A. Jihad; Sebagai Pendekatan Dakwah
Ibn Taymiyah (w. 728/1327) menafsirkan
jihad sebagai perang mempertahankan diri melawan kaum kafir apabila mereka
nyata-nyata mengancam Islam. Sedangkan terhadap orang-orang kafir yang tidak
menggangu dar Islam (wilayah damai),
menurut Ibn Taymiyah, tidak bisa dipaksa untuk memeluk Islam, karena “jika
orang kafir harus dibunuh apabila mereka tidak memeluk Islam, maka sesungguhnya
tindakan tersebut merupakan pemaksaan dalam agama.” Dan ini jelas bertentangan
dengan prinsip al-Qur’an Surat. al-Baqarah [2]; 256;
“Tidak
ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada
Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada
buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi
Maha mengetahui.”
Banyak pemikir Islam modern membedakan
antara kekufuran dengan penganiayaan atau ketidakadilan. Kekufuran semata, sama
sekali tidak boleh dijadikan alasan untuk menyatakan perang. Kalangan pemikir
ini mengembangkan argumen mereka bahwa jihad hanya dibenarkan untuk
tujuan-tujuan mempertahankan diri. Argumen ini mereka gunakan untuk menjawab
tuduhan gencar Barat bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kekerasan.
Seorang ahli figh terkenal Mesir, Mahmud Syaltut (1893-1963, misalnya,
mengatakan bahwa ayat-ayat dalam al-Qur’an yang memerintahkan umat Islam untuk
memerangi kaum kafir sama sekali tidak berarti mereka harus diperangi karena
kepercayaannya yang berbeda itu. Ayat-ayat tersebut, menurut Syaltut,
sebenarnya hanya ditujukan kepada orang-orang kafir yang bersikap menyerang
terhadap dakwah Islam. Demikian pula dengan kalangan modernis Mesir, seperti
Muhammad ‘Abduh dan Rasyid Ridha yang berpendapat bahwa ayat-ayat al-Qur’an
tersebut berisi perintah mutlak untuk memerangi mereka yang melanggar
perjanjian, atau memulai serangan terhadap komunitas Islam.
Al-Mawdudi membagi jihad menjadi dua
macam: defensif dan korektif atau pembaharuan (reformatory). Jihad bentuk pertama adalah perang yang dilakukan
untuk melindungi Islam dan para pemeluknya dari musuh-musuh luar atau kekuatan
perusak asing di dalam dar al-Islam.
Sedangkan jihad bentuk kedua juga dapat dilancarkan terhadap mereka yang
berkuasa secara tiranik atau umat Islam yang hidup di negara mereka sendiri.
Bagi al-Mawdudi kedua bentuk jihad inilah yang terpenting. Tetapi ia sebenarnya
juga mengungkapkan jihad jenis lain, yakni jihad rohaniah- jihad untuk kebaikan
pribadi dan penegakan keadilan. Penting dicatat, al-Mawdudi mengutuk penggunaan
jihad untuk memaksa orang-orang kafir masuk Islam.[1]
Bagi Sayyid Quthb, jihad adalah
kelanjutan dari “politik” Tuhan. Jihad adalah perjuangan politik revolusioner
yang dirancang untuk melucuti musuh Islam, sehingga memungkinkan umat Islam
menerapkan ketentuan-ketentuan syari’ah yang selama ini diabaikan atau bahkan
ditindas Barat dan rejim-rejim opresif di dunia Muslim sendiri. Dengan
pelenyapan rintangan-rintangan politik, maka tujuan sentral sebagai perjuangan
revolusioner telah tercapai. Tak ada tujuan lain, misalnya, seperti banyak
anggapan Barat, memaksa orang-orang non-Muslim masuk Islam. Sayyid Quthb
menjelaskan, penegakan hegemoni Islam melalui jihad adalah membebaskan
individu-individu dari dominasi politik non-Muslim. Begitu kekuasaan berada di
tangan elit Muslim dan hukum Islam ditegakkan, maka seluruh warga negara
dibebaskan; apakah memeluk Islam atau tetap dalam kepercayaan mereka semula.
