Biographical Sketch of Ibn Sina’s: His Life, Works and Influence
A.
Ibn Sina’s Life
Dalam sejarah
pemikiran filsafat Abad pertengahan, sosok Ibnu Sina (370-428 H/ 980-1037),
dalam banyak hal yang unik sedang di antara para filosof Muslim dia tidak hanya
unik, tapi juga memperoleh perhargaan yang semakin tinggi hingga masa modern.
Dia adalah satu-satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun
system filsafat yang lengkap dan terperinci- suatu system yang telah
mendominasi tradisi filsafat Muslim selama beberapa abad, meskipun ada
serangan-serangan dari al-Ghazali, Fakhr al-Din al-Razi dan sebagainya.
Pengaruh ini terwujud, bukan hanya karena ia memiliki system, tetapi karena
system yang ia miliki itu menampakkan keaslian, yang menujukkan jenis jiwa yang
jenius dalam menemukan metode-metode dan alasan-alasan yang diperlukan untuk
merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme
yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam system keagamaan Islam. Istilah yang
tepat tentang perumusan kembali dan kaitannya dengan Islam segera akan kami
bahas pada bab ini; sebagai catatan di awal pembahasan ini, dapatlah
dikemukakan bahwa keaslian yang menyebabkan dirinya disebut unik tidak hanya
terjadi di dalam Islam, tetapi juga terjadi di Abad Pertengahan, karena dis ana
terjadi pula permusan kembali teologi Katolik Roma yang dilakukan oleh Albert
Yang Agung, dan terutama oleh Thomas Aquinas yang secara mendasar terpengaruh
oleh Ibnu Sina.[1]
B.
Ibn Sina’s Works
Katakteristik
paling dasar dari pemikiran Ibnu Sina adalah pencapaian defenisi dengan metode
pemisahan dan pembedaan konsep-konsep secata tegas dank eras. Hal ini
memberikan kehalusan yang luar biasa terhadap pemikiran-pemikrannya. Tatanan
itu sering memberikan kompleksitas skolastik yang kuat dan susunan yang sulit
dalam penalaran filsafatnya, sehingga mengusik temperamen modern, tetapi dapat
dipastikan, bahwa tatacara ini jugalah yang diperoleh dalam hamper seluruh
doktrin asli para filosof kita. Tata cara ini memungkinkannya untuk merumuskan
bahwa pada setiap konsep yang jelas dan berbeda, harus terdapat kesesuaian
distinction in re, suatu prinsip yang pada akhirnya Descartes juga
menggunakannya sebagai dasar bagi tesisnya tentang dualisme akal-tubuh.
Keberhasilan dan pentingnya prinsip analisis ini di dalam system Ibnu Sina,
sangat menarik perhatian; ia mengemukakan secara berulang-ulang dan pada setiap
kesempatan, dalam pembuktian-pembuktiannya tentang dualisme tubuh dan akal,
doktrin universal, teorinya tentang esensi dan eksistensi dan sebagainya.
Beberapa contoh prinsip ini adalah “bahwa apa yang disahkan dan diizinkan, dan
“suatu konsep tunggal secara keseluruhan tak dapat diketahui dan tidak
diketahui secara bersamaan, kecuali terhadap aspek-aspek yang berbeda.[2]
Doktrin
tentang Wujud
Doktrin Ibnu
Sina tentang Wujud, sebagaimana para filosof Muslim terdahulu, misalnya
al-Farabi, bersifat emanasionistis. Dari Tuhanlah, Kemaujudan Yang Mesti,
mengalir intelegensi pertama, sendirian karena hanya dari yang tunggal, yang
mutlak, sesuatu dapat mewujud. Tetapi sifat intelegensi pertama itu tidak
selamanya mutlak satu, karena ia bukan ada dengan sendirinya, ia hanya mungkin,
dan kemungkinannya itu diwujudkan oleh Tuhan. Berkat kedua sifat itu, yang sejak
saat itu melingkupi seluruh ciptaan di dunia, intelegensi pertama memunculkan
dua kemaujudan
Defenisi Jiwa
Ibnu Sina
mendefenisikan jiwa sebagaimana Aristoteles mendefenisikannya pada waktu
sebelumnya. Menurut Ibnu Sina, jiwa adalah kesempurnaan awal, karena dengannya
spesies (jins) menjadi sempurna sehingga menjadi manusia nyata. Pengertian
kesempurnaan menurut Ibnu Sina adalah sesuatu yang dengan keberadaannya tabiat
jenis menjadi manusia.[3]
Ibna Sina dan
Aristoteles berbeda pandangan dalam memahami makna kesempurnaan. Aristoteles
mendefenisikan jiwa sebagai suatu kesempurnaan awal bagi tubuh alami, maka yang
ia maksudkan adalah potret bagi fisik alami dan prinsip perbuatannya yang
dinamis. Sedangkan kesempurnaan kedua adalah sifat yang berkaitan dengan manusia
seperti pemahaman inderawi bagi manusia dan memotong bagi pedang.[4]
Dengan demikian, pengertian kesempurnaan menurut Ibnu Sina lebuh umum
dibanding pengertian kesempurnaan menurut Aristoteles. Berdasarkan pendapat
Ibnu Sina, tidak semua jiwa merupakan potret bagi badan, sebab jiwa rasional
terpisah dari badan dan wujudnya tidak selalu terpatri dalam materi badan.[5]
Maka, jiwa rasional adalah substansi akal yang ada secara terpisah dari
badan. Jiwa rasional juga merupakan substansi ruhani, karena ia menangkap
hal-hal yang rasional dan menangkap dirinya tanpa menggunakan alat. Sedangkan
indera lahir dan indera batin tidak menangkap apa pun, kecuali dengan alat.
