II Chapter
A.
Life and Works
Suhrawardi al-Maqtul (Pendiri Aliran Illuminasioni) Syaikh Syihabuddin Abul Futuh Yahya
Suhrawardi yang lebih dikenal sebagai Syaikh Isyraq, Syihab al-Maqtul, Syaikh
al-Maqtul, founding father Filsafat Isyraq dan merupakan salah seorang filosof
besar Islam pada abad ke 6 M. Ia lahir pada tahun 549 H/1154 M di kota
Suhraward bagian barat laut Iran. Setelah menyelesaikan studi ilmu filsafat dan
ushul fiqih di Maragah, dari Majduddin Jili yang juga merupakan guru
Fakhrurazi, dan di Isfahan, ia melewati hidupnya beberapa tahun di barat daya
Anatolia. Setelah itu ia pindah ke Halab (Aleppo, Suriah) tahun 579 H/1183 M.
Di tempat ini ia mengajar dan menjadi teman gubernur, al-Malik al-Zahir
al-Ghazi (putra Salahuddin Al-Ayyubi).
Sebagian orang memandang
Suhrawardi sebagai seorang ulama yang memiliki karamah dan keutamaan. Dan
sebagian lain mengklaimnya sebagai kafir dan musyrik. Dikatakan bahwa alasan
utama kesyahidan dia adalah karena dialognya tentang “akhir kenabian”. Dan
boleh jadi juga lantaran alasan politis. Para peneliti kontemporer berkeyakinan
bahwa “wilayah” sebagai pokok akidah Suhrawardi dan menurut dia walaupun
kenabian telah berakhir, namun “wilâyah (kepemimpinan hakiki pasca Nabi)”, yang
sebagaimana diyakini oleh kaum Syiah, terus dan tetap berlanjut.[1]
Dikabarkan konon
pengetahuan filsafat Suhrawardi begitu mendalam. Bahkan kitab Thabaqat
al-Athibba menyebutkan Suhrawardi sebagai salah seorang tokoh zamannya
hikmah. Ia begitu mengusaai ilmu-ilmu filsafat, begitu memahami ushul fiqh,
begitu cerdas pikirannya dan begitu fasih ungkapan-ungkapannya.[2]
Namun, kepiawaian
Suhrawardi mengluarkan pernyataan doktrin esoteris yang tandas dan kritik yang
tajam terhadap ahli-ahli fikih menimbulkan reaksi keras yang dimotori oleh Abu
Bakarat al-Baghdadi yang anti-aristotelian. Akhirnya pada tahun 587H / 1191M
atas desakan fuqaha kepada pangeran Malik al-Zahir Syah anak sultan Salahuddin
al-Ayyubi al-Kurdi yang sangat membutuhkan kaum fuqaha uyntuk menghadapi
tentara salib, suhrawardi diserat ke penjara, menghantarkannya kematiannya di
usia 38 tahun.[3]
A.
Karya-karya Suhrawardi
Karya-karya Suhrawardi dapat dibagi menjadi
beberapa kategori. Kategori pertama, merupakan karya utama filsafatnya yang
ditulis dalam bahasa Arab, misalnya al-Talwihat, al-muqawamat, Kitab al-Masyari'
wa-'l-Mutarahat dan Hikmat al-Ishraq. Karya-karya yang menjelaskan pergerakan
dari hikmah bathiyyah menuju hikmah dzauqiyyah, dari yang sifatnya diskursif
menuju yang lebih intuitif. Kategori kedua, adalah karya-karya yang memuat
kisah-kisah simbolik yang kebanyakan ditulis dalam bahasa Persia seperti
Risalah 'Aql-e Surkh, Âwaz-e Pur Jibril, Ruzi Ba Jamaat-e Sufiyân. Kategori
ketiga adalah karya-karya yang ditulis dalam risalah pendek Arab, seperti
Hayakil al-Nur. Dan yang lainnya dalam bahasa Persia yang menjelaskan filsafat
iluminasionis dalam bentuk yang lebih sederhana dan beberapa ulasan dan
terjemahan.
