“Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya adalah orang yang keras terhadap orang-orang kafir, (namun) berkasih sayang antar mereka. Engkau melihat mereka ruku‘ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Itulah sifat-sifat mereka yang mengagumkan dalam Taurat. Sedang sifat-sifat mereka yang mengagumkan dalam Injil, adalah seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya lalu ia menguatkannya lalu tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya. Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir dengannya. Allah menjanjikan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara
mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Syahdan, di sebuah daerah yang tak banyak
ditumbuhi rerumputan dan pepohonan, sejauh mata memandang terhampar
gurun pasir yang luas bagai laut tak bertepi, tentara Romawi pernah mentertawakan
kebiasaan penduduknya karena mempunyai hobi mencari kumbang padang pasir di
tengah keremangan malam. Namun siapa sangka dari daerah itu akan lahir seorang
pemimpin agung yang akan dihormati kawan maupun lawannya. Sekalipun bayi
mungil nan lucu itu lahir ke dunia tanpa pernah merasakan dekapan hangat dari
seorang ayah.
Abdullah bin Abdul Muthalib ayah
kandungnya telah menghadap keharibaan Ilahi Rabbi dua bulan sebelum dia mendelikkan
mata pertama kali ke muka bumi. Ketika memasuki usia enam tahun, dia bersama
ibunda tercinta, Aminah dan didampingi seorang pendamping bernama Ummu Aiman,
bertamasya dan menempuh perjalanan jauh dari Mekah ke Madinah. Mereka
bermaksud mengunjungi kerabat dekat ayahnya.
Di Madinah mereka sempat bermalam selama
satu bulan. Perjalanan antara Mekah dan Madinah berjarak kurang lebih 500
kilometer dengan medan perjalanan yang cukup menguras tenaga. Melalui hamparan
padang pasir yang panas membara serta melewati bebatuan terjal memaksa kafilah
kecil itu berhenti menetap selama satu bulan di Madinah sebelum kembali ke
Mekah. Kehadirannya di Madinah mendapat sambutan yang meriah. Sambutan hangat
itu datang bukan saja dari para kerabatnya melainkan juga dari para tetangga keluarga
ayahnya. Bocah lelaki bernama Muhammad itu memang terlihat lebih mempesona
bila dibandingkan dengan anak-anak sebayanya.
Setelah beberapa hari menginap di rumah
kerabat ayahnya, Muhammad kecil beserta ibunya kembali pulang ke Mekah. Namun
takdir rupanya berkehendak lain. Di tengah perjalanan mendadak ibunya jatuh
sakit. Hanya selang beberapa hari dari musibah itu, ibunya kembali keharibaan
Ilahi Rabbi. Ibunda tercintanya telah pergi dan takkan pernah kembali untuk selamanya.
Lengkaplah sudah penderitaan yang harus dijalani Muhammad kecil. Sejak
dilahirkan tidak pernah melihat sosok seorang ayah. Dan kini usianya baru genap
enam tahun sudah harus berpisah dengan ibunda tercintanya. Ummu Aiman yang
termasuk dalam rombongan kecil itu tak kuasa menahan linangan air mata kepiluan
seraya memeluk erat-erat Muhammad kecil dalam dekapannya.
Pasca ibunda Aminah tercinta wafat,
Muhammad kecil diasuh oleh kakeknya bernama Abdul Muthalib. Sekalipun Abdul
Muthalib memiliki banyak cucu tapi ia lebih mengistimewakan Muhammad kecil
daripada cucu-cucunya yang lain. Hanya saja kebahagiaan tersebut tidak
berlangsung lama. Karena kakeknya pun dipanggil Allah keharibaan-Nya. Kepergian
kakeknya kembali merenggut hari-hari bahagia Muhammad kecil.
Kemudian hak asuh Muhammad kecil jatuh ke
tangan pamannya, Abu Thalib. Meskipun pamannya tergolong kurang mapan secara
ekonomi, namun dia tak sampai hati bila hak asuh keponakannya jatuh ke tangan
orang lain. Dia tergerak untuk mengasuh Muhammad kecil, karena dialah kerabat
paling dekat setelah kakeknya Abdul Muthalib wafat.
Selama tinggal bersama pamannya, Muhammad
tidak hanya berdiam diri di rumah. Dia turut mencari nafkah menggembalakan
hewan peliharaan para konglemerat Mekah untuk mengurangi kesulitan ekonomi
keluarga pamannya. Dia sangat menikmati pekerjaannya, meskipun mencari tanah
berumput di padang pasir cukup sulit. Namun dia dengan telaten dan sabar
menekuni pekerjaan tersebut dari hari ke hari dengan penuh riang gembira.
