II Chapter
A.   Life and Works
Suhrawardi al-Maqtul (Pendiri Aliran Illuminasioni) Syaikh Syihabuddin Abul Futuh Yahya Suhrawardi yang lebih dikenal sebagai Syaikh Isyraq, Syihab al-Maqtul, Syaikh al-Maqtul, founding father Filsafat Isyraq dan merupakan salah seorang filosof besar Islam pada abad ke 6 M. Ia lahir pada tahun 549 H/1154 M di kota Suhraward bagian barat laut Iran. Setelah menyelesaikan studi ilmu filsafat dan ushul fiqih di Maragah, dari Majduddin Jili yang juga merupakan guru Fakhrurazi, dan di Isfahan, ia melewati hidupnya beberapa tahun di barat daya Anatolia. Setelah itu ia pindah ke Halab (Aleppo, Suriah) tahun 579 H/1183 M. Di tempat ini ia mengajar dan menjadi teman gubernur, al-Malik al-Zahir al-Ghazi (putra Salahuddin Al-Ayyubi).
Sebagian orang memandang Suhrawardi sebagai seorang ulama yang memiliki karamah dan keutamaan. Dan sebagian lain mengklaimnya sebagai kafir dan musyrik. Dikatakan bahwa alasan utama kesyahidan dia adalah karena dialognya tentang “akhir kenabian”. Dan boleh jadi juga lantaran alasan politis. Para peneliti kontemporer berkeyakinan bahwa “wilayah” sebagai pokok akidah Suhrawardi dan menurut dia walaupun kenabian telah berakhir, namun “wilâyah (kepemimpinan hakiki pasca Nabi)”, yang sebagaimana diyakini oleh kaum Syiah, terus dan tetap berlanjut.[1]
Dikabarkan konon pengetahuan filsafat Suhrawardi begitu mendalam. Bahkan kitab Thabaqat al-Athibba menyebutkan Suhrawardi sebagai salah seorang tokoh zamannya hikmah. Ia begitu mengusaai ilmu-ilmu filsafat, begitu memahami ushul fiqh, begitu cerdas pikirannya dan begitu fasih ungkapan-ungkapannya.[2]
Namun, kepiawaian Suhrawardi mengluarkan pernyataan doktrin esoteris yang tandas dan kritik yang tajam terhadap ahli-ahli fikih menimbulkan reaksi keras yang dimotori oleh Abu Bakarat al-Baghdadi yang anti-aristotelian. Akhirnya pada tahun 587H / 1191M atas desakan fuqaha kepada pangeran Malik al-Zahir Syah anak sultan Salahuddin al-Ayyubi al-Kurdi yang sangat membutuhkan kaum fuqaha uyntuk menghadapi tentara salib, suhrawardi diserat ke penjara, menghantarkannya kematiannya di usia 38 tahun.[3]

A.  Karya-karya  Suhrawardi 
Karya-karya  Suhrawardi dapat dibagi menjadi beberapa kategori. Kategori pertama, merupakan karya utama filsafatnya yang ditulis dalam bahasa Arab, misalnya al-Talwihat, al-muqawamat, Kitab al-Masyari' wa-'l-Mutarahat dan Hikmat al-Ishraq. Karya-karya yang menjelaskan pergerakan dari hikmah bathiyyah menuju hikmah dzauqiyyah, dari yang sifatnya diskursif menuju yang lebih intuitif. Kategori kedua, adalah karya-karya yang memuat kisah-kisah simbolik yang kebanyakan ditulis dalam bahasa Persia seperti Risalah 'Aql-e Surkh, Âwaz-e Pur Jibril, Ruzi Ba Jamaat-e Sufiyân. Kategori ketiga adalah karya-karya yang ditulis dalam risalah pendek Arab, seperti Hayakil al-Nur. Dan yang lainnya dalam bahasa Persia yang menjelaskan filsafat iluminasionis dalam bentuk yang lebih sederhana dan beberapa ulasan dan terjemahan.

B.            Filsafat Iluminasi Sebuah Pengertian
Kata isyraq mempunyai banyak arti, antara lain, terbit dan bersinar, berseri-seri, terang karena disinari, dan menerangi. Tegasnya, isyraqi berkaitan dengan kebenderangan atau cahaya yang umumnya digunakan sebagai lambang kekuatan, kebahagiaan, ketenangan dan hal lain yang membahagiakan. Lawannya adalah kegelapan yang dijadikan lambang keburukan, kesusahan, kerendahan dan semua yang membuat manusia menderita. Illuminiation, dalam bahasa Inggris, yang dijadikan padanan kata isyrâq juga berarti ini, cahaya atau penerangan.