B.
Filsafat
Iluminasi Sebuah Pengertian
Kata isyraq mempunyai
banyak arti, antara lain, terbit dan bersinar, berseri-seri, terang karena disinari,
dan menerangi. Tegasnya, isyraqi berkaitan dengan kebenderangan atau cahaya
yang umumnya digunakan sebagai lambang kekuatan, kebahagiaan, ketenangan dan
hal lain yang membahagiakan. Lawannya adalah kegelapan yang dijadikan lambang
keburukan, kesusahan, kerendahan dan semua yang membuat manusia menderita. Illuminiation,
dalam bahasa Inggris, yang dijadikan padanan kata isyrâq juga berarti ini,
cahaya atau penerangan.
Dalam bahasa filsafat,
illuminationisme berarti sumber kontemplasi atau perubahan bentuk dari
kehidupan emosional untuk mencapai tindakan dan harmoni. Bagi kaum
isyraqi, apa yang disebut hikmah bukan sekedar teori yang diyakini melainkan
perpindahan ruhani secara praktis dari alam kegelapan yang didalamnya
pengetahuan dan kebahagiaan merupakan sesuatu yang mustahil, kepada cahaya yang
bersifat akali yang didalamnya pengetahuan dan kebahagiaan dicapai
bersama-sama.
Lebih jauh, cahaya adalah
simbol utama dari filsafat isyrâqi. Simbolisme cahay digunakan untuk menetapkan
satu faktor yang menentukan wujud, bentuk dan materi, hal-hal masuk akal yang
primer dan sekunder, intelek, jiwa, zat (ipseity) individual dan
tingkat-tingkat intensitas pengalaman mistik. Jelasnya, penggunaan
simbol-simbol cahaya merupakan karakter dari bangunan filsafat isyrâqi.
Selanjutnya, tentang
sumber-sumber pengetahuan yang membentuk pemikiran isyraqi Suhrawardi, menurut
SH. Nasr,
terdiri atas lima aliran. Pertama, pemikiran-pemikiran sufisme, khususnya
karya-karya al-Hallaj (858-913 M) dan al-Ghazali (1058-1111 M). Salah satu
karya al-Ghazali, Misykat al-Anwâr, yang menjelaskan adanya hubungan antara nûr
(cahaya) dengan iman, mempunyai pengaruh langsung pada pemikiran illuminasi
Suhrawardi.
Kedua, pemikiran filsafat
paripatetik Islam, khususnya filsafat Ibn Sina. Meski Suhrawardi mengkritik
sebagianya tetapi ia memandangnya sebagai azas penting dalam memahami keyakinan-keyakinan
isyraqi.
Ketiga, pemikiran filsafat
sebelum Islam, yakni aliran Pyithagoras (580-500 SM), Platonisme dan Hermenisme
sebagaimana yang tumbuh di Alexanderia, kemudian dipelihara dan disebarkan di
Timur Dekat oleh kaum Syabiah Harran, yang memandang kumpulan aliran Hermes
sebagai kitab samawi mereka.
Keempat,
pemikiran-pemikiran (hikmah) Iran-Kuno. Disini Suhrawardi mencoba membangkitkan
keyakinan-keyakinanya secara baru dan memandang para pemikir Iran-kuno sebagai
pewaris langsung hikmah yang turun sebelum datangnya bencana taufan yang menimpa
kaum nabi Idris (Hermes).
Kelima, bersandar pada
ajaran Zoroaster dalam menggunakan lambang-lambang cahaya dan
kegelapan, khususnya dalam ilmu malaikat, yang kemudian ditambah dengan
istilah-istilahnya sendiri. Namun demikian, secara tegas Suhrawardi menyatakan bahwa dirinya
bukan penganut dualisme. Sebaliknya, ia mengklaim dirinya sebagai anggota
jamaah hukama Iran, pemilik keyakinan-keyakinan ‘kebatinan’ yang berdasarkan
prinsip kesatuan ketuhanan dan pemilik sunnah yang tersembunyi di lubuk
masyarakat Zoroaster.
