Dalam perspektif historis,
setelah Ibn Rusyd (1126-1198 M) tidak berhasil mempertahankan logika dan
filsafat Aristotelian dari serangan al-Ghazali (1058-1111 M), usaha Suhrawardi
yang mengkompromikan berbagai aliran pemikiran, khususnya nalar diskursif
dengan intuitif intelektual, ternyata memberikan arah baru bagi perkembangan
filsafat Islam. Kenyataannya, metode penggabungan antara filsafat dengan
tasawuf ini lebih dominan dan diikuti para pemikir Islam sesudahnya, antara
lain, seperti yang ditunjukkan Ibn Arabi (1165-1240 M) dan Mulla Sadra (1573-1641
M). Disisi lain, penggabungan dua nalar tersebut adalah sesuatu menarik untuk
direnungkan. Dengan filsafat, seseorang bisa berfikir sejauh dan seluas
mungkin, tetapi dengan adanya agama dan spiritualitas, ia tetap terkendali dan
berada dalam batas-batas yang ditentukan. Artinya, dengan penggabungan
tersebut, pada saat ini, pengetahuan dan teknologi mestinya bukan menjadi
tujuan hidup melainkan hanya sebagai sarana agar manusia sadar akan tanggung
jawabnya sebagai khalifah di bumi.
Pemikirannya tentang
illuminasi dimana prosesnya terus berjalan tanpa henti, memberikan pemahaman
bahwa realitas yang ada sangat luas, terbentang tanpa batas. Satu-satunya yang
membatasi hanyalah kegelapan, suatu ‘wilayah’ yang tidak atau belum terjangkau
oleh cahaya. Ini adalah gagasan yang berani dan memberi tantangan baru bagi
pemikiran manusia, dibanding konsep emanasi al-Farabi yang berhenti pada
tingkat ke-12. Disisi lain, konsepnya bahwa realitas cahaya yang merupakan
hakekat wujud adalah satu meski berbeda-beda tingkat intensitas penampakannya,
akan menggiring pada faham essensialisme. Dalam bidang teologi, konsep ini bisa
diterjemahkan dalam sebuah doktrin bahwa ‘keseluruhan wujud adalah Tuhan tetapi
Tuhan bukanlah keseluruhan wujud’, sehingga menjadi faham monistik.
Terakhir, konsep tentang
kesadaran diri. Ini adalah salah satu gagasan khas Suhrawardi, dan dengan
menempatkan ‘aku’ dalam posisi yang sangat menentukan dalam proses pengetahuan
telah memberikan pedoman baru tentang bagaimana sebuah pengetahuan dan kebenaran
yang sesungguhnya harus dicapai. Disamping itu, ini juga merupakan bibit dari
sebuah pemikiran yang kemudian dikenal sebagai eksistensialisme. Persoalannya,
dalam kaitan antara intuitif dan diskursif, bagaimana Suhrawardi harus
menjelaskan bahwa kebenaran hasil pengalaman intuitif harus diuji dengan logika
Atistotelian (pemikiran diskursif), padahal kekuatan logika dianggap tidak
mampu menggapai hakekat realitas dan kebenaran?
Bibliography
Gaarder, Joestein, Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat, Alih Bahasa, Rahmani Astuti, Bandung: Mizan, 1996, Cet. Ke-I
Hunnex, Milton D, Peta Filsafat: Pendekatan Kronologis dan
Tematis, Alih
Bahasa, Zubair, Jakarta: Teraju, 2004, Cet. Ke-I
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum Akal
dan Hati Sejak Thales sampai William James,Bandung: Bandung, 1993, Cet. Ke- 4
http://en.wikipedia.org/wiki/Category:Christian_vegetarians
http://www.researchassistance.com/paper/29078/a_ra_default/augustines_philosophy.html
Post a Comment