Tabiat Muhammad yang terpuji lebih
dikenal dengan fathonah (intellegent), amanah (accountable), siddiq (honest),
tablig (cooperative), ditambah lagi dengan kepandaiannya berbisnis, membuat
para konglemerat Mekah jatuh hati ingin mempercayakan bisnis mereka kepadanya.
Atas dasar itulah Khadijah binti Khuwailid, seorang janda, salah satu konglemerat
terkemuka Mekah meminta Muhammad menjadi partner bisnisnya. Sejak itulah
Muhammad menjadi CEO kafilah bisnis Khadijah binti Khuwailid.
Keberhasilan Muhammad dalam berbisnis
patut diacungkan jempol apalagi prinsip perdagangannya berpijak pada kejujuran.
Konsep kejujuran Muhammad dalam melakukan perniagaan tetap relevan sampai kapan
pun. Hal itu ditandai dengan diakuinya konsep kejujuran sebagai standar utama
dalam perdagangan internasional dewasa ini. Seseorang yang menekuni dunia
ekonomi bisnis mengatakan, bahwa setelah dia belajar teori ekonomi dan praktek
berbisnis dari wilayah Timur, Barat, bahkan wilayah Amerika Latin kesimpulannya
hanya satu “kejujuran.”
Diam-diam Khadijah menyimpan kekaguman,
rasa simpatik, serta rasa hormat kepada Muhammad. Perlahan-lahan kekaguman
Khadijah berubah menjadi rasa cinta, sekalipun ia berusia lima belas tahun
lebih tua. Selang beberapa waktu kemudian, Allah mentakdirkan mereka menjadi
suami istri yang saling mencintai, saling menghormati, dan saling mengasihi.
Khadijah termasuk generasi pertama yang
beriman dan membenarkan dakwah Nabi Muhammad. Sangatlah wajar kalau Khadijah
mendapat gelar Ummul Mukminin (ibunya orang-orang beriman), ath-Thahirah
(wanita suci) dan sayidah nisa’ Quraisy (wanita penghulu kaum Quraisy). Nabi
Muhammad tidak pernah menikah dengan wanita lain semasa hidup Khadijah
isteri tercintanya.
Kehidupan Nabi Muhammad bersama Khadijah
sangatlah bahagia, meskipun Khadijah lebih tua lima belas tahun darinya.
Khadijah adalah wanita pertama yang mengakui kerasulan Muhammad. Dialah
wanita pertama yang masuk Islam dan membela Nabi dengan seluruh harta, jiwa,
dan raganya. Mungkin hal itulah yang menjadi alasan mendasar Nabi Muhammad
sangat mencintai Khadijah. Sehingga beliau sering menyebut-menyebut Khadijah
sepeninggalnya.
Ketika Nabi Muhammad menerima perintah
untuk melaksanakan shalat di awal keislaman, Khadijah bersama Nabi Muhammad
dan Ali melaksanakan shalat secara rahasia. Allah mentakdirkan keturunan Nabi
Muhammad semuanya- kecuali Ibrahim berasal dari Khadijah. Allah menganugerahi
Nabi Muhammad dan Khadijah beberapa anak: Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayah,
Ummu Kultsum, dan Fatimah. Keutamaan yang tak kala pentingnya Allah
mentakdirkan Fatimah salah satu dari anak perempuan Khadijah sebagai penerus
keturunan Nabi Muhammad sepanjang sejarah.
Khadijah selalu menjadi pendamping dan
penolong beliau dalam suka maupun duka, begitu juga paman beliau Abu Thalib.
Dia selalu melindungi Muhammad dari berbagai makar dan teror kaum Quraisy.
Tekanan Kaum Quraisy terhadap Muhammad dan para pengikutnya terus meningkat,
sehingga mereka menemui banyak kesulitan. Namun segala gangguan dan rintangan
itu selalu beliau hadapi dengan ketabahan, ketegaran, dan kesabaran luar biasa.
