BAB II
Pembahasan
Cikal Bakal Tasawuf; Sebuah Peta Kronologis
Benih-benih
tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi Saw. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam
hidup, ibadah, dan pribadi Nabi Saw. Sebelum diangkat menjadi rasul,
berhari-hari ia berkhalwat di Gua Hira, terutama pada bulan Ramadhan. Di sana
Nabi Saw, banyak berzikir dan bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada
Allah Swt. Pengasingan diri Nabi Saw di Gua Hira ini merupakan acuan utama para
sufi dalam melakukan khalwat.[1]
Nabi
Muhammad Saw, banyak memberikan gambaran tentang kehidupan dunia. Kehidupan
dunia digambarkan bagai penjara bagi orang mu’min dan surga bagi orang kafir
(Imam Muslim, tt), karena kehidupan mereka selalu dibatasi dan tidak boleh
hidup semena-mena, bagaikan orang yang hidup dalam sebuah penjara, dan
sebaliknya bagaikan surga bagi orang kafir, sebagai tempat yang menyenangkan,
bisa hidup seenaknya tanpa ada batasan yang mengikatnya. Kesederhanaan Nabi
Saw, menampilkan diri sebagai seorang yang sangat terbatas kehidupannya, sering
menderita lapar. Dan jika mempunyai harta selalu diinfakkan ke jalan Allah Swt,
dan disedekahkan kepada tamunya dan ahlus-Suffah (orang yang hidup di emperan
masjid Nabawi).[2]
Faktor
internal lainnya adalah reaksi rohaniah kaum muslim terhadap sistem sosial,
politik, budaya, dan ekonomi dikalangan Islam sendiri, yaitu ketika Islam
tersebar ke berbagai negara, yang sudah barang tentu membawa konsekuensi
tertentu. Seperti terbuka kemungkinan diperolehnya kemakmuran di satu pihak,
dan terjadinya pertikaian politik sahabat Ali Ibn Abi Thalib dengan Muawiyah.
Dengan adanya fenomena sosial politik seperti itu ada sebagian masyarakat atau
ulama yang tidak ingin terlibat dalam kemewahan dunia dan mempunyai sikap tidak
mau terlibat terhadap pergolakan yang ada. Mereka mengasingkan diri agar tidak
terlibat dalam pertikaian tersebut.[3]
Seperti
telah diketahui, dalam sejarah Islam terdapat peristiwa tragis, yakni upaya pembunuhan
terhadap diri khalifah ketiga, Utsman ibn Affan, dari peristiwa itu secara
berantai terjadi kekacauan dan kemerosotan akhlak. Hal ini menyebabkan
sahabat-sahabat yang masih ada, dan pemuka-pemuka Islam yang mau berpikir,
berikhtiar membangkitkan kembali ajaran Islam, pulang masuk masjid, kembali
mendengarkan kisah-kisah perjuangan Rasulullah dan besera para sahabat
terdahulu, mengenai keindahan zuhud dan lain sebagainya. Inilah benih tasawuf
yang paling awal.
A.
Masa Pembentukan
Kalau kita
kembali kepada awal sejarah Islam, khususnya pada masa Nabi, telah ada
Sahabat-sahabat yang menjauhkan diri dari kehidupan duniawi, banyak berpuasa di
siang hari, shalat, dan membaca al-Qur’an di malam hari. Seperti Abdullah Ibn
Umar, sehingga Nabi berkata kepadanya, “Tubuhmu juga mempunyai hak-hak yang
harus kau penuhi.”
Pada abad ke-
1 Hijriyah, lahirlah Hasan Basri, seorang “zahid” pertama dan termasyur dalam
sejarah tasawuf. Dia lahir di Madinah pada tahun 642 M, dan meninggal di Basrah
pada tahun 728 M. Hasan Basri tampil pertama dengan membawa ajaran khauf dan
raja’, mempertebal takut dan harap kepada Tuhan.
