Urgensi Tasawuf Bagi Para Da’i
A. Menjadikan
Ajaran Tasawuf Relevan Sebagai Tema Dakwah
Tidak sedikit psikolog dan sosiolog
yang mengemukakan bahwa, poblem mendasar masyarakat modern adalah frustasi,
krisis eksistensi, alienasi, nihilisme, depresi dan hampa makna. Hampa makna-
ditandai ketika seseorang merasa terasing dengan diri sendiri, lingkungan
sosial, dan dunia kerja. Sementara itu, di sisi lain mereka telah kehilangan
visi dan misi hidupnya. Mereka menjalani hidup yang membosankan, tanpa gairah,
kesepian dan persoalan kecemasan yang hampir melanda mereka setiap saat.
Dalam pandangan Abraham Maslow,
modernisasi hanya mengisi ruang kebutuhan-kebutuhan lahiriah masyarakat modern
saja. Padahal masyarakat modern akan tetap dilanda kegelisahan, kecemasan,
kebosanan dan kesepian selama kebutuhan dasarnya yang berkaitan dengan kejiwaan
dan ketuhanan tidak terpenuhi.
Masyarakat modern tidak memiliki makna
hidup, karena mereka tidak memiliki prinsip hidup. Apa yang dilakukan adalah
mengikuti trend, mengikuti tuntutan sosial, sedangkan tuntutan sosial belum
tentu berdiri pada satu prinsip yang mulia. Ketidakseimbangan itu, dan terutama
karena merasa hidupnya tidak bermakna, tidak ada dedikasi dalam perbuatannya,
maka ia dilanda kegelisahan, kesepian, kebosanan dan kecemasan yang
berkepanjangan. Hal itu menyebabkan seseorang tidak tahu persis apa yang harus
dilakukan. Ia tidak bisa memutuskan sesuatu, dan ia tidak tahu jalan mana yang
harus ditempuh.
Kegelisahan, kesepian, kebosanan dan
kecemasan terjadi karena masyarakat modern telah kehilangan ruang meditasi
(perenungan); sementara setiap kali mengalami peristiwa yang mampu memunculkan
pertanyaan kritis seperti “bagaimana mengatasi problem eksistensial”,
“bagaimana mendapatkan makna hidup.” Mereka seringkali melakukannya dengan cara
yang kurang tepat, yang justru mengembalikan mereka pada hingar-bingar
kehidupan yang glamor, maka tidak aneh kalau mereka merasa kesepian ditengah
kembang api yang menggairahkan.
Berangkat dari berbagai problem
kejiwaan itulah- spiritualitas semakin digandrungi masyarakat kontemporer
dewasa ini. Sebagai penawar krisis spiritual yang mereka alami- sehingga
tercapai suatu kehidupan yang seimbang antara dua aspek pentingnya: material
dan spiritual, dunia dan akhirat.
Kecendrungan serupa juga dikemukakan
Haidar Bagir, “sebuah majalah terkemuka di Amerika Serikat, Times, beberapa tahun lalu melaporkan
adanya kecendrungan pada masyarakat Amerika Serikat untuk kembali kepada Tuhan.
Majalah itu, berdasarkan hasil polling yang mereka buat, mengatakan bahwa saat
ini lebih banyak orang (AS) yang berdo’a
ketimbang “berolah-raga, pergi ke bioskop, atau pun berhubungan seks.”
Kecendrungan akan spiritualisme itu pun makin lama makin meningkat.[1]
Lebih lanjut ia menambahkan; memang di
samping ditandai oleh derasnya arus informasi dan dahsyatnya perkembangan
teknologi informasi, zaman ini ternyata juga diwarnai arus baru di tengah
masyarakat dunia, yaitu kerinduan pada kesejukan bathin dan kedamaian jiwa.
Mencari kebijakan dan inspirasi tentang inner-self menjadi trendy belakangan ini.[2] Pada
prakteknya, solusi yang ditawarkan untuk mengatasi problem kejiwaan itu
dilakukan dengan menggunakan berbagai jenis pendekatan. Diantaranya; pendekatan
psikologi, dalam hal ini kesehatan mental (mental health). Sedangkan
pada masyarakat tertentu, solusi yang ditawarkan lebih bersifat religius
spiritual.