Dengan demikian, pemikiran
isyraqi Suhrawardi bersandar pada sumber-sumber yang beragam dan berbeda-beda,
tidak hanya Islam tetapi juga non-Islam, meski secara garis besar bisa dikelompokkan
dalam dua bagian: pemikiran filsafat dan sufisme. Namun, yang mesti menjadi
perhatian, hal itu bukan berarti Suhrawardi melakukan pembersihan terhadap
pemikiran-pemikiran sebelumnya. Ia justru mengkliam dirinya sebagai pemadu
(pemersatu) antara apa yang disebut hikmah ladûniyah (genius) dan hikmah
al-atiqah (antik). Menurutnya, hikmah yang total dan universal adalah hikmah
(pemikiran) yang jelas tampak dalam berbagai ragam orang Hindu kuno, Persia
kuno, Babilonia, Mesir dan Yunani sampai masa Aristoteles.
Lebih jauh, Suhrawardi
bahkan mengklaim dirinya sebagai pusat pertemuan dua cabang hikmah dunia.
Menurutnya, juga menurut kebanyakan penulis abad pertengahan, hikmah diturunkan
Tuhan kepada manusia melalui nabi Idris (Hermes), sehingga ia dipandang sebagai
pendiri filsafat dan ilmu-ilmu (wâlid al-hukamâ’). Dari Hermes ini hikmah
(filsafat) kemudian terbagi pada dua cabang: satunya di Persia dan satunya di
Mesir yang dari Mesir ini kemudian melebar ke Yunani. Selanjutnya, melalui dua
cabang ini, khususnya Persia dan Yunani bertemu kembali membentuk peradaban
Islam.
filsafat iluminisme atau
isyraqiyyah ini adalah bagian dari pengetahuan khudluri. Ilmu khudluri adalah
ilmu yang didapatkan secara langsung oleh seseorang melalui pengalaman
kehidupannya. Dalam pengetahuan dan kesadaran ini, pengetahuan dan subyek serta
obyek sama sekali tidak dapat dipilah-pilah. Karena prinsip dasar illuminisme
adalah bahwa mengetahui sesuatu berarti memperoleh pengalaman tentangnya,
serupa dengan intuisi primer terhadap determinan-determinan sesuatu. Apa yang
ingin dijelaskan oleh Suhrawardi dalam filsafatnya adalah pengalaman pribadinya
sendiri, yaitu pengalaman sehari-hari yang sampai pada titik tertentu ia bisa
mencapai realitas puncak tertinggi (ultimate reality).
Dengan demikian,
metodologi untuk mendapatkan pengetahuan ini bukanlah melalui cerapan indera,
tetapi melalui pelatihan spiritual atau riyadlah. Karena pengetahuan semacam
ini, saran yang dibutuhkan adalah kebersihan dan kesucian hati. Bagi seseorang
yang mencapai kebersihan hati, maka secara langsung ia akan mendapatkan
pengalaman tentang realitas hakiki (ultimate reality). Dalam perolehanya jiwa
atau hati mengalami keterbukaan (mukasyafah) sehingga ia akan terlimpahi oleh
pancaran cahaya dari sumber cahaya itu sendiri. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Suhrawardi sendiri bahwa prinsip filsafat Isyraqiyyah adalah mendapat kebenaran
lewat pengalaman intuitif, kemudian mengelaborasi dan memverivikasinya secara
logis rasional.
Kemudian bagaimana
gambaran atau bentuk dari penegtahuan iluminasi yang masuk kategori klhudluri
ini? Secara umum sebenarnya hampir sama dengan filsafat emanasi. Di situ
terdapat tangga-tangga wujud (existence) mulai dari wujud satu hingga sebelas.
