“Sungguh, Kami pasti akan
terus menerus menguji kamu berupa sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan
harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah berita gembira kepada
orang-orang yang bersabar.”
(QS.
al-Baqarah (Sapi Betina) [2]:155)
Rasa takut adalah
bagian dari proses menuju penyempurnaan diri. Dia menyentakkan ego terdalam
kita untuk segera bertindak melakukan sesuatu. Rasa takut juga pertanda bahwa
kita telah terlalu lama berdiam diri menghindari resiko. Sebagai contoh, Robert
T. Kiyosaki mengemukakan bahwa orang-orang yang terpenjara dalam jeruji “emosi
ketakutan” menyebabkan mereka menjadi pengecut seringkali merapalkan kata-kata
rasa aman, bukannya kebebasan. Hindari resiko, bukannya belajar mengelola
resiko. Cari aman, bukannya pakai nalar (otak). Aku tak mampu, bukannya
bagaimana supaya aku bisa melakukannya. Terlalu mahal, bukannya berapa nilai
jangka panjangnya. Melakukan banyak hal, bukannya pemusatan. Apa yang akan
dikatakan teman-temanku bukannya bagaimana menurutku.
Ketakutan merupakan
salah satu gejala kejiwaan yang menerpa jiwa masyarakat kontemporer. Hal itu
terjadi karena sebagian besar masyarakat kontemporer tidak menyadari bagaimana
menata hidup ke arah yang lebih baik. Ada ketidakseimbangan value (nilai) yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat kontemporer. Misalnya saja masyarakat
kontemporer seringkali lebih memperhatikan penampilan fisik ketimbang
memperhatikan kebutuhan pola pikir dan jiwanya.
Mereka takut bila
pakaian yang disandang dikatakan ketinggalan zaman, norak alias kurang modis.
Tetapi mereka tidak terlalu khawatir bila pikiran dan jiwanya kering dari
siraman nilai-nilai kebenaran. Padahal manusia hidup terdiri dari tubuh yang
menggerakkan, pikiran yang mengendalikan dan jiwa yang merasakan. Tanpa salah
satu dari ketiga unsur itu, manusia belum bisa disebut manusia sempurna.
Gabungan ketiga unsur tersebut mutlak bagi eksistensi manusia.
Komaruddin
Hidayat mengemukakan, jika ditilik lebih dalam lagi, rasa takut itu muncul
karena sebagian orang takut menghadapi kematian. Berbagai bentuk ancaman
kelaparan, penyiksaan, dan pembunuhan adalah jembatan ke arah kematian sehingga
setiap orang selalu dibayangi rasa takut terhadap semua situasi yang tidak
nyaman. Rasa rasa takut itu berakar pada keinginan laten untuk selalu hidup
nyaman dan rasa takut itu kemudian menjalar ke berbagai wilayah aktivitas
manusia.
Meski rasa takut dapat
bersumber dari ancaman kelaparan, penyiksaan, dan pembunuhan, namun ketakutan
itu tidak perlu dibesar-besarkan, karena menurut orang bijak, “yang harus kita
takuti adalah ketakutan itu sendiri”. Tengoklah kisah petualangan Rasulullah
Saw. Kehidupannya diramaikan dengan
serangkaian penolakan, penghinaan, ancaman kelaparan, penyiksaan dan
pembunuhan. Namun melalui berbagai bentuk derita yang mengharu biru dalam
ukuran manusia itu, merupakan pergulatan metamorfosis yang pada akhirnya
menghantarkan beliau menjadi insan kamil.
Beberapa pakar
mengkategorikan rasa takut sebagai bagian dari emosi yang secara mendasar
dimiliki manusia. Perasaan takut juga merupakan mekanisme pertahanan diri.
Umumnya timbul sebagai respon atas kondisi negatif di sekitar kita. Di sejumlah
kasus rasa takut menimbulkan efek samping bawah sadar manusia atau pada otak
manusia yang tidak sadar. Dampaknya yang paling mudah diketahui adalah
terjadinya mimpi buruk.
Bayang-bayang
kengerian akan menyembulkan rasa takut yang selalu menghantui pola pikir
orang-orang yang merasa lemah serta memandang remeh dirinya. Dia merasa
seakan-akan berada pada posisi seperti telur di ujung tanduk, dalam artian dia
sudah tidak lagi mempunyai pilihan selain menyesali diri. Terkadang orang-orang
seperti ini merapalkan kata-kata, “Oh Tuhan kenapa kau ciptakan aku dalam
keadaan seperti ini, aku sudah tidak kuat lagi Tuhan.” Dia sudah tidak sanggup
lagi sekedar untuk tersenyum apalagi mengerahkan kemampuannya berusaha
melejitkan potensi dirinya, karena jiwanya terlalu rapuh serta terlanjur
dijangkiti rasa takut yang kronis.