Selang beberapa waktu setelah peristiwa
embargo yang dilakukan kaum Quraisy, istri yang selama ini menjadi tempat
berbagi tumpuan dan harapan, pergi untuk selamanya. Perempuan suci yang pertama
kali menyatakan keimanannya, perempuan mulia yang dengan tulus ikhlas mendukung
perjuangan Nabi, perempuan santun yang telah melahirkan penerus risalah-risalah
kenabian itu, kini telah menutup mata untuk selama-lamanya. Belum genap dua
bulan perginya wanita terbaik Islam Khadijah. Berita duka kembali menggetarkan
hati Nabi. Paman beliau yang selama ini menjadi benteng berlindung terakhir
Nabi, di kala mendapat tekanan hebat dari kelompok Quraisy juga pergi untuk
selama-lamanya.
Bisa dibayangkan betapa sedihnya Nabi
karena ditinggal orang-orang yang selama ini menjadi pelindung serta penolong
sejatinya. Kala Nabi terbenam dalam kesedihan yang dalam, Khadijahlah yang
menghibur serta menyejukkan hatinya. Kala Nabi mendapat perlakukan kasar dari
kaum Quraisy, Abu Thaliblah yang selalu melindungi kehormatannya. Jadi
sangatlah wajar bila pada saat itu Nabi terbenam dalam kesedihan yang dalam
setelah meninggalnya dua orang utama yang menjadi pelipur-lara dari penatnya
jalan dakwah. Sedemikian besar cinta Nabi kepada mereka. Sehingga masa itu
dikenal dengan Amul Huzn (Tahun Kesedihan).
Tapi Nabi
Muhammad bukanlah termasuk orang yang suka tenggelam
dalam kedukaan, apalagi berlarut-larut dalam kesedihan. Beliau adalah
seorang insan yang memiliki kesabaran dan ketabahan yang sempurna. Beliau
telah terbiasa ditimpa musibah sejak usia belia. Pasca meninggalnya paman dan
istri yang ia sayangi, Nabi meneruskan tugas dakwah bersama para sahabatnya.
Beliau dengan penuh keteguhan tetap melaksanakan dakwah meskipun sering
menyaksikan para pengikutnya disiksa dan dibunuh. Beliau juga selalu menasehati
para pengikutnya agar tetap teguh, tabah dan sabar dalam menghadapi berbagai
ujian.
Penganiayaan tidak hanya dilakukan kepada
orang-orang yang mendukung jalan dakwah dan memeluk Islam, tetapi juga pada
Nabi. Beliau mendapat penganiayaan dari para tetangganya. Mereka memukulkan
usus domba kepada Nabi ketika dia tengah melakukan shalat. Seseorang bahkan memasukkan
usus domba itu ke dalam tempat masak keluarganya.
Ketika Nabi Muhammad sedang bersujud di
Ka’bah, salah seorang Quraisy bernama Uqbah bin Abi Mu’ith mendatangi beliau.
Tergambar jelas wajah kebencian Uqbah bin Abi Mu’ith ketika menumpahkan kotoran
di atas kepala Nabi saat beliau sedang sujud. Fatimah melihat kejadian itu
segera membersihkan kepala ayahnya yang mulia dari kotoran hewan sambil berurai
air mata. Nabi menenangkan perasaan putri kesayangannya. “Jangan menangis,
gadis kecilku, Karena Allah akan melindungi ayahmu.”
Jika Nabi Muhammad mendapatkan perlakukan
tidak manusiawi, sahabat beliau pun mengalami hal yang tak kalah beratnya.
Terlebih lagi mereka yang berasal dari kaum budak seperti Bilal bin Rabbah.
Bilal bahkan pernah dipanggang di terik matahari di tengah gurun panas, ditimpa
batu, dan didera cambuk sekujur tubuhnya. Siksaan yang berat juga dirasakan
keluarga Ammar bin Yassir. Setiap hari Ammar bin Yassir, ibundanya, Sumayyah,
serta ayahnya, digiring ke tengah terik padang pasir, tak ubahnya seperti
hewan. Mereka dicambuk disiksa tanpa pernah kenal rasa iba sedikitpun.
Menjelang tahun kesepuluh adalah masa
yang begitu berat dalam perjuangan dakwah Nabi Muhammad. Pada tahun-tahun itu,
sentimen anti gerakan dakwah kian meningkat. Nabi Muhammad mencoba melakukan
perluasan dakwah ke kota Thaif. Kota ini merupakan kota perdagangan seperti
halnya Mekah. Meskipun penduduknya tak sepadat dengan Mekah, kota Thaif
terletak di daerah yang lebih subur. Ketika Nabi Muhammad mendekati kota yang
dikelilingi tembok di atas bukit itu, beliau harus berjalan melalui kebun-kebun
yang indah, kebun buah-buahan dan kebun jagung. Nabi Muhammad bermaksud
mengajak penduduk Thaif memeluk Islam, namun mereka merasa tersinggung akan
ajakan beliau sehingga mereka mengejar dan melempari Nabi Muhammad dan Zaid bin
Haritsah batu sampai-sampai Nabi Muhammad terluka.
