A.
Macam-Macam
Jihad
Pada periode
Makkah, jihad dilakukan melalui persuasi (ajakan secara lemah lembut). Nabi
Muhammad dalam masa ini memperingatkan masyarakat Makkah tentang kekeliruan penyembahan
berhala dan sebaliknya menyeru mereka untuk menyembah Allah. Ini tercermin,
misalnya, dalam al-Qur’an surat al-Ankabut [29]; ayat 6;
“Dan
Barangsiapa yang berjihad, Maka Sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya
sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu)
dari semesta alam.”
Ayat ini mencerminkan jihad dalam
pengertian metode untuk mencapai keselamatan diri ketimbang penyiaran agama.
Sebaliknya dalam ayat-ayat Madaniyah (QS, at-Taubah [9]: 4;
“Berangkatlah
kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan
harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu,
jika kamu mengetahui.”
Al-Qur’an Surat, al-Hujurat [49]: 15;
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada
Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang
(berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah
orang-orang yang benar.”
Al-Qur’an Surat, as-Saff [61]: 11;
“(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya
dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik
bagimu, jika kamu mengetahui.”
Jihad sering diekspresikan dalam
pengertian “mengerahkan segenap upaya.”
Tetapi juga tidak bisa dibantah
bahwa dalam ayat-ayat tertentu konsepsi jihad sinonim dengan kata “perang” dan
“pertempuran”. Karena itulah kewajiban melaksanakan jihad dapat ditunaikan
dalam beberapa bentuk antara lain:[1]
1. Jihad Perang Sebagai Upaya Mempertahankan Diri
Dalam al-Qur’an, Allah mengizinkan
kaum Muslim untuk bertempur (qatala)
atau melancarkan perang (harb)
sebagai tindakan pertahanan atau respon terhadap penganiayaan dan serangan yang
dilakukan kaum kafir. Sebagaimana yang dikemukakan Allah dalam al-Qur’an Surat
al-Baqarah [2]: 190, “Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi
kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Peperangan dimaksudkan sebagai cara
untuk menghentikan pertentangan serta melindungi tatanan moral yang terancam.
Tapi perjuangan suci ini juga mengenal batas-batas yang ditetapkan Allah dan
Rasul-Nya. Kaum Muslim dilarang melampaui batasan tersebut antara lain dengan
pelarangan menyatakan perang terlebih dahulu, larangan melakukan perusakan,
menghindari penghancuran harta milik orang lain, membunuh orang yang tidak
terlibat dalam perang, atau membunuh musuh yang telah menyatakan diri memeluk
Islam di medan perang. Dalam situasi seperti, dan dalam batas-batas ini, perang
diatur. Dia menjadi sebuah kewajiban suci bagi umat Islam.[2]
2.
Jihad Melawan Hawa Nafsu
Jihad Melawan hawa nafsu disebut juga
juga jihad akbar, karena lebih sulit
dilakukan. Keakbarannya didukung oleh sebuah hadits dari Rasulullah Saw, “Musuh terbesar bagimu adalah hawa nafsumu,
yang menekanmu dari dua sisi.”[3] Selain
itu, jihad jenis ini mengisyaratkan perjuangan terus-menerus dan dampaknya yang
besar (yang selalu ditentukan oleh niat dan keikhlasan: dua kualitas yang
dimiliki oleh jiwa yang sempurna).
Disamping bertujuan untuk menyucikan
hati, jihad akbar juga berfungsi untuk membersihkan jiwa dari dorongan-dorongan
yang merusak, semisal hawa nafsu dan amarah. Itu dilakukan tidak dengan
meniadakan apa yang ada di dalam hati, melainkan dengan menundukkan dan
mentransformasikan sifat-sifat rendah tersebut hingga mencapai satu titik
keseimbangan dan hanya teraktualisasi dalam cara yang tidak bertentangan dengan
hukum Ilahiah.[4]
Nabi Yusuf diabadikan al-Qur’an ucapannya, sebagaimana yang termaktub
dalam al-Qur’an Surat, Yusuf [12]: ayat ke-53;
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan),
karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu
yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha
Penyanyang.”
Hassan al-Banna (w. 1948), pendiri al-Ikhwan
al-Muslimun, menyerang pandangan bahwa jihad lebih berarti sebagai “perjuangan
spiritual”, perjuangan melawan hawa nafsu dalam diri sendiri; atau “al-jihad al-ashghar” atau perang melawan
musuh-musuh Islam. Pandangan ini menurut al-Banna dalam tulisannya “Risalat al-Jihad,” bersumber dari
hadits yang tidak otentik. Dalam pandangan al-Banna, pengertian jihad seperti
ini sengaja disebarkan musuh-musuh Islam untuk melemahkan perjuangan bersenjata
kaum Muslim melawan penjajahan Eropa.[5]
3. Berjihad Menghadapi Syetan
Syetan adalah nama yang paling populer
di antara nama-nama si perayu kejahatan. Begitu populernya sehingga menyebut
namanya saja, terbayanglah, kejahatan itu. Nama syetan dikenal dalam ketiga
agama samawi; Yahudi, Nasrani, dan Islam. Konon kata setan berasal dari bahasa
Ibrani, yang berarti “lawan/musuh”. Tetapi, barangkali juga berasal dari bahasa
Arab, syaththa yang berarti “tepi”,
dan syatha yang berarti “hancur dan
terbakar”, atau syathatha yang berarti “melampaui batas.”
