“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus) ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: ‘Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.’ Maka Kami telah memperkenankan do’anya dan menyelamatkannya dari pada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.”
Ketika Nabi Yunus mengajak umatnya menuju
jalan kebaikan. Dia tanpa pernah kenal lelah mengingatkan umatnya bahwa
menyembah berhala adalah perbuatan sia-sia. Karena yang laik disembah
hanyalah Allah semata, Pencipta langit dan bumi. Namun seruan Nabi Yunus itu
terdengar sumbang dan samar di telinga umatnya. Bagi mereka menyembah berhala
sudah mentradisi sejak zaman nenek moyang mereka.
Penolakan keras itu terjadi karena mereka
umat Nabi Yunus berada pada situasi comfort zone (wilayah nyaman). Comfort zone
adalah sebuah kondisi dimana seseorang yang berada didalamnya merasa nyaman
sehingga menutup diri dengan situasi baru. Zona nyaman itu terbentuk karena kebiasaan
yang sudah mendarah daging baik berupa fanatisme kepercayaan, mazhab, maupun
paham keagamaan.
Persis seperti umat Nabi Yunus mereka
telah merasa nyaman menyembah berhala turun-temurun. Jadi, ketika Nabi Yunus
datang dengan gagasan baru yang menggelisahkan keberlangsungan hidup mereka,
umat Nabi Yunus segera membentengi diri rapat-rapat dan menutup pintu gerbang
hatinya. Terlebih lagi yang mengajak mereka meninggalkan tradisi menyembah
berhala adalah orang biasa dari golongan Sudra. Nabi Yunus bukanlah berasal
dari golongan berdarah biru. Ia tidak mempunyai kekayaan yang melimpah. Karena
itulah mereka umat Nabi Yunus kurang terkesan dengan dakwahnya.
Pada saat
menulis tulisan ini saya merenung sejenak, kemudian menyembul pertanyaan
dalam benak saya. Bagaimana kalau kita lahir pada zaman Nabi Yunus. Apakah
kita akan mengikuti dakwahnya atau justru sebaliknya? Terkadang kalau kita
berani jujur pada diri sendiri, ketika seseorang mengingatkan kesalahan kita,
jauh di lubuk hati terdalam kita menyadari bahwa apa ia sarankan itu benar.
Namun dikarenakan pertimbangan yang memberikan saran itu lebih "rendah
derajatnya", kita tidak berani mengenyampingkan keegosian kita. Ada baiknya kalau kita bercermin pada sikap ketawadhuan Umar bin
Khatab dalam memutuskan suatu masalah, tatkala ia menyatakan bahwa mas kawin
anak-anak perempuan umat islam tidak boleh melebihi maskawin putri-putri
Rasulullah. Saat itu muncul pendapat yang berbeda dengan Umar. Dia diingatkan
oleh seorang wanita, yang menunjukkan kekeliruan pandangan Umar berdasarkan
dalil dan argumentasi yang jelas. Mendengar ucapan wanita itu berlandaskan
pada keterangan dalil yang kuat, Umar menyadari kesalahannya, lalu berkata,
“Wanita itu benar, Umar yang salah.” Padahal Umar pada waktu itu adalah
seorang khalifah.
Kita sebagai manusia biasa pasti pernah
melakukan kesalahan dan kekhilafan. Pertanyaannya adalah apakah kita mampu
berbesar hati ketika melakukan kesalahan, kemudian kita dengan tulus mengakui
bahwa hal itu salah. Atau kita justru sama seperti umat Nabi Yunus yang
menolak kebenaran dan akhirnya mendapat teguran dari Allah berupa awan panas.
Di sinilah pentingnya kita merenungkan apa yang dikatakan Imam Ali, “lihatlah
apa yang disampaikan tapi jangan melihat siapa yang menyampaikan.”
Nabi Yunus tidak henti-hentinya mengajak
kaumnya untuk menyembah Allah dan taat kepada-Nya. Namun mereka selalu
menolak ajakan Nabi Yunus. Kendati ajakannya belum membuahkan hasil, Nabi
Yunus tetap menunjukkan sikap santun kepada umatnya. Beliau mengingatkan
umatnya, bahwa keingkaran mereka terhadap perintah Allah akan berdampak
buruk bagi berlangsungnya kehidupan mereka. Rupa-rupanya seruan itu tidak
diperhatikan umat Nabi Yunus. Untuk kesekian kalinya Nabi Yunus kembali
mengingatkan umatnya bahwa jika Allah sudah menurunkan azabnya, maka tak
seorang pun dapat menghindar darinya.