Kemudian
pada akhir abad ke- 2 Hijriyah, muncul Rabi’ah al-‘Adawiyah (95 H/713 M - 185
H/801 M), seorang sufi wanita yang terkenal dengan ajaran cintanya (hubb
al-ilallah). Selanjutnya pada abad ke- 2 Hijriyah ini, tasawuf tidak banyak
berbeda dengan abad sebelumnya, yakni sama dalam corak kezuhudan. Saat itu
mulai ada sebagian orang yang menampilkan istilah-istilah yang pelik seperti
mengenai kebersihan jiwa (thaharah al-nafs), kemurnian hati (naqy al-qalb),
hidup ikhlas, menolak pemberian orang, dan bekerja mencari makan dengan usaha
sendiri.
B.
Masa Pengembangan
Tasawuf pada
abad ke- 3 dan ke- 4 Hijriyah sudah mempunyai corak yang berbeda sama sekali
dengan tasawuf abad sebelumnya. Pada abad ini tasawuf sudah bercorak kefana’an
(ektase) yang menjurus ke persatuan hamba dengan khalik. Orang-orang sudah
ramai membahas tentang lenyap dalam kecintaan (fana’fi al mahbub), bersatu
dengan kecintaan (ittihad bi al-mahbub), kekal dengan Tuhan (baqa’ bi
al-Mahbub), menyaksikan Tuhan (musyahadah), bertemu dengan-Nya (liqa’) dan
menjadi satu dengan-Nya (‘ain al-jama’) seperti yang diungkapkan oleh Abu Yazid
al-Bustham (261 H), seorang sufi dari Persia yang pertama kali mempergunakan
istilah fana’ (lebur atau hancurnya perasaan).
Sesudah Abu
Yazid al-Busthami, lahirlah seorang sufi kenamaan, yakni al-Hallaj. Menurut
al-Hallaj, manusia mempunyai dua sifat, yakni sifat kemanusiaan (nasut) dan
sifat ketuhanan (lahut). Landasan pemikirannya didasarkan kepada surat Shad
ayat 72, bahwa Adam mempunyai dua unsur, yakni jasmani dan ruhani. Unsur
jasmani dari materi, sedang unsur ruhaninya berasal dari roh Tuhan.
C. Masa Konsolidasi
Tasawuf pada
abad ke- 5 Hijriyah mengadakan konsolidasi. Pada masa ini ditandai kompetisi dan
pertarungan antara tasawuf semi falsafi dengan tasawuf sunni. Tasawuf sunni
memenangkan pertarungan, dan berkembang sedemikian rupa, sedangkan tasawuf semi
falsafi tenggelam dan akan muncul kembali pada abad ke- 6 Hijriyah dalam
bentuknya yang lain. Kemenangan tasawuf sunni ini dikarenakan menangnya aliran
theologi ahl-Sunnah wa-al-Jama’ah yang dipelopori oleh Abu al-Hasan al-Asy’ary,
yang melontarkan kritik pedas terhadap teori Abu Yazid al-Bushthami dan
al-Hallaj. Oleh karena itu, tasawuf pada abad ini cenderung mengadakan
pembaharuan atau menurut istilah Annemarie Schimmael merupakan periode
konsolidasi, yakni periode yang ditandai pemantapan dan pengembalian tasawuf ke
landasannya, al-Qur’an dan al-Hadits. Tokoh-tokohnya di antaranya al-Qusyairi,
al-Harawi, dan al-Ghazali.
Imam
al-Ghazali tampil menentang jenis-jenis tasawuf yang tidak sesuai dengan
al-Qur’an dan Sunnah dalam sebuah upaya mengembalikan tasawuf kepada status
semula sebagai jalan hidup zuhud, pendidikan jiwa, dan pembentukan moral.