Dalam bahasa filsafat, illuminationisme berarti sumber kontemplasi atau perubahan bentuk dari kehidupan emosional untuk mencapai tindakan dan harmoni. Bagi kaum isyraqi, apa yang disebut hikmah bukan sekedar teori yang diyakini melainkan perpindahan ruhani secara praktis dari alam kegelapan yang didalamnya pengetahuan dan kebahagiaan merupakan sesuatu yang mustahil, kepada cahaya yang bersifat akali yang didalamnya pengetahuan dan kebahagiaan dicapai bersama-sama.
Lebih jauh, cahaya adalah simbol utama dari filsafat isyrâqi. Simbolisme cahay digunakan untuk menetapkan satu faktor yang menentukan wujud, bentuk dan materi, hal-hal masuk akal yang primer dan sekunder, intelek, jiwa, zat (ipseity) individual dan tingkat-tingkat intensitas pengalaman mistik. Jelasnya, penggunaan simbol-simbol cahaya merupakan karakter dari bangunan filsafat isyrâqi.
Selanjutnya, tentang sumber-sumber pengetahuan yang membentuk pemikiran isyraqi Suhrawardi, menurut SH. Nasr, terdiri atas lima aliran. Pertama, pemikiran-pemikiran sufisme, khususnya karya-karya al-Hallaj (858-913 M) dan al-Ghazali (1058-1111 M). Salah satu karya al-Ghazali, Misykat al-Anwâr, yang menjelaskan adanya hubungan antara nûr (cahaya) dengan iman, mempunyai pengaruh langsung pada pemikiran illuminasi Suhrawardi.
Kedua, pemikiran filsafat paripatetik Islam, khususnya filsafat Ibn Sina. Meski Suhrawardi mengkritik sebagianya tetapi ia memandangnya sebagai azas penting dalam memahami keyakinan-keyakinan isyraqi.
Ketiga, pemikiran filsafat sebelum Islam, yakni aliran Pyithagoras (580-500 SM), Platonisme dan Hermenisme sebagaimana yang tumbuh di Alexanderia, kemudian dipelihara dan disebarkan di Timur Dekat oleh kaum Syabiah Harran, yang memandang kumpulan aliran Hermes sebagai kitab samawi mereka.
Keempat, pemikiran-pemikiran (hikmah) Iran-Kuno. Disini Suhrawardi mencoba membangkitkan keyakinan-keyakinanya secara baru dan memandang para pemikir Iran-kuno sebagai pewaris langsung hikmah yang turun sebelum datangnya bencana taufan yang menimpa kaum nabi Idris (Hermes).
Kelima, bersandar pada ajaran Zoroaster dalam menggunakan lambang-lambang cahaya dan kegelapan, khususnya dalam ilmu malaikat, yang kemudian ditambah dengan istilah-istilahnya sendiri. Namun demikian, secara tegas Suhrawardi menyatakan bahwa dirinya bukan penganut dualisme. Sebaliknya, ia mengklaim dirinya sebagai anggota jamaah hukama Iran, pemilik keyakinan-keyakinan ‘kebatinan’ yang berdasarkan prinsip kesatuan ketuhanan dan pemilik sunnah yang tersembunyi di lubuk masyarakat Zoroaster.
Dengan demikian, pemikiran isyraqi Suhrawardi bersandar pada sumber-sumber yang beragam dan berbeda-beda, tidak hanya Islam tetapi juga non-Islam, meski secara garis besar bisa dikelompokkan dalam dua bagian: pemikiran filsafat dan sufisme. Namun, yang mesti menjadi perhatian, hal itu bukan berarti Suhrawardi melakukan pembersihan terhadap pemikiran-pemikiran sebelumnya. Ia justru mengkliam dirinya sebagai pemadu (pemersatu) antara apa yang disebut hikmah ladûniyah (genius) dan hikmah al-atiqah (antik). Menurutnya, hikmah yang total dan universal adalah hikmah (pemikiran) yang jelas tampak dalam berbagai ragam orang Hindu kuno, Persia kuno, Babilonia, Mesir dan Yunani sampai masa Aristoteles.