Namun seruan Nabi Yunus itu justru
menjadi bahan ejekan dan tertawaan umatnya. Mereka malah menantang Nabi Yunus
untuk segera mendatangkan azab yang beliau ucapkan. Mendengar cemoohan
kaumnya, Nabi Yunus begitu terluka secara emosional. Kekecewaan itu begitu
dalam sehingga dia ingin mengalihkan rasa sakitnya itu. Dia memutuskan untuk
pergi meninggalkan umatnya. Sebagai da’i, dia merasa sudah sangat maksimal
mengajak umatnya untuk kembali ke jalan Allah. Dia sudah tidak sanggup lagi
merasakan sakit hati karena kekecewaan.
Keputusan Nabi Yunus pergi meninggalkan
umatnya langsung mendapat teguran dari Allah. Hal ini disadari Nabi Yunus
tatkala ia menumpang perahu bersama sebuah rombongan. Tak berapa lama
kemudian kapal itu terombang-ambing dihantam deburan ombak yang dahsyat.
Menghadapi hantaman badai dahsyat tanpa henti, semua rombongan yang ada
dalam perahu tersebut dijangkiti rasa kekhawatiran yang akut.
Karena badai tak juga kunjung reda,
akhirnya mereka membuat konsensus untuk mengurangi jumlah penumpang dengan
cara melakukan pengundian. Dengan ketentuan siapa pun yang namanya keluar, secara
suka rela menceburkan dirinya ke laut. Pada undian pertama keluarlah nama Nabi
Yunus. Namun karena beliau tamu kehormatan, maka mereka enggan melaksanakan
hasil undian itu. Diadakanlah undian yang kedua, tidak disangka nama Nabi Yunus
kembali keluar.
Setelah undian dilakukan berturut-turut
serta secara kebetulan nama Nabi Yunus keluar dua kali dalam undian tersebut,
Nabi Yunus merasa ini merupakan ketentuan Allah. Mungkin ini merupakan
peringatan dari Allah atas ketidaksabarannya dalam berdakwah. Oleh Karena
itulah, Beliau membulatkan tekad menjalankan hasil undian itu. Dan melarang
anggota rombongan lainnya melanjutkan pengundian. Setelah mengucapkan rasa
terimakasih dan mohon pamit. Nabi Yunus menceburkan dirinya ke laut. Beliau
pasrahkan akhir hidupnya kepada Allah. Beliau percaya apa pun yang menjadi
ketentuan Allah, itulah yang terbaik.
Pada saat itu juga Allah mengirimkan
seekor ikan besar yang disebut ikan Nun. Kemudian ikan besar itu menelan Nabi
Yunus. Di dalam perut ikan itulah Nabi Yunus memohon kepada Allah dengan doanya
yang sangat populer: “Tidak ada Tuhan selain Engkau, dan Maha Suci Engkau.
Sesungguhnya aku termasuk orang yang telah berbuat dzalim.” Sebuah ketulusan,
kejujuran serta rasa penyesalan yang menggugah diperlihatkan Nabi Yunus. Dia
menyadari bahwa ia telah berbuat khilaf meninggalkan kaumnya tanpa izin Allah.
Ungkapan rasa penyesalan yang tulus Nabi
Yunus atas kekhilafan yang telah dia perbuat disambut baik oleh Allah dengan
memaafkan kekhilafannya. Hal itu ditandai dengan diselamatkannya Nabi Yunus.
Dalam riwayat al-Baihaqi dari hadis Sa’ad bin Abi Waqas bahwa Rasulullah telah
bersabda: “Doa Dzun Nun (Nabi Yunus), pada saat dia berada dalam perut ikan
adalah dan tidaklah seorang pun yang berdoa dengan tersebut, melainkan (Allah)
akan mengabulkannya.” (HR Tirmidzi).
Setelah Nabi Yunus melewati lika-liku
terjalnya jalan dakwah dan menyadari kesalahannya, Allah memerintahkan beliau
kembali kepangkuan kaumnya karena mereka membutuhkan kepemimpinan beliau. Di
saat itu umat Nabi Yunus sudah beriman semuanya. Dengan izin Allah yang Maha
pemaaf Nabi Yunus kembali mengajak kerabat dan kaumnya meningkatkan kualitas
keimanan dan menyempurnakan ibadah kepada Allah.
Teguran Membawa Bahagia
• Berbesar
hatilah untuk menerima kebenaran yang datangnya dari manapun. Meskipun
sumbernya dari orang yang lebih ‘rendah kedudukannya’ dari kita.
• Di
dalam melakukan sebuah perjuangan kita tidak boleh putus asa dan kecewa bila
menghadapi tantangan dan penolakan. Karena semua peristiwa itu adalah cara
Allah mengajarkan arti kesabaran dan kebahagiaan.
Post a Comment