Keduanya tidak dapat menangkap diri sendiri.[6]
Jiwa merupakan kesempurnaan awal, dalam pengertian bahwa ia adalah prinsip
pertama yang dengannya suatu spesies (jins) menjadi manusia yang bereksistensi
secara nyata. Artinya, jiwa merupakan kesempurnaan awal bagi tubuh. Sebab,
tubuh sendiri merupkana prasyarat bagi definisi jiwa, lantaran ia bisa dinamakan
jiwa jika aktual di dalam tubuh dengan satu perilaku dari berbagai perilaku.[7]
Jiwa juga kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik
atau bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanisktik atau bagi tubuh alamiah dan
bukan bagi tubuh buatan. Yang dimaksudkan Ibnu Sina dengan mekanistik adalah
bahwa fisik melaksanakan kesempurnaannya yang kedua atau sifatnya yang
berkaitan dengan manusia- yang tidak lain dari berbagai prilaku atau fungsinya-
dengan mediasi alat-alat tertentu yang ada di dalamnya,[8] yaitu
berbagai anggota tubuh yang melaksanakan berbagai fungsi psikologis.
Struktur Daya
Jiwa
Ibnu Sina
membagi daya jiwa menjadi tiga bagian. Masing-masing bagian saling mengikuti,
yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa hewan, dan jiwa rasional.
1.jiwa
Tumbuh-tumbuhan
jiwa
tumbuh-tumbuhan mencakup daya-daya yang ada pada manusia, hewan dan
tumbuh-tumbuhan memiliki tiga daya, yaitu:
a)
daya nutrisi, yaitu
daya yang mengubah makanan menjadi bentuk tubuh, dimana daya itu ada di
dalamnya. Makanan mengganti unsur yang rusak dari tubuh.
b)
Daya penumbuh,
yaitu daya menambah kesesuaian pada seluruh bagian tubuh yang diubah karena
makanan, baik dari sisi panjang, lebar maupun volume. Tujuannya agar tubuh
dapat mencapai kesempurnaan pertumbuhan.
c)
Daya generatif,
yaitu daya yang mengambil dari tubuh suatu bagian yang secara potensial sama,
sehingga terjadi proses penciptaan dan percampuran yang membuatnya sama secara
nyata.[9]
2. Jiwa Hewan
Jiwa hewan
mencakup semua daya yang ada pada manusia dan hewan, sedangkan pada tumbuh-tumbuhan
tidak ada sama sekali. Ibnu Sina mendefinisikan jiwa hewan sebagai sebuah
kesempurnaan awal bagi tubu alamiah yang bersifat mekanistik dari satu sisi,
serta menangkap berbagai parsialitas dan bergerak karena keinginan.[10] Jiwa
hewan memiliki dua kekuatan, yaitu daya penggerak dan daya persepsi.
a)
Daya penggerak
Daya penggerak terdiri dari dua bagian, yaitu penggerak karena sebagai
pemicu dan penggerak sebagai pelaku. Penggerak sebagai adalah daya hasrat,
yaitu daya yang jika terbentuk di dalam khayalan suatu bentuk diinginkan atau
yang tidak diinginkan, maka hal itu akan mendorongnya untuk menggerakkan. Daya
ini terbagi menjadi dua sub-bagian, yaitu daya syahwat dan daya emosi.
Daya syahwat adalah daya yang mendorong untuk menggerakkan menuju sesuatu
yang dianggap penting atau berguna demi mencari kenikmatan. Sedangkan daya
emosi adalah daya yang menggerakkan untuk melawan sesuatu yang dianggap
berbahaya atau merusak demi mendapatkan kemenangan.
Daya penggerak dalam kedudukannya sebagai pelaku adalah daya yang muncul di
dalam urat dan syarat untuk melaksanakan penggerakan yang sesuai demi
mewujudkan tujuan yang dinginkan.
b). Daya
persepsi terbagi menjadi dua bagian. Pertama, daya yang mempersepsi dari luar,
yaitu pancaindera eksternal semisal mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit.
Kedua, daya yang mempersepsi dari dalam, yaitu indera batin semisal indera
kolektif, daya konsepsi, daya fantasi, waham, dan memori.[11] Kita
akan membahas daya persepsi secara rinci pada pembahasan berikutnya.