Lebih jauh, Suhrawardi bahkan mengklaim dirinya sebagai pusat pertemuan dua cabang hikmah dunia. Menurutnya, juga menurut kebanyakan penulis abad pertengahan, hikmah diturunkan Tuhan kepada manusia melalui nabi Idris (Hermes), sehingga ia dipandang sebagai pendiri filsafat dan ilmu-ilmu (wâlid al-hukamâ’). Dari Hermes ini hikmah (filsafat) kemudian terbagi pada dua cabang: satunya di Persia dan satunya di Mesir yang dari Mesir ini kemudian melebar ke Yunani. Selanjutnya, melalui dua cabang ini, khususnya Persia dan Yunani bertemu kembali membentuk peradaban Islam.

B.  Epistemologi Suhrawardi
filsafat iluminisme atau isyraqiyyah ini adalah bagian dari pengetahuan khudluri. Ilmu khudluri adalah ilmu yang didapatkan secara langsung oleh seseorang melalui pengalaman kehidupannya. Dalam pengetahuan dan kesadaran ini, pengetahuan dan subyek serta obyek sama sekali tidak dapat dipilah-pilah. Karena prinsip dasar illuminisme adalah bahwa mengetahui sesuatu berarti memperoleh pengalaman tentangnya, serupa dengan intuisi primer terhadap determinan-determinan sesuatu. Apa yang ingin dijelaskan oleh Suhrawardi dalam filsafatnya adalah pengalaman pribadinya sendiri, yaitu pengalaman sehari-hari yang sampai pada titik tertentu ia bisa mencapai realitas puncak tertinggi (ultimate reality).
Dengan demikian, metodologi untuk mendapatkan pengetahuan ini bukanlah melalui cerapan indera, tetapi melalui pelatihan spiritual atau riyadlah. Karena pengetahuan semacam ini, saran yang dibutuhkan adalah kebersihan dan kesucian hati. Bagi seseorang yang mencapai kebersihan hati, maka secara langsung ia akan mendapatkan pengalaman tentang realitas hakiki (ultimate reality). Dalam perolehanya jiwa atau hati mengalami keterbukaan (mukasyafah) sehingga ia akan terlimpahi oleh pancaran cahaya dari sumber cahaya itu sendiri. Sebagaimana yang dikatakan oleh Suhrawardi sendiri bahwa prinsip filsafat Isyraqiyyah adalah mendapat kebenaran lewat pengalaman intuitif, kemudian mengelaborasi dan memverivikasinya secara logis rasional.
Kemudian bagaimana gambaran atau bentuk dari penegtahuan iluminasi yang masuk kategori klhudluri ini? Secara umum sebenarnya hampir sama dengan filsafat emanasi. Di situ terdapat tangga-tangga wujud (existence) mulai dari wujud satu hingga sebelas. Jadi secara formal bentuknya sama dengan filsafat emanasi dalam parepatatisme yang mendahuluinya, dalam isyraqiyyah wujud mempunyai hirarki-hirarki, dari yang paling atas sampai terbawah. Hanya saja kalau dalam filsafat emanasi setiap tingkat diidentikkan dengan intelek, maka dalam filsafat Isyraqiyyah tingkatan-tingkatan tersebut diidentikkan dengan nur (cahaya).
Jadi seperti yang dijelaskan dalam filsafat paripatetik bahwa yang namanya wujud itu bukan satu tingkat tetapi bertingkat-tingkat. Wujud ini diistilahkan dengan akal. Maka dalam paripatetik selalu populer dengan istilah akal satu, akal dua, akal tiga dan sebagainya. Ini merupakan penggambaran hirarki aktualisasi wujud tersebut. Semakin jauh tingkat wujud tersebut dari wujud utama, maka wujud tersebut kualitasnya semakin rendah dan begitu sebaliknya, semakin tinggi tingkatan wujud tersebut hingga mendekati aqal pertama maka kualitas wujud tersebut semakin suci dan luhur.
Begitu juga dengan iluminasi. Wujud di sini secara material diidentikan bukan dengan cahaya melainkan dengan cahaya. Sehingga ada cahaya utama yang merupakan cahaya maha cahaya, dari cahaya utama ini merupakan mewujudkan cahaya pertama, cahaya pertama mewujudkan cahaya ke dua, dari cahaya ke dua mewujudkan cahaya ke tiga dan seterusnya hingga sampailah cahaya yang terendah yakni tingkatan cahaya yang dekat dengan alam materi.