Pemikiran-pemikiran yang diperkenalkan al-Ghazali dalam bidang tasawuf dan
makrifat sedemikian rupa mendalam dan belum dikenal sebelumnya. Dia mengajukan
kritik-kritik tajam terhadap pelbagai aliran filsafat, pemikiran-pemikiran
mu’tazilah dan kepercayaan kebatinan untuk kemudian menancapkan dasar-dasar
yang kukuh bagi tasawuf yang lebih “moderat” dan sesuai dengan theologis
ahl-Sunnah wa Al-Jama’ah. Tasawuf semacam
ini disebut tasawuf Sunni.[4]
D. Masa Falsafi
Setelah tasawuf
semi falsafi mendapat hambatan dari tasawuf Sunni tersebut, maka pada abad ke-
6 Hijriyah, tampillah tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan
ajaran filsafat, kompromi dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya
disesuaikan dengan tasawuf. Oleh karena itu, tasawuf yang berbau filsafat ini
tidak sepenuhnya bisa dikatakan tasawuf, dan juga tidak bisa dikatakan sebagai
filsafat. Karena itu disebut tasawuf falsafi, karena di satu pihak memakai
term-term filsafat, namun secara epistemologis menggunakan intuisi (dzauq).[5]
Sejumlah sufi abad ke- 6 Hijriyah yang
berorientasi filsafat, yang memperkenalkan pemikiran-pemikiran, antara lain,
al-Suhrawardi al-Maqtul, tokoh ilmu huduri (w. 587 H), al-Syaikh al Akbar, Ibn
‘Arabi (w. 638 H), dan ‘Abd al-Haqq Ibn Sab’in (w. 699 H). Dalam aliran mereka
berkembang panteisme yang mengarahkan tasawuf pada “kebersatuan” dengan Allah
Swt. Perhatian mereka tidak tertuju kepada selain taraf transendensi ini,
sedangkan aspek praktik nyaris terabaikan. Perkembangan tasawuf akhirnya di
bawah pengaruh mereka terlibat kasus-kasus filsafat, terutama aspek-aspek
ontologi dan epistemologi, yang mencapai puncaknya pada pemikiran-pemikiran Ibn
‘Arabi yang berhasil membangun pilar tasawuf di atas prinsip-prinsip filsafat
yang kukuh dalam sebuah visi kesatuan yang paripurna.[6]
Sepeninggal Ibn ‘Arabi, tasawuf
mengarah pada hal yang lebih praktis
dalam bentuk persaudaraan kolektif yang di dalamnya para pelajar (murid)
berkumpul di sekeliling seorang guru (syaikh). Bersama-sama mereka terlibat
dalam ibadah, tafakur, dan dzikir. Tarekat sufi paling pertama didirikan oleh
‘Abd al-Qadir al-Jilani atau Jailani (w. 1166), diikuti kemudian oleh tarekat
Rifa’i yang didirikan oleh Ahmad al-Rifa’i (w. 1175) dan Maulawi, yaitu Para
tarekat yang disebut terakhir ini adalah seorang sastrawan Persia terkemuka,
yang dikenal juga dengan nama Maulana Jalal al-Din al-Rumi (w. 1273). Rumi
meninggal dunia di Konya, Turki, tempat tarekatnya terus berkembang hingga saat
ini. Tarekat yang terkenal lainnya ialah al-Syadzili yang didirikan oleh ‘Ali
al-Syadzili (1258) dan Badawi yang didirikan oleh Ahmad al-Badawi (w. 1276).
Kedua tarekat ini berkembang luas di wilayah Mesir dan Afrika Utara. Dan hingga
kini, keduanya masih menyimpan pengaruh keagamaan yang kuat di kawasan
tersebut.[7]
[2] Amin,
Syukur, Menggugat Tasawuf; Sufism dan
Tanggung Jawab Sosial Abad 21, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 1999),
hal. 26.
[4] Alwi,
Shihab, Islam Sufistik; “Islam Pertama”
dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia, (Bandung: Mizan, Cet. I, 2001), hal. 31.
[7] Majid,
Fakhry, a Short Introduction to Islamic
Philosophy, Theology and Mysticism, (England: Onewolrd Publication, 1997),
hal. 96
Post a Comment