3. Jiwa
Rasional
Jiwa rasional
mencakup daya-daya yang khusus pada manusia. Jiwa rasional melaksanakan fungsi
yang dinisbatkan pada akal. Ibnu Sina mendefenisikan jiwa rasional sebagai
kesempurnaan pertama bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik, dimana pada
satu sisi ia melakukan berbagai perilaku eksistensial berdasarkan ikhtiar
pikiran dan kesimpulan ide, namun pada sisi yang lain ia mempersepsi semua
persoalan universal.
Ibnu Sina
membedakan dua daya di dalam jiwa rasional sebagaimana yang dilakukan al-Farabi
sebelumnya, yaitu daya akal praktis dan daya akal ilmiah atau daya akal
teoritis. Daya akal praktis cenderung untuk mendorong manusia memuaskan
perbuatan yang pantas dilakukan atau ditinggalkan, dimana kita bisa menyebutnya
perilaku moral. Dengan perilaku moral ini semua keahlian dapat tercapai.
Sementara daya akal teoretis adalah mempersepsi potret-potret universal yang
bebas dari materi.
Ada beberapa
tingkatan akal teoretis yaitu: 1) Akal potensial atau akal hayulani, 2) Akal
bakat (habitual); 3) Akal aktual; 4) Akal perolehan. Kami akan menjelaskan
tingkatan akal ini pada pembahasan berikutnya.
Di sini, kita
dapat meringkas pembagian daya jiwa menurut Ibnu Sina dalam bagan di jiwa
al-Farabi, sebagaimana yang pernah kita bahas sebelumnya.
Dari sini
tampak jelas bahwa pembagian daya jiwa yang disusun Ibnu Sina mirip dengan
susunan yang dibuat Aristoteles sebelumnya. Mereka Cuma berbeda pada jumlah
indera batin. Aritoteles berpendapat ada tiga indera batin, yaitu indera
kolektif, fantasi, dan memori, sedangkan Ibnu Sina berpendapat ada lima indera
batin. Tampaknya, daya kondsepsi dan waham tidak ada pada susunan jiwa menurut
Aristoteles.
Pontensi Jiwa
a.
Jiwa Nabati (Tumbuhan)
Terlihat juga
bahwa pembagian daya jiwa menurut Ibnu Sina sama dengan pembagian jiwa menurut
al-Farabi, seperti yang ada di dalam Fushus al-Hikam, meskipun ada sedikit
perbedaan jumlah tingkatan aka teoritis. Al-Farabi berpendapat ada tiga
tingkatan akal teoritis, sedangkan Ibnu Sina berpendapat ada empat tingkat akal
teoritis. Hal disebabkan karena Ibnu Sina menganggap aka bakat dan akal aktual
sebagai dua tingkatan yang berbeda untuk akal teoritis, sedangkan al-Farabi
menganggap keduanya sama, yaitu tingkatan yang sama untuk akal teoritis.
Kesatuan Jiwa
Manusia
Daya-daya jiwa
ini bukanlah daya-daya yang berdiri sendiri, tetapi mereka bekerja sama dan
harmonis. Masing-masing saling melayani dan saling memimpin. Akal perolehan
adalah pimpinan bagi seluruh daya psikis. Masing-masing daya psikis saling
melayani. Lalu, akal bakat (bi al-malakah) melayani akal aktual, dan akal
material (hayulani) melayani al-malaikat) melayani akal bakat.
Akal praktis
melayani semua akal, karena hubungan biologis bertujuan untuk menyempurnakan akal teoritis, dan akal
praktis mengatur hubungan tersebut. Sedangkan waham melayani akal praktis. Dia
jua melayani dua daya, yaitu kekuatan stelahnya atau memori yang menyimpan
berbagai makna parsial yang dipersepsi waham, dan kekuatan sebelumnya atau
semua daya hewani.
Daya fantasi
dilayani oleh dua daya, yaitu daya hasrat dan daya konsepsi. Daya hasrat
melayani daya fantasi dengan menerima penyusunan dan pemisahan sketsa-sketsa
inderawi yang tersimpan di dalamnya.
Sementara itu,
daya konsepsi dilayani oleh indera kolektif dan daya dolektif dilayani oleh
pancaindera eksternal. Daya hasrat dilayani oleh syahwat dan emosi, sedangkan
syahwat dan emosi dilayani oleh daya gerak yang ada di dalam otot dan syaraf.
Kemudian, daya hewan secara keseluruhan dilayani oleh daya tumbuh-tumbuhan.
Adapaun daya yang pertama dan memimpin daya hewan adalah daya generatif; daya
pertumbuhan dilayani oleh daya generatif; dan daya nutrisi dilayani oleh semua
daya.
Daya jiwa yang
Mempersepsi
Kami telah
menyebutkan sebelumnya dengan cara yang sangat ringkas tapi padat, susunan daya
psikis menurut Ibnu Sina. Ibnu Sina pernah menelaskan daya persepsi secara
rinci yang belum pernah dilakukan para filosof Muslim lainnya yang terdahulu.