Sekarang pertanyaannya adalah mengapa cahaya begitu penting dalam filsafat iluminismenya Suhrawardi? Kenapa bukan aqal yang menjadi sarana atau materi utama dalam mengartikulasikan filsafatnya? Karena ia lebih suka menggunakan keraifan lokal (local wisdom) dari nenek moyangnya yaitu budaya zoroasterisme.[4] Jadi pada prinsipnya secara material, filsafat Suhrawardi ini bukan an sich dari Yunani maupun dari wahyu Islam, tetapi yang terutama dalah dikonstruk dari budaya lokal, yakni budaya ketimuran. Hikmatul Isyraqiyyah yang berarti kebijakan Timur adalah pengalaman ilahiyah yang sudah ada sebelum Suhrawardi lahir yang dibawa para wali-wali dan orang suci (Ancient Person). Ini merupakan wujud obsesinya untuk mengkritik keras filsafatnya Ibnu Sina yang sebelumnya dikatakan sebagai filsafat Timur seperti disinggung di atas.
Jadi, melalui term Hikmatul Isyraqiyyah ini Suharawardi hendak mengatakan bahwa filafat iluminisme ini adalah filsafat yang khas sebagai representasi absah dari peradaban Timur, karena secara sosio-cultural, ia diramu dari tradisi-tradisi klasik Timur yang dikenal dengan tradisi zoroasterian. Namun seperti yang dikatakan di atas, meskipun ini merupakan jenis pengalaman spiritual, namun ketika sudah didapatkan bukan berarti ia menjadi realitas yang tak terbahasakan. Tetapi bagi Suhrawardi pengalaman itu justru harus dikonfirmasikan, didiskursuskan secara logis.
Menurutnya ada beberapa metode yang harus ditempuh oleh seseorang untuk mendapatkan pengetahuan model iluminasi ini. Tahap pertama, seseorang harus membersihkan diri dari kecenderungn diri, dari kecenderungn duniawi untuk menerima pengetahuan duniawi. Kedua, setelah menempuh tahap pertama, sang filsof memasuki tahap iluminasi yang di dalamnya ia mendapatkan penglihatan akan sinar ketuhanan (An-nur Ilahiyah) serta mendapatkana apa yang disebut dengan cahaya ilham (Al-Anwarus Sanihah). Ketiga, tahap pembangunan pengetahuan yang utuh, di dasarkan atas logika diskursif. Keempat adalah tahap pengungkapan dan penulisannya.

C.       Gradasi Essensi.
Salah satu ajaran pokok isyrâqiyah adalah gradasi essensi. Ajaran penting yang lain, yang berkaitan dengan gradasi essensi, adalah teori kognisi yang menekankan adanya kesadaran diri untuk meraih persamaan dan kesatuan antara pikiran dengan realitas. Teori ini berkaitan dengan konsepnya tentang pengetahuan. Dari dua teori itu lahir teori ketiga, alam mitsâl, dimana struktur ontologis dari realitas spiritual atau ‘alam atas’ dianggap mempunyai kemiripan atau mengambil bentuk-bentuk gambar konkrit dari alam materi atau ‘alam bawah’.
Bagi Suhrawardi, apa yang disebut eksistensi hanya ada dalam pikiran, gagasan umum dan konsep sekunder yang tidak terdapat dalam realitas, sedang yang benar-benar ada atau realitas yang sesungguhnya hanyalah essensi-essensi yang tidak lain merupakan bentuk-bentuk cahaya. Cahaya-cahaya ini adalah sesuatu yang nyata dengan dirinya sendiri karena ketiadaannya berarti kegelapan dan tidak dikenali. Sebab itu, ia tidak membutuhkan definisi, bahkan tidak ada yang lebih tidak membutuhkan definisi kecuali cahaya. Sebagai realitas segala sesuatu, ia menembus setiap susunan entitas, fisik maupun non-fisik sebagai komponen essensial dari cahaya.
Namun demikian, menurut Suhrawardi, masing-masing cahaya tersebut berbeda tingkat intensitas penampakannya, tergantung pada tingkat kedekatannya dengan Cahaya Segala Cahaya (Nûr al-Anwâr) yang merupakan sumber segala cahaya. Semakin dekat dengan Nûr al-Anwâr yang merupakan cahaya yang paling sempurna, berarti semakin sempurnalah cahaya tersebut, begitu pula sebaliknya. Begitu pula yang terjadi pada wujud-wujud, karena tingkatan-tingkatan cahaya ini berkaitan dengan tingkat kesempurnaan wujud.