Dari berbagai penjelasan para pemikir
Islam di atas, dapat di tarik benang merah. Meskipun terdapat perbedaan dalam
memaknai kata “jihad”, tetapi kaitannya dengan dakwah- tidak dapat dibenarkan
melakukan aktivitas dakwah dengan jalan kekerasan. Karena hal itu, sebagaimana
yang sudah dijelaskan sebelumnya, bertentangan dengan spirit al-Qur’an, Surat, al-Baqarah [2]: 256, “Tiada paksaan
dalam agama, karena sesungguhnya yang benar itu sudah jelas bedanya dengan yang
salah.”
Umat Islam adalah umat dakwah.[2] Dalam artian bahwa, yang mendapatkan amanah
dari Allah Swt, untuk selalu terlibat aktif menjadi pemain utama dalam kegiatan
dakwah (secara luas) melalui berbagai macam metode dan pendekatan, seperti
melalui lisan, tulisan, maupun dengan cara memberikan solusi pada berbagai
masalah kehidupan nyata. Jihad dalam konteks dakwah- berkaitan erat dengan
pembangunan umat yang unggul (khairu ummah) sebagaimana diungkapkan dalam
firmah Allah Swt, dalam al-Qur’an Surat ali-Imran [3]: ayat ke-104 berikut ini;
“Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang
beruntung.”
“Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.”
Tanggungjawab sosial dalam bentuk amar
ma’ruf dan nahi munkar itu, menurut Quthub, justru merupakan ajaran sosial
Islam yang amat penting. Seorang mukmin, kata Quthub, karena ajaran sosial ini,
mesti mengembangkan karakter dan watak keumatan, kesatuan, saling membantu, dan bekerjasama dalam
mewujudkan kebaikan dan menolak keburukan.[3]
Selain mengupayakan jihad terus-menerus dalam bentuk amar ma’ruf dan
nahi munkar, penyampaian dakwah dalam kaitannya antara materi dengan metode
dalam berdakwah adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Jika materi baik
tetapi disajikan dengan metode yang kurang baik dan kurang menarik, tentu
hasilnya tidak akan optimal sebagaimana yang diharapkan. Demikian pula
sebaliknya.
Dalam bahasa Prof. Yunan Yusuf, “Semangkok teh pahit dan
sepotong ubi goreng yang disajikan dengan cara sopan dan ramah, tanpa sikap
yang dibuat-buat, akan lebh terasa enak disantap ketimbang sporsi makanan
lezat, mewah, dan mahal harganya, tetapi disajikan dengan cara kurang ajar, tidak
sopan, dan menyakitkan hati orang yang menerimanya.”[4]
Oleh karena itu, perlu dilakukan jihad
dalam bentuk upaya terus-menerus dalam menyajikan materi dan metode yang baik,
sejalan dengan kebutuhan zaman dan kemajuan teknologi yang terus berkembang dari
waktu ke waktu. Hal ini sejalan dengan firman Allah Swt, dalam QS, an-Nahl
[16]: 125;
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.”
Salah satu makna hikmah (dari ayat
tersebut) menurut sebagian ulama tafsir adalah menyajikan materi dakwah dengan
metode dan cara yang integral dan holistik menyentuh seluruh aspek diri
manusia, seperti fisik, pikiran, dan hati. Sehingga diharapkan terjadi
perubahan perilaku ke arah yang lebih baik dan lebih bermakna dalam kehidupan
sehari-hari.
[2] Dakwah
adalah ajaran atau seruan dari seorang da’i untuk merubah situasi dan kondisi
mad’u, dari situasi yang belum maju menjadi maju, belum tahu menjadi tahu,
belum sejahtera menjadi sejahtera guna mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di
akhirat. Esensi dakwah pada hakekatnya adalah mengajak individu atau masyarakat
kepada Islam. Dengan demikian dakwah Islam merupakan upaya mensosialisasikan
dan mengkomunikasikan Islam. Lihat, M. Yunan Yusuf, “Kode Etik Dakwah”, Dakwah;
Jurnal Kajian Dakwah, Komunikasi, dan Keislaman, Vol. IV, (Jakarta: Fakultas
Da’wah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002),
hal. 48
[3] A. Ilyas
Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub; Rekonstruksi Pemikiran Harakah, (Jakarta:
Penamadani, Cet. II, 2008), hal. 174.
Post a Comment