Kami akan berusaha meringkas pendapat-pendapat Ibnu Sina tentang semua daya
persepsi yang bersifat sensitif dan rasional.
Daya Inderawi
Daya inderawi
menjalankan fungsi penginderaan dan persepsi sensorik. Ibnu Sina mendefenisikan
persepsi seperti kebanyakan filosof Muslim yang terpengaruh ide-ide dari
Aristoteles. Menurut Ibnu Sina, persepsi adalah penerimaan perseptor atas
gambaran perseptual, dan ia mendefenisikan pengindaraan sebagai proses
penerimaan daya sensorik terhadap gambaran inderwi. Oleh karena itu, daya
sensorik seperti objek inderawi potensial. Hanya saja, jika daya sensorik
terpengaruh olehnya, maka ia berubah dari potensi menjadi aksi dan menjadi
mirip dengannya secara aktual.
Indera tidak
hanya sebagai alat persepsi, tetapi juga sebagai alat kehidupan. Sebagian
indera bersifat primer dan lazim dalam mempertahankan kehidupan; dan sebagian
lagi sebagai kesempurnaan yang mungkin tidak dibutuhkan hewan dalam hidupnya,
tetapi ia memerlukannya dalam memperoleh kesempurnaan.
Menurut Ibnu
Sina, ketika hikmah Ilahiah meniscayakan setiap hewan yang bergerak dengan
keinginan tersusun dari empat unsur dan merasa tidak aman dari bahaya ruang
ketika bergerak, maka ia didukung dengan daya sentuh, sehingga ia dapat
melarikan diri dari tempat yang tidak memerlukan makan, maka makanannya ia
peroleh dengan suatu keinginan. Ada makanan yang sesuai dan ada pula yang tidak
sesuai dengan dirinya, itu sebabnya ia didukung dengan perasa.
Kedua daya ini
sangat penting dan bermanfaat dalam kehidupan, sedangkan yang lain tidak
terlalu penting. Daya lain setelah daya perasa yang dapat memastikan
kebutuhannya adalah daya penciuman, sebab bau-bauan dapat menunjukkan secara
kuat pada hewan makanan yang sesuai bagi dirinya. Hewan harus mendapatkan
makanan, dan makanan tidak akan pernah ia peroleh, kecuali dengan berusaha.
Oleh karena itu, Tuhan kemudian menciptakan daya penciuman pada sebagian besar
hewan.
Daya
berikutnya setelah daya penciuman adalah penglihatan. Manfaatnya adalah bahwa
ketika hewan yang bergerak atas dasar keinginan ke berbagai tempat seperti
tempat api, puncak gunung, dan permukaan laut dapat menimbulkan bahaya bagi
dirinya, maka Tuhan menciptakan daya pandang pada sebagian besar hewan. Daya
lain yang mendukung manfaat daya pandang adalah daya mengengar. Manfaatnya
adalah bahwa segala sesuatu, baik yang berbahaya maupun yang bermanfaat dapat
dikenal melalui suaranya yang khas. Itu sebabnya, Tuhan menciptakan daya
mendengar pada sebagian besar hewan. Manfaat daya ini bagi hewan yang rasional
melampaui hewan-hewan lain. Pendapat Ibnu Sina tentang manfaat indera di atasi
mirip dengan pendapat Aristoteles.
Indera Lahir
Menurut Ibnu
Sina, sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya, penginderaan ada dua
macam, yaitu penginderaan lahir dan penginderaan batin. Penginderaan lahir
berlangsung melalui panca indera lahir yaitu:
i.
Penglihatan
Dalam beberapa
buku semisal an-Najah, Ahwal an-Nafs an-Nathiqah, dan Mabhats ‘an al-Quwa
an-Nafsaniyah, Ibnu Sina mengatakan, “Sesungguhnya mata merupakan suatu daya
yang sistematis di dalam syaraf bagian dalam yang mempersepsi gambar-gambar
yang dapat dilihat dan memiliki warna yang memantul di dalam kornea yang
terdapat di bola mata. Dalam hal ini, Ibnu Sina dipengaruhi oleh pendapat
Aristoteles.
Dari defenisi
tentang indera mata ini, dapat dipahami bahwa pusat penglihatan terdapat di
dalam kornea yang terdapat di bola mata. Dan ini bukanlah pendapat Ibnu Sina yang
sebenarnya, sebab di dalam buku as-Syifa dia mengatakan, “Sesungguhnya objek
pandangan memantul pertama kali di dalam kornea, Cuma penglihatan sebenarnya
tidak berlangsung di kornea. Pantulan dua objek gambar yang saling bertaut di
kedua kornea yang terdapat di bola mata dengan perantara spirit yang terdapat
di kedua syaraf mata sampai pada titik temu keduanya itulah yang memantulkan
satu gambar pada bagian yang mengandung daya penglihatan.