Fenomena di dalam negeri pun
mengindikasikan hal serupa, terlihat dengan maraknya kegiatan ritual-ritual
keagamaan bermunculan bak jamur di musim hujan yang diminati oleh banyak
masyarakat perkotaan. Sebut saja- Aa Gym dengan manajemen Qalbu-nya, Ari
Ginanjar Agustian dengan ESQ-nya, Arifin Ilham dengan Majelis Dzikir-nya dan
lain-lain. Orang rela datang jauh-jauh, meluangkan waktunya bahkan tidak
sedikit membayar mahal- untuk dapat menangis bersama, merasakan kehadiran Tuhan
dalam setiap tarikan nafas, menemukan kembali makna hidup dan jati diri.
Sesungguhnya, masyarakat modern
membutuhkan sesuatu yang melewati rasionalitas. Haidar Bagir, dalam pengantar
buku ‘manusia modern mendamba Allah’ memaparkan, Kiranya ini semua adalah
realisasi dari nubuat William James seorang psikolog terkemuka abad-20. Dalam
sebuah bukunya yang terkenal, Varieties of Religious Experience yang
terbit di tahun-tahun pertama abad 20. Dia menyatakan bahwa, sebagai makhluk
sosial, manusia tidak akan menemukan kepuasan kecuali jika ia bersahabat dengan
“Kawan Yang Agung” (The Great Socius).
Tentu Kawan Agung yang dimaksud adalah Tuhan. Lebih lanjut ia menyatakan
bahwa, selama manusia itu belum berkawan dengan “Kawan Yang Agung” itu, maka
selama itu pula ia akan merasakan kegelisahan, kekosongan, kecemasan, dan
kesepian dalam hidupnya. Dia akan merasakan kesendirian ditengah-tengah
hingar-bingar pesta yang menggoda. Dengan kata lain boleh jadi koleganya banyak
dan pergaulannya menggurita, tetapi sebenarnya ia merasa sepi, sunyi sendiri-
tiada seorang pun yang menemani.
Bila kita tarik ke dalam tradisi Islam
sebenarnya sudah sejak lama umat muslim berusaha mendekatkan diri dengan “Kawan
Yang Agung” tersebut, melalui perjuangan yang tidak ringan, dikenal dengan
istilah salik. Salik adalah
orang yang selalu mengembara berjuang menuju “Kawan Yang Agung”. Untuk mencari
“Kawan Yang Agung” itu tidak perlu jauh-jauh, karena dimanapun kita menghadap
disitulah Tuhan berada. Sebagaimana yang diungkap al-Qur’an Surah, al-Baqarah
[2]: 115;
“Dan kepunyaan
Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 115).
Sebagaimana
yang dikemukakan ayat diatas, kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Meminjam
ilustrasi Komaruddin Hidayat, “begitu bangun tidur, itu merupakan sapaan Tuhan.
Bahkan angin, pohon dan sebagainya merupakan jejak-jejak Tuhan untuk menyapa
diri manusia”. Fenomena masyarakat kontemporer yang tenggelam dalam kekhusyu’an
dzikir, wirid, sayr, istighostsah dan
suluk dalam kehidupan spiritualitas adalah pertanda bahwa betapa mereka rindu
mengenal lebih dekat “Kawan Yang Agung”.
Sayyed Hossein Nasr, menegaskan bahwa
manusia diciptakan dengan susunan terbaik, tetapi kemudian manusia jatuh pada
kondisi terburuk setelah manusia berpisah dan jauh dari asal-usulnya.[1] Jalaluddin
Rumi, menyitir dalam gaya bahasanya yang cukup indah, “Kita adalah seruling
bambu yang terserabut dari rumpunnya. Ketika suara keluar adalah jeritan pilu
dari pecahan bambu yang ingin kembali ke rumpunnya semula.” Kita akan hidup
sebagai bambu sejati bila kita kembali ke tempat awal kita, yakni jalan fitrah.[2] Nah,
disinilah urgensinya ajaran tasawuf bagi para da’i yakni- mengembalikan manusia (mad’u) ke jalan fitrah
tersebut. Oleh karena itu, para da’i dituntut untuk memiliki pengetahuan
tentang tasawuf. Karena tasawuf adalah dimensi batiniah dalam ajarah Islam.
