BAB I
Pendahuluan
Alkisah, ada sebuah anekdot dari
seorang sufi terkenal yang pernah bertemu dengan tiga orang tukang batu,
kemudian ia bertanya pada tukang batu yang pertama, “Apa yang sedang Anda
lakukan?” “Saya sedang memecah batu,” Jawabnya. Kemudian dia bertanya kepada
tukang batu kedua dengan pertanyaan yang sama. Dijawabnya, “Saya sedang bekerja
untuk memenuhi kebutuhan hidup saya.” Si sufi itu lalu beralih ke tukang batu
yang terakhir dan menanyakan pertanyaan seperti yang telah diajukan kepada dua orang tukang batu sebelumnya. “Saya akan mendirikan sebuah
masjid yang besar,” Jawab tukang batu yang ketiga itu.[1]
Demikianlah, ketiga orang tukang batu
itu melakukan pekerjaan yang sama, tetapi persepsi mereka mengenai apa yang
mereka kerjakan, berbeda-beda. Hanya karena persepsi mengenai tujuan akhir dari
pekerjaan merekalah yang bisa mengubah seorang tukang batu menjadi seorang
pendiri monument sejarah. Demikian
halnya, pengaruh jihad- yang sesungguhnya merupakan salah satu tindakan paling
penting menurut konsep Islam- terhadap masyarakat tergantung pada bagaimana ia
dipahami oleh mereka yang terlibat di dalamnya.[2]
Jihad merupakan salah satu aspek
ajaran Islam yang sangat penting dan menentukan keberhasilan misi Dakwah Islam
sebagai rahmatan lil ‘alamin. Namun
demikian, tidak semua orang Islam memahami, memaknai, dan mengamalkan konsep
jihad dalam Islam secara benar, proporsional, dan kentekstual. Tidak jarang,
jihad hanya direduksi dan disempitkan maknanya sekedar “mengangkat senjata
untuk melawan musuh dan membela negara dari ancaman musuh.”[3]
Diperparah lagi adanya nada sumbang
yang mengkonotasikan jihad dengan holy
war (perang suci). Padahal istilah the
holy war itu sebenarnya tidak dikenal dalam perbendaharaan Islam klasik.
Dia berasal dari sejarah Eropa dan dimengerti sebagai perang karena alasan-alasan keagamaan. Pandangan
Barat tersebut memberi corak kepada Islam sebagai agama yang meyakini cara-cara
kekerasan dan bergerak dalam kehidupan dalam landasan kekejaman untuk
menjauhkan manusia dari kebebasan.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya,
telah terjadi kesalahpahaman dalam memahami istilah jihad. Jihad biasanya hanya
dipahami dalam arti perjuangan fisik atau perlawananan bersenjata. Ini mungkin
terjadi karena sering kata itu baru terucapkan pada saat-saat perjuangan fisik.
Memang diakui bahwa salah satu bentuk jihad adalah perjuangan fisik (perang),
tetapi harus dingat pula bahwa masih ada jihad yang lebih besar daripada
pertempuran fisik, sebagaimana sabda Rasulullah Saw. Ketika beliau baru saja
kembali dari pertempuran, “Kita kembali dari jihad terkecil menuju jihad
terbesar, yakni jihad melawan hawa nafsu.”[4]
Nah, jihad dalam konteks dakwah Islam,
menurut Mahmud Syaltut, tidak bisa dilakukan dengan kekerasan, sebagaimana yang
ia kemukakan:
“Sekarang timbul
pertanyaan untuk membuat orang percaya? Tidak, pemakaian kekerasan sebagai cara
untuk membuat orang percaya akan berarti menodai misi dakwah itu, ia akan
menyebabkan orang berontak yang akhirnya akan memberikan rintangan di jalan.
Apabila seseorang menyadari bahwa ia sedang dipaksa untuk melakukan sesuatu,
maka hal itu akan mencegahnya untuk menghargai, menghormati, dan
merenungkannya, apalagi mempercayainya.”[5]
Pernyataan Syaltut ini, senafas dengan
spirit al-Qur’an Surat, al-Baqarah [2]: 256,
berikut ini;
“Tidak ada
paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang sesat. Karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada
Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka
Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak
akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
[1]Lihat,
Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual; Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam,
terj. AE Priono, (Surabaya: Risalah Gusti, Cet. I, 1998), hal. 19.
[3] Bachtiar
Chamsah, “Jihad Sosial dalam Masyarakat Global”, Dakwah; Jurnal Kajian
Dakwah, Komunikasi, dan Keislaman Vol. IV, (Jakarta: Fakultas Da’wah UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2002), hal. 1.
Post a Comment