Dan sungguh, engkau (Muhammad) akan mendapati
mereka (orang-orang Yahudi), manusia yang paling serakah akan kehidupan
(dunia), bahkan (lebih tamak) dari orang-orang musyrik. Masing-masing dari
mereka, ingin diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu tidak akan
menjauhkan mereka dari azab. Dan Allah Maha melihat apa yang mereka kerjakan.
(QS, al-Baqarah [2]: 96)
Konon, dahulu kala, di Negeri Rantau Baru,
Pelalawan, Riau, hiduplah sepasang suami-istri yang sangat miskin. Penghasilan
mereka yang sangat kecil tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Kadang makan kadang tidak. Pakaian pun hanya yang melekat di badan yang mereka
miliki. Semakin hari kehidupan mereka semakin memprihatinkan.
Pada suatu malam, si Miskin bermimpi bertemu
dengan seorang kakek. Kakek itu memberikan seutas tali kepadanya seraya
berkata, “Besok pagi bawalah sampan besar ke sebuah suak yang tak jauh dari
Sungai Sepunjung.” Belum sempat si Miskin menjawab, kakek itu tiba-tiba
menghilang dari pandangannya. Si Miskin pun terjaga dari tidurnya. Ia
mengusap-usap matanya tiga kali, seakan ia tak percaya yang baru saja dialaminya.
“Apa maksud si kakek menyuruh saya ke suak itu?” tanya si Miskin dalam hati.
Karena hari masih gelap, si Miskin pun melanjutkan tidurnya.
Keesokan harinya, si Miskin berangkat menuju suak
seperti yang dikatakan si Kakek dalam mimpinya semalam. Tak lupa dibawanya
sebuah sampan besar. Sambil mengayuh sampan, hati kecilnya terus
bertanya-tanya, “Apakah ini pertanda nasib buruk saya akan segera berakhir?”
Pikiran-pikiran itu terus bergejolak dalam pikirannya. Tak terasa, sampailah si
Miskin di tepi Sungai Sepunjung. Ia pun duduk di dalam sampannya sambil
menunggu sesuatu yang dijanjikan si Kakek itu. Sesekali ia bermain air dan
bersiul menirukan bunyi burung yang berkicau di sekelilingnya. Wajahnya yang
tertimpa cahaya matahari pagi terlihat cerah mengharap datangnya suatu
keberuntungan.
Tak berapa lama kemudian, tiba-tiba si Miskin
dikejutkan oleh seutas tali yang muncul dari dalam suak. Tanpa pikir panjang,
ditariknya tali tersebut sekuat-kuatnya. Baru beberapa tarikan, sampailah ia
pada ujung tali itu. Si Miskin tersentak kaget ketika ia melihat suatu benda
yang berkilau-kilau ditimpa cahaya matahari. “Benar dugaanku, nasib burukku
akan segera berakhir,” gumam si Miskin dengan senangnya, ketika ia melihat di
ujung tali itu tedapat rantai emas tiga kaluk.
Tengah si Miskin menarik rantai itu, tiba-tiba
dari atas pohon yang tak jauh dari tempat itu, terdengar pico seekor murai,
“Potonglah cepat rantai itu! Hanya itu bagianmu!” Namun, si Miskin tidak
menghiraukan picoan murai itu. Ia semakin cepat menarik tali itu dengan harapan
akan mendapat rantai emas yang lebih banyak lagi. Dengan kekuatan yang
dimilikinya, ia menarik terus tali itu terus.