Jadi secara formal bentuknya sama dengan filsafat emanasi dalam parepatatisme
yang mendahuluinya, dalam isyraqiyyah wujud mempunyai hirarki-hirarki, dari
yang paling atas sampai terbawah. Hanya saja kalau dalam filsafat emanasi
setiap tingkat diidentikkan dengan intelek, maka dalam filsafat Isyraqiyyah
tingkatan-tingkatan tersebut diidentikkan dengan nur (cahaya).
Jadi seperti yang dijelaskan
dalam filsafat paripatetik bahwa yang namanya wujud itu bukan satu tingkat
tetapi bertingkat-tingkat. Wujud ini diistilahkan dengan akal. Maka dalam
paripatetik selalu populer dengan istilah akal satu, akal dua, akal tiga dan
sebagainya. Ini merupakan penggambaran hirarki aktualisasi wujud tersebut.
Semakin jauh tingkat wujud tersebut dari wujud utama, maka wujud tersebut
kualitasnya semakin rendah dan begitu sebaliknya, semakin tinggi tingkatan
wujud tersebut hingga mendekati aqal pertama maka kualitas wujud tersebut
semakin suci dan luhur.
Begitu juga dengan
iluminasi. Wujud di sini secara material diidentikan bukan dengan cahaya
melainkan dengan cahaya. Sehingga ada cahaya utama yang merupakan cahaya maha
cahaya, dari cahaya utama ini merupakan mewujudkan cahaya pertama, cahaya
pertama mewujudkan cahaya ke dua, dari cahaya ke dua mewujudkan cahaya ke tiga
dan seterusnya hingga sampailah cahaya yang terendah yakni tingkatan cahaya yang
dekat dengan alam materi.
Sekarang pertanyaannya
adalah mengapa cahaya begitu penting dalam filsafat iluminismenya Suhrawardi?
Kenapa bukan aqal yang menjadi sarana atau materi utama dalam mengartikulasikan
filsafatnya? Karena ia lebih suka menggunakan keraifan lokal (local wisdom)
dari nenek moyangnya yaitu budaya zoroasterisme.[4] Jadi
pada prinsipnya secara material, filsafat Suhrawardi ini bukan an sich dari
Yunani maupun dari wahyu Islam, tetapi yang terutama dalah dikonstruk dari
budaya lokal, yakni budaya ketimuran. Hikmatul Isyraqiyyah yang berarti
kebijakan Timur adalah pengalaman ilahiyah yang sudah ada sebelum Suhrawardi
lahir yang dibawa para wali-wali dan orang suci (Ancient Person). Ini merupakan
wujud obsesinya untuk mengkritik keras filsafatnya Ibnu Sina yang sebelumnya
dikatakan sebagai filsafat Timur seperti disinggung di atas.
Jadi, melalui term
Hikmatul Isyraqiyyah ini Suharawardi hendak mengatakan bahwa filafat iluminisme
ini adalah filsafat yang khas sebagai representasi absah dari peradaban Timur,
karena secara sosio-cultural, ia diramu dari tradisi-tradisi klasik Timur yang
dikenal dengan tradisi zoroasterian. Namun seperti yang dikatakan di atas,
meskipun ini merupakan jenis pengalaman spiritual, namun ketika sudah
didapatkan bukan berarti ia menjadi realitas yang tak terbahasakan. Tetapi bagi
Suhrawardi pengalaman itu justru harus dikonfirmasikan, didiskursuskan secara
logis.
Menurutnya ada beberapa
metode yang harus ditempuh oleh seseorang untuk mendapatkan pengetahuan model
iluminasi ini. Tahap pertama, seseorang harus membersihkan diri dari kecenderungn
diri, dari kecenderungn duniawi untuk menerima pengetahuan duniawi. Kedua,
setelah menempuh tahap pertama, sang filsof memasuki tahap iluminasi yang di
dalamnya ia mendapatkan penglihatan akan sinar ketuhanan (An-nur Ilahiyah)
serta mendapatkana apa yang disebut dengan cahaya ilham (Al-Anwarus Sanihah).