Sebagai contoh, tatkala
seseorang berucap, “Saya tidak mau mengambil resiko, jadi saya tidak berani
melakukan hal itu.” Itu menandakan bahwa dia berada pada zona ketakutan. Agar
seseorang dapat menyelamatkan diri dari zona ketakutan, salah-satu langkah yang
harus ditempuh di antaranya melakukan intropeksi ke dalam diri bahwa ia telah
melakukan tindakan bodoh. Kemudian beranilah menanyakan kepada ego terdalam,
“Mengapa saya takut mengambil resiko sementara ada sebagian orang berani
mengambil resiko melakukan hal itu dan tidak mati karena pilihannya.” Dengan
cara ini seseorang dapat lebih mudah mengintropeksi diri bahwa ia memiliki
banyak kesempatan untuk mengendalikan rasa takut yang bersarang dalam dirinya.
Seseorang menjadi
berani karena dia dapat belajar bagaimana mengelola emosi ketakutan menjadi
lebih positif. Karena rasa berani yang diikuti rasa takut dapat menelurkan
sosok manusia yang berani melangkah dengan hati-hati. Ke hati-hatian dan
perhitungan yang matang ketika melangkah atau menentukan suatu tujuan merupakan
“jalan benar” menuju kesuksesan.
Daniel Goleman
menjelaskan, misteri klasik mengapa mereka yang berprestasi di sekolah tidak
terlalu berhasil di dunia nyata. Jawabnya adalah IQ emosional lebih kuat
daripada IQ akademis. Itulah alasannya mengapa begitu banyak orang terperosok
ke dalam kelamnya lubang penderitaan. Karena mereka membenci kesalahan,
sehingga mereka secara emosional takut melakukan kesalahan.
Sebaliknya, untuk
terbebas dari penderitaan, kita perlu melakukan kesalahan dan belajar mengelola
resiko. Orang yang berani mengambil resiko, melakukan kesalahan, dan
memperbaikinya, seringkali lebih berhasil daripada orang yang belajar tidak
melakukan kesalahan karena mereka terlalu takut pada resiko. Bila kita
menjalani hidup dipenuhi rasa takut melakukan hal-hal yang berbeda dengan
kebanyakan orang, tentu sulit bagi kita untuk menjadi pribadi yang unggul.
Tidak ada yang perlu
ditakutkan dalam kehidupan ini kecuali kemurkaan Allah. Kita hanya perlu untuk
menyadari bahwa ketakutan pertanda kedha‘i-fan kita sebagai hamba Allah.
Rentangkanlah wawasan kita untuk memahami arti keberanian melalui pengajaran
Allah lewat rasa takut. Jangan tunda lagi untuk segera mengambil buahnya karena
kalau tidak ia akan segera membusuk. Maka tatkala kita berhasil menyelami makna
di balik ketakutan, niscaya kita akan memperoleh kebahagiaan yang sejati.
Sebagaimana yang diungkapkan dalam sebuah ayat Al-Qur’an, “Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami ialah Allah’ kemudian mereka
meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan):
‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih: dan bergembiralah
kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.(QS.
Fushshilat (Yang dijelaskan) [41]: 30)
Mengendalikan
Rasa Takut
• Rasa takut mengajarkan kepada kita, bahwa
kita adalah makhluk lemah dengan letupan-letupan emosi yang terkadang sulit
dikendalikan. Dan lebih dari itu, rasa takut mengingatkan kepada kita, dalam
usaha apapun kita harus berserah diri kepada Allah semata.
• Melalui rasa takut kita belajar bagaimana
mengelola emosi ketakutan menjadi lebih positif. Karena rasa berani yang
diikuti rasa takut dapat menelurkan sosok manusia yang berani melangkah dengan
hati-hati. Ke hati-hatian dan perhitungan yang matang ketika melangkah atau
menentukan suatu tujuan merupakan “jalan benar” menuju kesuksesan.
• Makna
lain dari rasa takut adalah munculnya ke-sadaran atas peran orang lain dalam
kehidupan kita, dan perlu bersinergi dengan sesama hamba Allah.
Post a Comment