau tidak. Singkatnya, agama
dimulai dengan rasa percaya, dan lewat pengkajian selanjutnya kepercayaan itu
bisa meningkat atau menurun. Pengetahuan lain, seperti ilmu umpamanya, bertitik
tolak sebaliknya. Ilmu dimulai dengan rasa tidak percaya, dan setelah melalui
proses pengkajian ilmiah, kita bisa diyakinkan atau tetap pada pendirian
semula.
Metafisika
Beberapa Tafsir Metafisika
Tafsiran
yang paling pertama yang diberikan oleh manusia terhadap alam ini adalah bahwa
terdapat ujud-ujud yang bersifat gaib (supernatural) dan ujud-ujud ini bersifat
lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Animisme
merupakan kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernaturalisme ini; di mana
manusia percaya bahwa terdapat roh-roh yang bersifat gaib yang terdapat dalam
benda-benda seperti batu, pohon dan air terjun. Animisme ini merupakan
kepercayaan yang paling tua umurnya dalam sejarah perkembangan kebudayaan
manusia dan masih dipeluk oleh beberapa masyarakat di muka bumi.
Sebagai
lawan dari supernaturalisme maka terdapat paham naturalisme yang menolak
pendapat bahwa terdapat ujud-ujud yang
bersifat supernatural ini. Materialisme, yang merupakan paham yang berdasarkan
naturalisme ini, berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh
pengaruh kekuatan yang bersifat gaib, melainkan oleh kekuatan yang terdapat
dalam alam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan dengan demikian dapat kita
ketahui.
Prinsip-prinsip
materialisme ini dikembangkan oleh Democritos (460-370 S.M). Dia mengembangkan
teori tentang atom yang dipelajarinya dari gurunya Leucippus. Bagi Democritos,
unsur dasar dari alam ini adalah atom.
Hanya
berdasarkan kebiasaan saja maka manis itu manis, panas itu panas, dingin itu
dingin, warna itu warna. Dalam kenyataannya hanya terdapat atom dan kehampaan.
Artinya, obyek dari penginderaan sering kita anggap nyata, padahal tidak
demikian. Hanya atom dan kehampaan itulah yang bersifat nyata.
Dengan
demikian maka gejala alam dapat didekati dari segi proses kimia-fisika. Hal ini
tidak terlalu menimbulkan permasalahan selama diterapkan kepada zat-zat yang
mati seperti batuan atau karat besi. Namun bagaimana dengan makhluk hidup
termasuk manusia sendiri? Di sini kaum yang menganut paham mekanistik
ditentang oleh kaum vitalistik.
Kaum
mekanistik melihat gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala
kimia-fisika semata. Sedangkan bagi kaum vitalistik hidup adalah sesuatu yang
unik yang berbeda secara substantif dengan proses tersebut di atas.
Aliran
monistik mempunyai pendapat yang tidak membedakan antara pikiran dan zat:
mereka hanya berbeda dalam gejala disebabkan proses yang berlainan namun
mempunyai substansi yang sama. Ibarat zat dan energi, dalam teori relativitas
Einstein, energi hanya merupakan bentuk lain dari zat. Dalam hal ini maka
proses berpikir dianggap sebagai aktivitas elektrokimia dari otak.
Pendapat
ini ditolak oleh kaum yang menganut paham dualistik. Terminologi dualisme ini
mula-mula dipakai oleh Thomas Hyde (1700) sedangkan monisme oleh Christian
Wolff (1679-1754). Dalam metafisika maka penafsiran dualistik membedakan antara
zat dan kesadaran (pikiran) yang bagi mereka berbeda sui generis secara
substantif. Filsuf yang menganut dualistik ini di antaranya adalah Rene
Descartes (1596-1650), John Locke (1632-1714) dan George Berkeley (1685-1753).
Ketiga
ahli filsafat ini berpendapat bahwa apa yang ditangkap oleh pikiran, termasuk
penginderaan dari segenap pengalaman manusia, adalah bersifat mental. Bagi
Descartes maka yang bersifat nyata adalah pikiran sebab dengan berpikirlah maka
sesuatu itu lantas ada.
Titik
pertemuan kaum ilmuwan dari semua ini adalah sifat pragmatis dari ilmu.
Sekiranya terdapat dua orang dokter yang sedang mengukur tekanan darah
seseorang dan mengaitkannya dengan kadar cholesterol di dalamnya, maka bahwa
yang seorang termasuk kubu mekanistik serta yang seorang lagi termasuk kubu
vitalistik, dalam proses pemeriksaan medis ini komitmen filsafati mereka adalah
tidak relevan lagi. Baru setelah kedua orang dokter itu selesai bekerja dan
menggantungkan jubah putihnya, mereka berpisah dengan memilih koridor
spiritualnya masing-masing yang berbeda, dalam kontemplasi dan memberikan
makna.
Post a Comment