Relevansi
tasawuf dengan problem manusia modern adalah karena tasawuf secara seimbang
memberikan kesejukan batin dan disiplin syariah sekaligus. Dia bisa dipahami
sebagai pembentuk tingkah laku melalui pendekatan tasawuf suluky. Dan bisa
memuaskan dahaga intelektual melalui pendekatan tasawuf falsafi. Dia bisa
diamalkan oleh setiap muslim, dari lapisan sosial manapun dan tempat manapun.
Secara fisik mereka menghadap satu arah, yaitu Ka’bah dan secara ruhaniah
mereka berlomba-lomba menempuh jalan tarekat melewati ahwal dan maqam menuju
kepada Tuhan yang satu, Allah Swt.[3]
A. Pelajaran yang dapat Diambil dari Kisah para Sufi
Kisah-kisah para Sufi tidak pernah dianggap sekedar sama
dengan fabel, legenda, atau folklore. Kisah-kisah itu memiliki wit (ketangkasan pikiran), susunan, dan
daya pikat yang sebanding dengan cerita terbaik dalam kebudayaan manapun. Telah
berabad-abad lamanya para guru sufi mengajar murid-muridnya dengan
mempergunakan kisah-kisah para sufi, yang dianggap memiliki kekuatan untuk
meningkatkan persepsi yang tidak diketahui oleh manusia biasa.
Kisah-kisah yang terdapat dalam dunia sufi- akan berlaku
seperti guru bijak. Dia tidak pernah menggurui- apalagi menghakimi, tetapi ia
mampu menggelitik dan menyentuh ego terdalam seseorang yang menyimak
kisah-kisah bijak para sufi. Disamping itu, kisah para sufi tidak menjemukan,
tak menegangkan, sesekali menghibur, ada tawa, canda- tetapi mengandung gagasan
yang amat inspiratif dan praktis bagi kehidupan seseorang.
Berdasarkan hal itulah, kiranya perlu menjadi
pertimbangan khusus- bagi para da’i dalam menyampaikan dakwahnya kepada
khalayak- untuk menggunakan cerita-cerita inspiratif dari dunia sufi- guna
menopang keberhasilannya dalam berdakwah.
Sebenarnya, hal itu sudah dilakukan oleh para penulis
Islam- khsusunya mereka-mereka yang berkecimpung dengan tulisan yang bertema
motivasi. Sebut saja, nama seperti Azim Jamal, Ibrahim al-Fikri, Aidh al-Qarni-
dalam buku-buku yang mereka tulis- sering kali diselengi dengan cerita-cerita
sufi yang mengandung makna. Dan hal itu terbukti berhasil- karena buku-buku
mereka mendapat respon yang baik dari pembaca.
B. Analisa Kritis: Sisi Positif dan Sisi Negatif
Gagasan dan Praktek Tasawuf yang Berkembang dalam Masyarakat
Kalau kita membaca berbagai literatur
tasawuf, maka akan kita dapati kelompok yang pro dan kontra. Bagi yang pro,
kita biarkan karena ia menerima tasawuf sebagai bagian dari ajaran Islam.
