BAB I
A.  Pendahuluan
Satu-satunya yang kita butuhkan
untuk menjadi seorang peneliti handal adalah rasa ingin tahu yang kuat akan seluruh esensi penciptaan dan Sang Pencipta itu sendiri.

Bagaimana ikan-ikan menawan hidup dapat muncul dari dalam air ke permukaan? Bagaimana pohon-pohon tumbuh subur semakin hari semakin besar seakan-akan hendak mencakar cakrawala? Bagaimana bunga-bunga mawar berwarna cemerlang dapat muncul dari dalam tanah yang mati? Adakah kehidupan setelah kematian? Bagaimana kita dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini? Orang-orang Yunani kuno telah mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini selama berabad-abad. Kita tidak mengenal kebudayaan yang tidak mengaitkan diri dengan pertanyaan apakah manusia itu dan dari mana datangnya dunia.
Begitulah romantika kehidupan umat manusia- penuh dengan teka-teki dan selubung misteri yang sulit diungkap, bahkan diri kita adalah misteri itu sendiri. Hanya orang-orang yang memiliki rasa ingin tahu yang kuat- akan berhasil memetik bunga mawar di taman kebijaksanaan. Hal ini, senada dengan apa yang pernah dikemukakan, Dr. Ilyas Ismail, MA, dalam pengantar kuliah pasca prodi ilmu Dakwah di UIA As-Syafi’iyah- bahwa,  “Rasa ingin tahu yang kuat itulah- yang menyebabkan dunia penelitian itu terus berlanjut.” Tanpa rasa ingin tahu yang kuat, dunia penelitian sudah pasti sejak lama mengalami mati suri.  
Dalam perspektif antropologi, rasa ingin tahu yang kuat tentang manusia dan kebudayaannya itulah, yang menyebabkan ilmu antropologi terus berkembang. Dilihat dari perspektif sejarah, perkembangan teori antropologi telah mengalami proses penyempitan, yang erat kaitannya dengan konseptualisasi kebudayaan sebagai pengertian pokok dalam pemi­kiran teoritis antropologi. Perkembangan tersebut bermula dari paham komprehensif yang menganggap kebudayaan sebagai fenomena universal ke paham yang bersifat partikularistik hasil perkembangan sejarah yang khas (historic particularism), dan yang kemudian diikuti oleh pandangan mutakhir yang berpusat pada realitas budaya hasil konstruksi pelaku individual. Ketiga tahap ini tidak dapat dilihat sebagai konsekutif, yakni yang satu berakhir lalu diganti oleh yang berikutnya, sehingga memecahkan komunitas ilmuwan antropologi ke dalam kelompok-kelompok penganut yang saling bertentangan.[1]  
Oleh karena itu, berbicara mengenai peneletian Antropologi sama dengan menyelami lautan luas yang tiada terbatas sehingga tidak mengherankan bila sejak kemunculan ilmu antropologi sampai dengan perkembangannya yang sekarang terdapat begitu banyak ragam dan variasi mengenai konsep tersebut. Perdebatan mengenai Antropologi juga menjadi perbincangan dan diskusi yang tidak pernah berakhir. Makalah ini berupaya mendiskusikan penelitian ilmu antropologi, latar belakang teoritis dan metodologi­nya, Dengan memahami penelitian ilmu antropologi, diharapkan mampu mem­pergunakannya sebagai kerangka analisis dalam memahami manusia dan kebudayaannya- khususnya dalam konteks dan perspektif ajaran Islam.


[1]Imam Subchi, “Dialog Kebudayaan: Teori dan Metodologi (Perspektif Antropologi)”, Jurnal Mimbar Agama dan Budaya  Vol. XVIII, No. 4, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta,  2001),  hal. 391

Post a Comment

 
Top