Tuhan sungguh Maha Agung dan
Kuasa. Dia menciptakan setiap anak terlahir dengan potensi yang beraneka-ragam; memiliki
kelebihan yang unik, serta bakat dan minat yang antara yang satu dengan yang lain
berbeda-beda. Seperti itulah yang saya rasakan ketika saya masih anak-anak. Ada
sahabat saya yang begitu pandai berenang di sungai musi, memanjat beraneka
jenis pohon dengan cekatan, ada pula yang berbakat dalam menari, menyanyi,
bermain masak-masakan, bermain sandiawara (ada yang pura-pura menjadi ayah,
ibu, anak, dll.), dan ada juga yang pandai dalam belajar- seperti belajar
matematika, sejarah, ilmu pengetahuan alam dan sosial, bahasa, dan lain
sebagainya.
Dulu saya menganggap realitas
semacam ini- datar-datar saja, tidak ada sesuatu yang begitu istimewa dibalik
kisah keseharian anak-anak kecil seusia saya pada waktu itu- dan tentunya, ini
juga menjadi kisah anak-anak Sumsel kebanyakan pada waktu itu dan saat ini.
Belakangan setelah mendengar dan membaca teori tentang multiple intelligence yang diperkenalkan
Psikologi Harvard Howard Gardner. Saya baru menyadari bahwa kegiatan apa saja- yang menjadi hobi seseorang
yang dimulai sejak kecil, itu bisa dikategorikan sebagai bagian atau bentuk
kecerdasan yang dimiliki seseorang.
Beruntung saat ini sudah mulai
bermunculan sekolah-sekolah yang mengembangkan aspek-aspek multiple intelligence (kecerdasan majemuk) dalam kurikulumnya,
termasuk dalam kurikulum PAUD. Aspek-aspek multiple
intelligence itu meliputi kecerdasan linguistik (bahasa), matematika-logis,
visual spasial (membuat berbagai macam coretan), musik (menyanyikan lagu-lagu
sederhana), kinestetik (kecerdasan fisik), interpersonal (bersosialiasasi
dengan orang lain), natural (peduli terhadap lingkungan), dan kecerdasan spiritual.
Tetapi sayangnya, pendekatan multiple intelligence dalam PAUD belum
teraktualisasi secara baik, sehingga begitu banyak kecerdasan yang dimiliki
anak-anak Indonesia hilang di telan zaman, karena ketidak-mengertian,
masyarakat, para pendidik, dan orang tua dalam membantu anak-anak itu
mengaktualisasikan bakat unik mereka masing-masing. Padahal, menurut naskah
akademik yang diterbitkan departemen pendidikan (2007), pada masa-masa
anak-anak itulah- semua potensi anak berkembang sangat cepat. Fakta yang ditemukan
oleh ahli-ahlineurologi, menyatakan bahwa sekitar 50% kapasitas kecerdasan
manusia telah terjadi ketika usia 4 tahun dan 80% telah terjadi ketika berusia
8 tahun, dan mencapai titik kulminasi 100% ketika anak berusia 8 sampai 18
tahun. Pertumbuhan fungsional sel-sel syaraf tersebut membutuhkan berbagai
situasi pendidikan yang mendukung, baik dalam situasi pendidikan keluarga,
masyarakat maupun sekolah. Para ahli pendidikan sepakat bahwa periode keemasan
tersebut hanya berlangsung satu kali sepanjang rentang kehidupan manusia. Hal
ini menunjukkan bahwa betapa meruginya suatu keluarga, masyarakat, dan bangsa
jika mengabaikan masa-masa penting yang berlangsung pada anak usia dini.
Pada masa usia dini inilah-
berbagai periode penting yang fundamen dalam kehidupan anak selanjutnya sampai
periode akhir perkembangannya terbentuk. Salah satu periode yang menjadi ciri
utama masa usia dini adalah the golden
ages (periode keemasan). Banyak konsep dan fakta yang ditemukan memberikan
penjelasan periode keemasan pada masa usia dini, di mana semua potensi anak
berkembang paling cepat. Beberapa konsep yang disandingkan untuk masa anak usia
dini adalah masa eksplorasi, masa identifikasi, imitasi, masa peka, masa
bermain dan masa trozt alter 1 (masa
membangkang tahap 1). (departemen pendidikan, 1: 2007)
Kesalahan terbesar para pendidik
dan orang tua- ingin menjadikan seorang anak sama seperti dirinya seperti orang
dewasa. Seringkali masyarakat, para orangtua, dan guru mengajari anak atau anak didiknya berdasarkan
jalan pikiran orang dewasa, seperti melarang anak untuk bersenang-senang dalam
bermain. Walhasil, apa yang diajarkan orangtua sulit diterima anak dan banyak
hal yang disukai oleh anak dilarang oleh orangtua; sebaliknya banyak hal yang
disukai orangtua tidak disukai anak-anak. Untuk itu orangtua dan guru anak usia
dini perlu memahami hakikat perkembangan anak dan hakikat PAUD agar dapat
memberi pendidikan yang sesuai dengan jalan pikiran anak.
Diperparah lagi, adanya anggapan
bahwa perkembangan kecerdasan anak hanya bergantung pada kecerdasan intelektual
saja, namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan para peneliti
kecerdasan memunculkan teori baru tentang multiple intelligence. Pendekatan
pendidikan berbasis multiple intelligence dimaksudkan bagaimana seorang anak
dapat berkembang sesuai dengan minat dan bakatnya.
Berkenaan dengan hal ini, saya
pernah dikatakan oleh guru saya bahwa saya termasuk anak yang bodoh- hanya
karena pada waktu itu saya tidak bisa mengerjakan tugas mata pelajaran
matematika. Pada waktu itu saya sempat kecewa dengan guru tersebut. Karena saya
merasa saya tidak bodoh.
Setelah bertahun-tahun kemudian,
apa yang saya pikirkan pada waktu itu, bahwa saya tidak bodoh, saat ini
terbukti dengan ditemukannya teori baru tentang kecerdasan, bahwa pada dasarnya
setiap anak itu cerdas. Sebab, kecerdasan tidak semata-mata merujuk kepada
kecerdasan intelektual saja, atau lebih dikenal dengan istilah IQ. Ada pula
kecerdasan majemuk (multiple intelligences) seperti kecerdasan bahasa, logika
matematika, visual spasial, musik, kinestetik, interpersonal, intrapersonal,
natural dan moral. Setiap anak memiliki kesembilan kecerdasan ini meski dengan
taraf yang berbeda-beda.
Post a Comment