Sesungguhnya
kebutuhan kita akan kader pemimpin yang memiliki kepemimpinan transformativ
adalah sebuah keniscayaan. Karena kepemimpinan transformativ tidak memenjarakan
pengikutnya dalam kerangkeng birokrasi yang rigid. Kepemimpinan transformativ
lebih dekat dengan sosok atau karakteristik kultural.
Dewasa ini, Indonesia memasuki tahap perkembangan
desentralisasi dan otonomi daerah yang cukup jauh dibandingkan dengan yang
dijalankan pada masa orde baru, yang telah memberikan perubahan model, pola,
dan bentuk pemerintahan daerah terlebih dalam reformasi administrasi.
Namun telah disadari bahwa harapan terjadinya perubahan
administrasi bidang publik belum sepenuhnya tercapai, karena perkembangan
reformasi administrasi publik selama ini dilakukan hanya menekankan dan
mengarah pada masalah kelembagaan, sistem serta tata laksana, dan kurang
memperhatikan aspek sumber daya manusia dan kepemimpinan, yang sebenarnya kita
sebagai masyarakat memiliki andil sangat besar dalam suksesnya kepemimpinan,
dimana masyarakatlah yang memilih mereka.
Kepemimpinan transformasional pada sektor publik merujuk pada
proses dimana seorang pemimpin bisa membangun komitmen terhadap sasaran
pemerintahan, dapat mengubah budaya dan struktur pemerintahan agar lebih
konsisten. Kepemimpinan transformasional sebagai proses dimana para pemimpin
dan pengikut saling menaikkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih
tinggi, seperti kebebasan, keadilan, kesejahteraan dan kemanusiaan (Burns,
1997) dan bukan di dasarkan atas KKN, emosi, keserakahan, ambisius,
materialistis, kecemburuan sosial, bahkan kebencian.
Seorang pemimpin transformasional berupaya melakukan transforming of visionary sehingga visi
menjadi kenyataan. Karakter seorang pemimpin transformasional harus memiliki
karisma, ide, intelektual, ulet dan inspiratif. Mantan perdana menteri Lee Kuan Yew yang sekarang menjadi
‘Minister Mentor’ Singapura adalah
seorang pemimpin yang transformasional dengan konsep Dynamic Governance-nya. Keberhasilan selama kepemimpinannya
menjadikan Singapura sejajar dengan negara-negara maju di dunia- terlebih dalam
layanan publiknya. Kepemimpinan transformasional akan memperlihatkan visi,
kemampuan, dan keahliannya serta tindakan yang lebih mendahulukan kepentingan
masyarakat daripada kepentingan pribadi.
Dalam hal ide, lebih menekankan pentingnya nilai-nilai,
komitmen dan keyakinan, serta memiliki tekad untuk mencapai tujuan dengan
senantiasa mempertimbangkan nilai, moral, dan etika dari setiap keputusan yang
dibuat. Sedangkan dalam hal inspirasi, pemimpin transformasional memiliki visi,
motivasi, dan inspirasi dalam menjawab tantangan. Dan secara intelektual, mampu
mendorong bawahan untuk memikirkan kembali cara kerja dan berinovasi dalam tugasnya.
Pengertian kepemimpinan transaksional dalam sektor publik saling
bertolak belakang dengan kepemimpinan transformasional tersebut di atas. Image yang ada adalah gaya kepemimpinan
transaksional didasarkan adanya biaya transaksi antara pemimpin dan bawahan.
Sintesis definisi biaya transaksi merupakan seluruh biaya yang dikeluarkan
karena berbagai cara melaksanakan dan mengorganisir sumberdaya dan aktivitas
produksi atau telah ada pengorbanan untuk mendapatkan sesuatu.
Kepemimpinan transaksional memungkinkan pemimpin memotivasi dan
mempengaruhi bawahan dengan cara mempertukarkan reward dengan kinerja tertentu. Artinya, dengan transaksi orang
dijanjikan untuk diberi reward bila
orang tersebut mampu menyelesaikan tugasnya sesuai dengan kesepakatan yang telah
dibuat bersama. Alasan ini mendorong Burns mendefinisikan kepemimpinan
transaksional sebagai bentuk hubungan yang mempertukarkan jabatan atau tugas
tertentu jika seseorang mampu menyelesaikan dengan baik tugas tersebut. Jadi, kepemimpinan transaksional menekankan
proses hubungan pertukaran yang bernilai ekonomis untuk memenuhi kebutuhan
biologis dan psikologis sesuai dengan kontrak yang telah disetujui bersama.