Ketika Syetan dikutuk Tuhan, ia
bersumpah di hadapan-Nya, sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an Surat.
al-A’raf [7]: ayat ke-16-17:
“Iblis menjawab: "Karena Engkau telah
menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari
jalan Engkau yang lurus.”
“Kemudian saya akan mendatangi mereka
dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau
tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).”
Tidak mudah membedakan antara rayuan
setan dan nafsu manusia. Ulama-ulama, khususnya para sufi, menekankan bahwa
pada hakikatnya manusia tidak mengetahui gejolak nafsu dan bisikan hati,
kecuali bila dapat melepaskan diri dari pengaruh gejolak tersebut. Al-Tustari
seorang sufi agung menyatakan, “Tidak mengetahui bisikan syirik kecuali orang
Muslim, tidak mengetahui bisikan kemunafikan kecuali orang Mukmin, demikian
juga bisikan kebodohan kecuali yang berpengetahuan, bisikan kelengahan kecuali
yang ingat, bisikan kedurhakaan kecuali yang taat, dan bisikan dunia kecuali
dengan amalan akhirat.”
Bisikan-bisikan tersebut dapat ditolak
dengan jihad, yang dilakukan dengan menutup pintu-pintu masuknya, atau dengan
mematahkan semua kekuatan kejahatannya. Banyak pintu masuk bisikan negatif ke
dalam dada manusia, antara lain:
Pertama, ambisi berlebihan
dan prasangka buruk terhadap Tuhan. Ini melahirkan budaya mumpung serta
kekikiran. Pintu masuk tersebut dapat ditutupi dengan keyakinan terhadap
kemurahan Ilahi, serta rasa puas terhadap hasil usaha maksimal yang halal.
Kedua, gemerlap duniawi,
pintu ini dapat tertutup dengan sikap zuhud dan kesadaran ketidakkonsistenan
kehidupan duniawi. Di siang hari kita dapat melihat orang kaya, berkuasa, atau
cantik, dan menarik, tetapi pada sore hari semuanya dapat hilang seketika.
Ketiga, merasa lebih dari
orang lain. Setan biasanya membisikkan kalimat-kalimat yang mengantarkan
mangsanya merasa bahwa yang telah dan
sedang dilakukannya adalah benar dan baik. Pintu masuk ini dapat dikunci dengan
kesadaran bahwa penilaian Tuhan ditetapkan dengan memperhatikan keadaan
seseorang hingga akhir usianya.
Keempat, memperkecil dosa
atau kebaikan. Sehingga mengantarkan yang bersangkutan melakukan dosa dengan
alasan dosa kecil, atau enggan berbuat baik dengan alasan malu karena amat
sederhana. Ini mesti ditampik dengan menyadari terhadap siapa dosa dilakukan,
yakni terhadap Allah. Juga kesadaran bahwa Allah tidak menilai bentuk perbuatan
semata-mata, tetapi pada dasarnya menilai niat dan sikap pelaku.
Kelima, Riya’ (ingin dipuji
baik sebelum, pada saat, maupun sesudah melakukan satu aktivitas). Hal ini
dihindari dengan menyadari bahwa Allah tidak akan menerima seidikit pun amal
yang dicampuri pamrih.[6]
[1] Abd
al-Karim Zaidan membagi jihad menjadi tiga, yaitu; Pertama, Jihad dengan lisan, jihad yang menerangkan ajaran-ajaran
Islam dan menangkis pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan Islam. Kedua, Jihad dengan harta- terutama
untuk membiayai para pejuang fi
sabilillah dalam menghadapi musuh-musuh Allah. Ketiga, Jihad dengan jiwa, yaitu berperang melawan musuh-musuh
Allah. Sedangkan menurut Ibnu Qayyim
al-Jauziyah jihad meliputi; Pertama,
Jihad hawa nafsu, yaitu melawan hawa nafsu agar manusia berkeinginan
mempelajari ajaran-ajaran , mengamalkan, dan menyebarkan Islam pada orang lain,
serta bersikap sabar dalam menghadapi tantangan-tantangan dakwah. Kedua, Jihad melawan syetan, yaitu upaya
maksimal untuk menangkis pemikiran-pemikiran yang merusak iman. Ketiga, Jihad melawan orang-orang kafir,
yaitu mengerahkan segala kekuatan untuk menghancurkan musuh-musuh Allah. Lihat,
Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, cet.
I, 1997), hal. 83
[2] Azyumardi
Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga
Post-Modernisme, (Jakarta: Paramadina, cet. I, 1996), hal.
156
[3] Hadits yang
dikutip oleh sufi abad ke-13, Najm al-Din Razi dalam Mirsyad al-‘Ibad dan
diterjemahkan dalam “From the Heritage of
Islamic Literature, “Jihad”, al-Bayan, Juni 1976, h. 15. Lihat juga,
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga
Post-Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 157.
[5] Rudolph
Peters, Islam and Colonialism: The
Doctrine of Jihad in Modern History, (Leiden: 1977), hal. 120. Lihat juga, Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga
Post-Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 137.
Post a Comment