Berbagai macam bentuk intimidasi telah
dilakukan kaum Quraisy untuk menghentikan laju perahu dakwah Nabi Muhammad.
Namun segala upaya mereka membentur tembok kegagalan. Kaum Quraisy merasa putus
asa karena berkali-kali usaha mereka menghentikan dakwah Nabi Muhammad menemui
jalan buntu. Maka mereka memutuskan untuk menghabisi beliau dengan cara
menyerbu rumah kediamannya. Namun Allah menyelamatkan beliau dan mengizinkannya
untuk hijrah ke Madinah.
Nabi Muhammad beserta para pengikutnya
satu persatu berangkat ke Madinah. Meskipun untuk hijrah itu mereka harus
meninggalkan harta, tempat kediaman, maupun keluarga mereka. Nabi Muhammad
tetap tegar dalam mendaki terjalnya jalan dakwah. Meski pada saat-saat tertentu
beliau merasa sedih dan kecewa, karena adanya berbagai gangguan terutama ketika
kaumnya enggan menerima dakwah beliau. Maka Allah menurunkan wahyu kepada
beliau, agar tidak bersedih atas berbagai kejadian itu, dan Allah memerintahkan
Nabi Muhammad untuk tetap bersabar dalam menghadapi berbagai macam gangguan
tersebut. “Bersabarlah (wahai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan
dengan pertolongan Allah.” (QS. an-Nahl (Lebah) [16]: 127).
Sesuai dengan janji Allah, di balik
kesulitan terdapat kemudahan. Begitu juga yang terjadi pada kaum Muslimin.
Janji Allah terbukti dengan di jadikannya kota Madinah sebagai tempat bagi
Nabi Muhammad dan para sahabat untuk menggalang kebersamaan serta kekuatan.
Hal itu ditandai dengan keberhasilan Nabi Muhammad mempersaudarakan kaum Anshar
(penolong) dan Muhajirin (orang-orang yang hijrah).
Menurut Karen Amstrong, belum pernah
terjadi persaudaraan di dunia seperti yang telah dilakukan Nabi Muhammad,
yaitu mempersaudarakan dua masyarakat, Muhajirin dan Anshor. Keberhasilan
Muhammad mempersaudarakan keduanya adalah fenomena mencengangkan. Bayangkan
saja, lewat penyatuan tersebut, kedua golongan ini mampu berbagi atas berbagai
hal. Kaum Anshar rela melepaskan salah satu istri mereka untuk dinikahi oleh
sahabat-sahabat mereka dari Mekah. Suatu gambaran praktis akan persaudaraan
agama baru yang melebihi ikatan darah. Sampai saat ini belum pernah ada lagi
peradaban manusia yang mampu melahirkan “persaudaraan” yang pernah dilahirkan
dalam masyarakat bentukan Nabi Muhammad.
Sampai-sampai Allah sendiri memberikan
pujian atas kebaikan yang terjadi antara kaum Anshar dan Muhajirin dalam Surat
Al Hasyr. “Dan orang-orang yang telah mantap bermukim di kota (Madinah) dan
keimanan sebelum (kedatangan) mereka. Mereka mencintai orang yang berhijrah
kepada mereka. Dan mereka tidak mendapatkan keinginan dari apa yang telah
diberikan kepada mereka dan mereka mengutamakan atas diri mereka sendiri,
sekalipun mereka memiliki keperluan mendesak; dan siapa yang dipelihara oleh Allah
dari sifat kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang beruntung.” Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka. Mereka berdoa: “Tuhan kami, berilah
ampun buat kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami beriman,
dan janganlah Engkau membiarkan dalam hati kami kedengkian terhadap orang-orang
yang beriman; Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha
Penyayang.” (QS. al-Hasyr (Pengusiran)
[57]: 9-10).
Inilah awal tonggak sejarah sebuah
peradaban baru, peradaban mulia yang dibangun Nabi Muhammad di Madinah.
Peradaban Islam yang lahir untuk memberikan rahmat kepada semesta alam.