Ketiga, tahap pembangunan pengetahuan yang utuh, di dasarkan atas logika
diskursif. Keempat adalah tahap pengungkapan dan penulisannya.
C.
Gradasi
Essensi.
Salah satu ajaran pokok
isyrâqiyah adalah gradasi essensi. Ajaran penting yang lain, yang berkaitan
dengan gradasi essensi, adalah teori kognisi yang menekankan adanya kesadaran
diri untuk meraih persamaan dan kesatuan antara pikiran dengan realitas. Teori
ini berkaitan dengan konsepnya tentang pengetahuan. Dari dua teori itu lahir
teori ketiga, alam mitsâl, dimana struktur ontologis dari realitas spiritual
atau ‘alam atas’ dianggap mempunyai kemiripan atau mengambil bentuk-bentuk
gambar konkrit dari alam materi atau ‘alam bawah’.
Bagi Suhrawardi, apa yang
disebut eksistensi hanya ada dalam pikiran, gagasan umum dan konsep sekunder
yang tidak terdapat dalam realitas, sedang yang benar-benar ada atau realitas
yang sesungguhnya hanyalah essensi-essensi yang tidak lain merupakan
bentuk-bentuk cahaya. Cahaya-cahaya ini adalah sesuatu yang
nyata dengan dirinya sendiri karena ketiadaannya berarti kegelapan dan tidak
dikenali. Sebab itu, ia tidak membutuhkan definisi, bahkan tidak ada yang lebih
tidak membutuhkan definisi kecuali cahaya. Sebagai realitas segala sesuatu, ia
menembus setiap susunan entitas, fisik maupun non-fisik sebagai komponen
essensial dari cahaya.
Namun demikian, menurut
Suhrawardi, masing-masing cahaya tersebut berbeda tingkat intensitas
penampakannya, tergantung pada tingkat kedekatannya dengan Cahaya Segala Cahaya
(Nûr al-Anwâr) yang merupakan sumber segala cahaya. Semakin dekat dengan Nûr
al-Anwâr yang merupakan cahaya yang paling sempurna, berarti semakin
sempurnalah cahaya tersebut, begitu pula sebaliknya. Begitu pula yang terjadi
pada wujud-wujud, karena tingkatan-tingkatan cahaya ini berkaitan dengan
tingkat kesempurnaan wujud.
Dengan demikian, realitas
ini tersusun atas gradasi essensi yang tidak lain merupakan bentuk-bentuk
cahaya, mulai dari yang paling lemah sampai yang paling kuat. Persoalannya, bagaimana realitas cahaya
yang beragam tingkat intensitas penampakannya tersebut ‘keluar’ dari ‘Cahaya
Segala Cahaya’ yang Esa dan kuat kebenderangannya?
Menurut Husein Ziai,
proses itu pada dasarnya tidak berbeda dengan teori emanasi pada umumnya, (1)
gerak menurun dari yang ‘lebih tinggi’ ke yang ‘lebih rendah’, yakni
emanasi-diri Cahaya Segala Cahaya, (2) peniadaan penciptaan, yakni semesta
tidak diciptakan dari tiada apakah dalam massa tertentu atau tidak sekaligus,
tidak ada ‘pembuat’ dan tidak ada ‘kehendak’ Tuhan. (3) keabadian semesta, (4)
hubungan abadi antara wujud yang lebih tinggi dengan wujud yang lebih rendah.
Namun, gagasan emanasi
Suhrawardi disini tidak hanya mengikuti teori yang dikembangkan kaum
Neoplatonis, tetapi mengkombinasikan dua proses sekaligus, dan inilah yang
membuatnya menjadi khas pemikiran Suhrawardi. Pertama, adanya emenasi dari
masing-masing cahaya yang berada dibawah Nûr al-Anwâr. Cahaya-cahaya ini
benar-benar ada dan diperoleh (yahshûl) tetapi tidak berbeda dengan Nûr
al-Anwâr kecuali pada tingkat intensitasnya yang menjadi ukuran kesempurnaan.