Umpamanya kita ambil saja dua prominent
scholar Islam dari Amerika, Seyyed Hossein Nasr yang sekarang masih ada dan
Fazlur Rahman yang baru meninggal. Hossein Nasr beranggapan bahwa tasawuf ini
adalah spirit of Islamic religion
(jiwa dan semangat agama Islam). Body
tanpa jiwa itu tidak ada artinya. Jadi, Islam kalau tidak ada tasawuf, ia akan
gersang, tidak subur, bahkan tidak hidup. Sementara Fazlur Rahman beranggapan
bahwa tasawuf merupakan infiltrasi
budaya luar yang menggerogoti Islam. Bagi orang yang tidak mengerti atau orang
awam, lalu membaca Hossein Nasr, ia serta-merta akan mengatakan tasawuf harus
dipelajari. Sedangkan bagi orang yang membaca Fazlur Rahman, maka tasawuf ini
harus dijauhi, karena ia menggerogoti Islam. Kita hendak mengklarifikasi apa
yang dimaksud oleh Hossein Nasr dan Fazlur Rahman.[4]
Dalam
perkembangannya, kita akan melihat bahwa tasawuf pada dasarnya adalah etika.
Tetapi lebih dari itu ada tujuan lain yang sudah masuk di dalamnya, seperti
aliran-aliran filsafat Yunani, isyraqi, dan sebagainya yang mengandung banyak
hal yang dianggap sudah menyimpang dari doktrin Islam oleh ahli-ahli syariat.
Ibnu Sabiin, Suhrawardi dan al-Hallaj misalnya, adalah orang-orang yang bukan
saja menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk mencapai akhlak yang mulia, tetapi
lebih dari itu untuk pengenalan kepada Allah Swt. (ma’rifat). Bahkan untuk
persatuan atau menyatu dengan-Nya, sehingga ada istilah wihdat al-wujud (panteisme), wihdat
al-syuhud, dan sebagainya. Tasawuf yang semacam ini bagi orang seperti Ibnu
Taimiyah, Ibnu Qayyim dan sebagainya sampai Fazlur Rahman, adalah arien, sesuatu hal yang berada di luar
garis-garis yang ditetapkan oleh al-Qur’an dan Sunnah.[5]
Masalahnya,
sampai di mana hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Ini menjadi
kontroversi yang berakhir tanpa keputusan. Ada yang bersikeras bahwa tasawuf
yang diwarnai oleh filsafat atau oriental
wisdom (kearifan yang datangnya dari Timur, Persia), bahkan terkadang ada
pengaruh agama Budha dan Hindu, itu semua harus dibersihkan. Dan seperti Fazlur
Rahman, dia mengidentifikasikan tasawuf pada hal-hal semacam itu, sehingga ada
yang memang diakui dalam literatur tasawuf sebagai hal yang menyimpang dari
Islam. Misalnya dengan menciptakan tarekat-tarekat yang sudah tidak
mengindahkan syariat; seperti tidak perlu sembahyang, yang penting kita eling
(yang penting ingat). Karena tujuan Tuhan menciptakan kita untuk mengingat dan
mengenal-Nya. Sementara syariat itu hanya diperlukan orang awam untuk mendidik
dirinya dengan sembahyang dan puasa. Tetapi bagi orang yang sudah sampai ke
tingkat tertentu, dia sudah tidak perlu shalat lagi. Ini bertentangan dengan
al-Qur’an, sehingga kita harus mengatakan bahwa ia sebenarnya bukan bagian dari
Islam. Orang yang mengatakan bahwa sembahyang, puasa atau rukun Islam yang lain
itu bukan bagian dari usaha kita dalam mengenal Tuhan, hal itu bertentangan
dengan al-Qur’an dan Sunnah. Hal itulah yang dimaksud olah Fazlur Rahman dan
orang-orang yang tidak menerima tasawuf sebagai bagian dari Islam.[6]
Banyak
ungkapan para sufi yang menjadi kontroversi. Umpamanya dari Abu Yazid
al-Busthami, “Ana al-Haq”, Saya ini
adalah yang Haq (Tuhan); pernyataan al-Hallaj, “Saya dan Tuhan menyatu”; dan
Ibnu Sabiin yang menyatakan bahwa wujud ini hanya satu saja, yakni wujud Tuhan,
sementara kita semua ini hanya bayang-bayang. Ungkapan-ungkapan ini membuat
dualisme antara hamba dan Tuhan menjadi kabur. Pandangan-pandangan semacam ini
kita dapati dari budaya luar: Peradaban Yunani, Hindu, Persia, dan sebagainya.