Diluar dugaannya, tali yang tali yang ditariknya
itu semakin lama semakin terasa berat. Tiba-tiba muncul gelembung-gelembung air
dari dalam sungai. Awalnya gelembung itu kecil, lama-kelamaan menjadi seperti
gelombang. Tak dalam kemudian, terdengar suara gemuruh dari dalam air. Tanpa
disadarinya, tiba-tiba gelombang besar muncul seperti bono dan langsung
menghempas sampan si Miskin. Si Miskin pun terlempar keluar dari sampan dan
jatuh ke dalam air. Bersamaan dengan itu, sampannya hanyut dan akhirnya
tenggelam terbawa arus sungai. Dengan sekuat tenaga, si Miskin berusaha
berenang menuju tepi sungai melawan arus gelombang air yang besar itu. Ketika
ia sudah sampai di tepi sungai, air sungai yang tadinya bergelombang kembali
menjadi tenang seperti semula. Tapi gelembung air masih saja tampak di
permukaan sungai itu.
Setelah selamat dari hempasan gelombang besar itu,
si Miskin pun pulang ke gubuknya dengan tangan hampa. Karena kecapaian, ia pun
segera tertidur lelap. Dalam tidurnya, ia bermimpi didatangi kakek itu lagi.
“Hai, Miskin! Kamu memang tamak dan tidak pandai bersyukur. Mengapa rantai tiga
kaluk itu tidak kau ambil? Bukankah sudah kuberi tahu lewat picoan murai?” ujar
kakek itu.
“Maafkan saya Kek. Berilah saya kesempatan sekali
lagi, saya berjanji tidak akan berbuat tamak lagi,” pinta si Miskin sambil
menyembah-nyembah. “Apa boleh buat, Miskin! Kamu pantas menerima balasan itu
atas ketamakanmu,” jawab si Kakek. Sesaat setelah berkata demikian, tiba-tiba
kakek itu menghilang. Tak berapa lama, ayam jantan pun berkokok menandakan
waktu subuh tiba. Si Miskin pun terbangun dari tidurnya.
Si Miskin kembali
lagi ke tempat kejadian kemarin. Ia berharap akan menemukan sesuatu di sana.
Lama dia menanti di tepian, tapi ia tidak menemukan sesuatu yang diharapkannya.
Di tepian, ia hanya duduk termangu melihat air suak itu mengubuk tak
henti-hentinya. Setiap pagi si Miskin pergi ke tempat itu, karena masih
berharap akan mendapatkan sesuatu dari sana. Namun, hanya air yang mengubuk itu
yang ia temukan. Pepatah mengatakan “Menyesal kemudian tiadalah guna. Begitulah
nasib si Miskin, ia hanya bisa menyesali ketamakannya itu. (Cerita dikutip dari; Suak Air Mengubuk, Si Miskin Yang Tamak, Yogyakarta: AdiCita
Karya Nusa, Lihat http://gariskhatulistiwaku.blogspot.com/2009/10/suak-air-mengubuk-si-miskin-yang-tamak.html)
Salah satu nilai moral yang terkandung dalam
cerita di atas adalah sifat tamak atau serakah. Sifat ini tercermin pada sifat
si Miskin yang tidak bersyukur atas rezeki yang diberikan kepadanya melalui
kakek itu. Salah
satu penyakit hati yang sangat berbahaya adalah serakah. Penyakit serakah pada
umumnya direalisasikan dengan sifat boros, suka berfoya-foya, dan
berlebih-lebihan dalam penggunaan harta benda yang dianugerahkan Allah tanpa
memikirkan kehidupan selanjutnya. Penyakit serakah tidak hanya berbahaya dan
merugikan yang bersangkutan, tetapi juga dapat membahayakan keseimbangan
ekosistem dan menghancurkan daya dukung lingkungan.
Kita
dapat merasakan dan menyaksikan adanya gangguan keseimbangan ekosistem, adanya
pemanasan global, adanya pencemaran lingkungan, yang semuanya berdampak
terhadap terjadinya bencana alam dan ketidak-nyamanan dalam hidup. Kita juga
dapat merasakan dan menyaksikan adanya kehancuran daya dukung lingkungan, udara
bersih sudah sulit didapat, air bersih juga sulit didapat, ikan di sungai sudah
langka, dan tanah pertanian kehilangan kesuburannya.