Jadi, pusat
penglihatan dalam pandangan Ibnu Sina sebagaimana yang terdapat di dalam buku
asy-Syifa adalah titik pertemuan dua syaraf mata. Pendapat ini tidak sesuai
dengan pendapat ilmu kodekteran modern yang meletakkan pusat penglihatan di
bagian belakang otak.
ii.
Pendengaran
Ibnu Sina
berpendapat bahwa indera pendengaran adalah daya yang tersusun di dalam syaraf
yang terdistribusi di permukaan gendang telinga yang ada dalam telinga. Jika
dua benda berbenturan, maka tekanan yang bersumber dari benturan keduanya
menimbulkan gelombang udara yang sampai ke udara yang terdapat bagian dalam
gendang telinga dan menggerakkannya dengan gerakan yang sama. Gerakan tersebut
lalu sampai ke syaraf yang ada di permukaan gendang telinga sehingga terjadi
proses pendengaran.
Pendapat Ibnu
Sina tentang pusat indera pendengaran tadi tidak sama dengan fakta ilmiah di
bidang ilmu kedokteran dan fisiologi modern yang menjelaskan bahwa pengaruh
gelombang udara sampai kebagian kornea yang ada di bagian ujung telinga dalam.
Kemudian terjadi perubahan kimiawi yang mempengaruhi ujung syaraf pendengaran
yang terbesar di sekitarnya, sehingga getaran syaraf berpindah melalui
syaraf-syaraf pendengaran ke otak yang kemudian menimbulkan pendengaran.
Iii Penciuman
Indera
penciuman adalah daya yang tersusun pada dua tonjolan bagian depan otak yang
mirip puting payudara yang terdapat di bagian atas lubang hidung. Indera
penciuman memperspesi bau yang bersumber dari fisik dan dibawa oleh udara yang
dihirup. Menurut Ibnu Sina, pusat penciuman adalah bagian atas lubang hidung
dan bukan di otak, sebagaimana yang menjadi ketetepan saat ini di bidang
fisiologi modern.
Dalam buku
an-Najah, Ahwal an-Nafs an-Nathiqah, dan asy-Syifa, Ibnu Sina agaknya ragu-ragu
di antara dua pendapat dalam menjelaskan proses terjadinya penciuman. Pendapat
pertama adalah bahwa penciuman terjadi akibat menyebarnya bau dari satu benda
tertentu dan bercampur dengan udara yang dihirup. Sedangkan pendapat kedua
adalah bahwa bau benda menyebar di udara atau, dengan kata lain, udara berubah
menjadi bau benda. Tetapi dalam buku Mabhats ‘an al-Quwa an-Nafsaniyah, dia
hanya menyebutkan pendapat kedua saja. Pendapat pertama yang kami tunjukkan
tadi adalah pendapat yang sama dengan pendapat para ahli di bidang fisiologi
dan psikologi.
Iv Pengecapan
Ibnu Sina
menyebutkan tentang indera pengecap dalam beberapa bukunya. Menurutnya,
pengecap adalah daya yang tersusun di sayaraf dan tersebar di ujung lidah.
Pengecap mempersepsi rasa yang masuk dari berbagai makanan yang bercampur
dengan kelembaban ludah yang ada di dalamnya, lalu mengubahnya. Ibnu Sina dalam
bukunya al-Qanun fi ath-Thib menyebutkan, “Sesungguhnya alat indera pengecap
yang ada di dalam buku ini merupakan defenisi yang sama dengan yang diajukan
oleh bidang fisiologi dan psikologi modern. Ibnu Sina dianggap orang yang
paling dekat dengan ilmu modern dalam bidang ini dibanding ilmuwan-ilmuwan kuno
lain pada umumnya.
Dalam buku
asy-Syifa, Ibnu Sina menjelaskan peran ludah pada pengecapan. Ibnu Sina
mempertanyakan, apakah ludah berperan sebagai perantara? –yaitu, melalui proses
bercampurnya ludah dengan bagian-bagian yang memiliki rasa sehingga rasa itu
sampai ke syaraf indera pengecap, lalu indera pengecap menginderanya- atau
apakah ludah berubah menjadi rasa tanpa terjadi proses percampuran? Ibnu Sina
ragu-ragu dengan dua pendapat ini. Itu sebabnya, dia menganut keduanya secara
bersama-sama.
Ibnu Sina
berkata, “Sesungguhnya ludah melakukan penyesuaian dan bercampur secara
bersamaan. Tetapi dalam buku-bukunya yang lain, seperti an-Najah, Ahwal an-Nafs
an-Nathiqah, dan Mabhats ‘an al-Quwa an-Nafsaniyah, Ibnu Sina berpendapat bahwa
pengecapan terjadi karena proses perubahan ludah menjadi rasa.
v. Perabaan
Menurut Ibnu
Sina, indera peraba merupakan daya yang terbesar di seluruh kulit badan,
daging, dan syaraf-syaraf yang tersebar di keduanya. Indera peraba menangkap
sesuatu yang dapat disentuh. Ibnu Sina berbeda pendapat dengan Aristoteles yang
berpendapat bahwa sesungguhnya alat indera peraba adalah hati, sedangkan daging
merupakan perantara perabaan sebagaimana udara yang menjadi perantara bagi penglihatan.