Cahaya-cahaya itu bercirikan, (1) ada sebagai cahaya abstrak, (2) mempunyai
gerak ganda, ‘mencintai’ (yuhibbuh) serta ‘melihat’ (yusyâhiduh) yang
diatasnya, dan mengendalikan (yaqharu) serta menyinari (asyraqah) apa yang ada
dibawahnya. (3) mempunyai atau mengambil ‘sandaran’ dimana sandaran ini
mengimplikasikan sesuatu, seperti ‘zat’ yang disebut barzah, dan mempunyai
‘kondisi’ (hay’ah); zat dan kondisi ini sama-sama berperan sebagai ‘wadah’ bagi
cahaya. (4) mempunyai sesuatu semisal ‘kualitas’ atau sifat, yakni ‘kaya’
(ghâni) dalam hubungannya dengan cahaya dibawahnya dan ‘miskin’ (fâkir) dalam
kaitannya dengan cahaya diatas. Ketika cahaya pertama melihat Nûr al-Anwâr
dengan dilandasi cinta dan kesamaan, ia memperoleh cahaya abstrak yang lain.
Sebaliknya, ketika cahaya pertama melihat kemiskinannya, ia memperoleh ‘zat’
dan ‘kondisi’nya sendiri. Proses ini terus berlanjut, sehingga menjadi bola dan
dunia dasar (elemental world).
Kedua, proses ganda
illuminasi dan visi (penglihatan). Ketika cahaya pertama muncul, ia mempunyai
visi langsung pada Nûr al-Anwâr tanpa durasi dan pada ‘momen’ tersendiri Nûr
al-Anwâr menyinarinya sehingga ‘menyalakan’ cahaya kedua dan zat serta kondisi
yang dihubungan dengan cahaya pertama. Cahaya kedua ini,pada prosesnya,
menerima tiga cahaya, dari Nûr al-Anwâr secara langsung, dari cahaya pertama
dan dari Nûr al-Anwâr yang tembus lewat cahaya pertama.
D.
Metode
Mendapatkan Pengetahuan.
Pengetahuan isyraqi,
karena objeknya bersifat immanen dan berupa kesadaran, maka cara perolehannya,
menurut Suhrawardi, harus melalui tahapan-tahapan tertentu. Pertama, tahap
persiapan untuk menerima pengetahuan iluminatif. Tahap ini diawali dengan
aktivitas-aktivitas seperti mengasingkan diri selama paling tidak 40 hari,
berhenti makan daging, berkonsentrasi untuk menertima nur Ilahi dan seterusnya,
yang hampir sama dengan laku asketik dan sufistik, kecuali bahwa disini tidak
ada konsep ahwâl (keadaan-keadaan) dan maqâmât (station-station) seperti dalam
sufi. Melalui aktivitas-aktivitas seperti ini, dengan kekuatan intuitif dalam
dirinya yang oleh Suhrawardi disebut sebagai bagian dari ‘cahaya Tuhan’
(al-bâriq al-ilâhi), seseorang akan dapat menerima realitas keberadaannya dan
mengakui kebenaran intuisinya melalui ilham dan penyingkapan diri (musyâhadah
wa mukâsyafah). Dengan demikian, dalam tahap ini terdiri atas tiga hal; (1)
suatu aktivitas tertentu, (2) suatu kondisi dimana seseorang menyadari
kemampuan intuisinya sendiri sampai mendapatkan kilatan ketuhanan, (3) ilham.
Kedua, tahap penerimaan,
dimana Cahaya Tuhan memasuki diri manusia. Cahaya ini mengambil bentuk sebagai
serangkaian ‘cahaya penyingkap’ (al-anwâr al-sânihah), dimana dengan lewat
‘cahaya-cahaya penyingkap’ tersebut, pengetahuan yang berperan sebagai
pengetahuan yang sebenarnya (al-ulûm al-haqîqah) dapat diperoleh.