Sehingga Fazlur Rahman, Ibnu Taymiyah, dan Ibnu Qayyim, mengatakan bahwa dasar
tasawuf tidak pernah dikenal pada zaman Nabi. Kata-kata tasawuf memang tidak
ada waktu Nabi. Istilah tasawuf baru diperkenalkan oleh Abu Hasyim al-Khufi,
kira-kira abad ke-2 H. Sebelumnya tidak ada istilah tasawuf, dan memang kata
tasawuf tidak terdapat baik dalam Sunnah maupun al-Qur’an. Tetapi esensi
tasawuf itu ada, apabila kita sepakati sebagai akhlak atau etika. Maka bagi
orang yang tidak mau menerima tasawuf sebagai bagian dari Islam, kata tasawuf
itu tidak perlu. Cukup menyebutnya sebagai akhlak atau etika Islam yang
disepakati semuanya.[7]
Untuk
bisa menjawab problema antara Fazlur Rahman dan Hossein Nashr diatas, Para
peneliti tasawuf mengklasifikasikan tasawuf menjadi dua: Ada tasawuf agama dan
tasawuf filosofis (philoshopical sufism)
yang sering kita terjemahkan sebagai theosophy.
Teo tapi sophia, yakni ada
filsafatnya tapi juga ada ketuhannya. Sementara tasawuf agama itu melulu
bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah. Bagi orang yang menyatakan bahwa tasawuf
itu bagian dari Islam, ia menunjuk pada tasawuf agama. Tokoh-tokoh tasawuf
(sunni) ini dimulai dengan Hasan Bashri (w.110 H), kemudian Haris al-Muhasibi,
Junaid al-Baghdadi, dan al-Ghazali, dari abad ke-2 sampai 6 H. Sedangkan
tasawuf filosofis puncaknya pada abad ke-6 H: Ibn Arabi, sebelumnya Suhrawardi
al-Maqtul (dibunuh pada umur 39 tahun, karena dianggap memperkenalkan banyak
doktrin-doktrin di luar agama).[8]
Tanpa
menutup mata- bahkan justru waspada- dari kenyataan adanya praktek-praktek yang eksesif dalam tasawuf, sesungguhnya tak terlalu sulit untuk
melihat bahwa tasawuf yang sejati merupakan buah dari ajaran Islam.
Praktek-praktek tasawuf pun, seperti diungkapkan oleh para peneliti mengenai
disiplin ini, di mulai dari jantung kelahiran dan penyiaran agama Islam, yakni
kota Makkah dan Madinah. Hal ini tampak jelas jika kita lihat domisili
tokoh-tokoh perintis kehidupan tasawuf yang namanya kita sebutkan diatas. Juga,
selain jumlahnya yang sedikit, dikalangan para penganut tasawuf-awal, para sufi
asal Persia baru dikenal belakangan.[9]
[2] Nasichah, “Dakwah Pada Masyarakat Modern; Problem
Kehampaan Spiritual”, Da’wah Jurnal Kajian Dakwah, Komunikasi dan Budaya,
Vol. X, No. II, (Jakarta: Fakultas Dakwah UIN Syarif Hidayatulah Jakarta,
2003), hal. 103.
[3] Achmad
Mubarak, “Relevansi Tasawuf dengan Problem
Kejiwaan Manusia Modern,” Manusia Modern Mendamba Allah; Renungan Tasawuf
Positif, (Jakarta: IIMaN dan Hikmah, Cet. I, 2002), hal. 180.
[4] Alwi Shihab,
“Akhlak sebagai Sasaran Tasawuf,”
Manusia Modern Mendamba Allah; Renungan Tasawuf Positif, (Jakarta: IIMaN dan
Hikmah, Cet. I, 2002), hal. 180.
[9] Haidar Baqir, “Antara Tasawuf Eksesif dan Tasawuf
Positif”, Sufisme Kota, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, Cet. I, 2001), hal.
Vii.
Post a Comment