Dampak yang dihasilkan dari kepemimpinan transaksional adalah
kepemimpinan yang didasarkan pada negosiasi kepentingan berjangka pendek dari
sejumlah kelompok tertentu. Gaya kepemimpinan transaksional seperti ini mudah
terlihat menjelang pemilihan kepala daerah dengan mengharapkan jabatan-jabatan
strategis. Dalam konteks hubungan antara para calon pemimpin daerah dengan
pemilih, proses transaksi sebenarnya telah dan akan terjadi, seperti dalam
bentuk money politic, dan
‘’kegiatan-kegiatan’’ ekonomi yang banyak dilakukan oleh para kandidat.
Paradigma pilihan publik (public choice)
yang harusnya menjadi petunjuk kebijakan publik yang paling efektif justru menjadi tidak efektif.
Mantan ketua DPR, Akbar Tanjung, pernah mengatakan Indonesia ke
depan membutuhkan kepemimpinan yang transformasional yang mampu membawa
perubahan lebih baik dan mendasar bagi bangsa ini. Hal ini bermakna, kepemimpinan transformasional melandaskan
diri pada pertimbangan pemberdayaan potensi sumberdaya manusia berdasar meryt system. Menurut Sarros dan
Butchatsky, bahwa model kepemimpinan
transformasional merupakan konsep kepemimpinan yang terbaik dalam menguraikan
karakteristik pemimpin sehingga para pemimpin kita lebih berkerakyatan dan
berkeadilan sosial.
Sistem
dan pola kelembagaan kita saat ini cenderung bermazhab structuralism, hal ini berakibat pada kekeringan konsep perubahan,
dan kalaupun ada perubahan, indikatornya hanya berada pada gejala-gejala yang
bersifat statistika semata. Sedangkan kepemimpinan kultural lebih menekankan
prospek perubahan pada karakteristik dan adab, sebagai dimensi vital perubahan.
Peneliti Bernard M. Bass (1985), mengusulkan sebuah teori kepemimpinan
transformasional untuk memperkuat gagasan transformasi kepemimpinan yang sudah
pernah digagas oleh konsep awal Burn's (1978).
Kedua konsep kepemimpinan ini
membicarakan sejauh mana pemimpin transformasional diukur, dalam hal
pengaruhnya pada pengikutnya. Para pengikut pemimpin tersebut merasa
kepercayaan, kekaguman, kesetiaan dan penghormatan kepada pemimpin akan membuat
mereka melakukan apapun. Tipe pemimpin konfensional seperti ini memorsikan pemimpin
sebagai obyek pencitraan, agar dengan kharisma dan spekulasi popularitas
membuat ia dipercayai dan dikagumi para pengikutnya. Sementara itu, tipe sosok
pemimpin tarnsformativ selalu mencari cara-cara kerja baru untuk
mengidentifikasi peluang-peluang baru versus ancaman dan mencoba untuk keluar
dari status quo dan mengubah lingkungan.`Peneliti Bass & Avolio (1993),
membuat studi empiris yang memetakan pendekatan kepemimpinan manajer dan
komandan. Mereka membaginya dalam dua kategori transformasional dan
kepemimpinan transaksional pada sebuah kontinum
dan menciptakan lebih banyak tahap di bagian antara dua pendekatan kepemimpinan
tersebut. Terlepas dari keepemimpinan transformativ dan transaksional yang
ditawarkan Bass dan Avolio, kepemimpinan transformativ mendapatkan tempat yang
pantas untuk kebutuhan sebuah negara yang baru menganut faham demokrasi secara
komprehensif.
Di
Indonesia- khususnya di Sumatera Selatan, kita berharap tipe kepemimpinan
transformatif dapat dimunculkan sebagai upaya dan usaha awal untuk melakukan
transformasi multi sektor kehidupan. Sebab secara kelembagaan sektor-sektor
penting kelembagaan di negeri ini masih dikelola dengan prinsip dan paham-paham
lama yang a-sosial dan menafikan sisi penting kulturalisasi kelembagaan disegala
bidang kehidupan negara dan bangsa.
Post a Comment