Dari hal itu,
terlihat kekurangan pengetahuan Ibnu Sina tentang organ-organ syaraf dan
kekurangan alat bantu dalam melakukan pengamatan, sehingga dia tidak dapat
membedakan antara kulit badan, daging dan syaraf. Ibnu Sina berkata,
“Sesungguhnya semuanya merupakan alat indera peraba.” Sementara yang popular
saat ini, alat indera peraba merupakan ujung syaraf yang tersebar di kulit
badan.
Pada saat
membicarakan tentang alat peraba, Ibnu Sina menunjukkan suatu fakta ilmiah yang
belum terungkap kecuali pada masa modern, yaitu ketika dia mengatakan, “Daya
ini bukan merupakan satu macam, tetapi empat jenis daya yang tersebar di
seluruh kulit.
Dengan
demikian, dia menunjukkan- sebagaimana Aristoteles sebelumnya- tentang
kemungkinan adanya beberapa indera peraba, dan bukan satu peraba, yang
masing-masing memiliki perabaan tertentu, yaitu panas, dingin, lembab, kering,
keras, lembut, kasar dan licin. Penelitian-penelitian di bidang fisiologi
modern menetapkan adanya beberapa alat indera di kulit yang masing-masing
berkaitan dengan penginderaan tertentu. Penginderaan kulit ini adalah tekanan,
panas, dingin, dan rasa sakit.
Ibnu Sina
berpendapat tentang adanya satu macam penginderaan yang terjadi pada
bagian-bagian dalam dari tubuh, yang sebenarnya merupakan semacam perebaan. Penginderaan ini
membuat kita merasakan berbagai penyakit yang melanda bagian-bagian tubuh yang
tidak memiliki indera, semisal jantung, hati dan limpa melalui selaput syaraf
yang melingkupinya. Penelitian-penelitian di bidang fisiologi modern
menyimpulkan adanya rabaan internal yang terjadi di bagian-bagian dalam tubuh,
sebagaimana pendapat Ibnu Sina sebelumnya.
Adaptasi
Sensorik dan Gejala Masking
Ibnu Sina
berpendapat bahwa objek indera eksternal (stimulus inderawi) yang kuat atau
berulang-ulang pada alat-alat indera luar menimbulkan pengaruh yang terus
berlangsung beberapa waktu dan sulit untuk merasakan sesuatu yang lain. Dia
berkata, “Sesungguhnya stimulus inderawi yang sulit dan berulang-ulang dapat
melemahkan indera dan mungkin merusaknya, seperti cahaya bagi mata dan petir
bagi pendengaran. Indera yang yerbiasa menangkap sesuatu yang kuat tidak mampu
menangkap sesuatu yang lemah. Orang yang terbiasa melihat cahaya yang terang
tidak tahan melihat cahaya yang lemah; dan orang yang terbiasa mendengar suara
yang kuat tidak bisa mendengar suara yang lembut. Begitu pula orang yang
terbiasa merasakan rasa yang sangat manis tidak dapat merasakan rasa yang tidak
manis.
Di dalam
ungkapan tersebut, Ibnu Sina melukiskan suatu gejala fisiologi yang menjadi
hasil penelitian bidang fisiologi dan psikologi modern, yaitu gejala masking.
Agaknya, Aristoteles juga menjelaskan tentang gejala ini.
Ibnu Sina juga
menjelaskan tentang gejala adaptasi sensorik, yaitu melemahnya penginderaan
karena ambang batas inderawi. Ibnu Sina berkata, “Sesungguhnya daya persepsi
mengalami aur karena organ-organnya tidak mampu beroperasi.
Indera
Internal
Sesungguhnya
alat-alat indera eksternal yang pernah kita bicarakan sebelumnya mempersepsi
stimulus inderawi tertentu, seperti warna, suara, rasa, bau, atau kualitas
indera rabaan. Selanjutnya stimulus inderawi ini mengalir ke indera internal,
yaitu indera kolektif di mana stimulus-stimulus inderawi ini berkumpul dalam
proses persepsi sensorik yang sempurna terhadap obyek inderawi. Jika stimulus
inderawi hilang, maka gambarnya bertahan di indera batin yang lain, yaitu daya
konsepsi yang dapat me-recall dan mengingatnya kembali.
Ada satu indera internal lain, yaitu daya fantasi yang merespon obyek-obyek
inderawi yang tersimpan di dalam daya konsepsi, sehingga menyatu satu sama lain
atau terpisah satu sama lain dalam proses fantasi, mimpi dan kreasi. Ada juga
indera internal lainnya, yaitu waham atau daya waham yang mempersepsi berbagai
makna non-inderawi dari berbagai stimulus inderawi eksternal, semisal persepsi
waham tadi tersimpan di dalam indera internal lain yang disebut memori.
