I Chapter

Periods of Ancient Greek Philosophy
Introduction
Satu-satunya yang kita butuhkan untuk memetik bunga mawar di taman kebijaksanaan adalah rasa ingin tahu yang kuat akan seluruh esensi penciptaan dan Sang Pencipta itu sendiri.
(diinterpretasikan dari pemikiran Jostein Gaarder)
Jostein Gaarder, di bagian awal bukunya dunia shopie mengemukakan beberapa pertanyaan mengenai tentang ketertarikan orang yunani kuno pada filsafat di antaranya; Bagaimana ikan-ikan menawan hidup dapat muncul dari dalam air ke permukaan? Bagaimana pohon-pohon tumbuh subur semakin hari semakin besar seakan-akan hendak mencakar cakrawala? Bagaimana bunga-bunga mawar berwarna cemerlang dapat muncul dari dalam tanah yang mati? Adakah kehidupan setelah kematian? Bagaimana kita dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini? Dan yang terpenting, bagaimana seharusnya kita hidup? Orang-orang Yunani kuno telah mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini selama berabad-abad. Kita tidak mengenal kebudayaan yang tidak mengaitkan diri dengan pertanyaan apakah manusia itu dan dari mana datangnya dunia.
Pencarian kebenaran yang dilakukan oleh para filosof menyerupai peristiwa penangkapan gembong teroris Nurdin M Top oleh pihak kepolisian Densus 88 baru-baru ini. Sebagian orang meyakini polisi telah berhasil membunuh gembong teroris Nurdin M Top. Namun tidak sedikit yang meragukan kemampuan polisi untuk menumpas teroris sampai ke akar-akarnya, meskipun pihak kepolisian telah berusaha maksimal.
Begitulah romantika kehidupan umat manusia- penuh dengan teka-teki dan selubung misteri yang sulit diungkap, bahkan diri kita adalah misteri itu sendiri. Hanya orang-orang yang memiliki rasa ingin tahu yang kuat- akan berhasil memetik bunga mawar di taman kebijaksanaan. Seperti yang dikemukakan Jostein Gaarder, “Bahwa asal-mula filsafat adalah rasa ingin tahu manusia. Manusia menganggap betapa menakjubkannya hidup itu sehingga pertanyaan-pertanyaan filosofis pun muncul dengan sendirinya.
 Karena beberapa filosof hidup di zaman yang berbeda- dan barangkali dalam kebudayaan yang sama sekali berbeda dengan kita- sebaliknya kita berusaha untuk mengetahui apakah proyek masing-masing filosof tersebut. Yang saya maksudkan disini adalah kita harus berusaha menangkap secara tepat apa yang ingin diketahui sang filosof. Seorang filosof mungkin ingin tahu bagaimana tanaman dan binatang muncul. Yang lain mungkin ingin tahu apakah ada satu Tuhan atau apakah manusia mempunyai jiwa yang kekal.[1]
Kisah pencarian nilai-nilai kebijaksanaan oleh para filosof- merupakan kisah sekumpulan kaum pria yang sudah tidak tertarik lagi dengan kontes ratu kecantikan sejagad- apalagi berapa harga cabe, bawang, dan tomat dipasar. Mereka lebih tertarik dan berminat mencari hakikat sesuatu yang tak terjangkau oleh kasat mata dan realitas kehidupan yang melampaui ruang dan waktu. Kemanakah para kaum hawa pada saat itu? Tidakkah mereka tertarik untuk turut berkecimpung- turut memikirkan betapa indahnya menyaksikan kehadiran embun di pagi hari- yang diiringi kicauan burung-burung? Para wanita di masa lampau direndahkan baik sebagai perempuan maupun sebagai makhluk pemikir, bahkan Aristoteles sendiri yang notabene filosof termasyur diabadnya berkata, “Perempuan itu adalah makhluk yang baru jadi setengah manusia.”[2] Yang patut disayangkan pernyataan Aristoteles ini menyebabkan banyak sekali pengalaman sangat penting yang hilang karenanya. Baru pada abad kini sajalah kaum wanita benar-benar menunjukkan peran mereka dalam sejarah filsafat.

[1] Jostein Gaarder, Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat, (Bandung: Mizan, 1996), p. 46.
[2] See, Michael H. Heart, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995),  p. 105.

Post a Comment

 
Top