Sebuah prestasi mencengangkan
dipertontonkan Nabi Muhammad bin Abdullah adalah pembawa risalah, pembangun
umat, dan pendiri sebuah kedaulatan negara. Dalam jangka waktu yang relatif
singkat selama dua puluh dua tahun, dua bulan, dua puluh dua hari, Nabi
Muhammad berhasil mengubah wajah kelam dunia memasuki insight baru. Beliau
menyampaikan risalahnya yang kini telah diikuti oleh sepertujuh penduduk dunia,
terdiri atas pelbagai ras. Bahkan suatu pemerintahan kecil yang dia dirikan di
kota Madinah, kemudian mempunyai pengaruh luar biasa menyebar ke seluruh
pelosok Jazirah Arabia.
Dia berhasil menyingkirkan semua bentuk
kerusakan, kebobrokan, serta menyatukan suku-suku yang terpecah belah menjadi
bangsa Arab yang bersatu. Dia meletakkan keimanan sebagai pengikat tali
persaudaraan antara seorang Muslim dengan saudaranya. Keberhasilan Nabi
Muhammad itu dilanjutkan oleh generasi setelah beliau wafat ke zaman keemasan
selama 700 tahun pada masa abad pertengahan.
Tidaklah berlebihan kalau Michael H.
Hart, seorang penulis biografi ternama asal Amerika menulis sebuah buku The
100, a Ranking of the Most Influential Persons in History dan menempatkan Nabi
Muhammad pada urutan nomor satu. Bagi Michael H. Hart, Nabi Muhammad adalah
manusia luar biasa yang mencapai sukses baik dalam bidang keagamaan maupun
dalam hubungan manusia, sosial, dan politik.
Tidak diragukan lagi bahwa Muhammad
adalah pribadi yang paling cemerlang dalam sejarah bangsa Arab, bahkan sejarah
manusia pada umumnya. Dalam dirinya terhimpun berbagai sifat yang tidak
dimiliki oleh siapa pun, baik pribadi sebagai seorang pembawa risalah
kebenaran, panglima perang, pemimpin negara, ekonom terkemuka, orator ulung,
maha guru, pakar politik maupun administrator ahli.
Orang-orang besar yang mampu melakukan
perubahan fundamental sehingga dunia ini menjadi tempat yang lebih indah dan
damai adalah orang-orang memiliki militansi yang kuat. All great people are militants.
Orang-orang besar seperti Nabi Muhammad, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ali bin
Abi Thalib, Umar Abdul Aziz, Salahuddin Al-Ayubi, Yulius Caesar, Napoleon
Bonaparte, Gandhi, Martin Luther King, Abraham Lincoln, mereka adalah
orang-orang militan. Orang-orang militan penuh keyakinan, memegang teguh
prinsip, dan tidak berubah-ubah dalam pikiran dan pendapatnya. Mereka akan
melakukan sesuatu berdasarkan apa yang mereka yakini. Karena kebahagiaan akan
dapat terealisasi bila seseorang konsisten dengan keyakinannya. Kebahagiaan
akan berbuah ranum bila sesuai dengan keimanan dan semakin besar intensitas
iman itu, semakin besar hasil yang diperoleh.
Wahai Rasûlullah, yang mulia.
Ketika diri yang hina ini terperangkap
dalam lorong kegetiran hidup, engkaulah embun penyejuk di tengah kesunyian jiwa
yang gersang. Allah yang Maha Baik itu telah mengutusmu sebagai penyelamat umat
manusia agar mereka tidak tersesat ke dalam lubang hitam penderitaan.
Di dalam kekalutan jiwa, kami dapat
merasakan kehadiranmu laksana lembayung yang tersenyum ramah dilangit biru.
Yang memberikan kedamaian dalam kehampaan yang panjang.
Wahai Rasûlullah, yang Mulia
Kala telaga hati kami kering-kerontang,
yang tersisa hanyalah kekeruhan. Namun bila tenggelam dalam menelisik kisah
perjuangan beratmu “wahai pejuang sejati, Rasulullah yang bijak bestari,
Muhammad Saw, perlahan-lahan kembali jernihlah hati kami. Kini semakin tergurat
jelas betapa syahdunya bila dapat mengikuti jejak langkah petualanganmu dalam
menebarkan cinta kasih terhadap sesama.
Wahai Rasûlullah, yang Mulia
Kami
rindu ingin bertemu denganmu. Bolehkah jiwa yang galau ini mengecup tanganmu-.
Bolehkah hati yang gundah ini menyapamu.Shalawat dan salam untukmu selalu.
Post a Comment