Selain itu, di antara indera internal ada yang menangkap stimulus indewasi,
ada yang menangkap berbagai makna dari stimulus inderawi, ada yang menangkap
berbagai makna dari stimulus inderawi, ada yang mempersepsi dan bereaksi secara
bersamaan, dan ada yang mempersepsi tetapi tidak bereaksi. Perbedaan antara
persepsi stimulus fisik dan stimulus makna adalah bahwa stimulus fisik
dipersepsi oleh indera lahir dan batin secara bersama-sama, Cuma indera lahir
mempersepsinya terlebih dahulu baru kemudian dikirim ke indera batin. Misalnya,
kambing mempersepsi gambar serigala dengan alat indera lahirnya atau
mempersepsi bentuknya, warnanya, dan suaranya, kemudian mengirim gambar
tersebut ke indera kolektif, dimana sensorik inderawi terjadi dengan sempurna.
Sedangkan makna dipersepsi oleh indera batin dari stimulus inderawi tanpa
dipersepsi terlebih dahulu oleh indera lahir, seperti daya waham pada kambing
yang mempersepsi makna permusuhan pada serigala.
Berkaitan dengan perbedaan antara persepsi yang disertai aksi dan persepsi
tanpa disertai akis, maka yang pertama (penyebab yang disertai aksi) terlihat
jelas dari fungsi daya fantasi. Sebab, daya fantasi menggabungkan gambar-gambar
dari stimulus inderawi dan berbagai makna satu sama lain serta memisahkan satu
sama lain, sehingga dengan demikian terjadi suatu persepsi dan aksi terhadap
sesuatu yang dipersepsi. Sedangkan persepsi tanpa aksi adalah jika gambar atau
makna saja yang tergambar di dalam daya indera batin tanpa terjadi padakeduanya
aksi atau tindakan. Oleh karena itu, daya konsepsi menyimpan gambar-gambar
inderawi dan memori menyimpan makna-makna yang bersumber dari stimulus
inderawi. Keduanya tidak memiliki aksi apapun terhadap apa yang disimpannya.
Ibnu Sina
berkata, “Sesungguhnya wujud indera batin merupakan sesuatu yang penting bagi
kesempurnaan hidup dan kesempurnaan pangetahuan. Maka, pengetahuan yang
diberikan indera lahir kepada kita tidak cukup bagi daya indera dalam
memberikan kebutuhan materi yang lazim untuk melaksanakan fungsi persepsi. Hal
itu karena setiap indera mempersepsi stimulus inderawi yang tertentu saja dan
tidak dapat membedakan antara stimulusnya dengan stimulus inderawi lainnya.
Agar pengetahuan
terjadi dan tujuan tercapai, yaitu perolehan kesempurnaan, maka penting untuk
mengumpulkan berbagai stimulus inderawi pada satu daya yang dapat berhukum
atasnya dan membedakannya. Ibnu Sina memandang bahwa hal itu bukan hanya
sesuatu yang primer untuk memperoleh pengetahuan, tetapi penting juga untuk
keberlangsungan hidup. Jika hewan tidak dapat mempersepsi sesuatu sebagai
sesuatu yang manis, maka ia tidak mungkin memakannya ketika melihatnya.
Sebaliknya, jika hewan tidak tahu bahwa sesuatu itu menyakitkan, maka ia tidak
akan pernah menjauhinya ketik melihatnya. Ibnu Sina berkata, “Seandainya pada
diri hewan tidak ada sesuautu yang menjadi tempat berkumpulnya berbagai
gambaran inderawi, maka ia tidak akan bisa melewati kehidupan dan penciuman tidak
akan pernah menjadi peringatan terhadap bentuk penderitaan, sehingga ia dapat
melarikan diri darinya. Oleh karena tiu, gambaran-gambaran itu pasti memiliki
satu tempat berkumpul dari batin.
Daya itu
adalah daya koleksif, dan ia menjadi pusat segala indera. Semua stimulus
inderawi berkumpul di dalamnya. Selanjutnya, Ibnu Sina mengatakan, “Maka yang
penting bagi kesempurnaan hidup dan kesempurnaan pengetahuan adalah persepsi
semua gambaran inderawi di kedalaman stimulus inderawi itu sendiri. Sebab,
hewan tidak cukup untuk melihat sesuatu yang bermanfaat, lalu mengejarnya. Dan
penting juga ia mengkonsepsinya pada saat tidak ada stimulus agar ia berusaha
memperolehnya. Jika tidak, maka sesungguhnya hewan itu enggan untuk bergerak
pada saat tidak ada stimulus inderawi. Jadi, ada suatu daya yang menyimpan
berbagai gambaran inderawi ketika sedang tidak ada, yaitu fantasi atau
konsepsi.
Demikian pula
dengan alat indera batin lainnya, sesungguhnya semuanya melaksanakan suatu
fungsi yang penting dan primer demi kesempurnaan pengetahuan dan kesempurnaan
kehidupan.