Salah
satu di antara penyebab lingkungan hidup kehilangan daya dukungnya terhadap
kehidupan adalah karena adanya keserakahan manusia. Manusia terus mengeruk dan
mengeksploitasi kekayaan sumberdaya alam dan lingkungan jauh melebihi yang
dibutuhkannya. Mahatma Ghandi pernah mengatakan dengan sangat bijak, “Bumi
cukup persediaan untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi tidak akan cukup
untuk memenuhi keserakahan kita.”
Pada
saat ini kita menyaksikan banyak kelompok manusia yang tidak dapat memanfaatkan
sumberdaya alam dan kehilangan daya dukung lingkungan karena adanya keserakahan
kelompok manusia yang lain. Kita perlu mawas diri, apakah diri kita termasuk
kelompok manusia serakah tersebut? Tentu kita tidak ingin hidup bermewahan dan
berlebih-lebihan di atas kesengsaraan dan penderitaan orang lain.
Sifat serakah adalah salah satu penyakit hati
manusia yang tidak akan pernah hilang di dunia ini, kecuali setelah maut menjemputnya.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad, “Seandainya anak-cucu Adam
mendapatkan dua lembah berisi emas, niscaya dia masih menginginkan lembah emas
yang ketiga. Tidak pernah kenyang perut anak Adam kecuali setelah ditutup tanah
(mati). Dan Allah mengampuni orang-orang yang bertaubat.” (H.R. Ahmad).
Hadits diatas menjelaskan bahwa hanya maut yang
dapat mengakhiri sifat serakah itu. Meskipun demikian, Allah adalah Maha
Pengampun. Setiap hamba yang bertaubat dengan sungguh-sungguh sebelum Malaikat Maut
mencabut nyawanya, Allah akan mengampuninya.
Serakah
adalah salah satu dari penyakit hati. Mereka selalu menginginkan lebih banyak,
tidak peduli apakah cara yang ditempuh itu dibenarkan oleh syariah atau tidak.
Tak berpikir apakah harus mengorbankan kehormatan orang lain atau tidak. Yang
penting, apa yang menjadi kebutuhan nafsu syahwatnya terpenuhi.
Bila
tidak segera dibersihkan, penyakit sosial ini dapat menimbulkan malapetaka.
Orang yang serakah, akan membuat mata hati dan pendengarannya menjadi tuli. "Cintamu
terhadap sesuatu membuat buta dan tuli." (HR Ahmad).
Serakah
juga menjadi pintu masuknya setan. Bila masuk dalam hati orang yang serakah,
setan akan menghiasinya dengan sifat−sifat tercela lainnya. Dan orang yang
serakah itu selalu menganggap baik apa yang dilakukannya, meski kebanyakan
orang melihatnya sebagai suatu keburukan.
Serakah,
ternyata tidak sebatas pada harta benda semata−mata. Ada orang yang serakah
kepada wanita ataupun jabatan. Orang yang serakah kepada wanita, akan
menjadikan wanita itu sebagai pemuas nafsunya belaka. Orang yang serakah kepada
jabatan, akan berusaha mendapatkan apa yang menjadi incarannya dengan segala
cara. Tak pernah berpikir apakah cara yang ditempuh baik atau buruk.
Namun,
ada juga serakah dalam hal kebaikan. Serakah ini bisa memberikan jaminan
keselamatan bagi pelakunya di dunia dan akhirat. Serakah yang baik merupakan
sifat yang dimiliki oleh orang beriman.
Serakah yang baik akan mendorong orang beriman untuk berlomba−lomba
meraih ridha Allah SWT. Mereka tak peduli bagaimana kondisi diri. Yang mereka
lihat adalah ridha Allah SWT semata. Mereka rela meninggalkan anak istri untuk
jihad di jalan−Nya. Mereka juga rela menempuh perjalanan yang begitu jauh untuk
menyambut seruan Ilahi.
Post a Comment