Dengan demikian, realitas ini tersusun atas gradasi essensi yang tidak lain merupakan bentuk-bentuk cahaya, mulai dari yang paling lemah sampai yang paling kuat. Persoalannya, bagaimana realitas cahaya yang beragam tingkat intensitas penampakannya tersebut ‘keluar’ dari ‘Cahaya Segala Cahaya’ yang Esa dan kuat kebenderangannya?
Menurut Husein Ziai, proses itu pada dasarnya tidak berbeda dengan teori emanasi pada umumnya, (1) gerak menurun dari yang ‘lebih tinggi’ ke yang ‘lebih rendah’, yakni emanasi-diri Cahaya Segala Cahaya, (2) peniadaan penciptaan, yakni semesta tidak diciptakan dari tiada apakah dalam massa tertentu atau tidak sekaligus, tidak ada ‘pembuat’ dan tidak ada ‘kehendak’ Tuhan. (3) keabadian semesta, (4) hubungan abadi antara wujud yang lebih tinggi dengan wujud yang lebih rendah.
Namun, gagasan emanasi Suhrawardi disini tidak hanya mengikuti teori yang dikembangkan kaum Neoplatonis, tetapi mengkombinasikan dua proses sekaligus, dan inilah yang membuatnya menjadi khas pemikiran Suhrawardi. Pertama, adanya emenasi dari masing-masing cahaya yang berada dibawah Nûr al-Anwâr. Cahaya-cahaya ini benar-benar ada dan diperoleh (yahshûl) tetapi tidak berbeda dengan Nûr al-Anwâr kecuali pada tingkat intensitasnya yang menjadi ukuran kesempurnaan. Cahaya-cahaya itu bercirikan, (1) ada sebagai cahaya abstrak, (2) mempunyai gerak ganda, ‘mencintai’ (yuhibbuh) serta ‘melihat’ (yusyâhiduh) yang diatasnya, dan mengendalikan (yaqharu) serta menyinari (asyraqah) apa yang ada dibawahnya. (3) mempunyai atau mengambil ‘sandaran’ dimana sandaran ini mengimplikasikan sesuatu, seperti ‘zat’ yang disebut barzah, dan mempunyai ‘kondisi’ (hay’ah); zat dan kondisi ini sama-sama berperan sebagai ‘wadah’ bagi cahaya. (4) mempunyai sesuatu semisal ‘kualitas’ atau sifat, yakni ‘kaya’ (ghâni) dalam hubungannya dengan cahaya dibawahnya dan ‘miskin’ (fâkir) dalam kaitannya dengan cahaya diatas. Ketika cahaya pertama melihat Nûr al-Anwâr dengan dilandasi cinta dan kesamaan, ia memperoleh cahaya abstrak yang lain. Sebaliknya, ketika cahaya pertama melihat kemiskinannya, ia memperoleh ‘zat’ dan ‘kondisi’nya sendiri. Proses ini terus berlanjut, sehingga menjadi bola dan dunia dasar (elemental world).
Kedua, proses ganda illuminasi dan visi (penglihatan). Ketika cahaya pertama muncul, ia mempunyai visi langsung pada Nûr al-Anwâr tanpa durasi dan pada ‘momen’ tersendiri Nûr al-Anwâr menyinarinya sehingga ‘menyalakan’ cahaya kedua dan zat serta kondisi yang dihubungan dengan cahaya pertama. Cahaya kedua ini,pada prosesnya, menerima tiga cahaya, dari Nûr al-Anwâr secara langsung, dari cahaya pertama dan dari Nûr al-Anwâr yang tembus lewat cahaya pertama.

D.      Metode Mendapatkan Pengetahuan.
Pengetahuan isyraqi, karena objeknya bersifat immanen dan berupa kesadaran, maka cara perolehannya, menurut Suhrawardi, harus melalui tahapan-tahapan tertentu. Pertama, tahap persiapan untuk menerima pengetahuan iluminatif. Tahap ini diawali dengan aktivitas-aktivitas seperti mengasingkan diri selama paling tidak 40 hari, berhenti makan daging, berkonsentrasi untuk menertima nur Ilahi dan seterusnya, yang hampir sama dengan laku asketik dan sufistik, kecuali bahwa disini tidak ada konsep ahwâl (keadaan-keadaan) dan maqâmât (station-station) seperti dalam sufi. Melalui aktivitas-aktivitas seperti ini, dengan kekuatan intuitif dalam dirinya yang oleh Suhrawardi disebut sebagai bagian dari ‘cahaya Tuhan’ (al-bâriq al-ilâhi), seseorang akan dapat menerima realitas keberadaannya dan mengakui kebenaran intuisinya melalui ilham dan penyingkapan diri (musyâhadah wa mukâsyafah). Dengan demikian, dalam tahap ini terdiri atas tiga hal; (1) suatu aktivitas tertentu, (2) suatu kondisi dimana seseorang menyadari kemampuan intuisinya sendiri sampai mendapatkan kilatan ketuhanan, (3) ilham.