Agaknya,
proses mengingat, berfantasi, bermimpi, dan mempsepsi semua makna parsial yang
bersumber dari persepsi stimulus inderawi eksternal menurut Ibnu Sina-
sebagaimana menurut al-Farabi dan filosof Muslim pada umumnya- merupakan
proses-proses yang termasuk dalam bagian persepsi inderawi. Semu itu bukanlah
proses rasional, sebagaimana digambarkan para psikolog modern. Hal itu
disebabkan karena Ibnu Sina dan filosof Muslim pada umumnya menganggap semua
proses sensorik yang mencakup stimulus inderawi eksternal adalah proses yang
bersifat inderawi. Proses itu terjadi pada hewan dan manusia, sedangkan akal
berfungsi mempersepsi stimulus-stimulus rasional yang bersifat
universal-abstrak. Proses itu hanya ada pada manusia saja tanpa pada makhluk
yang lain. Jelas sekali, Ibnu Sina dan filosof Muslim pada umumnya terpengaruh
oleh pemikiran-pemikiran Aristoteles tentang topik ini.
Berikutnya,
kita akan membahas indera batin beserta fungsinya secara rinci.
i.
Indera Kolektif
Masing-masing
panca indera mempersepsi stimulus inderawi tertentu. Tidak ada di dalam indera
lahir yang mengumpulkan semua penginderaan tersebut secara bersama-sama. Jika
kita mempersepsi sesuatu, maka kita hanya mempersepsi sebagai sebuah benda,
warna, bau, rabaan, dan mungkin rasa jika merupakan makanan. Jadi, harus ada
satu daya indera, dimana semua penginderaan yang ditangkap alat indera lahir
berkumpul. Daya ini adalah daya kolektif, dan ia sebenarnya merupakan pusat
persepsi inderawi.
Dengan demikian,
Ibnu Sina membedakan antara penginderaan dan persepsi inderawi. Ibnu Sina
pernah berkata, “Indera kolektif adalah daya ke mana semua stimulus inderawi
dikirim. Sebab, jika bukan satu daya mempersepsi sesuatu yang berwarna dan
dapat diraba, maka kita tidak akan dapat membedakan antara keduanya dengan mengatakan
bukan ini dan bukan itu.
Oleh karena
itu, di dalam indera kolektif semua penginderaan yang berasal dari alat indera
lahir berkumpul, dan indera kolektif melakukan perbandingan dan pembedaan di
antara semuanya. Ibnu Sina meletakkan indera kolektif pada bagian dalam pertama
dari sisi depan otak. Pandangan ini berbeda dengan pandangan Aristoteles dan
al-Farabi yang meletakkannya di hati.
Ibnu Sina
menyimpulkan adanya indera kolektif dengan berbagai dalil. Di antaranya adalah
bahwa kita melihat rintik hujan dalam bentuk garis lurus dan titik yang berputr
cepat dalam bentuk bulat. Ibnu Sina menafsirkan gejala ini dengan mengatakan,
“Anda mengetahui bahwa di mata yang tergambar hanya terbalik, dan gambar terbalik
yang turun atau bulat seperti titik bukan seperti garis. Jadi, di sebagian daya
Anda tersisa sesuatu yang terlukis pertama kali dan satu benda penglihatan yang
hadir berhubungan dengannya, lalu Anda memiliki suatu daya di mata tempat mata
mengirim pesan. Itulah indera kolektif.
Dari sini,
terlihat adanya persamaan pendapat tentang melihat rintik hujan yang jatuh
dalam bentuk garis lurus dan titik yang berputar cepat dalam bentuk lingkaran
dengan pendapat para psikolog modern tentang tipuan gerak gejala.
ii.
Daya konsepsi
Daya konsepsi
atau khayalan (fantasu)
[1] M.M. Syarif, Para Filosof Muslim, Alih Basaha, Ilyas
Hasan (Bandung: Mizan, 1996), cet ke-8, p. 102
[2] Ibid, p. 102
[3] Muhammad Utsman Najati, Jiwa dalam Pandangan Filosof Muslim,
Alih bahasa, Gazi Saloom, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), p. 143
[4] Ibid, p. 143
[5] Ibid, p. 143
[6] Ibnu Sina, an-Najah,
Kairo: 1325, h. 292-294; Muhammad Ali Abu Rayyan, ibid., h. 308; dikutip dari Muhammad
Utsman Najati, Jiwa dalam Pandangan
Filosof Muslim, Alih bahasa, Gazi Saloom, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002),
p. 143
[7] Ibnu Sina, Ahwal an-Nafs,
ibid., h. 53.
[8] ibid., h. 53.
[9] Ahwal an-Nafs, h. 57-58; an-Najah, h. 258. ibid usman najati, p 145
[10] Ahwal an-Nafs, h. 57-58; an-Najah, h. 258. ibid usman najati, p 145
Post a Comment