Ketiga, tahap pembangunan
pengetahuan yang valid (al-ilm al-shâhih) dengan menggunakan analisi diskursif.
Disini pengalaman diuji dan dibuktikan dengan sistem berfikir yang digariskan
dalam Posterior Analytics Aristotelss. Sedemikian, sehingga dari situ bisa
dibentuk suatu sistem dimana pengalaman tersebut dapat didudukan dan diuji
validitasnya, meskipun pengalamannya itu sendiri sudah berakhir. Hal yang sama
juga diterapkan pada data-data yang didapat dari penangkapan inderawi, jika
berkaitan dengan pengetahuan illuminatif.
Keempat, tahap pelukisan
atau dokumentasi dalam bentuk tulisan atas pengetahuan atau struktur yang
dibangun dari tahap-tahap sebelumnya, dan inilah yang bisa diakses oleh orang
lain. Namun, bagi pengikut jalan illuminatif, ia harus melalui dua tahap
pertama lewat pengalaman langsung, sebelum mendiskusikan dan menjelaskan
fenomena-fenomena yang diselidiki dan digambarkan.
Dengan demikian, perolehan pengetahuan dalam isyraqi tidak hanya mengandalkan kekuatan intuitif melainkan juga kekuatan rasio. Ia menggabungkan keduanya, metode intuitif dan diskursif, dimana cara intuitif digunakan untuk meraih segala sesuatu yang tidak tergapai oleh kekuatan rasio, sehingga hasilnya merupakan pengetahuan yang tertinggi dan terpercaya.
Dengan demikian, perolehan pengetahuan dalam isyraqi tidak hanya mengandalkan kekuatan intuitif melainkan juga kekuatan rasio. Ia menggabungkan keduanya, metode intuitif dan diskursif, dimana cara intuitif digunakan untuk meraih segala sesuatu yang tidak tergapai oleh kekuatan rasio, sehingga hasilnya merupakan pengetahuan yang tertinggi dan terpercaya.
Berdasarkan perbedaan
metode yang menghasilkan tingkat validitas keilmuan ini, Suhrawardi membagi
para pencari ilmu dalam empat tingkatan. (1) Para pencari ilmu yang mulai
merasakan kehausan ma`rifat, yang pada putaran beriutnya memajukan diri untuk
membahas filsafat. (2) Para pencari yang telah memperoleh ilmu secara formal
dan telah sempurna mempelajari filsafat pembuktian (burhani) tetapi masih asing
dari pengetahuan yang sesungguhnya. Dalam pandangan Suhrawardi, al-Farabi dan
Ibn Sina termasuk tingkatan ini. (3) Para pencari yang belum merasa puas dengan
bentuk-bentuk ma`rifat secara mutlak tetapi telah membersihkan diri mereka
sehingga mencapai derajat perkiraan akal dan illuminasi batin, seperti
al-Hallaj, Yazid Bustami dan Tustari. (4) Para pencari yang telah menamatkan
filsafat pembuktian sebagaimana mereka mengetahui tahapan illuminasi atau
pengetahuan. Pada tahap-tahap ini, individu meningkat pada apa yang dinamakan
‘Ahli Hikmah Ketuhanan’ seperti pada Pyithagoras dan Plato. Suhrawardi sendiri
masuk dalam tingkatan ini
[3] Dr. Hasyimsyah Nasution, MA., Filsafat Islam,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), Cet ke-4, hal 145
[4] Zoroastrianisme
adalah agama orang Iran-kuno yang bersifat dualistik, berkembang pada abad ke-7
SM. Penciptanya diduga nabi mistik Zarathustra (Zoroaster). Ajaran utamanya
adalah tentang pergumulan yang terus menerus antara unsur yang berlawanan di
dunia, yakni kebaikan (cahaya) dan kejahatan (kegelapan). Lihat Loran Bagus,
Kamus Filsafat, (Jakarta, Gramedia, 1996), h, 1188.
Post a Comment