Kedua, tahap penerimaan, dimana Cahaya Tuhan memasuki diri manusia. Cahaya ini mengambil bentuk sebagai serangkaian ‘cahaya penyingkap’ (al-anwâr al-sânihah), dimana dengan lewat ‘cahaya-cahaya penyingkap’ tersebut, pengetahuan yang berperan sebagai pengetahuan yang sebenarnya (al-ulûm al-haqîqah) dapat diperoleh.
Ketiga, tahap pembangunan pengetahuan yang valid (al-ilm al-shâhih) dengan menggunakan analisi diskursif. Disini pengalaman diuji dan dibuktikan dengan sistem berfikir yang digariskan dalam Posterior Analytics Aristotelss. Sedemikian, sehingga dari situ bisa dibentuk suatu sistem dimana pengalaman tersebut dapat didudukan dan diuji validitasnya, meskipun pengalamannya itu sendiri sudah berakhir. Hal yang sama juga diterapkan pada data-data yang didapat dari penangkapan inderawi, jika berkaitan dengan pengetahuan illuminatif.
Keempat, tahap pelukisan atau dokumentasi dalam bentuk tulisan atas pengetahuan atau struktur yang dibangun dari tahap-tahap sebelumnya, dan inilah yang bisa diakses oleh orang lain. Namun, bagi pengikut jalan illuminatif, ia harus melalui dua tahap pertama lewat pengalaman langsung, sebelum mendiskusikan dan menjelaskan fenomena-fenomena yang diselidiki dan digambarkan.
Dengan demikian, perolehan pengetahuan dalam isyraqi tidak hanya mengandalkan kekuatan intuitif melainkan juga kekuatan rasio. Ia menggabungkan keduanya, metode intuitif dan diskursif, dimana cara intuitif digunakan untuk meraih segala sesuatu yang tidak tergapai oleh kekuatan rasio, sehingga hasilnya merupakan pengetahuan yang tertinggi dan terpercaya.
Berdasarkan perbedaan metode yang menghasilkan tingkat validitas keilmuan ini, Suhrawardi membagi para pencari ilmu dalam empat tingkatan. (1) Para pencari ilmu yang mulai merasakan kehausan ma`rifat, yang pada putaran beriutnya memajukan diri untuk membahas filsafat. (2) Para pencari yang telah memperoleh ilmu secara formal dan telah sempurna mempelajari filsafat pembuktian (burhani) tetapi masih asing dari pengetahuan yang sesungguhnya. Dalam pandangan Suhrawardi, al-Farabi dan Ibn Sina termasuk tingkatan ini. (3) Para pencari yang belum merasa puas dengan bentuk-bentuk ma`rifat secara mutlak tetapi telah membersihkan diri mereka sehingga mencapai derajat perkiraan akal dan illuminasi batin, seperti al-Hallaj, Yazid Bustami dan Tustari. (4) Para pencari yang telah menamatkan filsafat pembuktian sebagaimana mereka mengetahui tahapan illuminasi atau pengetahuan. Pada tahap-tahap ini, individu meningkat pada apa yang dinamakan ‘Ahli Hikmah Ketuhanan’ seperti pada Pyithagoras dan Plato. Suhrawardi sendiri masuk dalam tingkatan ini


[2] Drs. H. A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), hal 248
[3] Dr. Hasyimsyah Nasution, MA., Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), Cet ke-4, hal 145
[4] Zoroastrianisme adalah agama orang Iran-kuno yang bersifat dualistik, berkembang pada abad ke-7 SM. Penciptanya diduga nabi mistik Zarathustra (Zoroaster). Ajaran utamanya adalah tentang pergumulan yang terus menerus antara unsur yang berlawanan di dunia, yakni kebaikan (cahaya) dan kejahatan (kegelapan). Lihat Loran Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta, Gramedia, 1996), h, 1188.


Post a Comment

 
Top